Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan zaman turut mendorong perkembangan teknologi, dan perkembangan teknologi menuntut perubahan dan perkembangan kebutuhan. Kini manusia dihadapkan pada kebutuhan informasi dan kebutuhan hiburan sebagai pelepasan rasa jenuh, marah, senang, dan perasaan lainnya. Perkembangan teknologi menjadikan banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Jarak kini tidak lagi menjadi masalah, dengan teknologi informasi yang turut berkembang semakin besar kemungkinan untuk memperoleh dan mengakses informasi dari seluruh penjuruh dunia. Satu-satunya hal yang tak pernah berubah dalam teknologi dan industri komunikasi adalah fakta bahwa teknologi dan industri tersebut terus berubah. Televisi adalah salah satu bentuk konkret dari perubahan yang kontinu tersebut Fiddler, 2003 : xxii. Jika dibandingkan dengan media massa lainnya televisi mempunyai sifat istimewa. Televisi bersifat audiovisual, yakni gabungan dari media dengar dan gambar hidup bergerak yang bisa bersifat politis, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari unsur-unsur tersebut. Media televisi dapat menyajikan pesan yang sebenarnya merupakan hasil dramatisir secara audiovisual dan unsur gerak dalam waktu bersamaan. Televisi sebagai media massa idealnya memiliki beberapa fungsi, antara lain fungsi informatif, edukatif, rekreatif, dan sebagai sarana menyosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman-pemahaman, baik yang lama maupun yang baru. Universitas Sumatera Utara Tak terbatasnya dunia komunikasi massa melalui media massa seperti televisi mengantarkan masyarakat pada arus perubahan peradaban yang cepat. Televisi saat ini seakan menjadi guru elektronik yang mengatur dan mengarahkan serta menciptakan budaya massa baru. Banyak hal bisa dipelajari, baik itu secara sengaja maupun tanpa Banyak gaya hidup yang diimitasi dan diadopsi dari apa yang disajikan televisi, bahkan para pemirsa televisi menjadi begitu permisif untuk mengadakan penjadwalan ulang kegiatan demi satu atau beberapa jenis tayangan televisi kesukaan. Keberadaan stasiun televisi di Indonesia menunjukan perkembangan yang cukup spektakuler. Secara nasional, 11 stasiun televisi yang berpusat di Jakarta mempunyai stasiun relay di berbagai wilayah. Dari jumlah tersebut, hanya satu yang status kepemilikannya saat ini berbadan hukum Lembaga Penyiaran Publik yakni TVRI, selebihnya berbadan hukum swasta. Menjamurnya stasiun televisi menumbuhkan ketatnya persaingan antar industri penyiaran, sehingga perang program siaran antar televisi menjadi menu wajib sehari-hari. Program yang ditawarkan berorientasi pada pemenuhan selera pasar. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan terkadang tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Padahal, penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Persepsi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tayangan televisi memang cenderung mengarah ke nilai negatif. Banyak penelitian yang berujung pada satu kesimpulan seragam, yakni bahwa tayangan televisi membawa dampak negatif yang lebih besar dibanding dampak Universitas Sumatera Utara positifnya. Efek negatif dari konsumsi berlebih terhadap media televisi sudah sangat sering kita dengar dengan beragam bentuknya, bahkan tidak jarang dampak negatif tersebut berkaitan langsung dengan suatu peristiwa sadistis. Adapun sedikit efek yang dianggap baik atau positif dari tayangan televisi bagi anak antara lain adalah : 1. Menambah kosakata terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari. 2. Anak dapat belajar tentang berbagai hal melalui program edukasi dari siaran televisi serta dapat menambah wawasan dan minat. 3. Anak mengenal berbagai aktivitas yang bisa dilakukannya. 4. Anak mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan acara-acara khusus untuk anak, walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia YKAI, persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 sampai dengan 4,5 dari total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi, ternyata persentase kecil ini pun ada yang materinya cenderung menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak dari http:www.suaramerdeka.comharian070504opi04.htm diunduh pada tanggal 4 Februari 2010. Universitas Sumatera Utara Saat ini, tayangan televisi dipenuhi dengan beragam judul sinetron. Sinetron mudah dinikmati oleh siapa saja, termasuk anak-anak, walau terkadang sinetron tersebut berisi tentang cerita kehidupan yang belum sesuai untuknya. Sinetron anak juga tidak jarang memasukkan adegan selingan yang tidak layak dikonsumsi anak-anak ke dalam cerita utamanya, misalnya tentang percintaan, persaingan yang tidak sehat, perkelahian, atau saling hina dengan menggunakan kata-kata kasar. Cerita untuk anak pada dasarnya haruslah mengangkat tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting yang ada di sekitar mereka atau ada di dunia mereka, tokoh dan penokohan mengandung peneladanan yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu mengembangkan bahasa anak, sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak-anak. Cerita yang banyak disuguhkan saat ini terkadang terlalu berlebihan dalam menonjolkan khayal yang jauh dari realita kehidupan. Namun dapat ditebak jika anak-anak akan tetap tertarik atau malah semakin tertarik untuk menontonnya, karena anak-anak dikatakan sangat menyukai dongeng, cerita rakyat, dan bahkan cerita khayalan. Kesan-kesan tersebut dilengkapi dengan fantasi anak. Namun, pada realitas yang terjadi sehari- hari, anak-anak tidak hanya menunjukkan minatnya terhadap tayangan yang berkisah tentang cerita-cerita fantasi yang sarat khayal. Anak-anak sekarang sudah turut serta menyaksikan tayangan-tayangan yang bukan ditargetkan untuk mereka. Tayangan yang dianggap baik, seperti program informasi khusus anak, acara musik, atau acara yang menampilkan kreativitas serta bakat anak, juga Universitas Sumatera Utara cukup mewarnai tayangan televisi. Hanya saja durasi serta jam tayanganya terkadang tidak mendukung anak untuk menyaksikan tayangan-tayangan tersebut. Anak-anak mengakrabi televisi untuk bermacam tujuan, mulai dari sekadar mengisi waktu, mengurangi kebosanan, memenuhi rasa ingin tahu, sampai mempelajari banyak hal. Dalam seminggu, anak-anak di Indonesia menonton televisi selama 30-35 jam, atau 1560-1820 jam setahun. Angka ini jauh lebih besar ketimbang jumlah jam belajar di sekolah dasar yang tak lebih dari 1000 jamtahun. Maka, ketika seorang anak menginjak usia SMP, dia sudah menyaksikan televisi selama 15.000 jam. Sementara, waktu yang dihabiskannya untuk belajar tak lebih dari 11.000 jam saja dari http:literasimedia.wordpress.com20070720mematikan-televisi-siapa-takut diunduh pada tanggal 4 Februari 2010. Data pola menonton televisi pada anak-anak tersebut menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikhawatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam mempengaruhi anak-anak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak membuat anak tidak mempunyai daya saring terhadap tayangan yang tidak mendidik Dictum edisi September 2007, hal.5. Universitas Sumatera Utara Anak-anak menonton apa saja karena kebanyakan keluarga tidak memberi batasan menonton yang jelas. Padahal, disadari atau tidak, tindakan konsumtif terhadap televisi dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak. Anak-anak usia sekolah dasar, yakni antara 5 sampai 12 tahun, baru memasuki masa di mana mereka dapat mengenali dan selanjutnya bersimpati atau bahkan berantipati terhadap apa saja yang menarik perhatiannya. Pada usia tertentu ketika berada pada fase sekolah dasar, anak kurang dapat melihat perbedaan khayalan dan kenyataan. Pada usia ini, anak cenderung lebih mudah percaya, terpengaruh dan selanjutnya mengimitasi hal-hal yang dilihatnya, termasuk tayangan televisi. Terlebih jika kegiatan menonton tesebut dilakukan dalam intensitas dan frekuensi tinggi serta tanpa didampingi orang tua. Kekhawatiran akan penetrasi dampak negatif tayangan yang pada dasarnya tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak dapat diminimalisir dengan kesediaan orang tua dalam menunjukkan peranannya sebagai “penerjemah” bagi anak. Kekhawatiran tersebut sering kali menjadi nyata, ketika para pemirsa televisi lebih banyak mengeluhkan dampak negatif yang mungkin terjadi ketimbang memainkan peranannya sebagai penyaring sekaligus pelindung dari tayangan yang mendapat tuduhan dipenuhi oleh dampak negatif tersebut. Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Dari penjabaran Universitas Sumatera Utara mengenai peranan orang tua tersebut, dapat disimpulkan betapa besarnya peranan orang tua dalam memenuhi kebutuhan, mendidik, mengendalikan, serta menjadi teladan bagi anaknya. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan segala aktivitas anak, serta harus bisa membimbing, mengawasi dan mengarahkan untuk melakukan kebaikan dari http:ierha.ngeblogs.com20100106pengaruh-tayangan-televisi-terhadap- tingkah-laku-anak diunduh tanggal 2 Februari 2010. Para orang tua yang cerdas dalam memberikan pemahaman tentang tayangan-tayangan yang sering disaksikan oleh anak-anak mereka akan lebih dapat membentengi pemikiran anak dari dampak negatif yang mungkin saja muncul dari tayangan tersebut. Lebih jauh lagi, para orang tua pada dasarnya juga memiliki hak untuk memilihkan tayangan yang tepat untuk anak-anaknya. Namun, yang terjadi, orang tua cenderung membiarkan anak-anaknya “diasuh” oeh tayangan televisi, tanpa memedulikan tayangan seperti apa yang sedang dinikmati buah hatinya. Penanaman pemahaman atau pemilihan tayangan menjadi hal yang disepelekan. Padahal, pemberian pemahaman tentang hal tersebut akan menjadikan anak-anaknya menjadi lebih mengerti maksud dari tayangan yang sedang ditontonnya. Pengertian tersebut pada gilirannya akan menuju pada pemahaman tentang tayangan seperti apa yang memang patut disaksikan, patut dipercaya, atau lebih patut ditinggalkan. Di sinilah dibutuhkan suatu kemampuan yang disebut dengan literasi media. Literasi media yang diterjemahkan menjadi ‘melek media’, adalah kemampuan untuk memilah, mengakses, dan menganalisis isi media. Literasi Universitas Sumatera Utara media dianggap sebagai kemampuan yang sudah semestinya dimiliki oleh tiap individu konsumen media massa, sehubungan dengan banyaknya media massa yang ada di tengah-tengah kita. Fakta berbicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik atau pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Literasi media bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya Baran, 2009 : 26-27. Pemilihan lokasi pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kedekatan peneliti terhadap warga setempat karena lokasi penelitian merupakan lokasi di mana peneliti tinggal, selain itu, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan literasi media menjadi sesuatu hal yang bersifat mendesak untuk dimiliki bagi siapapun, terlebih bagi para orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah dasar, sehingga peneliti berasumsi bahwa di manapun penelitian dilakukan, tingkat ketertarikan maupun urgensinya cenderung sama. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, peneliti merasa sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang Peran Orang Tua Dalam Peningkatan Pemahaman Terhadap Tayangan Televisi Pada Anak Di Lingkungan III, Kelurahan Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa.

1.2 Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Peran Orang Tua Dalam Membatasi Tayangan Televisi Bagi Anak di Perguruan TK Permata Bangsa Binjai Barat (Studi Kasus Terhadap Wacana Di Hapusnya Beberapa Tayangan Kartun Di Indonesia)

0 72 124

PERAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN JEJARING SOSIAL (Studi Deskriptif Tentang Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial Oleh Remaja Di Lingkungan VII Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia)

0 37 7

Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial (Studi Deskriptif Tentang Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial Oleh Remaja Di Lingkungan VII Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia)

14 94 75

Respon Masyarakat Terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Di Kelurahan Pekan Tanjung Morawa Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang

1 39 127

Peran Orang Tua Dalam Membatasi Tayangan Televisi Bagi Anak di Perguruan TK Permata Bangsa Binjai Barat (Studi Kasus Terhadap Wacana Di Hapusnya Beberapa Tayangan Kartun Di Indonesia)

1 22 124

Peran Orang Tua Dalam Membatasi Tayangan Televisi Bagi Anak di Perguruan TK Permata Bangsa Binjai Barat (Studi Kasus Terhadap Wacana Di Hapusnya Beberapa Tayangan Kartun Di Indonesia)

0 0 16

Tinjauan Sosiologi Terhadap Kenakalan Re

0 0 13

PERAN ORANG TUA DALAM PEMAHAMAN ETIKA SOSIAL ANAK

0 0 25

Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial (Studi Deskriptif Tentang Peran Orang Tua Dalam Penggunaan Jejaring Sosial Oleh Remaja Di Lingkungan VII Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia)

0 0 8

PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI ANAK DI PERUM TANJUNG RAYA PERMAI KELURAHAN PEMATANG WANGI KECAMATAN TANJUNG SENANG BANDAR LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 0 106