12 besar. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli secara alami atau sering disebut
dengan monopoli alamiah karena pemerintah merupakan satu-satunya pengelola TPAS. Mangkoesoebroto 2000 menjelaskan bahwa monopoli dalam suatu
masyarakat dapat terjadi secara alami karena pasar akan barangjasa terlalu kecil atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien
baru terjadi pada tingkat produksi yang besar. Hal ini menyebabkan produsen swasta tidak mau menyediakan barang tersebut.
Keberadaan TPAS Galuga dapat menimbulkan eksternalitas negatif. Eksternalitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar.
Mangkoesoebroto 2000 menjelaskan bahwa selain barang publik, masalah lain yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam mengalokasi faktor-faktor
produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut dampak sampingan atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan produksi atau konsumsi dari
satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau tidak adanya
kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut. Eksternalitas negatif dari adanya TPAS tersebut dapat berupa timbulnya
pencemaran udara dan pencemaran air. Pengadaan retribusi sampah merupakan salah satu cara untuk mengatasi ekternalitas tersebut. Namun retribusi ini belum
dapat mencerminkan biaya yang sebernarnya karena besarnya retribusi tidak sebesar biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat eksternalitas tersebut.
2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode
13 dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Suryanto 1988 dalam
Yudianto 2007 menjelaskan bahwa metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :
1. Open dumping
Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.
2. Control landfill
Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam
pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu
dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan dipadatkan.
3. Sanitary landfill
Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah
ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan
dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya
berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan sampah di tempat
pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.
14 Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah,
terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu: a.
Air lindi Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air
hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen- komponen hasil penguraian sampah.
b. Pembentukan gas
Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik
akan menghasilkan gas metana, H
2
S, dan NH
3
. Gas metana perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar,
sedangkan gas H
2
S, dan NH
3
merupakan sumber bau yang tidak enak. Tempat Pembuangan Akhir TPA sampah membutuhkan ruangtempat
yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah
akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah
yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian
dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Menurut USDA 1983 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007, ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah TPAS secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.
15 Tabel 2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka
No Sifat Tanah
Kesesuaian Lahan Baik
Sedang Buruk
1 Ancaman Banjir
Tanpa Jarang
Sering 2
Kedalaman sampai hamparan batuan cm
150 100-150
100 3
Kedalaman sampai padas keras cm 150
100-150 100
4 Permeabilitas cmjam 50-100 cm
- -
5 5
Muka air tanah
Apparent
Perched 150
90 100-150
100-150 100
45 6
Lereng 8
45-90 15
7 Longsor
- -
Ada
Sumber : USDA 1983 dalam Hardjowigeno et al. 2007
Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor 591131kptsHuk2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan
Akhir TPA Sampah. Pengelolaan sampah di TPAS tersebut masih menggunakan metode controll landfill Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010.
Metode ini masih dilakukan karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk pengelolaan sampah tersebut, sedangkan penerapan metode sanitary landfill
membutuhkan lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.
2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah