yakni kemampuan orang untuk membaca. Tetapi selanjutnya literasi berkembang ke arah visual, dengan melihat pada bentuk media massa lain, seperti televisi dan
film. Orang-orang yang melek media lebih mampu dalam memaknai pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa. Kemampuan literasi media membuat
seseorang tidak hanya memahami “permukaan” dari isi media tetapi lebih dalam lagi dan sering kali lebih dapat memahami makna yang lebih penting ketimbang
apa yang tampak di permukaan tersebut.
William James Porter Massey, 2001 : 31 menyatakan bahwa literasi media merupakan sebuah perspektif, di mana kita menganalisis media dan
menginterpretasikan makna pesan yang kita terima dari media tersebut. Perspektif tersebut dibangun dari pengetahuan yang terstruktur. Untuk membangun
pengetahuan yang berstruktur tersebut, dibutuhkan “alat dan bahan”. Alatnya adalah kemampuan, dan bahannya adalah informasi yang disajikan media serta
informasi yang terdapat di kehidupan nyata. Literasi media berdasarkan pada empat pokok pikiran berikut :
a. Literasi media adalah sebuah kontinum dan bukan kategori.
Literasi media bukanlah keadaan kategorisasi, seperti halnya kenaikan tingkat sekolah atau asal kebangsaan, literasi media adalah suatu kontinum yang memiliki
derajat. Ada pengisian posisi di sini, namun tidak akan ada khalayak yang disebut non literasi, juga tidak ada yang digolongkan sebagai orang yang berliterasi
penuh. Selalu ada ruang untuk berkembang.
Universitas Sumatera Utara
b. Literasi media harus dikembangkan
Posisi seorang konsumen media dalam kontinum literasi media dapat meningkat ke level yang lebih tinggi. Perubahan yang terjadi muncul dari proses
pematangan serta dibutuhkannya pembiasan secara sadar. Disebut pematangan, karena kapasitas kita tumbuh dari sejak lahir sampai kita dewasa. Ketika seorang
individu dikatakan matang secara emosional, moral, maupun rasional, individu tersebut akan lebih memiliki peluang untuk mencapai level melek media, dalam
artian tanggap terhadap pesan-pesan yag disampaikan media. Pada dasarnya kedewasaan juga turut membangkitkan potensi literasi
seseorang, dengan catatan ada pengembangan secara aktif terhadap potensi tersebut yang didukung dengan pengembangan pengetahuan dalam berbagai hal.
Jika hanya berpasrah diri di hadapan media, tidak akan terjadi peningkatan potensi tersebut, yang terjadi adalah selalu sependapat sekaligus puas dengan informasi
yang disajikan media, walau terkadang infor,asi tersebut tidak seimbang atau tidak lengkap.
c. Literasi media bersifat multidimensional
Ada empat dimensi literasi media yang saling berinterelasi, yaitu dimensi kognitif, dimensi emosional, dimensi estetika, dan dimensi moral.
Dimensi kognitif merujuk pada proses mental dan proses berpikir. Kemampuan kognitif dimulai dari kesadaran sederhana terhadap simbol-simbol
sampai dengan pemahaman kompleks tentang bagaimana sebuah pesan diproduksi dan mengapa pesan tersebut ditampilkan dengan wujudnya yang seperti itu. Ini
juga disebut dimensi intelektual. Dikatakan bahwa struktur pengetahuan yang baik
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi kemampuan dalam mengkonstruksi makna dar sebuah pesan media.
Dimensi emosional disebut juga dengan dimensi perasaan. Beberapa orang memiliki sangat sedikit kemampuan untuk memperoleh pengalaman emosional
selama diterpa media, sementara beberapa orang lainnya cenderung sangat sensitif untuk merasakan berbagai jenis emosi di dalamnya. Emosi sering diasosiasikan
dengan dampak-dampak negatif jika dikaitkan dengan sejumlah pesan media yang sarat dengan eksploitasi hal-hal kekerasan atau menakutkan. Emosi pada dasarnya
juga bernilai positif. Ketika kita turut berduka atas derita seseorang yang ditampilkan di suatu media, dapat dikatakan tingkat literasi media kita sudah
cukup tinggi. Kebutuhan emosional bukan hanya yang dianggap berpengaruh, seperti
kemarahan, ketakutan, hasrat, dan kebencian. Seorang sutradara dapat dengan mudah menemukan simbol-simbol yang dapat memicu perasaan-perasaan
tersebut, jadi pada dasarnya tidak dibutuhkan derajat literasi yang tinggi untuk memperoleh dan memahami gejala emosi tersebut. Ada juga perasaan-perasaan
yang lebih sukar diketahui, rasa bingung, waspada, dan lain-lain. Mengkreasikan pesan yang memuat gejala emosi ini membutuhkan kemampuan yang lebih tinggi
bagi para pemroduksinya dan tingkat melek media yang tinggi juga dibutuhkan oleh para pemirsa untuk menangkap simbol-simbol yang menyampaikan emosi
tersebut, dan untuk merasakan emosinya, sang sutradara mencoba “memancing”. Dimensi estetis merujuk pada kemampuan untuk menikmati, memahami,
dan mengapresiasi dari sudut pandang artistik. Apresiasi ini membutuhkan
Universitas Sumatera Utara
kesadaran tentang kemampuan kompleks dalam memproduksi sebuah pesan media, serta kemampuan untuk mendeteksi perbedaan antara seni dan “hal yang
dibuat-buat”. Dimensi moral merujuk pada kemamapuan untuk menarik kesimpulan dari
nilai-nilai yang tertanam di dalam pesan media. Media massa memiliki peranan besar dalam mengarahkan pemikiran khalayak menuju tema moral yang sesuai
dengan apa yang mereka harapkan. Misalnya, dalam tayangan komedi situasi, nilai-nilai yang digambarkan antara lain bahwa humor merupakan alat yang
penting ketika memecahkan masalah; akal adalah kekuatan’ dan tidak ada masalah yang serius, semuanya dapat diatasi dalam setengah jam. Hanya orang
dengan tingkat melek media tinggi yang dapat menangkap pesan-pesan moral dengan baik. Harus dipikirkan dan diperhatikan tentang setiap karakter dari
permulaan agar mampu memfokuskan diri pada proses pemaknaan secara keseluruhan.
Bagi orang dengan tingkat melek media rendah, kecenderungan untuk menerima semua elemen yang disaksikan atau didengar dari suatu pesan media
tanpa mampu membedakan. Untuk tingkat yang lebih tinggi, terdapat kesadaran tentang nilai-nilai yang tampak pada “permukaan” pesan. Pada level tertinggi,
diperoleh pola penilaian yang berada di balik pesan, dan menempatkan diri pada suatu posisi, apakah menyetujui nilai tersebut atau bahkan menolaknya.
Universitas Sumatera Utara
d. Tujuan literasi media adalah untuk memberi kontrol lebih bagi khalayak ketika menafsirkan pesan.