Konservasi Sumberdaya Hutan Mangrove

sebesar Rp. 2.681.893,-hatahun 11,70 meliputi manfaat kayu bangunan, kayu bakar, arang, chip, pemberat cock bulu tangkis serta daun mangrove untuk pakan ternak. Nilai manfaat ekonomi silvofisheries Rp. 1.323.056,-hatahun 5,77; tambak rakyat Rp. 5.635.190,-hatahun 24,59; perikanan Rp. 1.258.676,- hatahun 5,49; Nipah atap dan gula nira Rp. 335.975,-hatahun 1,47; tambang dan galian Rp. 8.293.644,-hatahun 36,19; satwa Rp. 75.188,- hatahun 0,33 dan hasil hutan lainnya Rp. 2263761,-hatahun 9,88. Nilai manfaat tidak langsung aktual dan potensial hutan mangrove sebagai lokasi wisata alam memiliki nilai ekonomi tertinggi Rp. 4.142.582,-hatahun 18,08; fungsi penyedia siklus makanan Rp. 3.751.960,-hatahun 16,37; penahan abrasi dan intrusi air laut Rp. 3.494.786,-hatahun 15,25; dan sebagai penyerap karbon Rp. 3.168.355,-hatahun 13,82. Sementara manfaat pilihan terhadap keanekaragaman hayati hutan mangrove sebesar Rp. 94.688,-hatahun 0,41 dan keberadaan habitat ekosistem hutan mangrove agar tetap tersedia mempunyai nilai ekonomi Rp. 12.338.270,-hatahun 53,84. Analisis terhadap kawasan hutan mangrove menurut wilayah kajian bahwa total nilai ekonomi aktual dan potensial bervariasi, karena belum semua manfaat hutan mangrove diperhitungkan seperti nilai manfaat obat-obatan, konservasi habitat, perlindungan spesies langka. Selain itu, juga disebabkan oleh perbedaan potensi sumberdaya hutan mangrove di setiap daerah. Sebagai contoh, hasil perhitungan total nilai ekonomi hutan mangrove di Segara Anakan memiliki nilai ekonomi manfaat tertinggi Rp. 31.055.380,-hatahun dibanding Teluk Bintuni Rp. 26.862.867,-hatahun, Kabupaten Subang Rp. 19.545.655,-hatahun, dan Selat Malaka Rp. 17.973.855,-hatahun.

2.5 Konservasi Sumberdaya Hutan Mangrove

Kesadaran akan kebutuhan pelestarian keanekaragaman hayati telah ada sejak berabad-abad yang lalu, baik di Amerika Utara, Eropa, dan bagian dunia lainnya. Di Indonesia kesadaran ini dimulai sejak zaman pemerintahan penjajahan Belanda. Tonggak sejarah pelestarian sumberdaya alam di Indonesia adalah terbitnya Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Berdasarkan Undang-Undang tersebut telah disusun berbagai kebijakan nasional dan strategi konservasi alam Indonesia. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Selanjutnya disebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a perlindungan sistem penyangga kehidupan, b pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan c pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1990. Dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, tertanggal 25 Juli 1990 menyebutkan beberapa jenis lahan basah yang dilindungi. Pasal 1 No 11 menyebutkan: “Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan”. Pasal 26 menyatakan: “Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai bentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut di samping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya”. Selanjutnya dalam Pasal 27 menyatakan: “ Kriteria kawasan hutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang teringgi danterendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat .” Perlindungan hutan lebih rinci pada Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2005 tentang Perlindungan Hutan. Pasal 1 1 menyebutkan bahwa : ”Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pasal 6 Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi: a mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit, dan b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pengawetan jenis lebih rinci dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk: a menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan; b menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa; dan c memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada; agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan. Pemanfaatan hutan didasarkan pada fungsi hutan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu: fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan pada Pasa1 4 menyebutkan bahwa: “Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Sejarah Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Kubu Raya