UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
emulsifikasi dan pembersih Mitsui, 1997. Menurut Standar Nasional Indonesia 1994, sabun mandi adalah senyawa natrium dengan asam lemak
yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa dengan atau penambahan zat lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit.
Menurut Cavith 2001, molekul sabun terdiri dari rantai karbon, hidrogen dan oksigen yang disusun dalam bagian kepala dan ekor. Bagian
kepala merupakan gugus hidrofilik rantai karboksil yang berfungsi untuk mengikat air, sedangkan bagian ekor merupakan gugus hidrofobik rantai
hidrokarbon yang berfungsi untuk mengikat kotoran dan minyak Purnamawati, 2006.
Gambar 2.3 Pembentukan lapisan tipis diatas permukaan air Purnamawati, 2006
Komposisi asam lemak yang sesuai dalam pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada umumnya, panjang rantai yang
kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaannya karena dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih dari 18 atom karbon
membentuk sabun yang sukar larut dan sulit menimbulkan busa. Terlalu besar bagian asam lemak tak jenuh akan menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi
bila terkena udara Maripa dkk, 2015.
2.4.2 Metode Pembuatan Sabun
Secara umum, metode pembuatan sabun terbagi menjadi dua, yaitu: a. Reaksi penyabunan saponifikasi, yaitu reaksi antara minyak atau lemak
dengan alkali menghasilkan gliserol dan asam lemak sabun Parasuram, 1995.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Reaksi kimia pada proses saponifikasi trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.2
Minyak atau lemak Alkali Sabun
Gliserol Gambar 2.4 Reaksi saponifikasi trigliserida Mitsui, 1997
Minyak ataupun lemak yang digunakan sama saja, perbedaannya hanya saja minyak secara umum berbentuk cairan sedangkan lemak berbentuk
padat pada suhu kamar Parasuram, 1995. Alkali yang biasa digunakan dalam pembuatan sabun padat adalah natrium hidroksida, sedangkan kalium
hidroksida digunakan dalam pembuatan sabun cair atau shampo Mitsui, 1997. b. Reaksi netralisasi, yaitu minyak dan lemak masing-masing diubah menjadi
asam lemak melalui proses splittinghydrolysis dan menghasilkan asam lemak yang dapat bereaksi dengan soda kaustik NaOHalkali menghasilkan sabun
dan air Parasuram, 1995. Reaksi kimia pada proses netralisasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar
2.5
Asam lemak Alkali
Sabun Air
X = Na, K Gambar 2.5 Reaksi netralisasi asam lemak Mitsui, 1997
Pada reaksi netralisasi, sabun dihasilkan dari reaksi asam lemak langsung dengan alkali Mitsui, 1997.
2.4.3 Mekanisme Kerja Sabun
Menurut Rosen, MJ 1978, tiga elemen penting dalam mekanisme kerja sabun adalah tempat substratnya berasal kulit manusia, pakaian, alat
gelas dan perkakas lainnya, jenis kotoran yang dibersihkan padat atau minyak, kepolaran, sifat elektrolit dan lain sebagainya serta kemampuan
membersihkan dari sabun itu sendiri Handayani, 2009.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mekanisme pembersihan sabun dapat dijelaskan sebagai berikut: Saat kontak dengan air, sabun berpenetrasi ke dalam antarmuka kulit
dan kotoran untuk melemahkan gaya adhesi dan membuat kotoran mudah untuk dihilangkan. Kotoran tersebut kemudian dihilangkan secara fisik dan
kemudian terdispersi dalam larutan sabun sebagai akibat dari emulsifikasi oleh molekul sabun. Beberapa jenis kotoran dapat dihilangkan dengan cara
tersolubilisasi dalam misel yang terbentuk dari sabun Mitsui, 1997. Menurut Wasiaatmadja, S,M 1997 dan Brady, JE 1999,
untuk membersihkan kotoran yang berupa minyak, pembilasan dengan air saja tidak
cukup. Dibutuhkan zat lain untuk menurunkan tegangan antar muka antara minyak dengan air. Dengan adanya sifat surfaktan pada sabun, terjadi proses
emulsifikasi sehingga bagian yang polar hidrofilik berikatan dengan air dan bagian non polar lipofilik berikatan dengan minyak. Bagian non polar dari
sabun memecah ikatan antar molekul minyak sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan. Akibatnya air dapat menyebar membasahi seluruh
permukaan dan mengangkat kotoran Handayani, 2009.
2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun
Pada umumnya, sabun dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali Anggraeni, 2014. Disamping itu juga digunakan bahan
tambahan lain seperti surfaktan, humektan, antioksidan, agen antimikroba, pewarna, parfum, skin conditioners, dan bahan tambahan khusus seperti
processing aids, binders gum and resin, fillers, exfoliants, antiacne, dan
anti-irritants Barel et al., 2009. Bahan aditif atau bahan tambahan berguna untuk meningkatkan minat konsumen terhadap produk sabun Setyoningrum,
2010. Banyak perbedaan minyak dan lemak yang digunakan sebagai bahan
baku untuk sabun, dan penggunaannya dalam formula diputuskan dengan pertimbangan karakteristik dan tujuan sabun yang akan dibuat Mitsui, 1997.
Penggunaan bahan yang berbeda akan menghasilkan sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia Anggraeni, 2014. Menurut Fessenden
1997, lemak dan sabun dari asam lemak jenuh dan rantai jenuh panjang C16-C18 menghasilkan sabun keras dan minyak dari asam lemak tak jenuh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan rantai pendek C12-C14 menghasilkan sabun yang lebih lunak dan lebih mudah larut Sari dkk, 2010.
Menurut Hambali et al 2005, ada 2 jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun padat batangan dan sabun cair. Sabun padat dibedakan atas 3 jenis,
yaitu sabun opaque, translucent, dan transparan Hernani dkk, 2010. Berikut merupakan uraian bahan-bahan dasar sabun bentonit
: a.
Minyak Kelapa Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang paling
penting yang digunakan dalam pembuatan sabun. Barel et al., 2009. Minyak
kelapa adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan endosperm kering Cocos nucifera L Departemen Kesehatan RI, 1979.
Keuntungan dari minyak kelapa adalah memberikan sabun padat dengan warna yang terang
dan busa berlimpah. Tingkat penggunaan tergantung pada kelas sabun mandi dan bervariasi dalam kisaran 6-20 Parasuram, 1995. Sifat fisikokimia
minyak kelapa dijelasan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa Departemen Kesehatan RI,
1979
Karakteristik Nilai
Indeks Bias pada 40 C
1,448-1,450 Bilangan Asam penetapan
dilakukan menggunakan 20 g Tidak lebih dari 0,2
Bilangan Iodium 7-11
Bilangan Penyabunan 250-264
Zat Tak Tersabunkan Tidak lebih dari 0,8
Berdasarkan kandungan asam lemaknya, minyak kelapa digolongkan ke dalam minyak asam laurat Thomssen McCutheon, 1949, karena
kandungan asam laurat di dalamnya paling besar jika dibandingkan asam lemak lain. Menurut Lakey 1941, asam laurat mampu memberikan sifat
pembusaan yang sangat baik, oleh karenanya asam laurat sangat diperlukan dalam pembuatan produk sabun. Busa yang dihasilkan banyak dan sangat
lembut namun stabilitasnya relatif rendah busa cepat hilang atau tidak tahan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lama. Sabun yang dihasilkan dari asam laurat memiliki ketahanan yang tidak terlalu besar, artinya sabun batang yang dihasilkan tidak cukup keras
Anggraeni, 2014. Berikut komposisi jenis asam lemak dari minyak kelapa dan sifat sabun yang dihasilkan dari masing-masing jenis asam lemak:
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa dan Sifat Yang Ditimbulkan Pada Sabun Miller, 2003
Asam Lemak
Rumus Kimia Konsentrasi
Sifat yang ditimbulkan
pada sabun
Asam Laurat
CH
3
CH
2 10
COOH 39-54
Mengeraskan, membersihkan,
menghasilkan busa lembut
Asam Miristat
CH
3
CH
2 12
COOH 15-23
Mengeraskan, membersihkan,
menghasilkan busa lembut
Asam Palmitat
CH
3
CH
2 14
COOH 6-11
Mengeraskan, menstabilkan
busa
Asam Oleat
CH3CH
2 7
CH=CH CH
2 7
COOH 4-11
Melembabkan Asam
Stearat CH
3
CH
2 16
COOH 1-4
Mengeraskan, menstabilkan
busa
Asam Linoleat
CH3CH
2 4
CH=C HCH
2 2
CH
2 6
COO H
1-2 Melembabkan
b. NaOH
Menurut Mitsui 1997, sabun yang dibuat dari natrium hidroksida dikenal dengan sebutan sabun keras hard soap, sedangkan sabun yang
dibuat dari KOH dikenal dengan sebutan sabun lunak soft soap. Karena pada penelitian ini akan dibuat sabun padat, maka alkali yang digunakan
adalah NaOH. Natrium hidroksida memiliki berat molekul 40 serta merupakan basa kuat yang larut dalam air dan etanol Departemen Kesehatan
RI, 1979. c.
Asam Stearat Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari
lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat C
18
H
36
O
2
dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
heksadekanoat C
16
H
32
O
2
. Berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin; larut dalam 20
bagian etanol 95 P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P Departemen Kesehatan RI, 1979. Asam stearat berperan dalam memberikan
konsistensi dan kekerasan pada sabun Mitsui, 1997. d.
Gliserin Gliserin merupakan cairan jernih seperti sirop, tidak berwarna, tidak
berbau, manis diikuti rasa hangat dan higroskopis. Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol 95 P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam
eter P dan dalam minyak lemak Departemen Kesehatan RI, 1979. Gliserin digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi 30. Gliserin dapat
berubah warna menjadi hitam dihadapan cahaya atau kontak dengan zink oksida atau bismuth nitrat dasar Rowe et al., 2006. Menurut Mitsui 1997,
gliserin telah lama digunakan sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan kelembaban kulit.
Adanya humektan dapat mengubah ketidakstabilan sabun batang, sehingga memodifikasi persepsi
konsumen dari produk sebagai produk pembilas yang bersih Barel et al., 2009.
e. Butylated hydroxytoluene BHT
Berupa serbuk hablur padat, putih, bau khas dan lemah. BHT praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol, larutan hidroksida alkali dan
dilute aqueous asam mineral; sangat larut dalam aseton, benzena, etanol 95, eter, metanol, toluen, fixed oils dan minyak mineral. Digunakan sebagai
antioksidan untuk minyak dan lemak dengan konsentrasi 0,02 Rowe et al., 2006.
Basis sabun dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi misalnya oleat, linoleat, dan linolenat dan adanya aditif sabun tertentu,
seperti pengaroma, cenderung menjadi rentan terhadap perubahan oksidatif atmosfer yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, preservative agen chelating
dan antioksidan diperlukan untuk mencegah dari terjadinya oksidasi. Antioksidan yang paling umum digunakan dalam hubungannya dengan
chelating agent pada sabun batangan adalah butylated hydroxytoluene BHT Barel et al., 2009.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
f. Triklosan
Triklosan berupa serbuk putih kristal halus, memiliki titik leleh pada suhu 57
C dan terlindung dari cahaya. Triklosan praktis tidak larut dalam air; larut dalam alkohol, dalam aseton, dan metil alkohol; sedikit larut dalam
minyak. Triklosan adalah antiseptik bisfenol klorinasi, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif tetapi memiliki aktivitas rendah
terhadap Pseudomonas spp serta aktif juga terhadap jamur. Triklosan biasa digunakan sebagai antimikroba atau pengawet dalam produk sabun, krim dan
larutan dalam konsentrasi sampai 2 Sweetman, 2009. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan 2008, triklosan
digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik dengan konsentrasi maksimal 0,3. Sabun batang sangat efektif dalam menghilangkan microbial flora
yang diketahui menyebabkan infeksi kulit, jerawat, dan bau tak sedap selama proses mencuci atau mandi. Penambahan antimikroba pada sabun batang
memberi manfaat untuk penggunaan jangka panjang, terutama antara mencuci dan mandi. Karena masalah keamanan dari berbagai antimikroba yang
digunakan dalam sabun batangan, jumlah agen antimikroba yang digunakan mengalami penurunan sejak tahun 1970an. Trichlorocarbanilide TCC,
trikloro difenil hidroksietil triclosan, dan para-chloro m-xylenol PCMX yang umum digunakan dalam sabun batangan saat ini. TCC sebagian besar
efektif terhadap bakteri gram positif sedangkan triclosan dan PCMX telah terbukti efektif terhadap kedua bakteri gram positif dan gram negatif Barel et
al., 2009. g.
Kokamidopropil betain Alkil
betain adalah
turunan N-trialkil
asam amino
[R
1
R
2
R
3
]N
+
CH
2
COOH, yang diklasifikasikan sebagai kationik karena menunjukkan muatan positif permanen. Karena betain juga memiliki
kelompok fungsional bermuatan negatif dalam kondisi pH netral dan basa, maka disebut sebagai surfaktan amfoterik. Muatan positif dari betain berasal
dari nitrogen kuartener sedangkan situs anioniknya berasal dari karboksilat betaine, sulfat sulfobetaine atau sultaine, atau fosfat phospho betaine atau
phostaine Paye et al., 2006.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Betain adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah dan pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik.
Betain memiliki efek iritasi yang rendah pada mata dan kulit, bahkan dengan adanya betain dapat menurunkan efek iritasi surfaktan anionik. Hal ini
terbukti dari penelitian Teglia dan Secchi 1994, cocamidopropril betaine dapat menurunkan iritasi dengan efek yang mirip dengan wheat protein ketika
ditambahkan ke dalam larutan sodium lauryl sulfate. Baik wheat protein maupun cocamidopropyl betaine dapat melindungi kulit dari iritasi Barel et
al., 2009. h.
Parfum fragrance Fragrance merupakan bahan aditif yang penting pada produk
cleansing yang dapat memengaruhi penerimaan konsumen. Penggunaan fragrance umumnya untuk menutupi karakteristik bau dari asam lemak atau
fase minyak. Fragrance yang digunakan tidak boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan produk akhir. Jumlah fragrance yang
digunakan pada sabun batangan biasanya berkisar dari 0,3 kulit sensitif sampai 1,7 untuk sabun deodorant Barel et al., 2009.
2.4.5 Syarat Mutu Sabun Mandi Menurut SNI
Spesifikasi persyaratan mutu yang harus dipenuhi pada produk sabun mandi menurut SNI 06-3532-1994 disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Syarat Mutu Sabun Mandi Standar Nasional Indonesia, 1994
No. Uraian
Satuan Tipe 1
Tipe 2 Superfat
1. Kadar Air
Maks. 15 Maks. 15
Maks. 15 2.
Jumlah Asam Lemak
10 64-70
70 3.
Alkali bebas dihitung sebagai
NaOH Maks. 0,1
Maks. 0,1 Maks. 0,1
4. Asam lemak
bebas dan atau lemak netral
2,5 2,5
2,5 – 7,5
5. Minyak Mineral
- Negatif
Negatif Negatif
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5 Natrium Lauril Sulfat
Natrium lauril sulfat NLS adalah campuran dari natrium alkil sulfat, natrium dodesil sulfat, C
12
H
25
SO
4 -
Na
+
, sangat larut dalam air pada suhu kamar dan digunakan dalam farmasi sebagai pembersih kulit sebelum
operasi, yang memiliki sifat bakteriostatik terhadap bakteri Gram-positif bakteri dan juga dugunakan pada shampoo. NLS juga merupakan komponen
dari emulsifying wax Attwood et al., 2012. Natrium Lauril Sulfat termasuk kedalam golongan surfaktan anionik.
Natrium Lauril Sulfat NLS memiliki panjang rantai karbon 12 dan merupakan salah satu surfaktan yang paling umum. Surfaktan ini kurang
ditoleransi oleh kulit. Ketika panjang rantai meningkat, yakni di kisaran C14- C18, penetrasi surfaktan melalui stratum korneum menurun seiring dengan
potensi iritasi dan kapasitas busa yang menurun. Rantai dengan jumlah karbon yang lebih rendah dari 12 ditoleransi lebih baik oleh kulit daripada
SLS tetapi menunjukkan bau yang lebih menonjol. Kombinasi dengan surfaktan lain dapat meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap kulit
sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik. Lauril sulfat tersedia dalam bentuk berbagai garam: SLS, amonium lauril sulfat ALS, magnesium lauril
sulfat [Mg LS 2], dan trietanolamin lauril sulfat teals. Toleransi lauril sulfat terhadap kulit berturut-turut sebagai berikut: Mg LS 2 teals NLS
ALS Paye et al., 2006.
2.6 Bentonit
Tanah yang digunakan dalam formulasi sabun untuk menyucikan najis mughalladzah pada penelitian ini adalah bentonit. Menurut Husnain
2010, tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat butiran mineral-mineral padat dan dari bahan-bahan organik yang melapuk
Anggraeni, 2014. Berdasarkan zahir hadis, hukum menyamak dengan tanah
pada tempat yang terkena najis mughalladzah, Nabi Muhammad SAW tidak memperincikan bentuk dan keadaan tanah yang boleh digunakan untuk
menyucikan najis mughalladzah. Ini seolah-olah menunjukkan semua jenis tanah yang ada di atas muka bumi ini boleh digunakan untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyamak. Imam Al-Sharbini menyebutkan semua jenis tanah sekalipun debu pasir Mughni al-
Muhtaj, Juzu’ 1, Hlm 137. Tanah yang dicampur dengan benda asing tidaklah menjadi halangan selama ia tidak mengubah
keaslian tanah dan suci. Sedangkan
dari aspek tanah yang digunakan, Rasulullah SAW tidak pernah menyatakan lapisan tanah yang ke berapa perlu
digunakan, karena pada asasnya tanah atau pasir adalah suci Fatwa Malaysia, 2006.
Bentonit adalah koloid aluminium silikat terhidrasi terutama terdiri dari montmorilonite Al
2
O
3
.4SiO
2
.H
2
O, mungkin juga mengandung kalsium, magnesium dan besi. Bentonit berupa kristal, mineral seperti clay, tidak
berbau, kuning pucat hingga krem keabu-abuan, berbentuk bubuk halus yang bebas dari gift. Terdiri dari partikel sekitar 1-2 mm. Dalam bidang farmasi,
bentonit biasanya digunakan untuk memformulasi suspensi, gel dan sol. Selain itu juga digunakan untuk mensuspensikan serbuk dalam sediaan cair
dan mempersiapkan basis krim yang mengandung agen pengemusi minyak dalam air Rowe et al., 2009.
Bentonit merupakan jenis tanah liat dengan proporsi mineral montmorillonit mineral tanah liat yang tinggi, yang dihasilkan dari
dekomposisi abu vulkanik. Dengan plastisitas tinggi, bentonit sangat menyerap air dan memiliki susut tinggi dan swelling charateristics Asad et
al., 2013.
2.7 Sifat Fisika Kimia Sabun
Secara umum, sifat fisik dalam sabun terdiri dari kekerasan, stabilitas busa, bilangan titer, mudah dibilas Girgis, 1998, tegangan
permukaan, tegangan antar muka dan stabilitas emulsi Bird, 1998. Sedangkan sifat kimia pada sabun umumnya berupa pH, kadar air, jumlah
asam lemak total, alkali bebas, asam lemak bebas dan minyak mineral Girgis, 1998 dalam Anggraeni, 2014.
a. Kekerasan
Kekerasan menggambarkan ketahanan terhadap kerusakan mekanis. Bila sabun terlalu lunak, maka akan sukar untuk ditekan pada proses
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
finishing Barel et al., 2009. Kekerasan sabun dipengaruhi oleh asam lemak jenuh yang digunakan pada pembuatan sabun. Asam lemak jenuh merupakan
asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap, tetapi memiliki titik cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak yang memiliki ikatan
rangkap. Asam lemak jenuh biasanya berbentuk padat pada suhu ruang, sehingga akan menghasilkan sabun yang lebih keras Gusviputri et al., 2013.
b. pH
Sabun pada umumnya mempunyai pH sekitar 10 Mitsui, 1997. Sabun yang baik memiliki pH yang tidak jauh dari pH normal kulit yaitu
5,5-6,5 sampai pH netral 7. Wasitaatmadja 1997 menjelaskan bahwa pH merupakan parameter yang sangat penting dalam suatu produk kosmetik
karena pH dari kosmetik yang dipakai mempengaruhi daya absorbsi kulit. Kosmetik dengan pH yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat
meningkatkan daya absorbsi kulit sehingga kulit menjadi teriritasi Ayu et al., 2010.
c. Busa
Busa adalah suatu dispersi koloid dimana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan Schramn, 2005. Busa merupakan salah satu
parameter penting dalam penentuan mutu sabun mandi. Pada peng- gunaannya, busa berperan dalam proses pembersihan dan melimpahkan
wangi sabun pada kulit. Adanya senyawa tidak jenuh asam lemak tidak jenuh dalam campuran minyak, tidak akan menstabilkan busa Gromophone,
1983 dalam Hernani et al., 2010. d.
Kadar Air Menurut Spitz 1996, banyaknya air yang ditambahkan pada sabun
akan berpengaruh terhadap kelarutan sabun. Semakin banyak air yang terkandung dalam sabun maka sabun akan semakin mudah menyusut pada
saat digunakan Hernani et al., 2010. Prinsip dari pengujian kadar air dalam sabun adalah pengukuran kekurangan berat setelah pengeringan pada suhu
105 C SNI, 1994.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Jumlah Asam Lemak
Jumlah asam lemak adalah keseluruhan asam lemak baik asam lemak yang terikat dengan natrium maupun asam lemak bebas ditambah
lemak netral trigliserida netral lemak yang tidak tersabunkan. Untuk sabun yang mengandung banyak zat organik seperti silikat dan titandioksida
dipergunakan cara ekstraksi dengan dietil eter atau petroleum eter SNI, 1994.
f. Asam Lemak Bebas atau Alkali Bebas
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada dalam contoh sabun, tetapi yang tidak terikat sebagai senyawa natrium maupun senyawa
trigliserida lemak netral. Adanya asam lemak bebas dapat diperiksa apabila pada pengujian alkali bebas ternyata tidak terjadi warna merah dari indikator
phenolphtalein setelah pendidihan dalam alkohol netral. Asam lemak bebas yang melarut dalam alkohol netral selanjutnya dititrasi dengan KOH
alkoholis SNI, 1994. g.
Minyak Mineral Minyak mineral tidak mungkin dapat disabunkan seperti halnya
asam lemak bebas dan lemak netral, sehingga meskipun sudah disabunkan dengan KOH berlebihan akan tetap sebagai minyak dan pada penambahan air
akan terjadi emulsi antara air dan minyak yang ditandai adanya kekeruhan SNI, 1994.
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Formulasi Sediaan Semi Solid dan Liquid Fakultas Farmasi Universitas Pancasila dan Laboratorium Non Pangan, Balai
Pengujian Mutu Barang, Ciracas Jakarta Timur. Penelitian berlangsung selama 4 bulan, dari bulan Maret hingga bulan Mei 2016.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Timbangan analitik, termometer, penetrometer, vortex, penjepit kayu, magnetic stirrer, hot plate, batang pengaduk, pipet tetes, kaca arloji,
spatula, pot, cetakan sabun, oven, pH meter dan alat-alat gelas kimia lainnya.
3.2.2 Bahan
Bentonit Shadong Bio-technology, gliserin Shadong Bio- technology, Natrium hidroksida Shadong Bio-technology, asam stearat