Mekanisme Kerja Sabun Sabun
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
heksadekanoat C
16
H
32
O
2
. Berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin; larut dalam 20
bagian etanol 95 P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P Departemen Kesehatan RI, 1979. Asam stearat berperan dalam memberikan
konsistensi dan kekerasan pada sabun Mitsui, 1997. d.
Gliserin Gliserin merupakan cairan jernih seperti sirop, tidak berwarna, tidak
berbau, manis diikuti rasa hangat dan higroskopis. Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol 95 P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam
eter P dan dalam minyak lemak Departemen Kesehatan RI, 1979. Gliserin digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi 30. Gliserin dapat
berubah warna menjadi hitam dihadapan cahaya atau kontak dengan zink oksida atau bismuth nitrat dasar Rowe et al., 2006. Menurut Mitsui 1997,
gliserin telah lama digunakan sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan kelembaban kulit.
Adanya humektan dapat mengubah ketidakstabilan sabun batang, sehingga memodifikasi persepsi
konsumen dari produk sebagai produk pembilas yang bersih Barel et al., 2009.
e. Butylated hydroxytoluene BHT
Berupa serbuk hablur padat, putih, bau khas dan lemah. BHT praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol, larutan hidroksida alkali dan
dilute aqueous asam mineral; sangat larut dalam aseton, benzena, etanol 95, eter, metanol, toluen, fixed oils dan minyak mineral. Digunakan sebagai
antioksidan untuk minyak dan lemak dengan konsentrasi 0,02 Rowe et al., 2006.
Basis sabun dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi misalnya oleat, linoleat, dan linolenat dan adanya aditif sabun tertentu,
seperti pengaroma, cenderung menjadi rentan terhadap perubahan oksidatif atmosfer yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, preservative agen chelating
dan antioksidan diperlukan untuk mencegah dari terjadinya oksidasi. Antioksidan yang paling umum digunakan dalam hubungannya dengan
chelating agent pada sabun batangan adalah butylated hydroxytoluene BHT Barel et al., 2009.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
f. Triklosan
Triklosan berupa serbuk putih kristal halus, memiliki titik leleh pada suhu 57
C dan terlindung dari cahaya. Triklosan praktis tidak larut dalam air; larut dalam alkohol, dalam aseton, dan metil alkohol; sedikit larut dalam
minyak. Triklosan adalah antiseptik bisfenol klorinasi, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif tetapi memiliki aktivitas rendah
terhadap Pseudomonas spp serta aktif juga terhadap jamur. Triklosan biasa digunakan sebagai antimikroba atau pengawet dalam produk sabun, krim dan
larutan dalam konsentrasi sampai 2 Sweetman, 2009. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan 2008, triklosan
digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik dengan konsentrasi maksimal 0,3. Sabun batang sangat efektif dalam menghilangkan microbial flora
yang diketahui menyebabkan infeksi kulit, jerawat, dan bau tak sedap selama proses mencuci atau mandi. Penambahan antimikroba pada sabun batang
memberi manfaat untuk penggunaan jangka panjang, terutama antara mencuci dan mandi. Karena masalah keamanan dari berbagai antimikroba yang
digunakan dalam sabun batangan, jumlah agen antimikroba yang digunakan mengalami penurunan sejak tahun 1970an. Trichlorocarbanilide TCC,
trikloro difenil hidroksietil triclosan, dan para-chloro m-xylenol PCMX yang umum digunakan dalam sabun batangan saat ini. TCC sebagian besar
efektif terhadap bakteri gram positif sedangkan triclosan dan PCMX telah terbukti efektif terhadap kedua bakteri gram positif dan gram negatif Barel et
al., 2009. g.
Kokamidopropil betain Alkil
betain adalah
turunan N-trialkil
asam amino
[R
1
R
2
R
3
]N
+
CH
2
COOH, yang diklasifikasikan sebagai kationik karena menunjukkan muatan positif permanen. Karena betain juga memiliki
kelompok fungsional bermuatan negatif dalam kondisi pH netral dan basa, maka disebut sebagai surfaktan amfoterik. Muatan positif dari betain berasal
dari nitrogen kuartener sedangkan situs anioniknya berasal dari karboksilat betaine, sulfat sulfobetaine atau sultaine, atau fosfat phospho betaine atau
phostaine Paye et al., 2006.