15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Hutan Kemasyarakatan
Menurut Undang-Undang no. 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dikelompokkan menjadi hutan
produksi, hutan lindung, hutan konservasi. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan
kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep pengelolaan yang ideal ini dalam praktiknya malah bertentangan dengan
kenyataan di lapangan. Selama ini pemerintah dan pengusaha lebih memilih mengelola hutan
secara otoritarian. Kebijakan ini telah memunculkan berbagai akumulasi konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dasarnya adalah
legalitas penguasaan hutan secara sepihak yang dilakukan oleh negara. Sedangkan masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan seringkali
menjadi kambing hitam dan mendapat stigma sebagai “maling” padahal rakyat telah mengelola hutan yang telah dilakukan secara turun temurun.
Masalah hutan terkait dengan keseluruhan isu-isu dan kesempatan- kesempatan lingkungan dan pembangunan.. Konferensi PBB tentang
Lingkungan dan Pembangunan, 1992. Seluruh kelompok masyarakat bergantung pada hutan dan pepohonan serta bertanggung jawab akan
16 keanekaragaman hayati, pengaturan iklim, air bersih, konservasi tanah dan air,
ketahanan pangan , hasil-hasil kayu dan non-kayu, jasa energi, obat-obatan dan nilai-nilai budaya.
Hutan alam yang baik telah memulihkan Indonesia dari krisis ekonomi tahun 1960-an dan menjadi penyumbang devisa yang amat besar bagi negara.
Akan tetapi, dalam krisis ekonomi tahun 1990-an, hutan alam yang rusak justru meningkatkan beban ekonomi melalui bencana alam yang semakin sering.
Semua pihak telah mengabaikan fungsi perlindungan dari hutan yang baik. Fungsi perlindungan yang disebut sebagai jasa lingkungan inilah yang sekarang
kurang dihargai Haeruman,2005. Hutan yang rusak telah menjadi bencana diplomatik dalam pergaulan
dunia. Saat ini persyaratan hubungan dagang internasional selalu dikaitkan dengan pelestarian hutan. Setiap musim kemarau negara tetangga selalu
melakukan protes bahkan mengancam agar Indonesia mengurus hutan dengan benar agar tidak terjadi bencana kebakaran hutan.
Ada empat hal yang gencar dibahas dalam upaya menyelamatkan hutan Indonesia, yaitu pembalakan liar, restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi
tanah kritis dan hutan rusak, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Masalah kehutanan Indonesia bukan hanya masalah Pemerintah Indonesia saja, tetapi menjadi masalah dunia. Penyelamatan hutan Indonesia
tidak hanya menjadi masalah teknis rehabilitasi hutan dan tanah kritis saja, tetapi sudah lintas sektor dan lintas negara. Masalah teknis rehabilitasi hutan dan tanah
kritis lebih mudah dipecahkan. Yang sukar adalah mengatasi kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang mudah dimanfaatkan para pencuri kayu.
Demikian pula dengan kelembagaan antarsektor dari pemerintah pusat sampai ke daerah yang tidak kompak dalam penyelamatan hutan hingga tak bisa
memenuhi komitmen nasional pada dunia Heruman,2005. Hutan kemasyarakatan menurut Tewari 1983: ilmu dan seni menanam
pohon danatau vegetasi lain yang diintegrasikan dengan kegiatan lainnya pada lahan yang tersedia untuk tujuan itu, di dalam atau di luar kawasan hutan dan
pengelolaan hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat, guna menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau
masyarakat. Hutan Kemasyarakatan pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi
17 kebutuhan dasar manusia di pedesaan dari hutan, yaitu: fuel, fooder, food,
timber, income, environment. Suharjito, dkk 2000 mendefinisikan hutan kemasyarakatan sebagai
sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat, atau lahan milik
individual untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik diusahakan secara komersial maupun subsisten.
Sementara itu Pokja Social Forestry 2002 mendefinisikan hutan kemasyarakatan social forestry: sistem pengelolaan hutan yang melibatkan tiga
komponen sumberdaya lahan hutan, teknologi pengelolaan, dan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam rangka
pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya, melalui penerapan sistem teknis kehutanan dengan
mendayagunakan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya masyarakat yang mendukung upaya pelestarian sumberdaya hutan beserta fungsi yang
dimilikinya. Menurut Kartasubrata 1988 program-program hutan kemasyarakatan di
Indonesia telah banyak dilaksanakan diantaranya : pada tahun 1970–an Perhutani melaksanakan “Prosperity Approach” kesejahteraan lingkungan.
Program ini mencakup intensifikasi tumpangsari dalam pembuatan tanam hutan, pembuatan margasaren gaya baru, penanaman rumput gajah, menanam jenis
kayu bakar, ternak lebah madu, sutera alam. ”Ma-lu” singkatan dari Mantri hutan dan Lurah , konsepsi ”ma-lu” menekankan pada pentingnya kerja sama
antara mantri kehutanan dan lurah dalam pelaksanaan “Prosperity Approach”, khususnya dalam penghijauan lahan penduduk dan pengamanan hutan. PMDH
Pembangunan Masyarakat Desa Hutan adalah program yang bertujuan untuk menumbuhkan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan dan pemerataan
pendapatan penduduk, mendorong pertumbuhan ekonomi desa, meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan serta menjaga kelestariannya.
Pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan keragaman istilah, pengertian dan penerapannya, telah dikembangkan oleh banyak lembaga,
baik Departemen Kehutanan, perusahaan, LSM maupun komunitas lokal, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Banyak istilah atau terminologi muncul,
seperti: Perhutanan sosial, PMDH Pembangunan Masyarakat Desa Hutan, Hutan Kemasyarakatan HKm, Sistem Hutan Kerakyatan SHK, Buffer Zone,
18 Community Forestry, Sosial Forestri, HPH Bina Desa, Repong Damar,
Tembawang. Hutan kemasyarakatan merupakan sistem pengelolaan hutan dengan
melibatkan masyarakat. Masyarakat yang berada di sekitar hutan dianggap sebagai stake holder yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan hutan.
Sistem pengelolaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar pengelolaan hutan berkelanjutan.
Konsep hutan kemasyarakatan merupakan suatu perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi
masyarakat dalam berbagai tahap kegiatan, mulai tahap perencanaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemanfaatan sampai dengan penyelesaian
masalah konflik yang terjadi. Paradigma lama pengelolaan hutan berakar dari orientasi budaya
masyarakat industri, yang menganggap hubungan manusia dan alam terpisah, manusia mesti menguasai alam, manusia sangat menjunjung tinggi terhadap
usaha dan kekuatan sendiri. Sedangkan paradigma baru pengelolaan hutan didasarkan pada pengetahuan masyarakat lokal, manusia merupakan bagian tak
terpisahkan dari alam. Orientasi budaya lokal selalu menjaga keselarasan dengan alam dan mengembangkan saling ketergantungan satu sama lain,
bekerja sama,bergotong royong.
2.2 Berbagai Model Hutan Kemasyarakatan di Indonesia Hutan kemasyarakatan bukan suatu hal baru di Indonesia. Partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah tujuan pembangunan hutan di Indonesia. Berbagai program untuk melibatkan masyarakat lokal telah
dilaksanakan. Agroforestry telah dilaksanakan di Jawa lebih dari 100 lalu dalam sistem penanaman jati Nasendi,1996.
Di Jawa penerapan tumpangsari telah ada sejak 1873 pada hutan jati, petani diperbolehkan menanam tanaman pangan dalam rotasi dua tahunan.
Sampai tahun 1950 sistem tumpangsari telah diterapkan pada regenerasi tanaman jati. Pada tahun 1960 mulai timbul masalah akibat tekanan
pertambahan penduduk, untuk mengurangi masalah ini sistem tumpangsari intensif diadopsi dengan pemupukan. Sekarang mengingat luas lahan jati
semakin berkurang diganti dengan tanaman pangan dengan cara demikian ada penghasilan untuk para petani penggarap.
19 Peran rakyat dalam penanaman pohon kayu dalam bentuk hutan rakyat di
Jawa sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Hutan rakyat merupakan
tanaman rakyat di pekarangan atau kebun yang semula digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar, pakan ternak, dan kayu pertukangan. Hasil
penelitian oleh IPB 1976, UGM 1997 tentang hutan rakyat menunjukkan bahwa konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa ternyata sebagian besar
disediakan oleh hutan rakyat Darusman Hardjanto 2006 Peran hutan rakyat semakin dipertimbangkan potensinya ketika terjadi
penurunan potensi hutan negara secara pasti, baik yang berasal dari hutan alam maupun tanaman. Usaha hutan rakyat, yang selama ini telah diusahakan oleh
masyarakat secara mandiri. Perhatian pemerintah memang telah sejak lama dilakukan, misalnya melalui dengan proyek-proyek penghijauan, Gerhan, tetapi
perhatian pemerintah ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat petani hutan rakyat.
Pada masyarakat agraris, pertambahan penduduk merefleksikan dinamika pemanfaatan lahan. Pola pemanfaatan lahan merefleksikan keterkaitan
dua hal tersebut. Pertumbuhan penduduk pedesaan menyebabkan kenaikan permintaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa: makanan,
kayu bakar, makanan ternak, dan kayu. Sebagian penduduk pedesaan yang tunakisma landless dan petani kecil, kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian
menyebabkan terjadinya tekanan terhadap hutan antara lain kerusakan hutan berupa rusaknya tanaman, penebangan liar, dan over-grazing. Kegagalan
penanaman pohon di hutan mendorong digunakan untuk penanaman tanaman pangan subsisten. Penebangan liar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
subsisten pada kayu dan bahan bakar tetapi juga merupakan satu-satunya alternatif bagi orang miskin untuk mendapatkan penghasilan Simon, 1990.
Keragaman inisiatif dan pendekatan dalam pelaksanaan program yang sudah dikembangkan dengan hasil yang bervariasi. Inisiatif-inisiatif ini tidak harus
diseragamkan tetapi perlu didukung dengan kemauan politik dan kebijakan yang memadai. Pengalaman empiris dari lapangan dan berbagai bidang kegiatan
pendukung hutan kemasyarakatan selayaknya diangkat dan dipelajari untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pembaharuan kebijakan.
Terdapat berbagai model dan nama pengelolaan hutan berbasis atau berorientasi pada masyarakat di Indonesia tergantung pada cara pandang
berbagai pihak. Nama atau model itu antara lain:
20 · HPH Bina Desa
· Hutan Adat · Hutan Desa
· Hutan Kampung · Hutan Keluarga
· Hutan Kemasyarakatan · Hutan Rakyat
· Kehutanan Masyarakat · Pembinaan Masyarakat Desa Hutan PMDH
· Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat PHOM · Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM
· Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM · Pengelolaan Hutan Bersama secara Adaptif PHBA
· Pengelolaan Hutan dalam Kemitraan . Perhutanan Sosial
.Sistem Hutan Kerakyatan Cifor 2002 menyebutkan pengembangan program hutan
kemasyarakatan seharusnya mempertimbangkan :1. Desentralisasi dan kepastian ruang kelola sosial forestri; 2. Penguatan penguatan institusi lokal dan
proses belajar bersama; 3 Koordinasi dan keselarasan kerja inisiator Untuk mendorong hutan kemasyarakatan ke depan, pemerintah pusat
termasuk Departemen Kehutanan perlu mengembangkan mekanisme untuk memfasilitasi kegiatan penyuluhan, pertemuan multipihak, berbagi dana dan
menyebarkan informasi tentang hutan kemasyarakatan. Seperti juga digariskan oleh Menhutbun 1999 bahwa Pemanfaatan
sumberdaya hutan di masa mendatang tidak hanya pendekatan produksi tetapi dilakukan dengan pola manajemen sumberdaya alam dalam suatu sinergitas
antara aspek ekonomi, sosial, dan ekologi melalui pendekatan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat banyak community based development.
Strategi pengelolaan hutan berbasis masyarakat memberikan peluang untuk mengurangi berbagai kendala dan memecahkan masalah antara lain:
1 meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan
2 Meningkatkan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat 3 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
21 4 Pendekatan resolusi konflik yang terjadi
5 Pemanfaatan hutan secara optimal 6 Memecahkan masalah land tenurial
7 Memperbaiki lingkungan dan kondisi hutan Supriadi, 2002 Berbagai model hutan kemasyarakatan pada prinsipnya adalah
melibatkan partisipasi masyarakat dalam merehabilitasi hutan yang rusak dan mencegah laju deforestasi. Diharapkan dengan model ini dapat meningkatkan
taraf hidup masyarakat di sekitar hutan. Sasaran program adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Bagaimana sektor kehutanan dapat berperan dalam mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi
terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Hutan kemasyarakatan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Sistem pengelolaan hutan dalam hutan
kemasyarakatan meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif meliputi menanam , memelihara, dan memanfaatkan. Untuk pelaksanaan
pengelolaan perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.
Awang 2003 menyebutkan butir-butir penting dari hutan kemasyarakatan :
1 fokus pengelolaan hutan pada upaya perlindungan, konservasi, dan kegiatan ekonomi; 2 aktor utama pengelola hutan adalah masyarakat; 3 pemerintah
sebagai fasilitator, regulator, dan pengawas; 4 Pemberdayaan dan penguatan masyarakat lokal dan industri kehutanan; dan 5 pelaksanaan sesuai dengan
spesifik lokal sehingga tidak perlu keseragaman. Dalam pembentukan kawasan pengelolaan hutan kemasyarakatan perlu
mempertimbangkan : karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembangaan masyarakat setempat
termasuk hutan adat dan batas administrasi pemerintahan Prahasto dan Irawanti, 2002.
Hutan kemasyarakatan menuntut keterlibatan rakyat dalam mengelola sumberdaya hutan. Dalam pemanfaatan lahan hutan harus diidentifikasi prioritas
kawasan untuk berbagai tipe hutan kemasyarakatan bergantung dari kebutuhan penduduk di sekitar hutan. Perluanya negosiasi dan melibatkan partisipasi dari
masyarakat.
22 Pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah salah satu prinsip
pengelolaan hutan yang seharusnya memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan atau berbasis
pada hutan. Ada berbagai macam tafsiran mengenai pengertian berbasis masyarakat. Sebagian pihak mengatakan hak, kedaulatan dan keterlibatan
masyarakat dalam mengambil keputusan menyangkut masyarakat. Keterlibatan, peran serta atau kebersamaan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang juga
harus diperhatikan di samping kebutuhan dan kesejahteraan mengelola hutan bisa dinyatakan dalam berbagai bentuk yakni dengan memberi bantuan,
mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, instruksi, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil, bahkan eksploitasi masyarakat atau benar-
benar sebagai mitra yang sejajar dalam setiap pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasinya Djogo, 2004.
2.3 Pengelolaan Hutan dengan Model Kemitraan