Tujuan Umum Tujuan Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jilatan tersebut harus dibasuh lagi hingga diyakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh kali Ad-Dimasyqi, 2001. Imam Maliki berpendapat lain
bahwa anjing adalah suci Ad-Dimasyqi, 2001, namun bejana bekas jilatan anjing dibasuh sebanyak tujuh kali bukanlah karena najis melainkan karena
ta’abbud beribadah Mughniyah, 2015. Menurut empat mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki dalam
buku Fiqh Lima Mazhab 2015, disebutkan bahwa babi hukumnya sama seperti anjing yaitu najis dan cara menyucikannya dengan dibasuh sebanyak
tujuh kali, satu diantaranya dengan tanah Mughniyah, 2015. c. Najis Mutawassithah ialah najis sedang berupa najis yang selain dari
dua najis tersebut di atas, seperti segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang seperti kotoran manusia, darah, bangkai
selain bangkai manusia, ikan dan belalang, nanah kecuali air mani, barang cair yang memabukkan dan susu hewan yang tidak halal
dimakan Rifa’i, 2006. Adapun najis mutawassithah ini dibagi menjadi dua:
1. Najis ‘ainiyah yaitu najis yang dapat diketahui rasa, warna, atau
baunya seperti darah, nanah, air kencing dan sebagainya. Cara menyucikan benda najis atau benda yang terkena najis ini dilakukan
dengan cara membersihkannya dengan air secara merata sampai hilang rasa, warna atau bau benda najis itu atau benda yang
terkena najis, kecuali bau atau warna yang sangat sukar dihilangkan, maka dapat dimaafkan Zurinal dan Aminuddin, 2008.
2. Najis hukmiyah yaitu najis yang diyakini ada tetapi tidak dapat lagi diketahui rasa, warna atau baunya. Contohnya kencing yang sudah
kering sehingga sifat-sifatnya sudah hilang. Cara menyucikan benda yang sudah terkena najis hukmiyah ini ialah cukup dengan
menyiramkan air pada tempat yang terkena najis itu dan tidak dituntut untuk dicuci seperti mencuci benda yang terkena najis
‘ainiyah Zurinal dan Aminuddin, 2008.