Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia

Setelah dibuat plot data untuk harga bawang merah, maka tahap selanjutnya adalah melihat bagaimana fungsi autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial pada data. Dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12 bahwa pada data harga bawang merah memiliki ciri adanya autokorelasi. Hal ini dapat ditunjukkan adanya garis bar biru pada lag 1 dan 2 pada fungsi autokorelasi dan lag 1 pada fungsi autokorelasi parsial yang melebihi garis warna merah sehingga perlu dilakukan proses differencing sebelum diproses lebih jauh. Sumber: Data Sekunder, 2014 diolah Gambar 11. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah Sumber: Data Sekunder, 2014 diolah Gambar 12. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah Untuk langkah awal, angka d differencing atau integrasi dimulai dengan angka terkecil, yaitu 1. Hal ini sesuai dengan prinsip parsimony yang selalu berusaha untuk memilih model yang sederhana. Untuk harga bawang merah setelah dilakukan differencing pada angka 1 dapat dilihat pada Gambar 13. Garis Lag A ut oc or re la ti on 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Autocorrelation Function for Harga Bawang Merah with 5 significance limits for the autocorrelations Lag Pa rt ia l A ut oc or re la tio n 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Partial Autocorrelation Function for Harga Bawang Merah with 5 significance limits for the partial autocorrelations bar biru pad lag 1 pada fungsi autokorelasi masih keluar dari garis merah, begitupun pada fungsi autokorelasi parsialnya yang dapat dilihat pada Gambar 14. Sumber: Data Sekunder, 2014 diolah Gambar 13. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah setelah First Differencing Sumber: Data Sekunder, 2014 diolah Gambar 14. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah Setelah First Differencing Setelah dilakukan first differencing untuk harga bawang merah, dapat diketahui bahwa data belum juga stasioner pada tingkat level sehingga perlu dilakukan second differencing. Pada Gambar 15 dan 16 dapat dilihat bahwa pada fungsi autokorelasi dan autokorelasi parsial setelah dilakukan second differencing, garis bar biru pada lag 1 masih keluar dan menjauhi garis merah sehingga diambil kesimpulan bahwa pada first differencing data sudah stasioner pada tingkat level. Lag A ut oc or re la ti on 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Autocorrelation Function for C3 with 5 significance limits for the autocorrelations Lag Pa rt ia l A ut oc or re la ti on 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Partial Autocorrelation Function for C3 with 5 significance limits for the partial autocorrelations Hal ini dikarenakan dalam ARIMA, pemilihan model juga perlu mempertimbangkan faktor parsimoni. Parsimoni adalah konsep yang mengutamakan kesederhanaan dalam suatu model. Konsep tersebut menekankan lebih baik memilih model dengan parameter sedikit daripada parameter banyak, serta mengutamakan jumlah lag yang lebih sedikit Santoso, 2009. Sumber: Data Sekunder, 2014 diolah Gambar 15. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah Setelah Second Differencing Sumber: Data Sekunder, 2014 diolah Gambar 16. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah Setelah Second Differencing Model peramalan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ARIMA p, d, q. Penggunaan model ARIMA ditentukan oleh data yang tidak stasioner dan tidak ditemukannya pola musiman. Nilai p menunjukkan orde dari bagian AR Autoregressive atau autokorelasi, nilai d menunjukkan parameter Lag A ut oc or re la ti on 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Autocorrelation Function for C5 with 5 significance limits for the autocorrelations Lag Pa rt ia l A ut oc or re la tio n 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Partial Autocorrelation Function for C5 with 5 significance limits for the partial autocorrelations