Peran Orang Tua Dalam Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan Televisi Pada Anak di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa

(1)

PERAN ORANG TUA DALAM PENINGKATAN PEMAHAMAN TERHADAP TAYANGAN TELEVISI

(Studi Kasus Literasi Media tentang Peran Orang Tua Sebagai Pendamping Anak dalam Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan Televisi di Lingkungan III,

Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi

Diajukan Oleh : BUDI HARIANTI

060904084

Program Studi : Jurnalistik

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Peran Orang Tua Dalam Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan Televisi Pada Anak di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah orang tua dan anaknya yang berusia sekitar 6 sampai 12 tahun di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat literasi (melek) media orang tua memiliki peran penting dalam peningkatan pemahaman yang dimiliki oleh anak, di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa. Orang tua, melalui keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif, dan kesamaan terhadap anak, dalam menanamkan pengetahuannya tentang melek media pada anak, mendorong anak untuk dapat lebih memahami apa yang ditonton olehnya, tujuannya menonton, serta memperkya pengetahuan yang dimilikinya. Selanjutnya, terdapat penjelasan dari orang tua tentang tayangan apa yang layak ditonton, layak ditiru, atau layak ditinggalkan dan diantisipasi untuk tidak dikonsumsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh kerangka berpikir serta kerangka pengalaman yang dimiliki oleh orang tua, yang menempatkan tayangan televisi sebagai hal yang dapat dipelajari lebih jauh. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa untuk dapat menanamkan pemahaman tentang tayangan televisi pada diri anak dibutuhkan komunikasi antar pribadi yang efektif dan berlangsung dua arah artinya anak mengerti apa yang diinginkan oleh orang tua dan sebaliknya orang tua berusaha untuk memahami anak mereka agar terjalin komunikasi yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan, serta dilengkapi dengan kecakapan melek media yang memadai dari orang tua agar lebih dapat mendampingi anak dalam menelusuri nilai-nilai yang terkandung dalam tayangan televisi, serta tindakan selanjutnya terhadap nilai-nilai tersebut.


(3)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulisan skripsi yang berjudul “Peran Orang Tua dalam Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan Televisi Pada Anak ” ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses pengerjaan skripsi ini penulis telah memperoleh banyak pengalaman, baik ketika pengumpulan data di lapangan maupun saat melakukan olah data. Penulis juga mendapat saran, bimbingan dan pengarahan baik yang bersifat moril maupun materil serta dorongan dan semangat dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Secara khusus penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Alm. H. Sugianto, yang tidak lagi mendampingi penulis, tetapi rasa sayangnya masih sangat penulis rasakan hingga saat ini, dan ibunda Hj.Kartinem yang telah memberikan segala pengorbanannya bagi penulis. Kemudian kepada abang dan kakak penulis, Edy Sumandri, S.P., Sri Susmayanti, S.T., Hadianto, S.T., Ayu Desmawati, S.E., Suheri Tri Anugraha, S.Sos, dan Wan Rika, S.Pd, terima kasih atas segalanya.

Ucapan terima kasih juga ingin penulis haturkan kepada ::

1. Prof. Dr. M. Arif Nasution , MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(4)

2. Drs. Amir Purba, MA selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi serta Dra. Dewi Kurniawati, MSi selaku Sekretaris Departemen Imu Komunikasi sekaligus Dosen Wali, atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat berguna dan bermanfaat bagi penulis

3. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran maupun bimbingan selama pengerjaan skripsi ini

4. Kak Maya, Kak Icut dan Kak Ros yang telah membantu penulis

5. Kepada Ibu dan Bapak penjaga perpustakaan yang senantiasa membukakan pintu perpustakaan dalam mencari literatur guna pengerjaan skripsi ini

6. Kepada teman-teman tersayang (Fifah, Dedek, Ila, Rifa, Ika, Dini, Dinda, dan Deya,) yang telah memberikan persahabatan, suka maupun duka kepada penulis, dan semoga kisah kita abadi..

7. Kepada teman-teman seperjuangan Ilmu Komunikasi 2006 dan semua pihak yang belum dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.

Medan, Juni 2010


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ……….i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI...………..iv

BAB I PENDAHULUAN………. 1

I.1 Latar Belakang Masalah……… 1

I.2 Perumusan Masalah………... 9

I. 3 Pembatasan Masalah………... 9

I. 4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………10

I.5 Kerangka Teori……….11

I.5.1 Komunikasi………...11

I.5.2 Komunikasi Antar Pribadi………....13

I.5.3 Komunikasi Massa………..16

I.5.3.1 Televisi……….18

I.5.4 Literasi Media ……….19

I.5.5 UU No. 32 dan P3SPS………..…… ..27

I.6 Kerangka Konsep………29

I.7 Model Teoretis……….30


(6)

BAB II URAIAN TEORETIS………. 26

II.1 Komunikasi……….35

II.2 Komunikasi Antar Pribadi………..37

II.3 Komunikasi Massa……….48

II.3.2 Televisi……….. …………50

II.3.4 Program Acara di Televisi……….52

II.4 Literasi Media………. 55

II.5. UU No. 32 dan P3SPS………64

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………71

III.1 Metode Penelitian………. 71

III.2 Lokasi Penelitian……….. 74

III.3 Subjek Penelitian……….. 74

III.4 Teknik Pengumpulan Data………75

III.5 Teknik Analisis Data……….76

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………78

IV.1 Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 78

IV.2 Hasil Wawancara……….. 82

IV.3 Pembahasan………..139

BAB V PENUTUP……….. 152

V.1 Kesimpulan………... 152

V.2 Saran………... 153 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Peran Orang Tua Dalam Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan Televisi Pada Anak di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah orang tua dan anaknya yang berusia sekitar 6 sampai 12 tahun di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat literasi (melek) media orang tua memiliki peran penting dalam peningkatan pemahaman yang dimiliki oleh anak, di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa. Orang tua, melalui keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif, dan kesamaan terhadap anak, dalam menanamkan pengetahuannya tentang melek media pada anak, mendorong anak untuk dapat lebih memahami apa yang ditonton olehnya, tujuannya menonton, serta memperkya pengetahuan yang dimilikinya. Selanjutnya, terdapat penjelasan dari orang tua tentang tayangan apa yang layak ditonton, layak ditiru, atau layak ditinggalkan dan diantisipasi untuk tidak dikonsumsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh kerangka berpikir serta kerangka pengalaman yang dimiliki oleh orang tua, yang menempatkan tayangan televisi sebagai hal yang dapat dipelajari lebih jauh. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa untuk dapat menanamkan pemahaman tentang tayangan televisi pada diri anak dibutuhkan komunikasi antar pribadi yang efektif dan berlangsung dua arah artinya anak mengerti apa yang diinginkan oleh orang tua dan sebaliknya orang tua berusaha untuk memahami anak mereka agar terjalin komunikasi yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan, serta dilengkapi dengan kecakapan melek media yang memadai dari orang tua agar lebih dapat mendampingi anak dalam menelusuri nilai-nilai yang terkandung dalam tayangan televisi, serta tindakan selanjutnya terhadap nilai-nilai tersebut.


(8)

BAB I


(9)

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan zaman turut mendorong perkembangan teknologi, dan perkembangan teknologi menuntut perubahan dan perkembangan kebutuhan. Kini manusia dihadapkan pada kebutuhan informasi dan kebutuhan hiburan sebagai pelepasan rasa jenuh, marah, senang, dan perasaan lainnya. Perkembangan teknologi menjadikan banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Jarak kini tidak lagi menjadi masalah, dengan teknologi informasi yang turut berkembang semakin besar kemungkinan untuk memperoleh dan mengakses informasi dari seluruh penjuruh dunia. Satu-satunya hal yang tak pernah berubah dalam teknologi dan industri komunikasi adalah fakta bahwa teknologi dan industri tersebut terus berubah. Televisi adalah salah satu bentuk konkret dari perubahan yang kontinu tersebut (Fiddler, 2003 : xxii).

Jika dibandingkan dengan media massa lainnya televisi mempunyai sifat istimewa. Televisi bersifat audiovisual, yakni gabungan dari media dengar dan gambar hidup (bergerak) yang bisa bersifat politis, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari unsur-unsur tersebut. Media televisi dapat menyajikan pesan yang sebenarnya merupakan hasil dramatisir secara audiovisual dan unsur gerak dalam waktu bersamaan. Televisi sebagai media massa idealnya memiliki beberapa fungsi, antara lain fungsi informatif, edukatif, rekreatif, dan sebagai sarana menyosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman-pemahaman, baik yang lama maupun yang baru.


(10)

Tak terbatasnya dunia komunikasi massa melalui media massa seperti televisi mengantarkan masyarakat pada arus perubahan peradaban yang cepat. Televisi saat ini seakan menjadi guru elektronik yang mengatur dan mengarahkan serta menciptakan budaya massa baru. Banyak hal bisa dipelajari, baik itu secara sengaja maupun tanpa Banyak gaya hidup yang diimitasi dan diadopsi dari apa yang disajikan televisi, bahkan para pemirsa televisi menjadi begitu permisif untuk mengadakan penjadwalan ulang kegiatan demi satu atau beberapa jenis tayangan televisi kesukaan.

Keberadaan stasiun televisi di Indonesia menunjukan perkembangan yang cukup spektakuler. Secara nasional, 11 stasiun televisi yang berpusat di Jakarta mempunyai stasiun relay di berbagai wilayah. Dari jumlah tersebut, hanya satu yang status kepemilikannya saat ini berbadan hukum Lembaga Penyiaran Publik yakni TVRI, selebihnya berbadan hukum swasta. Menjamurnya stasiun televisi menumbuhkan ketatnya persaingan antar industri penyiaran, sehingga "perang" program siaran antar televisi menjadi menu wajib sehari-hari. Program yang ditawarkan berorientasi pada pemenuhan selera pasar.

Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan terkadang tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Padahal, penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Persepsi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tayangan televisi memang cenderung mengarah ke nilai negatif. Banyak penelitian yang berujung pada satu kesimpulan seragam, yakni bahwa tayangan televisi membawa dampak negatif yang lebih besar dibanding dampak


(11)

positifnya. Efek negatif dari konsumsi berlebih terhadap media televisi sudah sangat sering kita dengar dengan beragam bentuknya, bahkan tidak jarang dampak negatif tersebut berkaitan langsung dengan suatu peristiwa sadistis.

Adapun sedikit efek yang dianggap baik atau positif dari tayangan televisi bagi anak antara lain adalah :

1. Menambah kosakata terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari.

2. Anak dapat belajar tentang berbagai hal melalui program edukasi dari siaran televisi serta dapat menambah wawasan dan minat.

3. Anak mengenal berbagai aktivitas yang bisa dilakukannya.

4. Anak mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya.

Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan acara-acara khusus untuk anak, walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7% sampai dengan 4,5% dari total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi, ternyata persentase kecil ini pun ada yang materinya cenderung menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak (dari Februari 2010).


(12)

Saat ini, tayangan televisi dipenuhi dengan beragam judul sinetron. Sinetron mudah dinikmati oleh siapa saja, termasuk anak-anak, walau terkadang sinetron tersebut berisi tentang cerita kehidupan yang belum sesuai untuknya. Sinetron anak juga tidak jarang memasukkan adegan selingan yang tidak layak dikonsumsi anak-anak ke dalam cerita utamanya, misalnya tentang percintaan, persaingan yang tidak sehat, perkelahian, atau saling hina dengan menggunakan kata-kata kasar.

Cerita untuk anak pada dasarnya haruslah mengangkat tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting yang ada di sekitar mereka atau ada di dunia mereka, tokoh dan penokohan mengandung peneladanan yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu mengembangkan bahasa anak, sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak-anak. Cerita yang banyak disuguhkan saat ini terkadang terlalu berlebihan dalam menonjolkan khayal yang jauh dari realita kehidupan. Namun dapat ditebak jika anak-anak akan tetap tertarik atau malah semakin tertarik untuk menontonnya, karena anak-anak dikatakan sangat menyukai dongeng, cerita rakyat, dan bahkan cerita khayalan. Kesan-kesan tersebut dilengkapi dengan fantasi anak. Namun, pada realitas yang terjadi sehari-hari, anak-anak tidak hanya menunjukkan minatnya terhadap tayangan yang berkisah tentang cerita-cerita fantasi yang sarat khayal. Anak-anak sekarang sudah turut serta menyaksikan tayangan-tayangan yang bukan ditargetkan untuk mereka. Tayangan yang dianggap baik, seperti program informasi khusus anak, acara musik, atau acara yang menampilkan kreativitas serta bakat anak, juga


(13)

cukup mewarnai tayangan televisi. Hanya saja durasi serta jam tayanganya terkadang tidak mendukung anak untuk menyaksikan tayangan-tayangan tersebut. Anak-anak mengakrabi televisi untuk bermacam tujuan, mulai dari sekadar mengisi waktu, mengurangi kebosanan, memenuhi rasa ingin tahu, sampai mempelajari banyak hal. Dalam seminggu, anak-anak di Indonesia menonton televisi selama 30-35 jam, atau 1560-1820 jam setahun. Angka ini jauh lebih besar ketimbang jumlah jam belajar di sekolah dasar yang tak lebih dari 1000 jam/tahun. Maka, ketika seorang anak menginjak usia SMP, dia sudah menyaksikan televisi selama 15.000 jam. Sementara, waktu yang dihabiskannya untuk belajar tak lebih dari 11.000 jam saja (dari

diunduh pada tanggal 4 Februari 2010).

Data pola menonton televisi pada anak-anak tersebut menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikhawatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam mempengaruhi anak-anak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak membuat anak tidak mempunyai daya saring terhadap tayangan yang tidak mendidik (Dictum edisi September 2007, hal.5).


(14)

Anak-anak menonton apa saja karena kebanyakan keluarga tidak memberi batasan menonton yang jelas. Padahal, disadari atau tidak, tindakan konsumtif terhadap televisi dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak. Anak-anak usia sekolah dasar, yakni antara 5 sampai 12 tahun, baru memasuki masa di mana mereka dapat mengenali dan selanjutnya bersimpati atau bahkan berantipati terhadap apa saja yang menarik perhatiannya. Pada usia tertentu ketika berada pada fase sekolah dasar, anak kurang dapat melihat perbedaan khayalan dan kenyataan. Pada usia ini, anak cenderung lebih mudah percaya, terpengaruh dan selanjutnya mengimitasi hal-hal yang dilihatnya, termasuk tayangan televisi. Terlebih jika kegiatan menonton tesebut dilakukan dalam intensitas dan frekuensi tinggi serta tanpa didampingi orang tua. Kekhawatiran akan penetrasi dampak negatif tayangan yang pada dasarnya tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak dapat diminimalisir dengan kesediaan orang tua dalam menunjukkan peranannya sebagai “penerjemah” bagi anak. Kekhawatiran tersebut sering kali menjadi nyata, ketika para pemirsa televisi lebih banyak mengeluhkan dampak negatif yang mungkin terjadi ketimbang memainkan peranannya sebagai penyaring sekaligus pelindung dari tayangan yang mendapat tuduhan dipenuhi oleh dampak negatif tersebut.

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Dari penjabaran


(15)

mengenai peranan orang tua tersebut, dapat disimpulkan betapa besarnya peranan orang tua dalam memenuhi kebutuhan, mendidik, mengendalikan, serta menjadi teladan bagi anaknya. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan segala aktivitas anak, serta harus bisa membimbing, mengawasi dan mengarahkan untuk melakukan kebaikan (dari

Para orang tua yang cerdas dalam memberikan pemahaman tentang tayangan-tayangan yang sering disaksikan oleh anak-anak mereka akan lebih dapat membentengi pemikiran anak dari dampak negatif yang mungkin saja muncul dari tayangan tersebut. Lebih jauh lagi, para orang tua pada dasarnya juga memiliki hak untuk memilihkan tayangan yang tepat untuk anak-anaknya. Namun, yang terjadi, orang tua cenderung membiarkan anak-anaknya “diasuh” oeh tayangan televisi, tanpa memedulikan tayangan seperti apa yang sedang dinikmati buah hatinya. Penanaman pemahaman atau pemilihan tayangan menjadi hal yang disepelekan. Padahal, pemberian pemahaman tentang hal tersebut akan menjadikan anak-anaknya menjadi lebih mengerti maksud dari tayangan yang sedang ditontonnya. Pengertian tersebut pada gilirannya akan menuju pada pemahaman tentang tayangan seperti apa yang memang patut disaksikan, patut dipercaya, atau lebih patut ditinggalkan. Di sinilah dibutuhkan suatu kemampuan yang disebut dengan literasi media.

Literasi media yang diterjemahkan menjadi ‘melek media’, adalah kemampuan untuk memilah, mengakses, dan menganalisis isi media. Literasi


(16)

media dianggap sebagai kemampuan yang sudah semestinya dimiliki oleh tiap individu konsumen media massa, sehubungan dengan banyaknya media massa yang ada di tengah-tengah kita. Fakta berbicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik atau pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Literasi media bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya (Baran, 2009 : 26-27).

Pemilihan lokasi pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kedekatan peneliti terhadap warga setempat karena lokasi penelitian merupakan lokasi di mana peneliti tinggal, selain itu, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan literasi media menjadi sesuatu hal yang bersifat mendesak untuk dimiliki bagi siapapun, terlebih bagi para orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah dasar, sehingga peneliti berasumsi bahwa di manapun penelitian dilakukan, tingkat ketertarikan maupun urgensinya cenderung sama.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, peneliti merasa sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang Peran Orang Tua Dalam Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan Televisi Pada Anak Di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.


(17)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, “Bagaimana peran orang tua dalam peningkatan pemahaman terhadap tayangan televisi pada anak, di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa ?”

1.3 Pembatasan Masalah

Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, selanjutnya peneliti merumuskan pembatasan masalah penelitian. Adapun maksud dari pembatasan masalah ini adalah agar permasalahan yang diteliti menjadi jelas, terarah, dan tidak terlalu melebar sehingga terhindar dari salah pengertian tentang masalah penelitian. Maka pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi kasus yakni penelitian yang dipusatkan secara intensif pada suatu subjek tertentu yang dipelajari sebagai kasus, dalam hal ini adalah studi kasus literasi media tentang peran orang tua sebagai pendamping anak dalam peningkatan pemahaman terhadap tayangan televisi di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

2. Subjek penelitiannya adalah para orang tua yang bertempat tinggal di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa, dan memiliki anak usia sekolah dasar.

3. Penelitian akan dilakukan pada Bulan April, dengan lama penelitian yang akan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan.


(18)

1.4. Tujuan Dan Manfat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui tindakan bermedia, khususnya media televisi, di kalangan warga yang bertempat tinggal di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

b. Untuk mengetahui tingkat literasi (melek) media para orang tua yang bertempat tinggal di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

c. Untuk mengetahui peran orang tua sebagai pendamping anak dalam peningkatan pemahaman terhadap tayangan televisi di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

1.4.2. Manfaat Penelitian

a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU.

b. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya berkaitan dengan kajian studi Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai kajian literasi media.

c. Secara praktis, melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan menambah cakrawala pengetahuan bagi peneliti, serta para orang tua, tentang pentingnya pemahaman tentang literasi media bagi mereka dan anak-anaknya.


(19)

1.5. Kerangka Teori

Dalam melaksanakan penelitian ilmiah, teori berperan sebagai landasan berpikir untuk mendukung pemecahan suatu masalah dengan jelas dan sistematis. Kerlinger menyebutkan bahwa teori adalah sekumpulan konstruk (konsep), defenisi, dan dalil yang saling terkait, yang menghadirkan suatu pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan di antara beberapa variabel, dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena.

Gibbs menambahkan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang saling berkaitan secara logis dalam bentuk penegasan empiris mengenai sifat-sifat dari kelas-kelas yang tak terbatas dari berbagai kejadian atau benda (Black, 2001 : 48). Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian yang akan dilakukan adalah Komunikasi, Komunikasi Antar Pribadi, Komunikasi Massa dan Televisi, Literasi Media (Media Literacy), dan Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan KPI No.2/P/KPI/5/2006 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

1.5.1. Komunikasi

Secara etimologis, komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berakar dari perkataan latin “communis”, yang artinya ‘sama’, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama (to make


(20)

common), yang dimaksud dengan sama adalah sama makna atau sama arti (Mulyana, 2005 : 41).

Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan. Dikatakan juga bahwa komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan nonverbal. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama.

Melalui komunikasi orang berusaha mendefenisikan sesuatu, termasuk istilah “komunikasi” itu sendiri. Sampai saat ini terdapat ratusan defenisi komunikasi yang bersumber dari banyak ahli yang berasal dari beragam disiplin ilmu.

Berikut beberapa defenisi komunikasi yang dapat dirinci :

1) Bernard Berelson dan Gary A. Steiner menyebutkan bahwa komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya.

2) Carl I. Hovland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan).

3) Everett M. Rogers memilih mendefenisikan komunikasi sebagai proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih,


(21)

dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Mulyana, 2005 : 57).

4) Littlejohn menyebutkan setidaknya terdapat tiga pandangan yang merujuk pada makna komunikasi. Pertama, komunikasi harus terbatas pada pesan yang secara sengaja diarahkan kepada orang lain dan diterima oleh mereka, kedua, komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja atau pun tidak, dan yang ketiga adalah komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang dikirimkan secara sengaja, namun sengaja ini sulit ditentukan (Mulyana, 2005 : 62).

Berdasarkan defenisi-defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan pengertian komunikasi adalah suatu proses penyampaian pernyataan oleh seseorang kepada orang lain, dengan mengandung tujuan tertentu, memberitahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung, secara lisan, maupun tidak langsung melalui media.

1.5.2. Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan dan umpan balik bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasi yang sedang berlangsung tersebut positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat metakinkan


(22)

komunikan ketika itu juga karena ia dapat memebri kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya. Dengan demikian komunikator dapat mengarahkannya ke suatu tujuan sebagaimana yang ia inginkan (Effendi, 1986 : 9).

Dalam komunikasi antar pribadi terjadi proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Pengertian proses mengacu pada perubahan dan tindakan yang berlangsung terus menerus. Komunikasi antar pribadi juga merupakan suatu pertukaran, yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik. Di balik pengertian ini, terdapat enam karakteristik yang disampaikan oleh Judy C. Pearson yang menentukan apakah suatu kegiatan komunikasi dapat disebut sebagai komunikasi antar pribadi (Sendjaja, 2005 : 2.1). Karakteristik tersebut adalah :

a. Komunikasi antar pribadi dimulai dari diri pribadi (self).

b. Komunikasi antar pribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak menyampaikan dan menerima pesan.

c. Komunikasi antar pribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antar pribadi. Komunikasi antar pribadi tidak hanya berkenaan dengan isi pesan yang dipertukarkan, tetapi juga partner komunikasi, serta bagaimana hubungan yang terjalin dengannya.

d. Komunikasi antar pribadi mensyaratkan adanya kedekatan fisik antar pihak-pihak yang berkomunikasi.


(23)

e. Komunikasi antar pribadi melibatkan pihak-pihak yang saling bergantung satu dengan lainnya dalam proses komunikasi.

f. Komunikasi antar pribadi tidak dapat diubah maupun diulang.

Selanjutnya, untuk memperjelas pengertian komunikasi antar pribadi, Devito dalam Liliweri (1991 : 13) memberikan beberapa ciri komunikasi antar pribadi, yaitu :

a. Keterbukaan (openes), yakni komunikator dan komunikasn saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bahkan permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu. Kedua-duanya saling memahami dan mengerti pribadi masing-masing.

b. Empati (empathy), yaitu kemampuan seseorang untuk memproyeksi dirinya kepada peranan orang lain.

c. Dukungan (supportiveness), yakni setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.

d. Rasa positif (positiveness), adalah setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka, sehingga mengganggu jalinan interaksi.

e. Kesamaan (equality), yakni suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antar pribadi lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, sikap, usia, ideologi, dan sebagainya.


(24)

Manusia hidup secara sosial dan hal ini mengharuskannya membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu mengenai simbol atau lambang-lambang pesan guna mempertukarkan informasi di antara mereka. Kerlinger (Liliweri, 1991 : 45) mengemukakan bahwa hubungan dengan orang lain ternyata mempengaruhi kehidupan seorang individu. Seseorang tergantung pada orang lain karena orang lain tersebut juga berusaha mempengaruhi dirinya melalui pengertian yang diberikan, informasi yang dibagikan, semangat yang disumbangkan, dan masih banyak lagi pengaruh lainnya.

Sukses tidaknya komunikasi antar pribadi sangat bergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua orang atau sebagian kecil orang dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga daripada memeprhatikan umpan balik yang tertunda.

1.5.3. Komunikasi Massa

Gerbner menyebutkan bahwa komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Menurut Elizabeth-Noelle Neuman, pada dasarnya komunikasi massa adalah kegiatan komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Secara teknis, terdapat empat tanda


(25)

dan mempunyai publik yang secara geografis tersebar (Rakhmat, 2005 : 188 - 189).

Media massa merujuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa. Menurut Michael W. Gamble (Nurudin, 2004 : 7), sesuatu bisa didefenisikan sebagai komunikasi massa jika mencakup :

a. Komunikatornya mengandalkan peralatan modern sebagai media penyampai pesan.

b. Komunikatornya menyebarkan pesan-pesannya dengan maksud untuk mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain, bahkan pengirim dan penerima tidak saling mengenal satu sama lain.

c. Pesan dapat diterima oleh banyak orang, sehingga disebut bersifat publik. d. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti

jaringan, ikatan, atau perkumpulan.

e. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper, artinya pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa.

f. Umpan balik sifatnya tertunda (delayed).

Sebagaimana diketahui komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jadi membahas komunikasi massa tidak akan lepas dari media massa sebagai media utama dalam proses komunikasi massa itu sendiri, dan dalam hal ini penelitian difokuskan pada media televisi.


(26)

1.5.3.1Televisi

Siaran televisi di Indonesia dimulai pada tahun 1962 saat TVRI menayangkan secara langsung upacara hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-17 pada tanggal 17 Agustus 1962. Siaran langsung itu masih terhitung sebagai siaran percobaan. Siaran resmi TVRI dimulai 24 Agustus 1962 pada pukul 14.30 WIB yang menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games ke-4 dari Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Pada tahun 1989, baru diberikan kesempatan pada kelompok usaha untuk membuka stasiun televisi swasta, yakni yang pertama adalah stasiun televisi RCTI, dan selanjutnya diikuti oleh stasiun televisi swasta lainnya, baik nasional maupun lokal. Stasiun televisi swasta baru tersebut hadir dengan membawa kekhasannya masing-masing.

Setiap stasiun televisi pada umumnya memiliki fungsi yang sama seperti media massa lainnya, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi, karena dapat dikatakan bahwa pada umunya tujuan utama khalayak menonton televisi adalah untuk memperoleh hiburan, baru diikuti dengan tujuan-tujuan lainnya (Morissan, 2008 : 34).

Stasiun televisi menawarkan beragam tayangan bagi anak, namun terkadang kandungan yang ditonjolkan bukan milik anak-anak lagi. Hanya segelintir tayangan yang memang berusaha menjadikan anak sebagai prioritas, sedang yang lain mengajak anak untuk mendalami suatu niansa hidup yang kurang memiliki substansi yang benar-benar dibutuhkan. Penciptaan program


(27)

acara seringnya didasarkan pada menguntungkan tidaknya program acara tersebut di mata para pemroduksinya. Argumentasinya masih berkisar mahalnya biaya produksi dan target pasar yang berdasarkan riset terpercaya memang menginginkan tayangan seperti itu.

Orang tua kerap menjadikan televisi sebagai pengasuh pengganti diri mereka di rumah. Anak yang masih cukup sederhana pola pikirnya menjadikan televisi sebagai sebuah media dengan begitu banyak kegunaan, sehingga hampir tidak ada penolakan terhadap anjuran untuk menyaksikan televisi dari orang tua mereka. Namun, disadari atau tidak televisi mengandung banyak nilai-nilai yang seyogyanya membutuhnkan proses penyortiran, dan di lain pihak proses penguatan. Dengan demikian para orang tua adalah pihak yang paling berkompeten dalam menyortir atau menguatkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap jenis tayangan terfavorit anak tersebut, misalnya sinetron anak, kartun, atau program acara khusus anak lainnya yang biasa ditonton anak.

I.5.4 Literasi Media (Media Literacy)

Literasi media di Indonesia lebih dikenal dengan istilah melek media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” mengatakan bahwa literasi media adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Selanjutnya, Jane Tallim menyatakan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.


(28)

Allan Rubin (Baran, 2004 : 51) menawarkan tiga definisi mengenai literasi media yang dikutip dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu :

Defenisi pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy, menyebutkan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan pesan.

• Defenisi kedua dari ahli media, Paul Messaris, menyebutkan bahwa literasi media adalah pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat.

• Defenisi ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, menyebutkan bahwa literasi media adalah pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan

Rubin kemudian menyatakan defenisi literasi media menurut dirinya. Literasi media adalah pemahaman terhadap sumber-sumber dan teknologi komunikasi, simbol-simbol yang digunakan, dan proses seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Sedangkan The Cultural Environment Movement ( The People’s Communicatiob Charter) mendefenisikan literasi media sebagai hak untuk mendapatkan kemampuan dan informasi yang penting dalam berpartisipasi secara penuh dalam perundingan dan komunikasi publik, dibutuhkan fasilitas dalam membaca, menulis, dan menceritakan kembali; kesadaran untuk kritis terhadap media, melek komputer; dan pendidikan tentang peranan komunikasi di dalam masyarakat.


(29)

Kemudian The National Communication Association, sebuah organisasi sarjana professional yang didirikan oleh sejumlah besar akademisi universitas menyatakan bahwa literasi media adalah kritis dan reflektif dalam mengonsumsi media komunikasi. Hal ini membutuhkan pemahaman tentang bagaimana kata-kata, gambar, grafik, dan suara “bekerjasama” dalam cara yang sukar diketahui dan sukar dicari, serta kewaspadaan tentang efek yang berbeda dari tiap media.

Literasi media merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Banyak dari kita yang secara langsung menyalahkan tayangan televisi yang tidak pantas atau menyebutkan serta mengeluhkan dampak bahaya yang dimilikinya, kita jarang mempertanyakan peranan kita sendiri dalam proses komunikasi massa. Kita melupakannya, karena kita berpartisipasi dalam komunikasi massa secara alamiah, hampir tanpa usaha yang “sadar”.

Literasi media juga dapat diterjemahkan sebagai kecakapan bermedia, yaitu sebuah kesadaran dan kecakapan komprehensif untuk menempatkan diri individu dan masyarakat di depan media sebagai pelaku aktif. Dengan adanya kecakapan bermedia, seseorang diharapkan mampu untuk menyeleksi media dan isinya untuk dikonsumsi.

Art Silverblatt menyebutkan tujuh elemen dasar yang menjadi karakteristik dari literasi media, kemudian Stanley J. Baran menambahinya menjadi delapan. Karakteristik tersebut adalah :


(30)

1. Kemampuan dalam berpikir kritis yang memungkinkan para konsumen media massa mengembangkan penilaian independen tentang konten media. Berpikir secara kritis tentang konten yang kita konsumsi adalah esensi utama dari media literasi. Mengapa kita menonton apa yang kita tonton, membaca apa yang kita baca, dan mendengarkan apa yang kita dengar.

2. Pemahaman tentang proses komunikasi massa. Jika kita mengetahui komponen dari proses komunikasi massa dan bagimana komponen tersebut berkaitan satu sama lain, kita dapat membuat perkiraan tentang bagaimana mereka “melayani” kita.

3. Tanggap akan dampak media bagi individu maupun masyarakat. Media massa. mengubah dunia dan orang-orang di dalamnya. Jika kita mengabaikan dampak media bagi kehidupan kita, kita lebih berisiko terperangkap dan terbawa arus perubahan tersebut ketimbang mengontrol atau memimpinnya.

4. Strategi dalam analisis dan diskusi pesan-pesan media. Untuk mengonsumsi pesan media secara peka, kita membutuhkan fondasi, sebagai pemikiran dan refleksi awal. Jika kita menafsirkan makna, kita harus memiliki alat yang memadai untuk mencapainya.

5. Pemahaman isi media sebagai naskah yang menyediakan wawasan ke dalam budaya dan kehidupan kita. Kita mengenali segala yang berkaitan dengan budaya melalui komunikasi. Bagi budaya modern seperti kita,


(31)

pesan-pesan media semakin mendominasi kegiatan komunikasi, membentuk pemahaman dan wawasan tentang budaya kita.

6. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media. Media literasi bukan berarti hidup sebagai seorang pembeci media atau selalu curiga terhadap dampak bahayanya dan terjadinya degradasi budaya.

7. Pengembangan tentang keterampilan produksi yang efektif dan sesuai. Literasi tradisional mengasumsikan bahwa mereka yang dapat membaca pasti bisa menulis. Media literasi juga mengasumsikan demikian. Pemahaman kita tentang literasi (di setiap jenisnya) menyebut tidak hanya untuk pemahaman yang efektif dan efisien tetapi juga untuk penggunaannya yang efektif dan efisien. Karena itu, individu yang cakap mengonsumsi media sepatutnya mengembangkan kemampuan menghasilkan yang memungkinkan mereka menghasilkan pesan-pesan media yang bermanfaat.

8. Pemahaman etis dan kewajiban moral bagi para praktisi media. Kita harus memahami peraturan resmi maupun tidak resmi pada pengoperasian media. Dengan kata lain, kita harus tahu secara respektif, kewajiban etis dan keabsahannya.

Literasi media juga membutuhkan sejumlah keahlian khusus, yaitu :

1. Kemampuan dan kemauan untuk berusaha memahami konten, memperhatikan, dan menyaring gangguan.


(32)

2. Pemahaman dan penghargaan bagi kekuatan pesan media. Media massa telah ada selama lebih dari satu setengah abad.

3. Kemampuan untuk membedakan kondisi emosi dari reaksi beralasan ketika menanggapi konten dan untuk bertindak secara sesuai.

4. Meningkatkan tingginya ekspekstasi terhadap konten media.

5. Pengetahuan tentang kumpulan genre dan kemampuan untuk mengenali ketika mereka dipadukan.

6. Kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang pesan-pesan media, tidak masalah bagaimana terpercayanya sumber mereka (Baran, 2009 : 27-31). Dengan adanya kecakapan bermedia, para orang tua diharapkan mampu untuk menyeleksi media dan isinya, dalam hal ini media televisi untuk dikonsumsi oleh anak-anaknya. Lem Materman mengemukakan beberapa alasan mengapa literasi media menjadi sesuatu yang memiliki tingkat urgensi tinggi saat ini. Alasan tersebut adalah :

Media Maturation

Saat ini media massa dikonsumsi benar-benar secara “massal”, sehingga dapat dikatakan bahwa saat ini para konsumen media sedang mengalami banjir informasi. Banyaknya informasi yang ditawarkan tersebut terkadang tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif.

Media Influence

Media hidup dengan “menjual kesadaran audiens”, media dengan sengaja mempengaruhi atau membujuk individu untuk menyetujui hal yang ia persuasikan. Anak-anak adalah konsumen yang paling mudah terpengaruh


(33)

dan selanjutnya mengimitasi objek-objek yang dipersuasikan terhadap mereka, secara langsung atau berproses.

Media Are Not Value – Free

Media tidak dapat terlepas dari berbagai kepentingan, baik dari pihak penguasa maupun pemilik modal. Oleh sebab itu, para konsumennya sebaiknya lebih peka terhadap beragam tayangannya.

Educating For Future

Generasi muda, tak terkecuali anak-anak, diperkirakan akan didominasi oleh media massa dan teknologi komunikasi, maka penting bagi mereka untuk mengetahui bagaimana media massa memiliki kemampuan untuk

membuat perubahan di masyarakat (dari

diunduh pada

tanggal 8 Februari 2010).

Jika tingkat literasi media yang dimiliki para orang tua memadai dalam arti kualitasnya, maka akan lebih efektif peranan yang dapat dilakukannya dalam meningkatkan pemahaman anak-anak mereka terhadap tayangan yang sering, jarang, atau tidak sengaja ditontonnya.

Menurut Darmadi Durianto (2003:68-73), pemahaman berarti penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan pengirim pesan, dalam hal ini yang berperan sebagai penerima adalah audiens dan pengirimnya adalah media massa. Pemahaman juga dikaitkan dengan penafsiran suatu stimulus yang dikategorikan dan diuraikan berdasarkan pengetahuan yang sudah ada.


(34)

Pemahaman dipengaruhi oleh beberapa hal : • Stimulus

Kategori stimulus melibatkan penggolongan suatu stimulus dengan menggunakan konsep-konsep yang disimpan dalam ingatan.

• Elaborasi stimulus

Pemahaman memerlukan tingkat elaborasi yang terjadi selama pemrosesan stimulus. Elaborasi mengacu pada banyaknya integrasi di antara banyak informasi yang baru dan pengetahuan yang sudah tersimpan dalam ingatan.

• Determinan pribadi dalam pemilihan

Pemahaman dipengaruhi oleh banyak stimulus dan faktor pribadi. Orang akan lebih dahulu mempertimbangkan bagaimana faktor pribadi dapat mempengaruhi pemahaman.

Faktor pribadi tersebut adalah :

1. Motivasi; keadaan motivasional seseorang selama pemrosesan informasi dapat mempengaruhi perhatian. Keadaan ini dapat juga menimbulkan pengaruh pada pemahaman.

2. Pengetahuan; pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan merupakan determinan utama dalam pemahaman. Kategori stimulus sangat bergantung pada pengetahuan. Pengetahuan juga meningkatkan kemampuan khalayak dalam memahami suatu pesan.

3. Perangkat harapan atau persepsi; terdapat peranan perangkat kognitif dan afektif di sini. Kemampuan kognitif berkisar pada kesan setelah melihat


(35)

tayangan dan kemampuan afektif menggambarkan perasaan dan emosi yang dihasilkan stimulus, misalnya rasa takut, terkejut, sedih, dan ekspresi emosi lainnya.

4. Determinan stimulus dan pemahaman; sifat fisik aktual suatu stimulus memainkan peranan yang besar dalam membentuk penafsiran stimulus tersebut. Pemahaman terkadang bergantung pada pengemasan dan konsep suatu tayangan itu sendiri

1.5.5 Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan KPI No.2/P/KPI/5/2006 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS)

Kelahiran stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia didukung oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal yang berjumlah 64 tersebut merupakan sebentuk aturan yang mengizinkan sekaligus member pembatasan-pembatasan terhadap pihak-pihak yang memasuki ranah penyiaran, baik ranah penyiaran publik, swasta nasional, komunitas, berlangganan, maupun asing. Pasal-pasal di dalamnya mengatur tentang pola jaringan siaran sampai isi siaran yang ideal. Selain itu, terdapat pasal-pasal (15 dan 19) yang secara terbuka menyebutkan bahwa iklan menjadi salah satu sumber pembiayaan utama bagi berjalannya operasionalisasi sebuah stasiun penyiaran, termasuk stasiun televisi.

Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan panduan tentang batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan atau tidak diperbolehkan berlangsung


(36)

dalam proses pembuatan program siaran, sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan :

a. Rasa hormat terhadap pandangan keagamaan; b. Rasa hormat terhadap hal pribadi;

c. Kesopanan dan kesusilaan;

d. Pelarangan dan pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme; e. Perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;

f. Penggolongan program menurut usia khalayak; g. Penyiaran program dalam bahasa asing;

h. Ketepatan dan kenetralan program berita; i. Siaran langsung;

j. Siaran iklan.

Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran ditetapkan dengan menghormati asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum, asas keamanan, asas keberagaman, asas kemitraan, etika, asas kemandirian, dan asas kebebasan dan tanggung jawab. Selain dua pasal ini, terdapat 85 pasal lain yang juga memberi aturan terhadap setiap stasiun penyiaran, tak terkecuali stasiun televisi.


(37)

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dapat mengantar penelitian pada rumusan hipotesis (Nawawi, 1995:33).

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak yang dibentuk dengan menggeneralisasikan objek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Sedangkan Kerlinger menyebut konsep sebagai abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal khusus (Kriyantono, 2008 : 17).

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis, yang sebenarnya merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Adapun konsep-konsep yang diteliti dalam penelitian ini adalah : peran orang tua dan pemahaman anak.


(38)

1.7 Model Teoretis

1.8 Konsep Operasional

Konsep operasional berfungsi untuk memudahkan kerangka konsep dalam penelitian. Maka berdasarkan kerangka konsep dibuatlah operasionalisasi konsep untuk membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian. Berdasarkan hal itu, maka operasionalisasi konsep yang diukur dalam penelitian ini adalah peran orang tua dan pemahaman terhadap tayangan televisi.

Operasionalisasi untuk konsep operasional peran orang tua diambil dari : Orang

Tua

Komunikasi Antar Pribadi Oleh Orang Tua Untuk Memberikan Pemahaman

Tentang Literasi Media

Anak

Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan

Televisi Tayangan

Televisi

UU No.32 Tentang Penyiaran dan P3SPS


(39)

a. Konsep komunikasi antar pribadi yang disampaikan oleh James A. Devito, yaitu :

1. Keterbukaan

Keterbukaan adalah suatu keadaan di mana orang tua mengetahui informasi tentang hal-hal yang disukai maupun tidak disukai oleh si anak melalui proses komunikasi yang dilakukannya, termasuk tayangan terfavorit atau yang sama sekali tidak disukai, terlepas dari nilai yang tekandung dalam tayangan tersebut.

2. Empati

Empati adalah suatu keadaan di mana orang tua mampu memposisikan dirinya sama seperti apa yang sedang dirasakan oleh anaknya, termasuk di dalamnya tentang pemahaman terhadap kebutuhan yang seharusnya atau tidak seharusnya dipenuhi.

3. Dukungan

Dukungan adalah suatu keadaan di mana orang tua mendorong anak menuju ke arah yang lebih positif, dalam berbagai hal, termasuk di dalamnya tentang tayangan-tayangan yang baik bagi perkembangannya.

4. Rasa positif

Rasa positif adalah kemampuan orang tua dalam menyalurkan pemahamannya tentang suatu tayangan secara positif sehingga membangkitkan tanggapan yang juga positif dari anak.


(40)

5. Kesamaan

Kesamaan adalah suatu keadaan di mana orang tua dan anak memiliki pandangan sama tentang suatu hal, dalam hal ini orang tua memiliki peranan dalam menyamakan pandangan tersebut.

b. Tujuh elemen dasar literasi media yang disampaikan oleh Art Silverblatt, dan ditambahi satu elemen oleh Stanley J. Baran sehingga menjadi delapan (Baran, 2009:27-31). Adapun elemen literasi media yang diambil disesuaikan dengan kebutuhan penelitian sehingga yang dianggap paling tepat adalah lima elemen berikut :

1) Kemampuan dalam berpikir kritis.

Kemampuan dalam berpikir kritis adalah kemampuan yang memungkinkan para orang tua sebagai konsumen media massa, untuk mengembangkan penilaian independen tentang konten media dalam memahami isi tayangan yang sedang disaksikan dan selanjutnya menanmkan pemahaman tersebut kepada anaknya.

2) Pemahaman tentang proses komunikasi massa

Pemahaman tentang proses komunikasi massa adalah kemampuan orang tua dalam memahami tayangan televisi sebagai sesuatu yang “diciptakan” dan melewati suatu proses yang kompleks, dan selanjutnya bagaimana orang tua menyalurkan pemahaman tersebut kepada anaknya.


(41)

3) Tanggap akan dampak media

Tanggap akan dampak media, yaitu adanya pengetahuan dan kepedulian orang tua tentang dampak tayangan televisi, baik positif maupun negatif, dan selanjutnya bagaimana orang tua meminimalisir atau memaksimalkan dampak yang dimiliki media tersebut terhadap anak-anaknya.

4) Pemahaman terhadap isi media.

Pemahaman terhadap isi adalah pemahaman orang tua tentang manfaat tayangan televisi ke dalam kehidupan.

5) Kemampuan menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media, dan kemudian menanamkan kemampuan tersebut kepada anaknya.

c. Operasionalisasi untuk konsep operasional pemahaman terhadap tayangan televisi diambil dari pernyataan Darmadi Durianto (Durianto, 2003 : 68-73) dan komponen yang dipilih juga didasarkan pada kebutuhan penelitian. Komponen tersebut adalah:

a) Pemahaman terhadap stimulus

Pemahaman terhadap stimulus, yaitu pengetahuan orang tua tentang pemahaman anak terhadap stimulus, dalam hal ini tayangan televisi.


(42)

b) Motivasi

Motivasi, yaitu pengetahuan orang tua tentang tujuan yang mendorong anaknya untuk menyaksikan tayangan televisi.

c) Pengetahuan

Pengetahuan, yaitu informasi awal yang dimiliki orang tua tentang pengetahuan yang dimiliki anak, dan selanjutnya mencari tahu pengayaan wawasan yang dimiliki anak sesudah menyaksikan tayangan televisi.

d) Persepsi : Persepsi, yaitu pengetahuan orang tua tentang kemampuan penafsiran yang dimiliki anak terhadap tayangan yang disaksikannya. Persepsi meliputi; kemampuan kognitif, yakni kemampuan yang berkisar pada pemahaman orang tua tentang pengetahuan faktual yang tersimpan dalam memori anak, serta kemampuan Afektif, yakni kemampuan afektif adalah pemahaman orang tua tentang perasaan dan emosi yang diperoleh anak saat dan setelah menyaksikan tayangan, misalnya rasa takut, terkejut, sedih, dan ekspresi emosi lainnya.


(43)

BAB II

URAIAN TEORETIS

2.1 Komunikasi

Defenisi komunikasi, jika dikumpulkan dari para pakar yang berasal dari bidang ilmu yang berbeda-beda akan menunjukkan angka ratusan. Masing-masing defenisi mendapat penekanan yang berbeda satu sama lain, dan perbedaan tersebut

Literasi Media

Komunikasi Antar Pribadi

UU RI NO.32 Th. 2002 dan

P3SPS

Komunikasi Massa Televisi dan

Tayangan Sinetron Komunikasi


(44)

umumnya dilatarbelakangi oleh keilmuan para ahli yang merumuskannya. Tanpa mempersoalkan defenisi yang demikian benyak dan berbeda, pada hakekatnya, komunikasi menyentuh beragam multidisipliner dan setiap gerak kahidupan manusia.

Dr.Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii menyebutkan bahwa komunikasi sudah menjadi bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas. Sepanjang manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi. Harold D. Laswell, salah seorang peletak dasar ilmu komunikasi lewat ilmu politik menyebut tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab, mengapa manusia perlu berkomunikasi (Cangara, 2006 : 2-3). Ketiga fungsi ini menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam berhubungan dengan sesame anggota masyarakat. Tiga fungsi dasar tersebut adalah :

a. Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi, manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihar, dan menghindari hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. b. Upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses

kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya.

c. Upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peranan.


(45)

Saat ini perkembangan teknologi komunikasi sudah menembus setiap aspek kehidupan masyarakat. Di masyarakat dapat disaksikan bahwa teknologi komunikasi terutama televisi, komputer dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat), setiap saat kita semua menyaksikan realitas baru di masyarakat, dimana realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya. Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat mempengaruhi umat manusia di abad 21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita, dan bahkan memengaruhi emosi serta pertimbangan kita.

2.2 Komunikasi Antar Pribadi

Miller dan Steinberg (Liliweri, 1991 : 30) menyatakan bahwa dalam proses komunikasi antar pribadi, kedudukan komunikator dan komunikannya dapat bergantian, dan pada tahap lanjutan harus menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya. Pada tahap ini komunikasi antar manusia harus benar-benar manusiawi, sehingga orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain akan lebih kurang mutu komunikasinya daripada komunikasi antar pribadi di antara pihak-pihak yang sudah saling mengenal sebelumnya.

Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu, karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah


(46)

lakunya, dan inti dari semua ini adalah adanya hubungan keakraban di antar pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Ini berarti, tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua orang dapat digolongkan menjadi komunikasi antar pribadi.

Reardon, effendi, Porter, dan Samovar (Liliweri, 1991 : 31) menyatakan tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antar pribadi, dan ketujuh sifat tersebut adalah :

a. Komunikasi antar pribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal maupun nonverbal.

Dalam komunikasi antar pribadi, tanda-tanda perilaku verbal diwakili dalam penyebutan kata-kata, sedangkan perilaku non verbal terlihat dari ekspresi wajah dan gerakan tangan.

b. Melibatkan pernyataan yang spontan, scripted, dan contrived.

Perilaku spontan timbul karena kekuasaan emosi yang bebas dari campur tangan kognisi. Perilaku scripted merupakan hasil belajar seseorang secara terus menerus, sedangkan perilaku contrived adalah perilaku yang sebagian besar didasarkan pada pertimbangan kognitif dan sebagian lagi dikuasai keputusan rasional.

c. Komunikasi antar pribadi tidak statis melainkan dinamis.

Komunikasi antar pribadi adalah sebuah proses komunikasi yang terjadi secara terus menerus dan tanpa henti.


(47)

d. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi, dan koherensi.

Komunikasi antar pribadi harus ditandai dengan dengan adanya umpan balik dan interaksi yang terjadi, yaitu dengan mengandalkan perubahan sikap, pendapat dan pikiran, perasaan, minat, atau pun tindakan tertentu.

e. Dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.

Aturan yang bersifat intrinsik maksudnya adalah suatu standar perilaku yang berkembang oleh seseorang sebagai panduan melaksanakan komunikasi. Aturan yang bersifat ekstrinsik adalah adanya aturan lain yang ditimbulkan karena ada pihak ketiga sehingga komunikasi harus diperbaiki atau bahkan dihentikan. f. Komunikasi antar pribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan.

Rangkaian tindakan ini meliputi, siapa saja pihak yang berkomunikasi, masalah apa yang dibicarakan, pada saat kapan pembicaraan dilakukan, dan seberapa sering dilakukan.

g. Melibatkan di dalamnya bidang persuasif.

Komunikasi antar pribadi melibatkan usaha yang persuasif, karena untuik mencapai sukses dalam berkomunikasi harus dikenali terlebih dahulu latar belakang psikologis dan sosiologis seseorang.

Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss Rakhmat, 2005 :13), komunikasi dikatakan efektif jika menimbulkan paling tidak lima hal, yakni pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin baik, dan tindakan.


(48)

1. Pengertian

Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Pengertian didukung oleh adanya kesepahaman terhadap makna yang terdapat pada simbol-simbol yang dipertukarkan. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication). Pengertian terhadap pesan-pesan yang disampaikan merupakan salah satu ciri bahwa komunikasi efektif telah tercapai.

2. Kesenangan

Komunikasi sering kali dilakukan untuk mengupayakan agar pihak yang diajak berkomunikasi merasakan apa yang disebut analisis transaksional sebagai “Saya Oke – Kamu Oke”. Komunikasi ini lazim disebut komunikasi fatis (phatic communication), dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi ini menjadikan hubungan hangat, akrab, dan menyenangkan. 3. Pengaruh pada sikap

Komunikasi paling sering dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Ini juga disebut sebagai komunikasi persuasif. Komunikasi ini memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikan. Jika orang yang diajak berkomunikasi kemudian setuju untuk mengubah atau mengambil sikap sesuai dengan tujuan yang disampaikan oleh actor komunikasi lainnya, maka efektiflah komunikasi yang terjadi tersebut.


(49)

4. Hubungan yang semakin baik

Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi, pengendalian dan kekuasaan, dan cinta serta kasih sayang.

5. Tindakan

Efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyat yang dilakukan komunikan. Menimbulkan tindakan nyata adalah indikator efektivitas yang paling penting. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.

2.2.1 Tujuan Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi antar pribadi memiliki beberapa tujuan. Di sini akan dipaparkan 4 tujuan, yaitu: (De Vito, 1997: 245)

1. Mengurangi kesepian

Kontak dengan sesama manusia akan mengurangi kesepian. Adakalanya kita mengalami kesepian karena secara fisik kita sendirian. Di lain pihak, kita kesepian karena meskipun mungkin bersama orang lain, kita mempunyai kebutuhan akan kontak dekat. Dalam upaya mengurangi


(50)

kesepian, orang berusaha memiliki banyak kenalan. Satu hubungan yang dekat biasanya berdampak lebih baik

2. Mendapatkan rangsangan

Manusia membutuhkan stimuli. Salah satu cara agar manusia mendapatkan stimuli adalah dengan melakukan kontak antar manusia. 3. Mendapatkan pengetahuan diri

Sebagian besar melalui kontak antar manusialah kita dapat mengetahui diri sendiri. Persepsi mengenai diri sendiri sangat dipengaruhi oleh apa yang kita yakini dan pikiran orang lain tentang kita.

4. Memaksimalkan kesenangan, meminimalkan penderitaan

Alasan paling umum dan paling mendasar mengapa kita melakukan kontak dengan manusia lainnya adalah untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan. Kita perlu berbagi rasa dengan orang lain tentang nasib baik, penderitaan emosi atau mengenai fisik kita.

2.2.2 Komponen dan Proses Komunikasi Antar Pribadi

Menurut Effendy (2003: 7) yang mencoba mengutip paradigma Laswell, ada 5 komponen penting yang menyebabkan suatu komunikasi dapat berjalan dengan baik dan ini dapat diterapkan dalam komunikasi antar pribadi, yaitu:

1. Who : komunikator, pihak penyampai pesan

2. Says what : pesan, pernyataan yang didukung oleh lambang lambang


(51)

4. To whom : komunikan, pihak penerima pesan

5. With what effect : efek, dampak yang timbul sebagai pengaruh dari pesan

Apabila digambarkan secara sederhana kelima komponen yang telah diuraikan di atas melalui proses yaitu komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi antar pribadi dapat berganti peran, artinya suatu ketika komunikator dapat berganti peran sebagai komunikan begitu juga sebaliknya dengan komunikan yang dapat berperan sebagai komunikator.

2.2.3 Ciri-ciri Komunikasi Antar Pribadi

Menurut Evert M. Rogers dalam Depari (1988) ada beberapa ciri komunikasi yang menggunakan saluran antar pribadi yaitu:

1. Arus pesan yang cenderung dua arah 2. Konteks komunikasinya tatap muka 3. Tingkat umpan balik yang terjadi tinggi

4. Kemampuan mengatasi tingkat selektivitas (terutama selective exposure) yang tinggi

5. Kecepatan jangkauan terhadap audience yang besar, relative lambat 6. Efek yang mungkin terjadi ialah perubahan sikap

Liliweri (1991: 13) mengemukakan ciri-ciri komunikasi antar pribadi yang lain, yaitu:

1. Komunikasi antar pribadi biasanya terjadi secara spontan dan sambil lalu 2. Komunikasi antar pribadi tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu


(52)

3. Komunikasi antar pribadi terjadi secara kebetulan di antara peserta yang tidk mempunyai identitas yang jelas

4. Komunikasi antar pribadi mempunyai akibat yang disengaja maupun tidak disengaja

5. Komunikasi antar pribadi seringkali berlangsung berbalas-balasan

6. Komunikasi antar pribadi menghendaki paling sedikit dua orang dengan suasana yang bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan

7. Komunikai antar pribadi tidak dikatakan tidak sukses jika tidak membuahkan hasil

8. Komunikasi antar pribadi menggunakan lambang-lambang bermakna Komunikasi antar pribadi yang baik adalah komunikasi yang memiliki ciri keterbukaan, kepekaan dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas berkomunikasi antarpribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga memahami dirinya. Komunikasi antar pribadi antara dua individu, karenanya pemahaman komunikasi dan hubungan antarpribadi menempatkan pemahaman mengenai komunikasi dalam proses psikologis.

Setiap individu dalam tindakan komunikasi memiliki makna dan pemahaman pribadi terhadap setiap hubungan dimana dia terlibat di dalamnya. Hal terpenting dari aspek psikologis dalam komunikasi adalah asumsi bahwa diri pribadi terletak dalam diri individu dan tidak mungkin diamati secara langsung. Artinya dalam komunikasi antarpribadi pengamatan terhadap seseorang dilakukan melalui perilakunya dengan mendasarkan pada persepsi si pengamat.


(53)

2.2.4 Efektifitas Komunikasi Antar Pribadi

Percakapan yang sifatnya pribadi, hanya dapat dilaksanakan melalui komunikasi antar pribadi. Hal ini dikarenakan komunikasi antar pribadi melibatkan pribadi dan terjalin melalui interaksi secara langsung di antara pribadi-pribadi yang sudah saling mengenal, sehingga pesan yang disampaikan lebih mudah diterima, dimengerti, dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Ketepatan yang tinggi dapat dicapai apabila antara komunikator dan komunikan mempunyai pengalaman dan latar belakang yang sama, dengan demikian keefektifan komunikasi antar pribadi dapat terjadi. Orang tua dan anak yang hidup dalam suatu keluarga tentunya mempunyai pengalaman dan latar belakang yang sama. Anak belajar dari orang tua sehingga pengalaman dan pengetahuan orang tua banyak diberikan kepada anaknya.

De Vito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book, menjelaskan karakteristik komunikasi antar pribadi yang efektif dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu:

1. Perspektif Humanistik, meliputi sifat-sifat: a. Keterbukaan (Openness)

Proses komunikasi antar pribadi dapat berlangsung efektif bila pribadi-pribadi yang terlibat dalam proses komunikasi antar pribadi harus saling memiliki keterbukaan, dengan demikian lebih mudah mencapai komunikasi efektif.


(54)

b. Empati (emphaty)

Empati adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain. Adanya empati komunikator dapat merasakan perasaan komunikan sehingga setiap pesan yang disampaikan sesuai dengan keinginan komunikator dan komunikan.

c. Perilaku suportif (Supportivness)

Dukungan tercapai bila ada saling pengertian dari mereka yang mempunyai kesamaan melalui komunikasi yang efektif, dukungan dapat diberikan.

d. Rasa positif (Positivness)

Setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, maka rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka.

e. Kesamaan (Equality)

Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antar pribadi lebih kuat apabila memiliki kesamaan pandangan, sikap, ideology dan sebagainya.

2. Perspektif Pragmatis, meliputi sifat-sifat seperti: a. Bersikap yakin (Confidence)

Komunikasi antar pribadi lebih efektif apabila sesorang tidak merasa malu, gugup atau gelisah menghadapi orang lain.


(55)

b. Kebersamaan (Immediacy)

Sikap kebersamaan ini dikomunikasikan secara verbal maupun nonverbal. Secara verbal orang yang memiliki sifat ini dalam berkomunikasi selalu mengikutsertakan dirinya dengan orang lain. Secara non verbal, orang yang memiliki sifat ini akan berkomunikasi dengan mempertahankan kontak mata ataupun gerakan-gerakan. c. Manajemen Informasi

Seseorang yang menginginkan komunikasi yang efektif akan mengontrol dan menjaga interaksi agar dapat memuaskan kedua belah pihak sehingga tidak seorang pun yang merasa diabaikan. d. Perilaku Ekspresif (Expresiveness)

Memperlihatkan keterlibatan seseorang secara sungguh-sungguh dalam berinteraksi dengan orang lain lebih membuat komunikasi antar pribadi lebih efektif.

e. Orientasi pada orang lain

Seseorang harus memiliki sifat yang berorentasi pada orang lain untuk mencapai efektifitas komunikasi antar pribadi. Artinya seseorang mampu untuk beradaptasi dengan orang lain selama berlangsungnya komunikasi antar pribadi.

Selain itu Bocner dan Kelly mengemukakan 5 kemampuan khusus di dalam komunikasi antar pribadi, yaitu:


(56)

pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah, sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan sesuai dengan orang yang bersangkutan.

2. Deskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, dan deskriptif

3. Kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami.

4. Sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi

5. Tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami

2.3 Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Dapat dikatakan,mesin cetak yang diciptakan oleh Johannes Gutenberg adalah cikal bakal dari perkembangan masif komunikasi massa saat ini. Sebagian atau sejumlah besar dari peralatan mekanik tersebut dikenal sebagai alat-alat komunikasi massa atau lebih dikenal dengan sebutan media massa, yang meliputi semua saluran ketika narasumber (komunikator) mampu mencapai jumlah


(57)

penerima (komunikan) yang luas serta secara serentak dengan kecepatan yang relatif tinggi.

Media massa serta proses komunikasi massa (peran yang dimainkannya) semakin meningkat derajat kepentingannya bagi masyarakat (McQuail : 1996 : 3). Asumsi ini ditopang oleh beberapa kondisi mengenai keeksisan media massa sebagai suatu institusi penting bagi masyarakat, dan kondisi tersebut antara lain adalah :

a. Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait. Media massa juga merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat lainnya dan institusi sosial lainnya.

b. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

c. Media massa merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan, untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat.

d. Media massa sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, gaya hidup, dan norma-norma.

e. Media massa telah menjadi sumber dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat


(58)

dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.

Media massa dengan peran idealnya tersebut saat ini banyak menuai stigma dari masyarakat. Media massa menjadi lembaga yang distigma sebagai institusi “penghasut”, “pencetus kerusuhan”, pencetus masalah sosial, dan sebagainya. Jadi, wajah ganda media massa menjadi profil utama industri media massa saat ini, karena di satu sisi ia menanamkan diri sebagai agen perubahan namun di sisi lain juga sebagai agen perusak.

Kondisi media massa saat ini bertolak belakang dari yang diharapkan, media massa saat ini justru miskin dari fungsi edukasi nilai-nilai kemanusiaan, media massa justru lebih banyak menjadi corong provokasi nilai-nilai materialismE, hedonismE, kekerasan, mistisme, dan nilai-nilai lain yang dianggap sebagai sumber pemicu berbagai persoalan sosial di masyarakat saat ini.

2.3.2 Televisi

Konvergensi teknologis telegrafi dan fotografi yang akhirnya membawa kelahiran televisi terjadi pada tahun 1884. Pada awal masa emasnya, televisi berhasil mengubah pola hidup orang Amerika kebanyakan. Bagi mereka, kegembiraan menghibur diri dengan cepat digantikan oleh kegembiraan dan pengharapakan akan dihibur. Arus berita dan hiiburan “langsung” terus menerus mengalir ke rumah-rumah dan menggantikan porsi waktu yang lumrah digunakan untuk membaca, berbincang, makan bersama, dan bahkan berkhayal. Kapasitas fotografi untuk menangkap dan melestarikan gambar-gambar realistik dari sebuah


(59)

keluarga, perumahan, atau tempat-tempat eksotik bukan hanya menyediakan rekaman historis atau pengganti yang murah untuk potret dan seni lanskap yang ditulis tangan, tetapi juga membantu mempercepat perubahan dalam cara orang memandang dunia dan menikmati waktu luang mereka. Orang segera mendapati bahwa gambar-gambar fotografis dapat mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang tersembunyi serta menciptakan ilusi-ilusi besar (Fidler, 2003 : 139-140).

Sebagai media massa pandang-dengar, televisi dinilai berbagai pihak sebagai media yang paling berhasil membuat informasi, cerita, atu segala sesuatu yangdisampaikan menjadi lebih menarik dan menyenangkan bagi para pemirsanya, disbanding media komunikasi yang lain. Hanya, berbagai keunggulan yang dimiliki televisi tersebut justru menjadi kelemahan dan potensi berbahaya, terutama anak-anak (Bagong, 1996 : 12). Televisi mampu menyedot perhatian sedemikian rupa sehingga membuat pemirsa tidak sempat lagi melakukan pendalaman terhadap apa yang diterimanya secara kritis, karena semuanya berlangsung begitu cepat, berulang-ulang, dan intensif. Masih menurut Bagong Suyanto, tayangan-tayangan yang terus dikonsumsi tersebut lama kelamaan akan terinternalisasi di benak pemirsa, terutama anak-anak. Televisi diibaratkan sebagai pisau, perpaduan antara bahaya dan kegunaan yang begitu tipis. Sepanjang masyarakat selalu kritis dan tidak terlena, maka televisi akan menjadi pisau yang bermanfaat.

Anak mengonsumsi televisi dengan berbagai motivasi, dikatakan bahwa anak mengonsumsi tayangan televisi karena mereka menganggap bahwa tayangan tersebut memiliki fungsi bagi mereka (Brown, 1976 : 98-101). Adapun beberapa


(60)

fungsi yang terkandung dalam tayangan televisi berdasarkan pengalaman anak-anak adalah:

a. Fungsi menghibur (emotional functions) b. Fungsi informasi (cognitive functions) c. Fungsi sosial (social functions)

d. Fungsi Non-sosial (escapist functions)

e. Fungsi berdasarkan tindakan mengonsumsi (medium level functions)

2.3.2 Program Acara di Televisi

Para akademisi dan praktisi meramalkan bahwa media massa, termasuk televisi, akan mengalami perubahan secara drastis baik sifat, peran, maupun jenisnya. Terutama peranannya, televisi di waktu yang akan datang akan lebih banyak mengambil peran sebagai institusi produktif daripada sebagai institusi edukasi. Hal ini disebabkan perubahan sosial yang begitu cepat dan tuntutan-tuntutan pemilik modal yang begitu kuat sehingga siapapun yang telah memilih untu berkecimpung di dunia pertelevisian akan memiliki visi yang sama, yaitu “menyelamatkan diri” dengan menyelamatkan stasiun televisinya dari kebangkrutan atau dari larinya pemilik modal. Menghadapi persoalan ini, maka secara substansial sebenarnya stasiun televisi sudah bermasalah, di mana visi dan misi media secara substansial juga sudah berubah (Bungin, 2008 : 325).

Dalam rangka menarik khalayak yang akan berdampak langsung pada pemasang iklan (pada stasiun televisi), televisi berusaha untuk membuat dan menayangkan acara-acara yang semenarik mungkin yang dapat berimbas pada


(61)

rating televisi. Karena dengan semakin tinggi rating sebuah acara, semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara tersebut meskipun dengan harga yang tinggi. Karena itulah semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin penonton. Salah satu jenis acara televisi yang "booming" dan hampir semua stasiun televisi mempunyai program acaranya adalah program sinetron.

Pada saat ditayangkannya suatu jenis tayangan, sebagian stasiun televisi menampilkan simbol yang menunjukkan pemirsa yang bagaimana yang layak mengonsumsinya, dalam hal ini berkaitan dengan usia yang cukup. Namun, pada dasarnya simbol ini tidak cukup mewakili esensi sinetron tersebut secara substansial. Ada kalanya, simbol yang menandakan bahwa anak-anak layak menyaksikannya, berisikan adegan-adegan yang masih jauh dari pemahaman anak. Jika anak terus menjejali dirinya dengan tayangan-tayangan yang belum mampu dicernanya tersebut, tentu tayangan tersebut tidak menjadi sesuatu yang bersifat edukatif, atau malah diragukan sifat rekreatifnya secara benar.

Saat ini tayangan televisi yang dibombardir ke khalayak sarat akan unsur-unsur yang diorientasikan pada selera pasar, bukan berdasarkan uji coba mengenai manfaatnya bgi yang mengonsumsinya. Tayangan televisi terjebak dalam mindstream yang berkembang di masyarakat, sehingga ini mengaburkan peran stasiun televisi, sebagai empunya sinetron, dalam menjadi media transformasi dan budaya yang sangat strategis dalam mencerdaskan masyarakat (Bungin, 2008 : 332). Tayangan televisi pada dasarnya memiliki fungsi strategis dalam mengaplikasikan fungsi pendidikan nasional, yakni membentuk watak serta


(62)

peradaban bangsa yang bermartabat. Dengan antusiasme masyarakat, termasuk anak-anak dalam menyaksikan tayangan televisi, rekayasa sosial bisa dilakukan, seperti membentuk sikap terpuji dan perasaan simpati serta empati, serta menjunjung nilai-nilai keadaban. Idealnya, tayangan televisi yang ditujukan untuk anak-anak memiliki keterkaitan dengan gejala kehidupan yang melingkupinya, antara lain persoalan sosial atau moralitas tertentu, tidak sukar dipahami, namun tetap menghibur.

Program acar khusus anak yang ditayangkan beberapa stasiun televisi berbeda judul atau jenis namun berjalan dengan langgam yang seragam. Dalam sinetron atau kartun, narasi cerita sering kali mengusung keajaiban. Setiap permasalahan selalu berawal dari konflik yang berbau kekerasan. Solusinya justru menawarkan jalan pintas yang menerabas batas rasionalitas. Dalam sinetron itu akal sehat nyaris tidak mendapat tempat. Sinetron dengan tema sentral keajaiban akan mengacak-acak logika dan sistematika berpikir anak. Disadari atau tidak, internalisasi nilai-nilai tersebut di benak seorang anak dapat membidani lahirnya generasi sumbu pendek. Sebuah generasi berpikiran instan yang merindukan keajaiban sebagai solusi dari tiap permasalahan yang dihadapinya.

Penggodokan suatu ide cerita untuk menjadi tayangan yang layak siar sejatinya membutuhkan proses yang panjang dan pemikiran yang bertumpu pada tanggung jawab, bukan pada kepentingan finansial semata. Penentuan tema sampai alur ceritanya secara kompleks serta target tayangan yang tepat adalah dua hal penting yang harus dipertimbangkan oleh para pengelola suatu tayangan.


(1)

Tabel 1. Daftar Pertanyaan dan Kesimpulan Jawaban Terbanyak

dari Hasil Wawancara Terhadap Anak

NO Pertanyaan Jawaban

1. Tindakan menonton televisi. Kegiatan menonton televisi sudah diikutsertakan ke dalam rutinitas harian anak. Meski dalam pelaksanaannya sering kali membutuhkan pengorbanan anak untuk membuktikan bahwa tugas lain telah diselesaikan, dengan kata lain menonton televisi adalah sebuah kegiatan yang dinanti-nanti oleh anak. Selebihnya, anak memiliki kebebasan penuh terhadap televisi. Televisi telah menjadi sahabat spesial bagi anak.

2. Tayangan kesukaan dan alasan menyukainya

Anak menyukai tayangan-tayangan yang diberi predikat khusus bagi anak oleh stasiun televisi, seperti sinetron anak, kartun, program informasi anak, dan program lain yang sejenis. Anak tidak memiliki alasan spesifik tentang latar belakang menyukai satu jenis atau lebih tayangan televisi. Kata “enak diikuti” merupakan ungkapan yang menurut para anak sangat mewakili alasan menyukai suatu tayangan. Selain itu, judul-judul


(2)

tayangan khas anak telah menjadi buah bibir di dunia pergaulan anak, sehingga anak akan merasa memiliki cap“ketinggalan” jika tidak ikut menyaksikan tayangan-tayangan tersebut.

3. Tokoh idola dan alasan mengidolakannya

Tokoh idola anak berkisar pada beberapa nama tokoh yang menjadi peran utama pada beberapa judul kartun. Alasannya berhubungan dengan kepiawaiannya dalam melakukan banyak hal, kesaktian ilmu yang dimiliki si tokoh beserta jurus-jurus yang menurut anak sangat menakjubkan. 4. Pemahaman tentang apa yang

ditonton.

Anak dapat memahami suatu tayangan itu nyata atau hasil olahan gambar dengan baik. Meski terkadang terdapat keraguan yang selanjutnya menimbulkan pertanyaan yang harus dibagi dengan orang tua. Tentang proses pembuatan atau pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, anak cenderung masih sangat bergantung dengan informasi yang diberikan orang tua.

5. Pengetahuan baru setelah menonton.

Anak memperoleh pengetahuan baru dari program-program informasi anak. Menurut mereka, di luar tayangan itu, yang ada adalah hiburan yang sangat menyenangkan. Pengetahuan baru ini sering


(3)

mereka cerna sendiri, ditambah pengulangan serta penguatan yang dilakukan oleh orang tua dengan memberi keyakinan bahwa informasi,sesederhana apa pun nilainya, akan sangat berguna bagi kehidupannya.

6. Pemahaman tentang tujuan menonton.

Anak mengerti tentang tujuan mereka menonton. Untuk melepas penat setelah seharian menjalani pendidikan formal maupun non formal, mengisi waktu luang, menghindari ketertinggalan kisah dari tayangan yang memang kerap diikuti alur ceritanya, serta hanya sebagai konsekuensi yang menyenangkan dari tidak dibolehkannya anak untuk bermain ke luar rumah, adalah beberapa motivasi yang melatarbelakangi anak untuk menonton televisi.

7. Batasan waktu menonton. Anak menganggap batasan yang diberikan orang tua tidak terlalu mengurangi durasi waktu yang dimilikinya. Terlebih jika batasan tersebut di lakukan pada jam-jam di mana tayangan televisi favoritnya belum naik tayang. Selain itu, anak merasa bahwa pembatasan yang dilakukan orang tua selalu didasari dengan alasan yang menurut


(4)

mereka memang baik. 8. Peran orang tua dalam

menyeleksi program tayangan.

Berdasarkan pengalaman anak, orang tua mereka selalu memberi larangan keras bagi mereka untuk menonton tayangan jenis sinetron percintaan. Dengan gaya bahasa khas mereka, anak menyebutkan bahwa unsur asusila, tindak kekerasan, hidup bermewah-mewahan, ajaran berkata kasar, serta beberapa nilai negaif lainnya, adalah nilai-nilai yang menurut orang tua mereka terkandung dalam sinetron percintaan tersebut. Di luar jenis tayangan jenis itu, anak diperkenankan untuk menonton.

9. Perasaan saat menonton. Anak mengalami pengalaman afektif ketika menonton. Rasa takut, senang, dan menggelitik, merupakan perasaan yang diperoleh anak ketika dan sehabis menonton. Rasa-rasa yang dirasa anak patut diulang tersebutlah yang selanjutnya membuat anak merasa harus menyaksikan kembali suatu tayangan televisi.

10. Intensitas mengonsultasikan pertanyaan-pertanyaan terhadap apa yang disaksikan kepada

Ketidakpahaman terhadap suatu tayangan memunculkan kebingungan atau keingintahuan dari anak. Orang tua adalah sumber informasi utama


(5)

orang tua. bagi mereka untuk bertanya. Proses Tanya jawab ini berlangsung ketika anak dan orang tua sedang berada pada ruangan televisi bersama. Sehingga ketika anak menonton sendirian, dirinya hanya menerima begitu saja apa yang ditontonnya, meski terkadang dirinya tidak paham tentang apa yang ditonton.

11. Intensitas menonton dengan atau tanpa dampingan orang tua.

Intensitas menonton bersama ibu lebih tinggi dibanding bersama ayah. Hal ini dikarenakan pekerjaan para kepala keluarga yang kerap menyita waktu. Namun, menonton bersama satu keluarga penuh juga tidak jarang terjadi pada setiap keluarga yang diteliti. Tetapi, intensitas menonton sendirian memiliki porsi yang jauh lebih tinggi dibanding bersama ayah atau ibu.

12. Tindakan peniruan terhadap apa yang ditonton.

Anak menyatakan bahwa peniruan yang dilakukan biasanya tentang jurus-jurus yang biasanya mereka peroleh dari judul-judul sinetron atau kartun bertema kepahlawanan, dan ini biasa mereka praktikkan bersama teman ketika bermain bersama. Selain itu, mereka juga sering meniru gaya bicara khas yang dimiliki oleh tokoh-tokoh yang berperan


(6)

dalam suatu tayangan. Gaya berpakaian serta penampilan fisik lainnya juga termasuk dalam peniruan yang mereka lakukan. Peniruan dilakukan didasari rasa kagum terhadap tokoh-tokoh yang diidolakan, sehingga terdapat rasa bahagia tersendiri ketika melakukan atau menggunakan hal-hal serupa dengan si tokoh.

13. Pendapat anak tentang tindakan orang tua terhadap hal-hal yang belum diketahui oleh anak, dan hal tersebut terkandung dalam tayangan televisi.

Anak memandang orang tua sangat berperan sebagai penerjemah bagi mereka. Pesan yang ada, apa pun jenisnya, baik itu sifatnya moralis atau tidak, penting atau tidak penting, layak diingat atau wajib dibuang, diberitahukan ke mereka oleh orang tua. Anak menganggap orang tua sebagai pihak yang mengetahui segalanya, sehingga tanpa ditanya, orang tua akan memberitahu hal-hal yang tidak mereka kenali atau tidak mereka ketahui. Namun, kembali lagi, hal ini dilakuka ketika anak sedang mengonsumsi tayangan televisi bersama orang tuanya.


Dokumen yang terkait

Peran Orang Tua Dalam Membatasi Tayangan Televisi Bagi Anak di Perguruan TK Permata Bangsa Binjai Barat (Studi Kasus Terhadap Wacana Di Hapusnya Beberapa Tayangan Kartun Di Indonesia)

0 72 124

PERAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN JEJARING SOSIAL (Studi Deskriptif Tentang Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial Oleh Remaja Di Lingkungan VII Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia)

0 37 7

Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial (Studi Deskriptif Tentang Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial Oleh Remaja Di Lingkungan VII Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia)

14 94 75

Respon Masyarakat Terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Di Kelurahan Pekan Tanjung Morawa Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang

1 39 127

Peran Orang Tua Dalam Membatasi Tayangan Televisi Bagi Anak di Perguruan TK Permata Bangsa Binjai Barat (Studi Kasus Terhadap Wacana Di Hapusnya Beberapa Tayangan Kartun Di Indonesia)

1 22 124

Peran Orang Tua Dalam Membatasi Tayangan Televisi Bagi Anak di Perguruan TK Permata Bangsa Binjai Barat (Studi Kasus Terhadap Wacana Di Hapusnya Beberapa Tayangan Kartun Di Indonesia)

0 0 16

Tinjauan Sosiologi Terhadap Kenakalan Re

0 0 13

PERAN ORANG TUA DALAM PEMAHAMAN ETIKA SOSIAL ANAK

0 0 25

Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial (Studi Deskriptif Tentang Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial Oleh Remaja Di Lingkungan VII Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia)

0 0 8

PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI ANAK DI PERUM TANJUNG RAYA PERMAI KELURAHAN PEMATANG WANGI KECAMATAN TANJUNG SENANG BANDAR LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 0 106