122
8.3 Kontradiksi Peraturan tentang Pengeloaan Kawasan Hutan
Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan telah mengakibatkan ketegangan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Konflik-konflik yang
terjadi dalam kawasan hutan terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem
pertanahan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan dalam Undang-Undang Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut
pemerintah dan masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun
tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan
negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak, tidak hanya antara pemerintah dan masyarakat saja Contreras-Hermosilla dan Fay 2006.
Masalah konflik tenurial yang terjadi di Indonesia berawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga
kebijakan saat ini. Kebijakan kepemilikan penguasaan negara pada masa kolonialisme Belanda masih berlanjut hingga kini. Perubahan-perubahan
terhadap kebijakan tersebut di masa kemerdekaan belum berjalan dengan baik. Ditinjau dari sisi sejarah, perubahan-perubahan kebijakan di masa Hindia
Belanda hingga masa kemerdekaan dan berlanjut di era reformasi berkontribusi besar terhadap konflik tenurial yang terjadi. Galudra, 2003
Perdebatan status tanah pada masa Belanda atas kepemilikan tanah hutan apakah tanah negara atau tanah adat masih belum tuntas. Perdebatan ini
bermula diterbitkannya Agrarische Wet 1870 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Dengan
berazaskan domeinverklaring, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein milik negara, maka pemerintah selaku
perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta.
Walaupun Agrarische Wet 1870 ini berasaskan pada ketentuan domeinverklaring, juga mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan
hak-hak masyarakat adat. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan untuk memberikan penafsiran pasti yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan desa
123 untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa adalah padang rumput
penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang
oleh mereka tidak telah ditelantarkan. Peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hak-hak masyarakat desa atas wilayah hutan Galudra,2003.
Dalam perkembangannya, azas domeinverklaring juga menjadi dasar klaim bagi Jawatan Kehutanan atas penguasaan semua tanah hutan yang
dianggap penting bagi fungsi hidrologi, klimatologi, dan produksi kayu. Menarik untuk dicermati bahwa isu-isu konservasi seperti hidrologi dilebih-lebihkan oleh
Jawatan Kehutanan sebagai alat pembenaran atas penguasaan hutan dan sebagai upaya untuk menghilangkan hak-hak serta menutup akses penduduk
atas hutan. Dalam azas domeinverklaring, tanah-tanah negara terbagi atas dua yaitu
tanah negara bebas dan tanah Negara tidak bebas. Yang termasuk tanah negara tidak bebas antara lain hak sewa, hak milik, hak pakai pribumi dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk tanah negara bebas adalah tanah-tanah liar yang ditelantarkan. Dalam tafsiran pemerintah yang berlaku secara nyata di lapangan,
tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat dengan tanah milik adat agrarisch eigendom, demikian juga tanah-tanah ulayat adalah tanah domein Negara
Harsono, 2003. Asal-usul keruwetan dalam peraturan kehutanan berawal pada tafsir
dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Kementerian Kehutanan. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan
mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumberdaya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap tanah dan
sumberdaya alam yang disebabkan oleh ketidakpastian kepemilikan negara atau rakyat akan tetap menjadi masalah kecuali jika ada usaha serius dan
terorganisir untuk merasionalisasi kawasan hutan negara melalui strategi tindakan yang jelas.
Manfaat pendefinisian dan pengklasifikasian kawasan hutan sangat
penting bagi kepastian hukum tentang pengelolaan lahan. Wilayah yang merupakan bagian dari kawasan hutan harus dikelola di bawah seperangkat
ketentuan pembatas yang tidak hanya dapat mengarah kepada perampasan hak-hak lokal, tetapi juga untuk membatasi secara administratif beberapa pola
pemanfaatan hutan seperti pemanfaatan untuk pertanian atau wanatani.
124 Larangan akses masyarakat lokal terhadap padang rumput untuk dimanfaatkan
bagi tanaman pangan bisa terjadi karena tanah tersebut telah diklasifikasi sebagai kawasan hutan yang hanya akan digunakan untuk penamanan pohon
kayu-kayuan. Kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai kawasan
hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi
sebagai hutan ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian Fay dan Michon 2005. Hal ini secara umum mengabaikan tata guna tanah yang
faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau
pemerintahan pascakolonial Dove 1983; Lynch 1992. Adanya kontradiksi peraturan perundang-undangan tentang penguasaan
hutan bermula dari UUPA 1960 yang mencabut Agrarische Wet 1870 beserta segala aturan pelaksanaannya, akan tetapi tidak secara tegas mencabut Bosch
Ordonantie 1927 dan peraturan-peraturan kehutanan yang lainnya. Dengan demikian, terjadilah kontradiksi hukum agraria yang sangat mendasar. Di satu
pihak tanah-tanah yang terletak diluar kawasan hutan diatur menurut UUPA 1960 yang berdasar pada hukum adat serta anti asas domein, sementara di pihak lain
tanah-tanah yang terletak di dalam kawasan hutan Jawa-Madura masih tetap diatur menurut Bosch Ordonantie 1927 yang anti hukum adat dan menganut
asas domein. Kontradiksi hukum agraria semakin meluas ketika pemerintah orde baru
menetapkan Undang-undang Pokok-pokok Kehutanan tahun 1967 Undang- undang nomor 51967. Meskipun tidak dinyatakan secara terang-terangan, akan
tetapi sesungguhnya undang-undang ini menganut asas domein. Hal Ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, undang-undang
tersebut tidak mempertimbangkan UUPA 1960. Pembuat undang-undang kehutanan mengabaikan UUPA 1960 yang merupakan pembongkaran terhadap
asas domein warisan kolonial. Kedua, undang-undang tersebut tidak secara tegas mencabut Bosch Ordonantie 1927 yang menganut asas domein. Bosch
Ordonantie 1927 baru dicabut secara tegas melalui undang-undang kehutanan no 41 tahun 1999. Ketiga, dalam praktik pelaksanaan undang-undang kehutanan
tersebut, tidak ada penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan. Meskipun tanah dan hutan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat
125 adat secara turun-temurun, jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia.
Sebagai contoh, dalam hal pemberian hak penguasaan hutan HPH serta pelepasan kawasan hutan untuk keperluan usaha perkebunan swasta. Saat
undang-undang ini diterapkan bersamaan dengan maraknya investasi pengolahan kayu serta usaha perkebunan besar swasta, terjadilah gelombang
penggusuran masyarakat adat dari kampung halamannya. UUPA yang menjadi dasar hukum sistem pengelolaan sumberdaya
alam menjadi bias, karena bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Penanaman Modal dan lain-lain,
adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut
pemerintah dan masyarakat. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya
alam di Indonesia antar berbagai pihak. Lahirnya UU Pokok Kehutanan mengabaikan hak-hak ulayat dan
kepentingan penduduk lokal. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 dijelaskan: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat ”. Pasal ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan rakyat banyak. Kedudukan rakyat
berada pada posisi penting yang tidak bisa diabaikan dengan alasan apa pun. Pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan bahwa kekayaan sumber
daya alam Indonesia ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumberdaya alam lebih
berorientasi eksploitasi. Beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam antara lain: 1 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Pertambangan; 2Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;
4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang tersebut di atas mempunyai karakteristik : 1
berorientasi pada eksploitasi sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, karena digunakan sebagai
perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara. 2. Orientasi pengelolaan SDA lebih berpihak
126 pada pemodal besar sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas
sumber daya alam 3 Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada negara sehingga pengelolaan sumber daya alam yang
sentralistik. 4. Implementasi pengelolaan yang dilakukan pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang
terintegrasi. Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang
satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing Nurjaya 2006.
Bila melihat isi Pasal 33 UUD 45, negara atau pemerintah yang diberi wewenang dalam mengelola sumberdaya hutan, seharusnya memberikan
manfaat hutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sulit dipahami, jika tujuan memakmurkan rakyat itu ditempuh dengan jalan menyingkirkan rakyat dari
sumber penghidupannya.
8.4 Jalan Menuju Pemerataan Penguasaan dan Akses Lahan