Pemanfaatan Mangrove di Hutan Produksi

Pemanfaatan hutan lindung sendiri diatur dalam beberapa peraturan perundangan seperti yang tercantum dalam Peraturan Perundangan No. 62007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Pada pasal 17 ayat 1 disebutkan bahwa “pemanfaatan hutan pada hutan lindung dapat dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu ”. Pada ayat 2 selanjutnya disebutkan bahwa dalam blok perlindungan dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan seperti pada ayat 1. Dengan kondisi tersebut, terlihat bahwa pemanfaatan areal hutan lindung di Kabupaten Kubu Raya masih ada yang tidak sesuai dengan peruntukannya seperti pembukaan tambak, pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang, tiang pancang, kayu bakar, dan areal pemukiman. Penetapan kawasan lindung saat ini masih dipermasalahkan oleh masyarakat setempat terutama di Desa Dabung yang merasa tidak dilibatkan dalam proses penunjukan kawasan dan masyarakat telah lebih dahulu berada dalam kawasan hutan lindung tersebut. Lokasi Hutan Lindung di Kecamatan Batu Ampar, Kubu dan Teluk Pakedai bisa dilihat pada Gambar 5.

5.2.2 Pemanfaatan Mangrove di Hutan Produksi

Berdasarkan analisis terhadap citra landsat Path 121 Row 60 dan Path 121 Row 61 data Agustus 2011 dan peta SK Menteri Kehutanan No. 259Kpts- II2000, maka luasan hutan produksi yang memiliki hutan mangrove di lokasi studi adalah 41.262,89 ha. Hanya di dua kecamatan yang terdapat hutan produksi yang bervegatasi hutan mangrove, yaitu di Kecamatan Batu Ampar dengan luas 19.075,31 ha dan Kecamatan Kubu dengan luas 22.187.58 ha. Saat ini terdapat dua perusahaan yang memiliki IUPHHK dengan luas total 28,230 ha dengan rincian 10.100 ha dikelola dan dimanfaatkan oleh PT. BIOS dan 18.130 ha oleh PT. Kandelia Alam Gambar 6. 61 Gambar 6 Peta lokasi sebaran pemanfaatan ekosistem mangrove pada hutan produksi Sebelum tahun 1982, sebagian wilayah mangrove di Kabupaten Kubu Raya merupakan konsesi HPH PT. Bumi Indonesia Jaya, HPH PT. Pelita Rimba Alam, HPH PT. Kalimantan Sari dan HPH PT. Kayu Batang Karang. Kegiatan eksploitasi ini sempat terhenti dengan dikeluarkannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat dan tidak tersedianya industri pengolahan kayu pada saat itu. Selanjutnya pada tahun 1996 sampai tahun 2002 kegiatan eksplotasi mangrove dilakukan oleh PT. Inhutani II di areal bekas tebangan HPH PT. Kalimantan Sari yang berada di kelompok hutan Kubu, Sungai Keluang dan Pulau Maya. Sejak tahun 2002 di lokasi tersebut PT. BIOS melakukan eksplotasi kayu mangrove dengan luas 10.100 ha, sedangkan pada kelompok hutan Sei Radak dan Sei Sepada dimanfaatkan oleh PT. Kandelia Alam seluas 18.130 ha. Pemanfaatan yang teridentifikasi pada hutan produksi yang dikelola oleh swasta adalah pengambilan kayu komersil, kayu bakar, tiang pancang, arang bakau, biota perairan, daun nipah, bibit mangrove, pencegah abrasi, penyerap dan penyimpan karbon, penghasil oksigen, penahan intrusi air laut, manfaat pilihan dan eksistensi keberadaan kawasan. Pemanfaatan kayu mangrove oleh swasta dipergunakan untuk bahan baku industri chip yang terdapat di Desa Batu Ampar. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi mangrove di dalam kawasan hutan produksi saat ini masih didasarkan pada sistem silvikultur hutan mangrove sesuai dengan SK Dirjen Kehutanan No. 60 tahun 1978 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau. Sistem silvikultur yang diterapkan dengan sistem ini adalah sistem pohon induk “seed tree method” dengan meninggalkan sekitar 40 pohon sebagai pohon induk. Secara garis besar, sistem tersebut adalah sebagai berikut: 1 Rotasi tebang adalah 30 tahun, rencana kerja tahunan RKT dibagi ke dalam 100 ha blok tebangan dan setiap blok tebangan dibagi lagi kedalam 10 sampai 50 ha petak tebang. Rotasi tebangan dapat dimodifikasi oleh pemegang konsesi yang didasarkan pada kondisi habitat, keadaan ekologi dan tujuan pengelolaan hutan setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan. 2 Sebelum penebangan, pohon-pohon dalam blok tersebut harus diinventarisasi dengan menggunakan systematic strip sampling dengan sebuah jalur selebar 10 m dan jarak diantara rintisan jalur lebih kurang 200 m. Inventarisasi harus dilakukan oleh pihak pemegang konsesi. Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut, Direktorat Jenderal Kehutanan akan menetapkan apakah hutan tersebut layak untuk ditebang atau tidak. Bila hutan tersebut layak ditebang, maka Direktorat Jenderal Kehutanan akan menentukan Annual Allowable Cut AAC. 3 Pohon-pohon yang ditebang harus mempunyai diameter sekurang- kurangnya 10 cm pada ketinggian 20 cm di atas akar penunjang atau setinggi dada. Hanya kampak, parang, dan gergaji mekanik digunakan untuk menebang pohon. 4 Penebangan dilakukan dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha, atau dengan jarak antara pohon rata-rata 17 m. Diamater pohon induk adalah 20 cm yang diukur pada ketinggian 20 cm di atas pangkal banir bagi jenis Bruguiera spp dan Ceriops spp. atau di atas pangkal akar tunjang yang teratas bagi Rhizophora spp. Pada umur 15-20 tahun, setelah penebangan dilakukan penjarangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun. 5 Pengeluaran kayu dari dalam hutan dilakukan dengan perahu melalui sungai, alur air atau parit selebar 1,5 m dengan jarak satu sama lain kurang dari 200 m. Pengeluaran kayu ini dapat juga dilakukan dengan lori melalui jalan rel. . 6 Luas tempat penimbunan kayu termasuk tempat pembakaran arang dibatasi 0,1 ha tiap 10 ha areal penebangan. 7 Wilayah yang permudaannya rusak seperti bekas tempat penebangan pohon, kiri-kanan parit, bekas jalan rel, dan bekas tempat penimbunan kayu harus ditanami jenis pohon anggota Rhizophoraceae. 8 Membuat jalur hijau green belt selebar kurang lebih 50 m di sepanjang tepi pantai, dan 10 m di sepanjang tepi sungai, saluran air dan jalan-jalan utama. Sehubungan dengan jalur hijau mangrove, pada tahun 1990 Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. 507IV-BPHH1990 mengenai penentuan lebar jalur hijau mangrove selebar 200 m di sepanjang garis pantai dan 50 m di sepanjang pinggir sungai. Berdasarkan hasil studi ekologi di Sungai Saleh, Sumatera Selatan, Soerianegara et al. 1986 menyarankan lebar jalur hijau mangrove sama dengan 130 kali perbedaan rata-rata tahunan antara pasang tertinggi dengan surut terendah. Hasil penelitian ini tertuang dalam Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

5.2.3 Pemanfaatan Mangrove di Areal Penggunaan Lain