Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA

31 anggota masyarakat, walaupun mereka belum tentu beroartisipasi didalam institusi tersebut Cohen, 1992. Lebih lanjut Horton dan Hunt 1991 menyatakan lembaga juga merupakan sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejewantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Lembaga adalah sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Proses- prosesnya terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. Lembaga tidak mempunyai anggota, tetapi mempunyai pengikut Horton dan Hunt, 1991; Cohen, 1992 Institusi menurut Opschoor 1994 dalam Alikodra 2004 adalah konsolidasi perilaku, formal atau informal, termasuk konvensi sosial dan berbagai organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku manusia, konvensi sosial pasar dan setting administrasi dan struktur sosial yang terkait dengan perilaku manusia seperti nilai, aturan, adat, moral dan sebagainya. Lembaga lingkungan mencakup berbagai organisasi yang ada, seperti lembaga formal yang memiliki fungsi dan peranan di bidang lingkungan, LSM, norma dan nilai-nilai sosial, termasuk frame-work politik, program-program lingkungan, pola komunikasi dan gerakan-gerakan sosial. Pengembangan institusi dan proses pelembagaan memerlukan struktur institusi Alikodra 2004.

2.7 Kerangka Pemikiran

Hubungan saling ketergantungan antara manusia dan hutan dalam suatu interaksi dalam ekosistem merupakan dalil yang tidak bisa disangkal. Hutan Indonesia sampai saat ini telah menanggung beban demikian lama dan berat sebagai penggerak perekonomian bangsa, dan telah sampai pada titik puncak sehingga berdampak pada munculnya permasalahan ekologis, ekonomi, dan sosial budaya. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah masalah degradasi hutan dengan laju yang tinggi. Hal tersebut mengakibatkan luas hutan Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, sehingga sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi yang sangat berarti. Pengelolaan hutan konvensional yang menekankan pada timber management sudah saatnya berubah ke arah pembangunan kehutanan yang 32 berorientasikan pada resource and community based development, dengan beberapa perubahan orientasi sebagai berikut : 1 Perubahan orientasi produksi kayu dari hutan alam ke hutan tanaman; 2 Perubahan orientasi dari hasil hutan kayu ke hasil hutan nonkayu dan jasa; 3 Pergeseran pola pengusahaan hutan dari konglomerasi ke peningkatan peran masyarakat; 4 Perubahan bentuk pengelolaan hutan dari optimasi produksi log ke optimasi fungsi hutan; 5 Pergeseran kewenangan pengelolaan hutan dari sentralisasi ke desentralisasi Diperlukan juga rekonstruksi pemahaman masyarakat akan pentingnya sumberdaya hutan. Rekonstruksi ini merupakan proses transformasi sikap dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan kawasan hutan . Sementara dari pihak pengelola harus juga terjadi transformasi pengelolaan dari instruktif dan pendekatan keamanan menjadi partisipatif dengan siap berbagi. Sektor kehutanan mempunyai kemampuan berpartisipasi nyata dalam pemerataan yang berkeadilan terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan akses kepada masyarakat di sekitar hutan untuk membangun ekonomi berbasis pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat. Kemampuan masyarakat ditingkatkan secara nyata dengan membangun mitra usaha kelola kawasan dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Dalam sistem kemitraan seharusnya menempatkan masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama sehingga diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terwujudnya kelestarian hutan di lingkungannya. Partisipasi dalam setiap tahapan merupakan prasyarat penting untuk dapat mewujudkan optimalisasi peran masyarakat sekitar. Partisipasi ini meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif merencanakan, menanam, memelihara, dan memanfaatkan. Keberhasilan pengelolaan hutan kemasyarakatan bergantung kepada sikap dan perilaku masyarakat dan pihak pengelola dalam merespon dinamika sosial budaya, ekonomi, dan ekologi. Masyarakat sangat bergantung kepada eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya hutan dalam kawasan tersebut. Masyarakat sebagai pelaku utama harus memiliki kapasitas untuk bisa melakukan partisipasi dalam setiap tahapan program pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks di atas, dikonstruksi melalui identifikasi dan analisis diri serta analisis kebutuhan masyarakat, sehingga lahir kesadaran diri dan kesadaran kolektif masyarakat yang dikaitkan dengan fungsi 33 dan kepentingan pengelolaan hutan kemasyarakatan. Proses ini penting dilakukan, agar masyarakat tidak dijadikan objek pemberdayaan masyarakat, tidak parsial dan sepihak, sehingga menjadi kontraproduktif. Pemberdayaan masyarakat ini dilakukan melalui strategi utama, yakni: 1 penguatan akses mencakup akses kontrol, pengetahuan, teknologi, modal, pasar, hubungan sosial, kerja dan usaha, serta identitas sosial, 2 penguatan hak yang mencakup: hak akses, hak pemanfaatan. Akses terhahap SDH sangat mendesak untuk direalisasikan mengingat kebanyakan petani di sekitar hutan hanya memiliki lahan yang sangat sempit bahkan tunakisma. Program pengembangan masyarakat dengan model santunan dan bersifat temporer dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak kondusif diterapkan dalam kondisi masyarakat miskin dan tanpa lahan. Kemampuan manajemen yang rendah dan kebutuhan ekonomi subsisten, mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk memisahkan antara kebutuhan produktif dengan kebutuhan konsumtif. Kebutuhan ekonomi subsisten juga akan mengalahkan kepentingan keberlanjutan. Akibatnya, pemberdayaan masyarakat dalam program hutan kemasyarakatan tidak pernah mencapai hasil yang optimal. Setiap program pengembangan masyarakat memerlukan kelembagaan yang benar-benar berperan dalam menjalankan fungsinya. Lembaga yang baru dibentuk sehubungan dengan program masih lemah. Oleh karena itu diperlukan penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan merupakan proses transformasi dari sistem yang ada dan dilakukan secara bertahap. Dengan kelembagaan yang kuat dan kemampuan manajerial yang baik akan dapat mendorong tercapainya sasaran hutan kemasyarakatan, yaitu meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar hutan, dan mewujudkan kelestarian hutan. 34 Gambar 1, Kerangka Pemikiran Perhutani BKPH Parung Panjang Biofisik ekonomi sosial Degradasi hutan Kemiskinan Pencurian Implementasi PHBM Persepsi thd PHBM kelembagaan Biofisik ekonomi sosial kesetaraan sistem bagi hasil produktivitas produktivitas pendapatan keamanan hutan bagi hasil evaluasi program Analisis kebijakan model PHBM AHP Model Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN