26 berpotensial untuk digunakan secara transparan, sangat cocok digunakan untuk
menilai suatu aset saat terjadi inflasi yang tinggi, dan dapat menjadi dasar penentuan keputusan untuk memasuki suatu pasar. Kekurangan yang dimiliki oleh
biaya pengganti adalah menjadi subjektif dikarenakan nilai saat ini sulit untuk ditentukan, membutuhkan penghitungan yang akurat apabila menggunakan nilai
sekarang karena jika tejadi pergantian teknologi, mengabaikan sifat keoptimalan, dapat terjadi overestimate dari suatu aset yang dinilai.
2.5 Penelitian Terdahulu
Effendy 2005 melakukan penelitian tentang polutan gas dari berbagai lokasi TPA Tempat Pembuangan Akhir sampah. Berdasarkan hasil analisis dan
perbandingan dengan ambang batas yang ditetapkan pemerintah, didapatkan nilai gas polutan dari ke empat TPA TPA Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar
Gebang berada diwilayah ambang batas menurut Kep-13MENLH31995 dan Kep-50MENLH111996 kecuali untuk gas amonia NH
3
di TPA Bantar Gebang pada titik 2 yaitu sebesar 0,52 mgm
3
atau 0,02 mgm
3
diatas ambang baku mutu emisi. Tempat Pembuangan Akhir TPA Galuga, Pondok Rajeg, Waru
dan Bantar Gebang mengemisikan gas yang berada dibawah Ambang Batas Baku Mutu Emisi. Hal tersebut disebabkan standar baku mutu yang digunakan adalah
standar untuk industri karena belum adanya Keputusan Pemerintah mengenai Standar Baku Mutu khusus sampah.
Sutjahjo et al. 2007 melakukan penelitian mengenai pengelolaan TPAS dengan pendekatan ‘Zero Waste’ nir limbah berbasis partisipasi masyarakat.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari hasil rekonstruksi TPA Galuga terdapat dua sistem akuifer yaitu akuifer air tanah tertekan dan akuifer air tanah
27 tidak tertekan. Pola aliran air bawah tanah pada akuifer tersebut membentuk pola
pengaliran dari selatan ke utara. Di sekitar wilayah TPA sampah membentuk pola cekungan, berfungsi sebagai tempat akumulasi air bawah permukaan termasuk
lindi dari TPA. Kecepatan dan debit aliran kecil, sehingga polutan dapat tertahan lebih lama di dalam sistem cekungan tersebut.
Sistem PAL TPA Galuga yang ada tidak berfungsi secara optimum. Status tingkat pencemaran dinyatakan dengan tingkat ‘tercemar ringan’ pada skala 1.
Kandungan bahan pencemar di sekitar TPA bukan disebabkan oleh kontaminasi langsung lindi TPA Galuga, melainkan oleh rembesan air lindi melalui sistem
drainaseparit pembuangan lindi. Pecemaran wilayah sekitar TPA ditentukan oleh besarnya jarak 52 dan oleh faktor lain yaitu sifat fisik dan kimia batuan,
lingkungan binaan dan akivitas manusia serta kondisi masyarakat 48. Kurniawan 2006 melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air
sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air IKA sumur sebagai pengaruh pengelolaan TPAS studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang
Bogor. Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui
ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, pH, DO, BOD
5
, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri coliform, dan fecal coli E. Coli. Indeks Kualitas Air IKA sumur yang berada
pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks 41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65
yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara umum kualitas air sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak
28 dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan
perikanan dan pertanian. Hasil penelitian Silalahi 2008 menunjukkan bahwa faktor yang
berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya nilai lahan memakai model linear dan model double-log adalah luas lahan, kepadatan pnduduk, jarak lahan ke
kantor pemerintahan daerah Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, dan NJOP. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan
pada model linear dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan
NJOP.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional
Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas produksi dan konsumsi yang berimplikasi terhadap
semakin banyaknya volume sampah yang dihasilkan. Peningkatan volume sampah berasal dari sampah perumahan atau permukiman, fasilitas umum sapuan jalan,
terminal, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya, dan industri. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Bogor merupakan
salah satu kendala dalam penyediaan TPAS, sehingga melibatkan kotakabupaten lain untuk dijadikan TPAS yaitu Kabupaten Bogor. Pengolahan sampah Kota
Bogor dilaksanakan di TPAS Galuga yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Volume sampah yang semakin meningkat menyebabkan peningkatan permintaan
terhadap lahan untuk pengolahan sampah. Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk
juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal
ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman, sehingga terdapat lingkungan permukiman yang kurang memperhatikan persyaratan
kenyamanan bagi penduduknya. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang memilih untuk tetap tinggal di sekitar TPAS Galuga walaupun timbul dampak
negatif berupa pencemaran lingkungan di sekitar TPAS tersebut. Penelitian ini mendeskripsikan kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga
bedasarkan penilaian responden dengan menggunakan analisis deskriptif, mengestimasi besarnya nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan