Strategi Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Kubu Raya

5.4 Strategi Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Kubu Raya

Konservasi hutan mangrove di Indonesia dilakukan melalui tiga strategi, yaitu: a perlindungan sistem penyangga kehidupan, b pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan c pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Undang- undang Nomor 5 tahun 1990. Pada penelitian ini, strategi yang dianalisis adalah pemanfaatan secara lestari hutan mangrove dengan pendekatan optimasi berdasarkan status pada hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya seluas 84.843,08 ha. Hutan mangrove di wilayah ini terletak pada berbagai status, yaitu pada hutan lindung, hutan produksi dan areal penggunaan lain. Status kawasan mangrove ini seringkali menjadi perdebatan berbagai pihak apakah lebih baik kawasan dikelola sebagai kawasan hutan lindung, hutan produksi yang dikelola oleh swasta, areal penggunaan lain yang dikelola oleh masyarakat atau dengan kondisi saat ini HL, HP dan APL. Dengan kondisi tersebut, maka dilakukan optimasi dengan perhitungan nilai ekonomi total terhadap berbagai strategi pemanfaatan lestari kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya berdasarkan status lahannya. Berbagai alternatif strategi pengelolaan dan pemanfaatan tersebut adalah: 1 strategi pengelolaan seperti saat ini kombinasi HL, HP dan APL; 2 strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan mangrove tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung; 3 strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan mangrove tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi yang dikelola oleh swasta; dan 4 strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan mangrove tersebut ditetapkan sebagai areal penggunaan lain yang dikelola oleh koperasi untuk kebutuhan bahan baku arang mangrove. Tabel 40 Matrik hasil analisis optimasi kawasan dengan berbagai strategi pengelolaan mangrove di Kabupaten Kubu Raya No Jenis manfaat Alternatif Strategi Pengelolaan 1 Alternatif Strategi Pengelolaan 2 Alternatif Strategi Pengelolaan 3 Alternatif Strategi Pengelolaan 4 A Manfaat Langsung 1 Kayu komersial 20.431.077.775 - 60.671.708.317 - 2 Kayu bakar 117.960.462 - 117.917.014 117.917.014 3 Tiang pancang 1.700.130.938 - 1.700.130.938 1.700.130.938 4 Arang 2.755.191.314 - - 34.225.352.146 5 Biota perairan 52.896.900.443 54.855.757.588 46.949.015.170 46.949.015.170 6 Daun nipah 1.127.623.999 1.127.623.999 1.127.623.999 1.127.623.999 7 Bibit mangrove 377.308.669 118.494.054 1.169.198.194 - Jumlah A 79.406.193.599 56.101.875.641 111.735.593.631 84.120.039.266 B Manfaat Tidak Langsung 8 Pencegah abrasi 36.078.900.000 36.078.900.000 36.078.900.000 36.078.900.000 9 Penyerap karbon 14.751.224.610 16.515.463.198 11.810.140.732 6.542.117.295 10 Manfaat penyedia oksigen 54.185.956.627 69.674.104.985 49.967.624.590 27.679.099.550 11 Penahan intrusi 7.428.105.878 7.428.105.878 7.428.105.878 7.428.105.878 Jumlah B 112.444.187.115 129.696.574.060 105.284.771.199 77.728.222.723 C Manfaat Pilihan 10.945.253.416 11.527.236.146 10.321.329.120 10.321.329.120 D Manfaat Keberadaan 197.222.763.158 197.222.763.158 197.222.763.158 197.222.763.158 Total Manfaat 400.018.397.288 394.548.449.005 424.564.457.108 369.392.354.267 Keterangan : Alternatif strategi pengelolaan 1 : Strategi pengelolaan mangrove seperti saat ini Kombinasi Hutan Lindung, HPH dan APL; Alternatif strategi pengelolaan 2 : strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan mangrove tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung; Alternatif strategi pengelolaan 3 : strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan mangrove tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi yang dikelola oleh swasta IUPHHK Alternatif strategi pengelolaan 4 : strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan mangrove tersebut ditetapkan sebagai kawasan sebagai areal penggunaan lain yang dikelola oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan baku arang mangrove. Selanjutnya dari hasil perhitungan terhadap optimasi berdasarkan status kawasan dengan berbagai pilihan strategi pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1 Strategi pengelolaan hutan mangrove pada saat ini HL, HP dan APL Pada luasan mangrove 84.843,08 ha terdapat hutan lindung seluas 50.163,08 ha, hutan produksi yang dikelola oleh swasta seluas 28,230 ha dan Areal Penggunaan Lain yang dikelola oleh koperasimasyarakat seluas 6.000 ha. Dengan pengelolaan seperti saat HL, HP dan APL, maka diperoleh nilai total sebesar Rp. 400.018.397.288,- per tahun. Dengan luasan hutan lindung sekitar 50.163,08 ha, maka hutan lindung memberikan kontribusi sebesar Rp. 232.951.383.444,- pertahun atau Rp.18.381.549,-hatahun. Pada hutan lindung ini, manfaat keberadaan memberikan kontribusi terbesar jika dibandingkan dengan manfaat lainnya. Hal ini sesuai dengan fungsi hutan lindung terutama untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengeawetan keanekaragaman jenis. Kawasan hutan produksi seluas 28.230 ha memberikan kontribusi sebesar Rp. Rp. 138.936.349.723,- pertahun atau Rp. 50.211.945,-hatahun. Hutan produksi memberikan nilai manfaat langsung yang lebih tinggi dibanding dengan pengelolaan pada kawasan hutan mangrove lainnya yang memberikan kontribusi mencapai Rp. 31.985.197,- hatahun. Kawasan hutan mangrove pada Areal Penggunaan Lain seluas 6.000 ha memberikan kontribusi manfaat sebesar Rp. 28.130.664.120,- pertahun atau Rp. 30.465.053,-hatahun. Areal penggunaan lain terutama dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Batu Ampar untuk bahan baku arang mangrove. Jika dilihat dari manfaat bersih per hektar pertahunnya, maka terlihat bahwa kawasan hutan produksi yang dikelola oleh swasta memberikan nilai yang tertinggi dibandingkan yang lainnya, yaitu sebesar Rp. 50.211.945,-hatahun. Areal penggunaan lain memberikan nilai pertahunnya sebesar Rp. 30.465.053,- hatahun, sedangkan yang terkecil adalah manfaat bersih yang diberikan hutan lindung yang hanya sebesar Rp.18.381.549,-hatahun. Rendahnya nilai yang diberikan hutan lindung ini disebabkan oleh pemanfaatan kawasan hutan lindung yang belum banyak dilakukan seperti untuk kegiatan wisata, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu makanan, obat-obatan, satwa liar, madu dan lainnya. Dengan pengelolaan saat maka kelebihan yang diperoleh adalah manfaat yang diperoleh akan lebih beragam multiguna dengan adanya manfaat bagi swasta, masyarakat, perlidungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis. Sedangkan kelemahan dari sistem pengelolaan saat ini adalah kemampuan pemerintah yang terbatas dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang belum efisien dan tata kelola hutan belum sesuai dengan sistem silvikultur pada hutan mangrove. Nilai manfaat total mangrove bisa ditingkatkan dengan strategi: 1 optimalisasi pemanfaatan kawasan lindung yang belum banyak tergarap, baik pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan hasil hutan lainnya, 2 meningkatkan efisiensi pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat, 3 penertiban pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasannya dan, 4 peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. 2 Strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan ditetapkan menjadi hutan lindung Pada alternatif strategi pengelolaan dengan penetapan kawasan lindung seluas 84.843,08 ha, maka nilai yang diperoleh adalah Rp. 394.548.449.005,- pertahunnya. Nilai manfaat keberadaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan manfaat lainnya dengan nilai sebesar Rp. 197.222.763.158,- pertahunnya. Nilai manfaat keberadaan ini diperoleh dari rata-rata kesedian responden untuk membayar eksistensi mangrove di kawasan ini sebesar Rp. 2.324.561,40,- hatahun. Namun demikian manfaat langsung akan menurun drastis jika dibandingkan dengan alternatif lainnya. Hal ini dimungkinkan dengan hilangnya manfaat dari kayu komersil, tiang pancang, kayu bakar dan bahan baku arang. Sementara itu manfaat lain yang bisa diperoleh pada kawasan lindung seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, serta Pemanfaatan Hutan masih belum optimal diperoleh. Strategi yang harus dilakukan dalam rangka optimalisasi nilai manfaat hutan lindung adalah: 1 pemanfaatan kawasan budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa atau budidaya hijauan ternak, 2 Pemanfaatan jasa lingkungan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, penyerapan atau penyimpanan karbon, 3 Pemungutan hasil hutan bukan kayu rotan, madu, getah, buah, jamur, sarang burung walet, dan 4 penertiban pemanfaatan yang tidak sesuai untuk hutan lindung. Keuntungan penetapan dengan strategi pengelolaan hutan lindung adalah adanya peningkatan manfaat tidak langsug hutan mangrove jika dibandingkan dengan alternatif lainnya. Hal ini dimungkinkan dengan kondisi mangrove yang tetap dapat berfungsi optimal sebagai penyedia oksigen, pencegah abrasi, penyimpan karbon, maupun sebagai penahan intrusi air laut. Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah hilangnya nilai manfaat langsung yang akan diperoleh masyarakat atau industri kehutanan. Kelemahan lainnya adalah adanya keterbatasan pemerintah dalam pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, pemanfaaat hasil hutan lainnya, pengamanan dan monitoring kawasan. 3 Strategi pengelolaan mangrove jika seluruh kawasan ditetapkan menjadi hutan produksi yang dikelola oleh swasta IUPHHK Dari hasil perhitungan terhadap berbagai strategi pengelolaan diatas dengan menggunakan nilai ekonomi total, maka diperoleh nilai tertinggi adalah alternatif pengelolaan mangrove menjadi hutan produksi yang dikelola oleh perusahaan swasta. Nilai ekonomi total yang akan diperoleh adalah sebesar Rp. 424.564.457.108,- pertahun. Nilai manfaat total ini dipengaruhi oleh nilai manfaat kayu komersil yang cukup besar jika dibandingkan dengan alternatif lainnya yaitu sebesar Rp. 60.671.708.317,- pertahunnya. Perhitungan nilai kayu komersil disesuaikan dengan kondisi pengelolaan hutan yang dilakukan oleh kedua perusahaan swasta saat ini. Dengan luasan mangrove 84.843,08 ha, maka areal efektif untuk kayu komersil adalah 69 atau seluas 58.542 ha. Daur yang dipergunakan dalam pengelolaan mangrove pada hutan produksi adalah 30 tahun, sehingga dengan luasan efektif tersebut diperoleh luas tebang tahunan adalah 1.951 ha. Potensi tegakan yang dapat ditebang setelah meninggalkan 40 pohon tegakan induk adalah 138,21 m 3 ha, sehingga diperoleh volume produksi pertahun adalah 215.767 m 3 . Dengan harga kayu komersil sebesar Rp. 509.405m 3 , akan diperoleh nilai manfaat kayu komersil sebesar Rp. 109.912.515.066,- pertahun. Dengan dikurangi biaya pengelolaan hutan mangrove oleh swata saat ini sebesar 46,12, maka manfaat kayu komersil yang diperoleh adalah Rp. 60.671.708.317,- pertahunnya. Keuntungan yang diperoleh dari strategi pengelolaan ini adalah adanya kontribusi manfaat bagi pemerintah melalui dana reboisasi, provisi sumberdaya hutan, pajak, penyerapan tenaga kerja dan pembinaan masyarakat lokal. Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah berkurangnya akses bagi masyarakat dalam pemanfaatan kayu, pengurangan tangkapan hasil perikanan, berkurangnya manfaat tidak langsung hutan mangrove untuk penghasil oksigen dan penyimpan karbon sebagai akibat penebangan mangrove. Sistem silvikultur pohon induk sesuai dengan SK Dirjen Kehutanan No. 60 tahun 1978, masih menjadi sistem pengelolaan hutan produksi mangrove di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Kusmana 1994 di Kalimantan Timur dan Fairus 1996 dalam LPP Mangrove 2008 di Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa sistem silvikultur ini masih layak digunakan dalam pengelolaan hutan produksi mangrove di Indonesia. Penurunan kerapatan akan terjadi pada umur 0 – 5 tahun setelah tebangan dan setelah itu akan berangsur- angsur bertambah dan kerusakan permudaaan maupun pohon secara berangsur pulih. Dengan kondisi tersebut maka luasan mangrove yang tidak dapat berfungsi optimal untuk penyimpan karbon, penghasil oksigen dan penghasil nutrien bagi biota adalah seluas tebangan mangrove selama 5 tahun yaitu 9.756,9 ha. Sedangkan manfaat mangrove sebagai pencegah abrasi dan pencegah intrusi air laut masih bisa dipertahankan dengan keberadaan kawasan lindung sempadan pantai dan sempadan sungai. Dengan pilihan ini, maka strategi yang harus dilakukan adalah: 1 penerapan sistem silvikultur yang sesuai untuk hutan mangrove, 2 penerapan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, 3 akses yang terbuka terhadap masyarakat sekitar dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu yang pemanfaatannya dilakukan secara lestari. 4 Strategi pengelolaan mangrove jika ditetapkan menjadi Areal Penggunaan Lain yang dikelola oleh KoperasiMasyarakat untuk kebutuhan bahan baku arang dan lainnya. Dengan penetapan kawasan hutan mangrove pada areal penggunaan lain yang dikelola oleh koperasi atau masyarakat, maka nilai manfaat bersih yang akan diperoleh adalah sebesar Rp. 369.392.354.267 pertahunnya. Pemanfaatan kawasan mangrove terutama diperuntukkan untuk penyediaan bahan baku arang mangrove. Nilai ini merupakan nilai manfaat yang terendah jika dibandingkan dengan alternatif pengelolaan lainnya. Hal ini disebabkan oleh mahalnya ongkos biaya pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang mencapai 70, ini lebih mahal jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh swasta yang hanya sekitar 45 dan hutan lindung yang hanya sekitar 30. Industri arang mangrove di Kabupaten Kubu Raya telah berlangsung sejak lama. Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat di Desa Batu Ampar menyebutkan bahwa berdirinya Batu Ampar tidak terlepas dari keberadaan industi arang. Tahun 1906 diperkirakan Belanda masuk ke Batu Ampar, dan mereka mengambil kulit kayu bakau untuk penyamak kulit. Diperkirakan pada tahun 1913 mulai berdiri dapur arang yang dipelopori oleh masyarakat dari etnis Cina. Sedangkan pendirian dapur arang di Kecamatan Kubu diperkirakan pada tahun 1918. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, indutri arang diatur dengan memberikan hak pengelolaan hutan mangrove petak-petak pemilihan hutan bakau. Setelah tahun 1945 sampai dengan 1965, hak pengelolan hutan mangrove diteruskan dengan adanya Surat Ijin dari Pemerintah Daerah Pontinak. Produksi arang mangrove terutama untuk memenuhi bahan bakar memasak dan membuat kue. Selanjutnya tahun 1971-1985, ijin pemanfaatan hutan mangrove dikeluarkan terutama untuk ekspor log. Pada periode waktu ini indsutri arang mulai surut karena penggunaan minyak tanah dan kompor untuk memasak. Dalam rangka mengatur pemanfaatan kayu mangrove, pemerintah Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 1992 mengeluarkan Daftar Edaran Kayu untuk Industri Kecil DEKIK. Namun upaya pengaturan dari pemerintah tersebut kurang mendapatkan perhatian karena harga arang yang relatif rendah. Pada tahun 1997 jumlah dapur arang arang berjumlah 134 dapur arang dengan kapasitas 521 ton. Sekitar 110 dapur arang dalam kondisi baik dan 24 dalam kondisi rusak berat. Pada tahun 2000, jumlah dapur tetap dengan kondisi baik hanya sekitar 85 buah dan 49 dapur lainnya dalam kondisi rusak dengan kapasitas 422,7 ton LPP Mangrove 2000. Jumlah dapur arang ini meningkat tajam pada tahun 2008 menjadi 227 dapur LPP Mangrove 2008, dan meningkat menjadi 263 dapur pada tahun 2012. Peningkatan ini disebabkan semakin meningkatnya harga dan peluang pasar dengan tujuan ekspor. Jika tidak dibatasi atau diatur maka pengambilan kayu mangrove untuk bahan baku arang akan semakin meningkat dan lokasi pengambilan kayu tidak akan cukup pada areal koperasi di areal penggunaan lain, tetapi juga menyasar pada hutan lindung dan hutan produksi. Teknologi pembuatan arang mangrove di Kubu Raya merupakan teknologi tradisional yang mengadopsi dari Negara Cina. Alokasi waktu kegiatan pembuatan arang mangrove bervariasi sesuai dengan ukuran dapur arangnya. Untuk kapasitas arang 5-6 ton, maka alokasi waktu pembuatan arang mangrove adalah sekitar 40 hari dengan rincian sebagai berikut: - Penataan kayu. Kegiatan ini meliputi pembersihan dapur arang, perbaikan, pemasukan dan penataan kayu ke dalam dapur arang. Kegiatan ini memerlukan waktu sekitar 2,5 -3 hari dan dikerjakan oleh 3 orang tenaga kerja. - Pembakaran. Kegiatan ini memerlukan watu 20-24 hari dan dikerjakan oleh 1 orang tenaga kerja. Pada 5 hari pertama diperlukan bahan bakar yang cukup dan pembakaran stabil dengan suhu dalam tungku mencapai 180 o C. - Pemadaman. Kegiatan ini memerlukan waktu sekitar 10 hari dengan tenaga kerja 1 orang. - Pembongkaran dan pengepakan. Kegiatan ini memerlukan waktu 3 hari dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 5 orang. Setiap pemilik dapur arang memiliki tenaga kerja khusus sebagai pencari kayu. Lokasi pengambilan berada di sekitar dapur arang dengan lokasi pengambilan sekitar 5 km. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan kayu adalah mesin chain saw, kapak dan tongkang perahu khusus untuk mengangkut kayu. Cara penebangan kayu mengikuti alur-alur atau sungai. Jika tidak terdapat alur atau sungai, maka penebang membersihkan akar dan tumbuhan bawah, agar dapat dilalui tongkang saat air pasang. Sistem tersebut dikenal dengan sistem “Retas Sistem”. Pelaksanaan teknik “Retas Sistem” pada prisipnya merupakan sistem eksploitasi kayu dengan memanfaatkan alur-alur sungai kecil yang terdapat dalam hutan mangrove untuk pengangkutan kayu bahan baku arang. Jika areal seluas 84.843,08 ha diperuntukkan sebagai penyedia bahan baku arang yang dikelola oleh masyarakat atau koperasi maka nilai total hutan mangrove adalah Rp. 369.392.354.267,- pertahun. Nilai ini merupakan sumbangan dari manfaat keberadaan Rp.197.222.763.158,- pertahun, manfaat langsung Rp. 84.120.039.266,- pertahun, manfaat tidak langsung Rp. 77.728.222.723,- pertahunnya dan manfaat pilihan sebesar Rp. 10.321.329.120,- pertahun. . Keuntungan dari strategi pengelolaan ini adalah terakomodasikannya kepentingan masyarakat sekitar untuk industri arang bakau dan penyerapan tenaga kerja. Dengan luasan mangrove tersebut, siklus tebangan 30 tahun, areal efektif 69, potensi tegakan yang dapat diambil sebanyak 138,21 m 3 perhektar, faktor ekploitasi 0,8, maka akan diperoleh bahan baku sebanyak 215.767 m 3 pertahunnya. Jika dikonversi untuk bahan baku arang maka berat bahan baku tersebut adalah 259.920 ton. Dengan rendemen arang 20 , maka bahan baku tersebut dapat menghasilkan 51.784 ton pertahunnya. Jika strategi ini yang diterapkan, maka kapasitas arang saat ini bisa dinaikkan sebanyak 12 kali lipat. Namun demikian kelemahan dari strategi ini adalah tingginya biaya pemanfaatan hutan oleh masyarakat, keterbatasan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan mangrove kapasitas SDM, modal, kelembagaan dan lainnya, lemahnya pemahaman terhadap sistem silvikultur hutan mangrove. Strategi ini juga menyebabkan hilangnya sebagian fungsi mangrove sebagai nursery, penyimpan karbon, penyedia oksigen dan nutrien bagi biota perairan. Dengan demikian strategi pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat adalah: 1 efisiensi pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, 2 peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam silvilkultur hutan mangrove, 3 penerapan kriteria dan indikator pengelolaan hutan mangrove yang lestari, dan 4 peningkatan akses masyarakat terhadap permodalan.

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan

1. Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya adalah yang tertinggi jika dibandingkan dengan manfaat hutan mangrove lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Kabupaten Kubu Raya memberikan penilaian yang tinggi terhadap keberadaan dan eksistensi kawasan hutan mangrove pada saat ini maupun pada masa yang akan datang. 2. Secara ekonomis, pengelolaan hutan produksi yang dikelola oleh swasta IUPHHK memberikan nilai yang lebih besar dan efisien jika dibandingkan dengan pengelolaan pada kawasan hutan lindung dan areal penggunaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan kawasan lainnya hutan lindung dan areal penggunaan lain belum secara optimal dilakukan. 3. Untuk meningkatkan nilai manfaat mangrove saat ini di Kabupaten Kubu Raya maka strategi pengelolaan yang harus dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi manfaat pada kawasan hutan lindung pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu, efesiensi biaya pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat, penerapan sistem silvikultur hutan mangrove yang sesuai, dan penerapan kriteria dan indikator pengelolaan hutan mangrove lestari.

6.2 Saran

1. Belum semua kawasan dimanfaatkan secara optimal terutama hutan lindung, sehingga perlu penelitian lanjutan tentang berbagai alternatif pemanfaatan hutan lindung secara optimal sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 2. Meskipun pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh swasta masih memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi dan lebih efisien, namun demikian hasil kayu ternyata hanya memberikan kontribusi sekitar 11,6 dari total nilai manfaat yang diberikan pertahunnya. Dengan kondisi ini, maka pengelolaan ekosistem mangrove di Kubu Raya harus dilakukan dengan