Kebijakan Impor Kebijakan Pemerintah dalam Perberasan

kepada pemerintah, karena pemerintah Indonesia sedang terlibat hutang dengan IMF, tarif bea masuk tersebut menjadi 30 sesuai kesepakatan dengan IMF Yudohusodo, 2000. Penetapan tarif bea masuk atas impor beras melalui Keputusan Menteri Keuangan RI NO. 568KMK.011999 dengan tarif impor sebesar Rp 430 per kilogram. Tujuan dari penetapan tarif impor adalah meningkatkan pendapatan petani dan produksi beras, mengamankan kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah, stabilisasi harga dalam negeri, dan meminimumkan beban anggaran pemerintah untuk mengamankan harga dasar Simatupang, 1999. Kebijakan tarif impor telah berdampak terhadap distribusi pendapatan di antara pelaku pasar. Berkurangnya surplus konsumen, meningkatnya surplus produsen, serta adanya kerugian sosial akibat terjadinya inefisiensi produksi dan inefisiensi ekonomi seiring dengan besarnya tingkat tarif yang diberlakukan Kariyasa, 2003.

2.3. Tinjauan Studi Terdahulu

Lokollo 1986 dari penelitiannya menyimpulkan bahwa penggunaan varietas unggul dan harga pupuk secara nyata dan dominan mempengaruhi areal panen padi, baik lahan sawah maupun lahan ladang. Secara kuantitatif, besarnya parameter penggunaan varietas unggul tersebut memberikan respon terhadap luas areal panen adalah 0.9675 untuk lahan sawah, 0.8770 untuk lahan ladang, dan 0.9352 untuk total lahan. Sedangkan Hutauruk 1996 mengaitkan luas areal panen di Jawa dan luar Jawa dengan perubahan harga padi, harga dasar padi, harga jagung, harga pupuk, dan kredit usaha tani dan menghasilkan hasil yang tidak responsif nyata dalam jangka pendek maupun jangka panjang, kecuali peubah harga padi dalam jangka panjang. Luas areal di Jawa dan luar Jawa lebih responsif terhadap perubahan harga dasar padi dari pada harga padi. Menurut Mulyana 1998, perkembangan areal panen di semua wilayah produksi menunjukan respon yang inelastis terhadap perubahan harga gabah, namun dipengaruhi secara nyata oleh curah hujan, kinerja penyuluhan, target produksi beras dan lag areal yang merupakan proxy situasi ekonomi sebelumnya dan hambatan kelembagaan. Cahyono 2001 dalam penelitiannya yang membedakan areal sawah dan ladang menyimpulkan bahwa perkembangan areal padi sawah dan ladang di tiap wilayah menunjukan respon inelastis terhadap perubahan harga gabah, namun dipengaruhi secara nyata oleh tananaman alternatif, upah, kredit usaha tani, areal irigasi, intensifikasi dan El-Nino. Demikian juga Sitepu 2002 menyimpulkan bahwa luas areal panen dipengaruhi oleh harga gabah tingkat petani, harga pupuk area, curah hujan, harga jagung tingkat petani dan kredit usahatani tetapi responnya inelastis. Hal ini menunjukan luas areal sawah telah mencapai kondisi batas maksimal closing cultivation frontier Menurut Hutauruk 1996, produktivitas padi tidak responsif terhadap perubahan harga padi, jumlah penggunaan pupuk, irigasi, kredit usahatani dan trend teknologi. Sedangkan Irawan 1998 menyimpulkan untuk padi sawah di Jawa, harga dan kredit usahatani tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi sawah. Hal ini menunjukkan produksi padi sawah mengalami kejenuhan sehingga walaupun harga padi menarik, tetapi sulit bagi petani untuk meningkatkan produktivitas karena penambahan dosis pupuk dan input produksi lainnya yang didanai oleh kredit usahatani di lahan yang mengalami pelandaian produktivitas sudah tidak dimungkinkan lagi. Sedangkan untuk luar Jawa, kredit