7.2.1 Variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Produktivitas 7.2.1.1 Usia
Pada taraf nyata satu persen, usia berpengaruh nyata terhadap tingkat
produktivitas kerja buruh pengolahan. Hal ini dapat dilihat dari nilai t
hitung
variabel ini sebesar |-2.85| yang berarti lebih besar dari t
tabel
pada persamaan ini sebesar 2.576. Pada dasarnya usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
produktivitas. Dengan bertambahnya usia, pengetahuan buruh pengolahan pun akan semakin baik sehingga diharapkan buruh pengolahan dapat bekerja lebih
baik lagi daripada tahun sebelumnya. Variabel usia memiliki nilai koefisien regresi sebesar –0.3800 yang artinya
apabila usia bertambah 1 tahun, maka produktivitas kerja akan menurun sebesar 0.3800 kgHKE. Tanda koefisien regresi variabel ini tidak sesuai dengan hipotesis
yang diharapkan, yaitu usia diharapkan berpengaruh positif terhadap tingkat produktivitas kerja. Hal ini disebabkan karena peningkatan produktivitas kerja
hanya sampai pada usia tertentu saja dimana selanjutnya jika usia bertambah, maka produktivitas menurun. Penurunan ini dapat disebabkan oleh kondisi fisik
dan kesehatan akan menurun seiring bertambahnya usia sehingga berdampak menurunnya tingkat produktivitas kerja. Berdasarkan hasil kuisioner terlihat
bahwa pada usia 35-50 tahun buruh pengolahan mampu bekerja dalam jumlah produksi melebihi kapasitas yang ditetapkan pihak perkebunan, sehingga dapat
dikatakan bahwa batas peningkatan produktivitas adalah pada usia 50 tahun. Pada usia di atas 50 tahun kemungkinan yang terjadi adalah produktivitas kerja akan
menurun. Nilai VIF sebesar 2.8 menunjukkan bahwa peubah usia tidak memiliki
masalah multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya sehingga dapat diperkirakan besarnya nilai koefisien variabel ini.
7.2.1.2 Masa Kerja Berdasarkan hasil pengolahan data pada taraf nyata lima persen
menunjukkan bahwa variabel masa kerja berpengaruh nyata terhadap besarnya produktivitas kerja. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai t
hitung
pada variabel ini sebesar 2.56, yang berarti lebih besar dari nilai t
tabel
yang diperoleh dari persamaan ini sebesar 1.960. Lamanya masa kerja buruh pengolahan dalam melakukan
pekerjaannya sebagai buruh pengolahan di PTPN VIII Kebun Rancabali akan dapat meningkatkan tingkat produktivitas kerja. Dengan bertambahnya masa kerja
buruh pengolahan setiap tahunnya, diharapkan buruh pengolahan dapat bekerja dengan lebih baik, lebih cepat dan teliti karena pengalaman bekerja setiap harinya
akan membuat buruh pengolahan tersebut menjadi terbiasa dalam melihat setiap perubahan yang terjadi dalam setiap proses pengolahan teh. Hal ini disebabkan
karena setiap bagian dalam proses pengolahan teh, akan mempunyai hasil yang berbeda secara indrawi dilihat, diraba, dan dicium.
Nilai koefisien regresi variabel masa kerja sebesar 2.722. Tanda positif pada nilai koefisien regresi ini menunjukkan apabila terjadi penambahan
pengalaman kerja sebanyak 1 tahun, maka produktivitas kerja akan meningkat sebesar 2.722 kgHKE. Hal ini sesuai dengan hipotesis masa kerja, yaitu apabila
semakin lama buruh pengolahan bekerja di perkebunan akan dapat meningkatkan tingkat produktivitas kerjanya. Sedangkan bila dilihat dari nilai VIF sebesar 2.5,
dapat dijelaskan bahwa variabel ini tidak memiliki masalah multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya.
7.2.1.3 Status Kerja
Dalam model regresi yang dipakai, variabel status kerja dinyatakan dalam bentuk dummy dimana buruh pengolahan tetap diberi nilai 1 dan untuk buruh
pengolahan berstatus lepas diberi nilai 0. Nilai koefisien regresi variabel status kerja sebesar 5.610. Tanda positif pada nilai koefisien regresi ini menunjukkan
bahwa beda jumlah produksi kering rata-rata antara buruh tetap dengan buruh lepas sebesar 5.610 kgHKE, dimana hasil produksi kering dari buruh pengolahan
tetap lebih banyak dibandingkan jumlah produksi kering dari buruh pengolahan lepas.
Dari hasil pengolahan data pada taraf nyata lima persen, status kerja berpengaruh nyata terhadap tingkat produktivitas kerja. Hal ini dapat dilihat dari
nilai t
hitung
yang diperoleh dari persamaan ini sebesar 2.53. Sesuai dengan hipotesa status kerja, yaitu buruh pengolahan berstatus tetap akan mempunyai tingkat
produktivitas kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh pengolahan berstatus lepas. Selain itu, nilai VIF sebesar 2.2 menunjukkan bahwa variabel ini
tidak memiliki masalah multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya. Perbedaan produktivitas kerja ini disebabkan karena antara buruh
pengolahan tetap dengan buruh pengolahan lepas ada perbedaan dalam hal pemberian fasilitas seperti fasilitas kesehatan, asuransi tenaga kerja, upah social
ataupun dana pensiun, dimana buruh pengolahan lepas tidak memperoleh semua fasilitas seperti yang diterima oleh buruh pengolahan tetap. Hal ini dapat
menyebabkan buruh pengolahan lepas tidak bersemangat dalam bekerja, karena buruh lepas tersebut hanya mendapatkan gaji pokok saja dari pihak perkebunan,
tanpa mendapatkan fasilitas yang ada di perkebunan.
7.2.1.4 Jumlah Tanggungan Keluarga Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian diperoleh pada tingkat
kepercayaan 95 persen variabel ini berpengaruh nyata terhadap besarnya tingkat produktivitas kerja. Hal ini pun ditunjukkan oleh besarnya nilai t
hitung
dari variabel ini sebesar 0.041 yang berarti lebih besar dari nilai t
tabel
pada taraf nyata lima persen yaitu sebesar 1.960. Sedangkan nilai VIF sebesar 2.7 menunjukkan bahwa
variabel ini tidak memiliki masalah multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya.
Melalui hasil regresi diperoleh nilai koefisien regresi variabel jumlah tanggungan keluarga sebesar 1.6896 dimana setiap penambahan 1 orang yang
harus dibiayai maka produktivitas akan meningkat sebesar 1.6896 kgHKE. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana dengan bertambahnya jumlah tanggungan
keluarga, maka produktivitas kerja pun akan meningkat. Buruh pengolahan yang mempunyai jumlah tanggungan keluarga banyak,
akan mempunyai tingkat produktivitas kerja yang lebih besar daripada buruh pengolahan yang mempunyai junlah tanggungan keluarga sedikit ataupun yang
tidak mempunyai tanggungan keluarga. Hal ini disebabkan karena semakin banyak jumlah tanggungan keluarga dari buruh pengolahan, maka akan semakin
besar pula biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya, sehingga buruh
pengolahan harus mencari penghasilan yang lebih besar lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya dengan cara bekerja dengan lebih giat lagi.
7.2.1.5 Jumlah Pendapatan Pokok
Hasil regresi menunjukkan bahwa nilai koefisien untuk variabel ini sebesar 2.206. Satuan yang digunakan dalam variabel ini adalah Rp 00.000tahun, maka
peningkatan pendapatan pokok buruh pengolahan sebesar Rp 100.000 per tahun akan menyebabkan tingkat produktivitas kerja meningkat sebesar 2.206 kgHKE.
Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah pendapatan pokok sebagai buruh pabrik setiap bulannya, maka akan
semakin tinggi tingkat produktivitas kerja, karena akan memacu buruh pengolahan untuk lebih giat lagi dalam bekerja. Jumlah pendapatan pokok yang
diterima buruh pengolahan, berhubungan langsung dengan sistem kerja yang dilakukan oleh buruh tersebut. Semakin sering buruh pengolahan melakukan
sistem kerja borongan, maka akan semakin besar pula pendapatan pokok yang akan diterimanya.
Hasil pengolahan data penelitian diperoleh bahwa pada tingkat kepercayaan 95 persen variabel ini berpengaruh nyata terhadap besarnya
produktivitas kerja. Selain itu, hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai t
hitung
yang diperoleh dari variabel ini sebesar 2.19 yang berarti lebih besar daripada t
tabel
persamaan ini sebesar 1.960 pada taraf nyata lima persen. Selain itu nilai VIF sebesar 2.2 berarti bahwa variabel ini tidak memiliki masalah multikolinearitas
dengan variabel lainnya.
7.2.1.6 Bonus Akhir Tahun
Hasil pengolahan data pada tingkat kepercayaan 95 persen, bonus akhir tahun berpengaruh nyata terhadap tingkat produktivitas kerja. Hal ini dapat dilihat
dari nilai t
hitung
yang diperoleh sebesar 2.13 yang berarti lebih besar dari nilai t
tabel
yang diperoleh dari persamaan ini sebesar 1.960. Berdasarkan keterangan diatas, hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin banyak bonus akhir tahun
yang diterima akan meningkatkan produktivitas kerjanya. Bonus akhir tahun biasanya diberikan sekali setahun dan dilaksanakan
pada akhir tahun. Besarnya jumlah bonus akhir tahun yang akan diterima oleh buruh pengolahan didasarkan kepada keuntungan pihak perkebunan setiap
tahunnya biasanya sebesar dua atau tiga kali gaji pokok. Bonus akhir tahun yang diberikan setahun sekali, mampu meningkatkan produktivitas kerja buruh
pengolahan, hal ini disebabkan karena jumlah bonus yang akan diterima oleh buruh pengolahan tersebut termasuk dalam jumlah yang besar. Hal ini
menyebabkan buruh pengolahan merasa tertantang untuk bekerja lebih baik dan lebih giat lagi sehingga bonus akhir tahun yang akan diterimanya nanti akan lebih
besar pula.
Variabel bonus akhir tahun memiliki koefisien 2.173. Satuan yang
digunakan untuk variabel ini adalah Rp 00.000tahun, maka peningkatan bonus akhir tahun yang diterima buruh pengolahan sebesar Rp 100.000 per tahun akan
menyebabkan tingkat produktivitas meningkat sebesar 2.173 kgHKE. Nilai VIF yang diperoleh adalah sebesar 3.2 menunjukkan bahwa variabel ini tidak memiliki
masalah multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya.
7.2.1.7 Kepuasan Kompensasi
Kepuasan kompensasi ini dilakukan berdasarkan kepuasan buruh pengolahan dalam menerima kompensasi yang diberikan oleh pihak perkebunan.
Kompensasi yang diberikan oleh pihak perkebunan tersebut dapat berupa upah tetap, tunjangan, bonus akhir tahun, ataupun fasilitas lainnya yang diberikan oleh
pihak perkebunan seperti perumahan ataupun madrasah. Dari hasil pengolahan data pada tingkat kepercayaan 90 persen, kepuasan
kompensasi yang diterima berpengaruh nyata terhadap besarnya tingkat produktivitas kerja, hal ini dapat dilihat dari nilai t
hitung
yang diperoleh dari persamaan ini adalah 1.85 yang berarti lebih besar dari nilai t
tabel
sebesar 1.645. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin tinggi kepuasan kompensasi
yang diterima akan semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya. Pada umumnya, buruh pengolahan sudah merasa puas dengan kompensasi yang diterimanya setiap
bulannya baik itu dilihat dari gaji pokok, tunjangan ataupun fasilitas yang diberikan oleh pihak perkebunan. Walaupun ada juga buruh lepas yang tidak
memperoleh tunjangan, namun mereka merasa puas dengan nilai gaji pokok yang diterimanya setiap bulan. Bila mereka sering melakukan borongan, maka gaji
pokok yang akan diterimanya pun akan cukup besar. Nilai koefisien regresi untuk variabel kepuasan kompensasi yang diterima
oleh buruh pengolahan adalah 0.0598, artinya semakin puas buruh pengolahan menerima kompensasi yang diterimanya, yang dapat dilihat dengan bertambahnya
satu nilai total skor dari buruh pengolahan akan dapat meningkatkan tingkat produktivitas kerja sebesar 0.0598 kgHKE. Berdasarkan nilai VIF yang diperoleh
untuk variabel kepuasan kompensasi sebesar 2.4 menunjukkan bahwa variabel ini tidak memiliki masalah multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya.
7.2.1.8 Hubungan Atasan dengan Bawahan
Hubungan atasan dengan bawahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kedekatan antara buruh pengolahan dengan mandornya. Hubungan
kedekatan ini dinilai berdasarkan frekuensi konflik, frekuensi komunikasi, frekuensi pemberian bantuan dalam bekerja dan tanggapan terhadap pengawasan
yang dilakukan mandor terhadap buruh pengolahan. Dari hasil pengolahan data pada tingkat kepercayaan 85 persen, hubungan
atasan dengan bawahan berpengaruh nyata terhadap besarnya tingkat produktivitas kerja. Setelah diuji dengan uji t maka dihasilkan nilai P-value
sebesar 0.124. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin menyenangkan hubungan dengan mandor akan semakin tinggi pula tingkat
produktivitasnya. Pada umumnya, buruh pengolahan mempunyai hubungan yang menyenangkan dengan mandor, tetapi ada pula yang menilai biasa saja. Buruh
pengolahan merasa bila hubungannya dengan mandor cukup baik akan dapat membuat buruh tersebut merasa betah dan nyaman saat bekerja sehingga mereka
tidak akan sungkan untuk bertanya saat bekerja bila ada yang tidak mereka mengerti mengenai pengolahan teh.
Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel hubungan atasan dengan bawahan ini mempunyai nilai koefisien regresi sebesar 0.6040. Hal ini berarti
semakin menyenangkan hubungan atasan dengan bawahan maka akan meningkatkan produktivitas kerja sebesar 0.6040 kgHKE. Berdasarkan nilai VIF
yang diperoleh untuk variabel hubungan atasan dengan bawahan sebesar 1.5 menunjukkan bahwa variabel ini tidak memiliki masalah multikolinearitas dengan
variabel bebas lainnya.
7.2.1.9 Sistem Kerja
Hasil pengolahan data penelitian, diperoleh bahwa pada tingkat kepercayaan 80 persen variabel ini berpengaruh nyata terhadap tingkat
produktivitas. Selain itu ditunjukkan oleh besarnya t
hitung
yang dari variabel ini sebesar 1.31 yang berarti lebih besar dari nilai t
tabel
sebesar 1.282 pada taraf nyata dua puluh persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin sering
buruh pengolahan melakukan sistem kerja borongan maka akan semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya. Sistem kerja borongan dilakukan apabila pucuk
basah yang diterima oleh bagian pengolahan melebihi 40 ton hari. Buruh pengolahan yang sering melakukan sistem kerja borongan, akan
mempunyai nilai produktivitas yang tinggi. Hal ini disebabkan karena sistem kerja borongan dilakukan bila jumlah pucuk basah yang diterima setiap harinya
melebihi 40 ton hari sehingga secara otomatis nilai produksi kering yang dihasilkan oleh buruh bagian pengolahan pun akan semakin besar jumlahnya.
Dari hasil analisis regresi didapat koefisien untuk variabel sistem kerja sebesar 0.554. Dalam model regresi yang dipakai, variabel sistem kerja ini
dinyatakan dalan bentuk dummy dimana untuk sistem bekerja borongan diberi nilai 1 dan nilai 0 untuk sistem kerja harian. Dengan koefisien regresi 0.554
berarti perbedaan jumlah produksi kering rata-rata antara sistem borongan dengan sistem harian adalah sebesar 0.554 kgHKE dimana hasil produksi kering dengan
sistem borongan lebih banyak dibandingkan dengan sistem harian. Sedangkan nilai VIF diperoleh sebesar 2.1, hal ini berarti variabel ini tidak memiliki masalah
multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya.
7.2.1.10 Tunjangan Gaji
Pada taraf nyata 20 persen, tunjangan berpengaruh nyata terhadap tingkat produktivitas. Hal ini dapat dilihat dari nilai t
hitung
variabel ini sebesar |-1.38| yang berarti lebih besar dari t
tabel
pada persamaan ini sebesar 1.282. Berdasarkan keterangan di atas, hal ini sesuai dengan hipotesis awal yaitu buruh pengolahan
yang menerima dan semakin besar jumlah tunjangan yang diperoleh akan meningkatkan tingkat produktivitas kerja dibandingkan yang tidak memperoleh
tunjangan. Buruh pengolahan yang menerima tunjangan merasa bahwa besarnya nilai tunjangan yang diberikan oleh pihak perkebunan cukup membantu besarnya
pengeluaran keluarga setiap bulannya, walaupun belum berarti besar. Peningkatan nilai tunjangan akan disesuaikan dengan peningkatan golongan buruh pengolahan
tersebut, biasanya peningkatan golongan dilakukan setiap satu tahun sekali. Namun ada juga yang tidak mengalami peningkatan golongan, hal ini disebabkan
karena buruh pengolahan tersebut dinilai tidak baik dalam bekerjanya. Hasil regresi menunjukkan nilai koefisien variabel ini sebesar –0.646. Hal
ini menunjukkan bahwa peningkatan dalam jumlah tunjangan yang diterima sebesar Rp 100.000 per tahun akan menurunkan tingkat produktivitas sebesar
0.646 kgHKE. Berdasarkan nilai VIF yang diperoleh adalah sebesar 1.5 menunjukkan bahwa peubah nilai tunjangan tidak memiliki masalah
multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya sehingga dapat diperkirakan besarnya nilai koefisien variabel ini.
7.2.2 Variabel yang Tidak Berpengaruh Nyata Terhadap Produktivitas 7.2.2.1 Jenis Kelamin