4.2 Hasil Wawancara
Peneliti melakukan penelitian terhadap sepuluh keluarga, dengan ketentuan bahwa keluarga tersebut terdiri atas unsur inti yang lengkap, yakni ada
ayah dan ada ibu, serta di dalam keluarga tersebut memiliki anak dengan usia antara 6 sampai 12 tahun. Wawancara dilakukan terhadap kedua orang tua dan
anak yang berusia sesuai dengan ketentuan tersebut full family. Sepuluh keluarga yang dipilih masing-masing memiliki perbedaan dalam hal karakteristik
demografis, baik usia, jenis pekerjaan, pendidikan, dan jumlah anak yang dimiliki. Keberagaman ini, menurut peneliti akan dapat memberikan warna yang berbeda
dalam hal pengungkapan opini. Adapun tahapan proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut :
1. Peneliti datang ke rumah keluarga yang terpilih menjadi informan untuk
memberitahukan tujuan peneliti dalam melakukan wawancara serta menanyakan kesediaan setiap keluarga untuk diwawancarai.
2. Setelah mendapat persetujuan, peneliti menanyakan kembali waktu yang
paling tepat bagi peneliti untuk melakukan wawancara tersebut. Kebanyakan keluarga langsung mempersilahkan peneliti untuk mewawancarai mereka,
namun ada juga yang menyatakan kesediaannya untuk diwawancara pada hari- hari berikutnya. Pada umumnya ibu dan anak yang menjadi informan pilihan
berada di rumah dalam kapasitas yang mudah ditemui, sedangkan kepala keluarga kebanyakan bekerja di luar rumah sehingga peneliti baru dapat
menemui ketika malam tiba.
Universitas Sumatera Utara
3. Peneliti melakukan wawancara sambil mengobrol, dan selalu mendahulukan
wawancara terhadap orang tua lalu ke anak. 4.
Saat wawancara, peneliti hanya membawa secarik kertas berisi acuan wawancara serta telepon seluler sebagai alat perekam, hal ini dilakukan agar
tidak menimbulkan kesan kaku yang dapat menimbulkan kegugupan dalam proses tanya jawab selanjutnya.
Informan 1 Keluarga Bapak Nazlan
Keluarga Bapak Nazlan 48 tahun dan Ibu Fatonah 42 tahun terdiri atas lima anggota keluarga, termasuk tiga anak laki-laki mereka. Dalam kesehariannya
Bapak Nazlan menjalankan usaha wiraswasta, tepatnya berdagang kebutuhan sehari-hari di sebuah toko yang terletak di samping rumahnya sendiri. Usaha yang
dijalankan tersebut dikatakannya cukup menyita waktu dan tenaga, sehingga istri dan anak-anaknya turut membantu dalam proses jual beli tersebut. Kedua suami
istri yang sama-sama menamatkan pendidikannya sampai ke jenjang SMP ini mengatakan bahwa toko tersebut merupakan sumber nafkah utama dan cukup
menjanjikan bagi mereka. Dalam keluarga Pak Nazlan, televisi bukanlah sebuah benda yang aktif,
dalam artian, intensitas menonton televisi cenderung minimal. Selain disebabkan kesibukan keluarga tersebut di toko yang mereka kelola terdapat juga penilaian
negatif terutama dari kepala keluarga mengenai dampak buruk dari tayangan televisi, terutama bagi anak bungsu mereka, Raihan yang berusia 9 tahun.
Tayangan televisi dianggap membuat Raihan menjadi pasif, terpaku, dan
Universitas Sumatera Utara
terkonsentrasi penuh, sehingga mengakibatkan dirinya enggan untuk mengerjakan aktivitas lain yang sebenarnya lebih penting. “Saya terkadang menyembunyikan
steker televisi di saat-saat Raihan harus turut membantu di toko”, ungkap Pak Nazlan yang beranggapan bahwa hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
mendisiplinkan anak, sehingga anak menjadi lebih terampil membagi waktu, baik untuk urusan sekolah maupun tugasnya di rumah.
Bahkan Pak Nazlan mengaturkan jadwal rutinitas bagi si anak, antara lain jadwal les, mengaji, serta sekolah, yang cukup padat dengan harapan waktu yang
dimiliki oleh anaknya tidak tersita oleh kegiatan yang sia-sia, termasuk menonton televisi. Selain itu, sedapat mungkin Pak Nazlan senantiasa mengajak Raihan
untuk Shalat berjamaah di masjid yang letaknya tepat di depan tokonya. Karena bagi Pak Nazlan tayangan televisi memiliki potensi menghipnotis yang cukup
kuat, “Kalo udah di depan televisi ya dianya melongo aja terus, sampe berapa jam juga tahan”, ujar Pak Nazlan menggambarkan kondisi anaknya ketika sedang
menikmati tayangan televisi kesukaannya yang didominasi oleh kartun dan sinetron yang bersifat fantasi.
Mengenai keberadaan kedua orang tua ketika anak sedang menyaksikan televisi, mereka berdua mengatakan bahwa tidak ada waktu untuk menemani
mengingat kesibukan di toko mereka. Perihal konsumsi nilai-nilai moral maupun amoral yang kerap terkandung dalam suatu tayangan, termasuk kartun maupun
sinetron fantasi favorit anaknya, mereka serahkan sepenuhnya kepada Raihan. Mereka menganggap Raihan akan memahami maksud dari apa yang ditontonnya
tersebut dengan sendirinya.
Universitas Sumatera Utara
Ibu Onah sendiri mengungkapkan bahwa dirinya sependapat dengan suaminya dalam hal membatasi waktu menonton bagi Raihan. Ibu Onah bukanlah
pecinta sinetron-sinetron yang mengangkat tema-tema keluarga, namun terkadang dirinya menonton sinetron tersebut di sela-sela waktu antara selesai menutup toko
dan sebelum tidur. Biasanya, Raihan turut serta menyaksikan sinetron tersebut, namun beliau menyatakan jika terdapat konten dewasa yang belum layak
disaksikan oleh Raihan, televisi akan langsung dimatikan. Pak Nazlan menganggap kegiatan menonton televisi sebagai sesuatu yang sia-sia, sehingga
menonton televisi bersama satu keluarga inti hampir tidak pernah terjadi. Bahkan siaran berita sering kali hanya disaksikan oleh Pak Nazlan seorang diri, itu pun
dengan catatan tokonya sudah tutup. Dapat dikatakan, baik Pak Nazlan maupun Bu Onah tidak mendukung kegiatan menonton televisi yang dilakukan oleh
Raihan. “Masih banyak kerjaan lain yang lebih penting, dibanding nonton televisi yang memang kurang ada manfaatnya”, tegas Pak Nazlan.
Pak Nazlan, selaku kepala keluarga, memegang kendali penuh terhadap tindakan mengonsumsi televisi yang dilakukan oleh Raihan. Dirinya membuat
batasan ketat dalam hal porsi waktu menonton, di hari-hari sekolah Senin sampai Sabtu diperkirakan Raihan menonton televisi sekitar 1 sampai 2 jam sedangkan
Minggu merupakan hari “bonus” baginya, pada hari tersebut Raihan diberi kebebasan menonton di pagi hari namun tetap dibatasi. Masalah konten tayangan
yang disaksikan, beliau cenderung meyakini bahwa sang anak tidak akan memilih tayangan yang tidak sesuai dengan usianya.
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh tayangan televisi, menurut mereka terkadang tampak pada gaya berbicara dan penggunaan kosa kata baru yang diucapkan oleh Raihan, dan
terdengar aneh, namun masih dalam batas wajar dan tidak dalam jangka waktu yang berkepanjangan. Selebihnya, tidak ada pengaruh yang berarti dalam
pengamatan Pak Nazlan maupun Ibu Onah, dan mereka yakin bahwa ini merupakan buah dari hasil pembatasan terhadap jadwal menonton televisi yang
mereka lakukan. Mengenai dampak media, terutama televisi, Pak Nazlan kembali pada
pernyataan bahwa setiap tayangan yang disajikan memiliki potensi melemahkan fungsi otak, termasuk otak anaknya. Menurutnya, ketika menonton televisi,
Raihan cenderung akan malas bergerak dan malas berpikir. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap tingkat intelegensi maupun postur tubuh
Raihan selanjutnya. Jika tidak dibatasi sejak dini, Pak Nazlan yakin kegiatan menonton televisi terlalu lama akan dapat melemahkan kemampuan berpikir dan
membuat anaknya menjadi tidak enerjik, bahkan dirinya juga mewaspadai ancaman obesitas.
Beberapa judul program acara yang terkadang disaksikan Raihan, menurut sepengetahuan mereka tidak memiliki nilai edukatif sedikitpun, “Paling ngajari
berantem sama ngomong kasar, kalau yang mendidik betul-betulan ya kami selaku orang tua juga guru-gurunya di sekolah”, ungkap Pak Nazlan. Meski mengaku
tidak mengetahui bagaimana isi program yang ditonton Raihan, Pak Nazlan tetap teguh mempertahankan prinsipnya tersebut, menurutnya program acara yang
sedang digemari saat ini tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya,
Universitas Sumatera Utara
sehingga hanya dengan melihat satu judul kartun di tahun sebelumnya, sudah dapat dipastikan akan muncul kembali kartun-kartun berwujud berbeda dengan isi
yang sama pada tahun-tahun berikutnya. Karena minimnya jumlah jam menonton membuat Pak Nazlan maupun Bu
Onah tidak terlalu mengetahui perkembangan program acara di televisi, dan mengakibatkan mereka juga tidak dapat memberikan tanggapan tentang program
yang baik maupun buruk bagi Raihan. Mereka berpendapat bahwa Raihan tahu program mana yang memang ditujukan bagi dirinya. Tidak ada harapan konkret
tentang program acara yang ideal menurut kacamata mereka, karena mereka juga menyadari, jika pun ada program yang sangat baik bagi anak bungsunya tersebut,
belum tentu ada kesempatan untuk menyempatkan waktu menontonnya.
Dari proses wawancara yang peneliti lakukan terhadap Keluarga Bapak Nazlan, dapat disimpulkan beberapa hal. Di keluarga ini orang tua menunjukkan
peranannya sebagai pendamping anak dalam mengonsumsi media, yaitu memberi batasan seketat-ketatnya terhadap tindakan mengonsumsi program-program
televisi. Kelangkaan kesempatan menonton televisi bersama Raihan membuat Pak Nazlan maupun Bu Onah tidak pernah tahu bagaimana penerimaan Raihan
terhadap apa yang disaksikannya. Semua diserahkan pada Raihan. Sikap antipati yang ditujukan Pak Nazlan maupun Bu Onah terhadap televisi mendorong dirinya
untuk tidak terlalu peduli dalam mencari tahu tentang ketidaktahuan Raihan terhadap setiap tontonan yang ditontonnya.
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
Dapat dikatakan bahwa tingkat melek literasi media Pak Nazlan dan Bu Onah sudah baik, jika dilihat dari pengawasan super ketat yang mereka lakukan
dengan berpijak pada hal-hal yang mereka antisipasi dan pemahaman mereka dalam melihat dampak media, baik yang berlaku jangka pendek maupun yang
mereka anggap akan terjadi di masa yang akan datang. Namun, pendampingan memang tidak pernah dilakukan karena ketiadaan waktu bagi mereka berdua
untuk bersantai terlalu lama. Penyeleksian serta pengarahan juga tidak dilakukan oleh keduanya. Mereka memberi kebebasan kepada Raihan, mengingat sudah
sangat terbatasnya jumlah waktu yang dimilikinya untuk menonton. Raihan pada dasarnya juga tidak banyak mengerti tentang arti dari apa
yang disaksikannya. Namun, dia merasa sangat menikmati kegiatan langka tersebut, karena sering membuatnya tertawa. Dirinya juga membenarkan bahwa
selama menonton, dirinya sangat jarang didampingi, tetapi sangat diawasi dalam hal frekuensi dan intensitas menonton. Dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada
peningkatan pemahaman yang terjadi pada Raihan.
Universitas Sumatera Utara
Informan 2 Keluarga Bapak M.Ilham Rangkuti
Pak Ilham, yang biasa disapa dengan panggilan Pak Am ini memiliki istri bernama Ibu Fatimah Syam Hutabarat serta empat orang anak. Jenjang pendidikan
terakhir kedua suami istri ini adalah Sekolah Dasar. Kini Pak Am tinggal bersama istri dan dua orang puterinya karena dua puteranya yang lain menetap di propinsi
lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Setiap harinya, Pak Am menghidupi keluarganya dengan mengoperasikan becak mesin miliknya sendiri.
Puterinya yang satu baru saja meluluskan pendidikan di tingkat SMA dan putri bungsunya, yang bernama Umi Kalsum 11 tahun masih duduk di kelas 4 SD.
Dalam keluarga Pak Am, televisi dapat dikatakan sebagai sumber hiburan yang cukup diidolakan oleh seluruh penghuni rumah. Hanya saja terkadang
terdapat perbedaan dalam hal selera terhadap tayangan. Namun, penguasaan terhadap layar kaca berwarna tersebut mutlak berada di tangan anggota keluarga
yang paling dewasa saat kegiatan menonton dilakukan. Anggota keluarga yang lebih muda akan mengalah dan biasanya akan ikut menonton program pilihan
anggota keluarga yang lain tersebut. Sehingga, Umi yang merupakan anak bungsu lebih banyak mengalah dengan kakak atau ibunya. Program acara apapun itu,
tidak ada larangan bagi Umi untuk menontonnya, karena menurut sang ibu apa yang ditontonnya bersama anak-anaknya adalah program-program biasa dan
berfungsi sebagai hiburan semata. Karena pekerjaannya yang menyita waktu, bahkan bisa sampai larut
malam, Pak Am menyatakan bahwa dirinya tidak terlalu mengetahui bagaimana tindakan konsumsi terhadap televisi yang dilakukan oleh Umi, semua diserahkan
Universitas Sumatera Utara
pada sang istri. Hanya, terdapat keyakinan kuat bahwa tayangan televisi yang disiarkan di bawah jam 9 malam tidak memuat konten-konten dewasa maupun
berbahaya, seperti adegan tembak menembak pada film-fim laga, sehingga menurutnya layak disaksikan oleh Umi.
Ibu Fatimah lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama Umi. Berbeda dengan suaminya, Bu Fatimah berpendapat bahwa suatu tayangan
dikatakan layak tonton oleh Umi jika tidak terdapat adegan-adegan yang menunjukkan unsur seksualitas secara vulgar, “Ya Umi ikut nonton juga kalau
Ibu nonton sinetron, tapi kan ga banyak seksnya” ujar Bu Fatimah. Biasanya, Umi menonton televisi setelah menyelesaikan rutinitasnya, yaitu bersekolah dan
mengaji, sekitar jam 4 sore. Tayangan yang menjadi favoritnya adalah kartun- kartun yang menonjolkan tema kelucuan serta sinetron anak yang bersifat fantasi.
Ibu Fatimah termasuk pecinta sinetron bertema keluarga. Pada saat menonton, biasanya Umi juga turut duduk bersamanya. Ketika Ibu Fatimah melihat suatu
adegan yang menurutnya menunjukkan nilai yang bersifat asusila atau amoral, maka dia akan mengganti saluran televisi, dan akan kembali pada saluran tersebut
setelah jeda beberapa saat. Ketika dirinya melihat suatu adegan yang mengajarkan tentang sesuatu yang baik, maka dia akan memberitahukannya kepada Umi,
“Tengok itu Mi, contoh yang kayak gitu itu”, Bu Fatimah menirukan. Pemberian pemahaman ini dilakukan oleh Ibu Fatimah ketika mereka
bersama-sama menyaksikan suatu sinetron dan biasanya sinetron tersebut ditujukan bagi remaja atau orang dewasa. Jadi, dapat dikatakan bahwa ketika Umi
sedang menyaksikan tayangan kartun maupun sinetron fantasi favoritnya, dia
Universitas Sumatera Utara
dibiarkan sendirian dalam mengambil atau menolak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Waktu paling larut bagi Umi untuk menonton televisi adalah jam 9 malam. Ibu Fatimah menyatakan bahwa dirinya tidak membatasi jam menonton yang
dilakukan oleh Umi, selama masih di bawah jam 9 malam serta tidak mengganggu kegiatan-kegiatan lain, seperti mengerjakan pekerjaan rumah pada jam 7 sampai
jam 8 malam, Umi bebas menonton. Menonton televisi sudah menjadi rutinitas yang tak terpisahkan dari kegiatan keluarga Pak Am sehari-hari. “Selagi ada orang
di rumah, televisi ga pernah mati, karena memang kami semua suka nonton walaupun seleranya beda-beda tapi ya seringan saya yang pegang kendali”, papar
Bu Fatimah. Tentang dampak negatif suatu tayangan, Ibu Fatimah kembali pada
opininya, yaitu sebuah tayangan dapat dinilai memiliki dampak negatif jika sarat dengan unsur seksual dalam konteks vulgar. Sedangkan menurut Pak Am, dampak
negatif dari suatu tayangan sering tampak pada banyaknya kebiasan-kebiasaan dari Umi yang berubah ke arah peniruan terhadap apa-apa yang sering
ditontonnya tersebut. Peniruan yang dilakukan oleh Umi, antara lain adalah menirukan gaya bahasa khas Jakarta, serta terkadang berdandan agak berbeda,
namun peniruan ini dianggap Pak Am masih dalam skala kecil sehingga tidak mengkhawatirkan.
Bagi Pak Am dan Ibu Fatimah, televisi telah menjadi sahabat bagi Umi, televisi adalah sumber hiburan yang sangat potensial. Mengenai nilai edukasi
maupun informasi yang terkandung dalam tayangan, Pak Am dan Ibu Fatimah
Universitas Sumatera Utara
sepakat meyatakan bahwa kedua hal tersebut tidak menjadi perhatian utama bagi Umi dalam memilih tayangan, dan keduanya tidak terlalu menunjukkan
peranannya dalam hal mengarahkan Umi untuk memilih tayangan-tayangan tertentu, karena bagi mereka saat ini hal tersebut belum menjadi prioritas,
mengingat usia Umi yang masih kanak-kanak. Pak Am dan Ibu Fatimah menganggap bahwa tayangan yang sering
disaksikan oleh Umi dapat dikatakan layak dan sudah memenuhi standar sebuah tayangan yang baik bagi Umi tanpa mengharapkan tayangan-tayangan baru
dengan nilai-nilai yang mereka ingin untuk ditonjolkan. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak terlalu memahami bagaimana suatu program dikatakan baik
atau buruk, sehingga menurut mereka program yang ada saat ini sudah baik dan dapat melepaskan kejenuhan otak.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa baik Pak Am maupun Bu Fatimah, keduanya sama-sama tidak memberi pengawasan
maupun pendampingan yang berarti dalam tindakan konsumsi televisi yang dilakukan oleh Umi. Keduanya memberi kebebasan penuh terhadap Umi, dengan
sedikit pengecualian terhadap beberapa tugas yang harus lebih diutamakan. Pemahaman mereka tentang baik buruknya tayangan televisi, didasarkan pada ada
tidaknya unsur kekerasan serta unsur seksualitas yang terkandung di dalamnya. Namun, hal ini sering luput dari perhatian mereka karena Umi lebih sering
menonton televisi sendirian. Keduanya juga tidak menyeleksi tayangan yang
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
layak maupun tidak layak untuk Umi, Umi terlibat dalam setiap tayangan yang ditonton oleh keluarganya.
Begitu juga dengan penilaian terhadap muatan program yang ada, keduanya tidak mementingkan nilai edukasi maupun informasi, dengan
menyesuaikannya terhadap usia Umi yang mereka katakan masih sangat kanak- kanak. Dapat dikatakan bahwa tingkat melek media keluarga ini masih cenderung
rendah, dengan melihat hal-hal yang telah disebutkan. Ketidaktahuan tentang dampak media juga menjadi salah satu penunjuk bahwa keluarga ini merupakan
konsumen media yang aktif dalam penggunaan namun pasif dalam pemahaman. Jika melihat dari sisi Umi, dirinya merupakan pecinta televisi. Jawaban-
jawaban yang diberikannya berujung pada satu kesimpulan bahwa dirinya belum terlalu mampu membedakan mana hal yang fiktif dan yang nyata. Umi hanya
mengetahui bahwa apa yang disaksikannya merupakan tayangan yang lucu, sedih, atau menakutkan. Umi memberi pembenaran bahwa kedua orang tuanya sangat
jarang mengawasinya ketika dia menonton televisi. Dari situ, dapat dilihat bahwa orang tua tidak memiliki peran dalam meningkatkan pemahaman Umi terhadap
tayangan televisi.
Universitas Sumatera Utara
Informan 3 Keluarga Bapak Takari Siregar
Bapak Takari Siregar, yang akrab disapa dengan panggilan Pak Ucok merupakan seorang wiraswasta yang menekuni bidang fotografi, sedangkan
istrinya, Ibu Dona Ernawati merupakan seorang guru di beberapa sekolah swasta. Mereka memiliki dua putera, yang pertama duduk di bangku SMP dan yang kedua
duduk di kelas 4 SD, bernama Doli Syahputra. Pendidikan terakhir Pak Ucok adalah SMA dan pendidikan terakhir Ibu Dona adalah Perguruan Tinggi dengan
gelar Sarjana Sastra Indonesia. Keduanya berusia 45 tahun. Sebagai seorang forografer, Pak Ucok banyak menghabiskan waktunya di
luar rumah, baik itu di studio maupun lokasi-lokasi lain yang menyewa jasanya, bahkan pada hari libur pun kerap ada yang membutuhkannya. Hal ini membuat
dirinya jarang berinteraksi dengan anak-anaknya, dalam hal kegiatan menonton televisi. Setahu dirinya, Doli anak bungsunya sangat menyukai tayangan kartun
bola, sinetron fantasi, serta perandingan sepak bola yang sering ditayangkan larut malam. Menurutnya, Doli adalah anak yang cerdas dan mudah memahami
stimulus baru yang diterimanya, sehingga tidak ada kekhawatiran terhadap tayangan apapun yang ditonton olehnya, selain itu dirinya juga yakin bahwa Doli
tidak sedikitpun menyukai sinetron-sinetron dewasa. Tentang jadwal menonton, keluarga Pak Ucok dan istrinya tidak pernah
membatasi secara keras. Belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah adalah pengecualian bagi Doli untuk tidak boleh menonton televisi, namun jika sudah
diselesaikan, bebas baginya untuk menonton kembali. Pukul setengah sebelas malam adalah waktu maksimal bagi Doli untuk menonton, namun pertandingan
Universitas Sumatera Utara
bola tengah malam menjadi sebuah pengecualian. Bu Dona mengatakan bahwa dirinya hampir tidak pernah mendampingi puteranya ketika menyaksikan televisi.
Ketika menonton, program acara dipilih secara sepihak oleh Doli serta sang abang yang kebetulan memiliki selera yang sama dengannya. Baik Pak Ucok
maupun Bu Dona tidak pernah melarang atau pun mengarahkan Doli untuk menonton suatu program yang menurut mereka buruk atau baik. Doli dianggap
sudah cakap dalam memilah-milih program apa saja yang layak dan baik baginya. Aktivitas kerja di sekolah serta tugas rumah yang harus diselesaikannya
membuatnya letih untuk melakukan hal lain yang kurang penting. Terkadang dirinya menyempatkan diri untuk menonton berita, namun sering kali dirinya
harus mengalah terhadap kedua puteranya yang memprotes dan meminta agar salurannya diganti. Setelah itu, Bu Dona memilih untuk tidur di depan televisi
sementara anaknya menyaksikan kartun favoritnya. “Kalau sudah seharian di sekolah, terus ngerjakan pekerjaan rumah lagi, capek lah nonton-nonton televisi
lagi, apalagi kalau acaranya punya anak-anak ini”, ungkap Bu Dona. Tentang dampak negatif sebuah tayangan, Pak Ucok maupun Bu Dona
cenderung memusatkan perhatian pada sinetron percintaan yang menurutnya menjadi sumber dari dampak negatif tersebut, sedangkan Doli anaknya tidak
pernah menyaksikan sinetron percintaan, begitu juga dengan dirinya, sehingga untuk saat ini apa yang disaksikan Doli mereka anggap tidak memiliki dampak
negatif. Dirinya tidak pernah melihat Doli melakukan peniruan tindakan dari apa yang disaksikannya. Bu Dona menyebutkan bahwa tayangan televisi, apapun itu,
sama sekali tidak berpengaruh dalam kehidupan keseharian anak-anaknya, “Mana
Universitas Sumatera Utara
ngerti orang ini yang kayak gitu, taunya nonton, ketawa-ketawa, ya gitu aja”, tutur Bu Dona yang memastikan bahwa anak-anaknya hanya menyaksikan tayangan
kartun dan sinetron anak. Tentang nilai moral maupun amoral yang terkandung dalam tayangan
kartun maupun sinetron anak yang disaksikan oleh anaknya, Pak Ucok dan Bu Dona menyerahkannya kepada anaknya, karena mereka percaya bahwa Doli telah
mampu membedakan mana hal yang baik dan patut ditiru dan mana hal yang buruk dan patut dihindari. Pak Ucok maupun Bu Dona tidak menjadikan nilai-
nilai tersebut sebagai suatu hal yang yang diperhatikan secara seksama. Begitu pula mendidik atau tidaknya program tersebut, Pak Ucok
menegaskan bahwa berdasarkan pemahamannya belum ada satu pun program yang dapat mengajari anaknya. “Entah itu mendidik ke arah yang baik atau
mendidik ke arah yang buruk, walaupun banyak yang bilang bisa diperoleh dari tayangan televisi, tapi berdasarkan penglihatan saya secara kasat mata, hal
tersebut tidak sedikitpun tertanam pada diri anak-anak saya”, ungkap Pak Ucok yang juga menambahkan bahwa nilai-nilai tersebut hanya diterima sambil lalu
saja sehingga tidak sampai membekas pada pola pikir anak-anaknya. Begitu juga mengenai nyata tidaknya suatu objek dalam sebuah tayangan, mereka berdua
sangat percaya bahwa anaknya adalah anak cerdas yang mampu memahami hal yang nyata atau hasil olahan komputer.
Ketika Doli ditanya tentang kartun dan sinetron kesukaannya, dia menyebutkan bahwa dirinya sangat menyukai kartun Jepang Tsubasa dan Kisah
Fantasi. Hal yang disukai dari tayangan kartun Tsubasa adalah tentang pribadi
Universitas Sumatera Utara
Tsubasa yang menarik, pertandingan-pertandingan yang menegangkan, serta kerjasama timnya yang tampak sangat solid sehingga hampir selalu menang.
Dalam Kisah Fantasi, banyak gambar-gambar khayalan yang terkadang menyeramkan. Ketika ditanya bagaimana perasaannya ketika menyaksikannya,
Doli mengatakan tidak takut dan mengetahui bahwa itu hanyalah buatan semata, “Ga takut, orang itu cuma ecek-ecek aja kok”, ungkapnya.
Program acara yang ada dan sering disaksikan oleh Doli maupun abangnya, menurut pasangan suami istri ini sudah cukup sesuai dengan usia dan
kebutuhan mereka akan hiburan. Mereka berdua tidak memiliki gambaran tentang konsep program acara yang lebih baik dari segi kualitas, hal ini disebabkan
kekurangpedulian mereka terhadap isi dari suatu tayangan, bukan berarti mereka tak acuh, hanya ada keyakinan lain yang melatarbelakanginya. Mereka selalu
meyakini bahwa Doli adalah seorang anak yang dibekali kecerdasan yang cukup, sehingga dalam dirinya terdapat suatu saringan yang “rapat”. Dengan kata lain,
kedua orang tua ini menyimpulkan bahwa baik tidaknya suatu program bukan bergantung pada programnya, tetapi siapa yang menontonnya.
Dari jawaban-jawaban yang telah dirangkum, dapat dilihat bahwa keluarga ini memiliki prinsip yang kuat untuk tidak melakukan pendampingan sekecil apa
pun terhadap tindakan mengonsumsi televisi yang dilakukan oleh Doli anak mereka. Latar belakang keyakinan bahwa Doli memiliki tingkat intelegensi yang
tinggi membuat kedua orang tua Doli tidak menganggap tindakan mengonsumsi tayangan televisi sebagai sesuatu hal yang serius. Tidak ada pembatasan,
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
penyeleksian, atau pelarangan dalam melakukan kegiatan menonton tayangan televisi. Mereka juga tidak mengetahui dampak media yang mungkin muncul, dan
cenderung menganggap Doli memiliki tingkat kekebalan tertentu terhadap pengaruh negatif sekalipun. Pengawasan juga tidak dilakukan dengan alasan
padatnya jadwal kegiatan. Doli, melalui pendapatnya, terlihat cakap dalam menilai suatu tayangan.
Baik itu nyata atau tidaknya, pesan yang terkandung di dalamnya, atau memuaskan tidaknya tayangan tersebut. Namun, berbeda dengan kedua orang
tuanya, Doli memberikan jawaban yang menunjukkan bahwa dirinya memperoleh informasi dan pengetahuan dari apa yang disaksikannya. Meski hanya berkisar
pada perbendaharaan kata-kata baru, pentingnya kerja sama, dan beberapa tendens dari program yang ditontonnya. Doli tampak tidak kesulitan dalam memahami
program-program yang disaksikannya, meski tanpa pendampingan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
Informan 4 Keluarga Bapak Suheri Tri Anugraha
Menikah sejak tahun 2002, Bapak Suheri 35 tahun dan Ibu Sri Susmayanti 31 tahun dianugerahi sepasang putera dan puteri yang bernama
Daffa Anugraha 6 tahun dan Aqilla Zahwana Anugraha 4 tahun. Pak Heri dan istrinya menamatkan pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi, Pak Heri
meraih gelar Sarjana Sosial dan Bu Sri meraih gelar Sarjana Teknik. Bidang pekerjaan yang digeluti oleh Pak Heri berkaitan dengan dunia kontraktor,
sedangkan sang istri adalah seorang ibu rumah tangga. Pak Heri dan Bu Sri adalah tipikal orang tua yang cenderung menuruti
kemauan anak, selama kemauan tersebut masih dalam batas wajar. Kemauan tersebut juga tercermin dalam tindakan mengonsumsi tayangan televisi. Menurut
pasangan suami istri ini, pesawat televisi di kamar mereka adalah benda teraktif dibanding benda elektronik lainnya. Pak Heri yang banyak menghabiskan waktu
di luar rumah mengaku membolehkan saja jika Daffa menonton televisi dalam waktu lama. Menurutnya, hal itu jauh labih baik dibanding bermain berlama-lama
di luar rumah yang menguras energi dan dapat menurunkan kondisi kesehatan anak sulungnya tersebut. Dirinya juga membolehkan Daffa untuk memilih
tayangan apa saja yang ingin disaksikannya. Bu Sri yang lebih banyak mengamati kegiatan yang dilakukan oleh Daffa
di rumah menyatakan bahwa tayangan televisi seperti sudah menjadi teman sekaligus bagian dari rutinitas harian Daffa. Daffa sejak masa balita memang
sudah terbiasa “dijaga” oleh tayangan televisi. Beberapa judul kartun, sinetron anak, bahkan sinetron dewasa sering disaksikannya. Daffa, dalam hal perilaku
Universitas Sumatera Utara
masih sangat mencerminkan anak-anak usia lima tahun yang cenderung hiperaktif. Ketika menyaksikan televisi, Daffa dapat lebih tenang dan terfokus
pada apa yang disaksikannya, dan hal ini menurut Bu Sri adalah sebuah solusi. Pak Heri maupun Bu Sri sepakat menganggap televisi sebagai sarana informasi
sekaligus sarana hiburan. “Tayangan televisi memberitahukan banyak hal pada Daffa, banyak hal baru yang berpotensi memperkaya cakrawala pengetahuannya”,
ujar Bu Sri. Selain itu, menurut mereka banyak juga tayangan televisi yang menghibur, dapat menyegarkan pikiran Daffa yang bersekolah dari pagi hingga
siang. Daffa bersekolah lima hari seminggu, dan setiap Senin, Rabu, dan Jumat
dirinya memperoleh les tambahan. Ketika pulang sekolah, biasanya Bu Sri membiasakan Daffa untuk makan siang lalu dilanjutkan tidur. Setelah bangun dari
tidur siang inilah, Daffa menyaksikan televisi, dan tidak ada pembatasan waktu sama sekali. “Mungkin selagi dia “buka mata” ya dia nonton televisi”, papar Bu
Sri yang mendukung kegiatan menonton televisi yang dilakukan oleh anaknya tersebut. Masalah tugas yang lain, Bu Sri menyebutkan pekerjaan rumah yang
dibawanya dari sekolah sebagai satu-satunya tugas yang harus dikerjakan, selebihnya adalah jam bebas, sehingga ini memungkinkan Daffa untuk menonton
berjam-jam lamanya. Daffa dapat dikatakan memiliki hak prerogatif terhadap pesawat televisi
yang berada di kamarnya. Ketika dirinya menonton televisi, kendali penuh berada di genggamannya. Saat ayah, ibu, maupun adiknya ikut serta menonton, biasanya
siaran televisi tetap pada selera yang diingininya, dan hal ini didukung oleh
Universitas Sumatera Utara
kesediaan para anggota keluarga yang lain untuk mengalah dan bahkan ikut menonton. Daffa paling suka menyaksikan kartun, sinetron anak, program
informasi ringanpetualangan, dan tayangan-tayangan lain yang menurutnya menarik, tanpa didasari alasan yang statis. “Daffa suka lihat kartun, kisah fantasi,
semua juga suka”, ungkap Daffa menggambarkan kecintaannya terhadap apa saja yang disajikan setiap stasiun televisi.
Pak Heri maupun Bu Sri juga penikmat tayangan televisi. Biasanya Pak Heri hanya menyaksikan siaran berita atau film laga, dan saat menyaksikan
tayangan ini biasanya Daffa sudah tidur. Bu Sri sendiri cenderung menyukai apa- apa yang ditonton oleh Daffa, ditambah tayangan musik dan informasi hiburan
infotainment. Menurut mereka berdua, suatu tayangan dikhawatirkan akan membawa dampak negatif jika dirinya menyaksikan tayangan-tayangan yang
berisi hal-hal yang belum patut disaksikan oleh anak seumurannya tanpa sepengetahuan mereka, dan lebih dikhawatirkan lagi jika hal-hal tersebut meresap
ke dalam benak dan selanjutnya diaplikasikan dalam tindakan. Kenakalan Daffa terkadang ditunjukkan juga dengan mempraktikkan
jurus-jurus bela diri terhadap adiknya, mencontoh apa yang ditontonnya dari sebuah sinetron anak, namun hal ini dianggap Pak Heri maupun Bu Sri sebagai
refleksi dari apa yang tersimpan dalam memorinya, dan itu dianggap sekadar bermain-main. ”Dari yang kami lihat, Daffa masih bertingkah seperti halnya anak-
anak seusianya, meski kami tau sudah beragam tayangan disaksikannya, jadi kami anggap dampak negatif itu nilainya relatif, bergantung juga pada bagaimana
interaksi yang terjadi di dalam keluarga”, tegas Bu Sri dengan penuh keyakinan.
Universitas Sumatera Utara
Bu Sri sering menonton bersama Daffa. Ketika melihat informasi- informasi baru, biasanya Bu Sri akan memberitahukannya pada Daffa, dan
sesekali menanyakannya kembali, hal ini dilakukan untuk mempertajam memori yang dimiliki anaknya tersebut. Nilai moral maupun amoral yang sering
terkandung dalam suatu tayangan biasanya juga diterjemahkan oleh Bu Sri dengan bahasa yang lebih sederhana kepada Daffa, meski menurut Bu Sri, penyerapan
maupun penolakan terhadap nilai-nilai tersebut akan berkembang sesuai dengan pertambahan usia Daffa kelak.
Pak Heri maupun Bu Sri menganalogikan apa yang dilakukan oleh Daffa sekarang sama dengan apa yang mereka lakukan sewaktu kecil. “Dulu juga orang
tua kami selalu memberi kebebasan, mau nonton apa aja boleh kok, dan seiring bertambahnya usia kami, kami sendiri yang tau mana yang patut dicontoh dan
mana yang tidak layak”, papar Bu Sri. Bu Sri menceritakan bahwa beberapa waktu lalu, mereka sekeluarga sempat mengikuti alur sebuah judul sinetron, dan
Daffa adalah salah satu yang terantusias ketika menontonnya, sampai-sampai dirinya hapal nama tokoh maupun alur setiap adegannya. Bu Sri berkata, “Banyak
sekali kata-kata kasar yang kami dengarkan dan kami juga melihat banyak tindakan tidak terpuji, tapi ketika menontonnya, kami lebih banyak tertawa karena
saya dan anak-anak lebih sering mencemooh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para tokoh antagonisnya sehingga kegiatan menonton sinetron tersebut dapat
dikatakan dilakukan secara tidak serius”. Menurut Bu Sri, pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam
suatu tayangan serta pengaruh negatif yang dapat berdampak buruk, akan
Universitas Sumatera Utara
terdalami dan terminimalisir dengan sendirinya, seiring perkembangan personaliti siapapun yang menontonnya, termasuk Daffa. Untuk saat ini, sebagian besar
tayangan yang disaksikan oleh Daffa yang lebih menonjol adalah nilai rekreatifnya dibanding nilai edukatifnya. “Tapi ga bisa juga kita pungkiri kalo ada
tayangan-tayangan yang memperkenalkan banyak hal yang berada di dunia luar kepada Daffa”, ungkap Bu Sri yang memang sangat terbantu dalam mengontrol
kegiatan Daffa dengan keberadaan televisi di rumahnya. Pak Heri memiliki harapan agar stasiun televisi lebih banyak menyajikan
program acara yang benar-benar sesuai dengan usia anaknya, agar tidak lagi kehilangan kontrol ketika Daffa menonton tayangan dewasa pada jam-jam ketika
tidak ada yang mengawasinya. Bu Sri menambahkan, dirinya sangat menyukai program petualangan serta informasi yang memang ditujukan untuk anak seusia
Daffa, menurutnya, program tersebut dapat meningkatkan kecerdasan intelektual maupun emosional anak-anaknya.
Hasil wawancara di atas mendeskripsikan keluarga tersebut sebagai keluarga yang melakukan dua hal sekaligus, terkadang sangat mendampingi,
namun sering juga membiarkan begitu saja. Pendampingan dilakukan dengan menerjemahkan hal-hal baru yang ditonton oleh Daffa, melakukan pelarangan
terhadap tindakan menonton tayangan dewasa, serta penanaman pesan moral, hal ini dilakukan ketika terdapat ayah atau ibu saat Daffa menonton. Keduanya
mengartikan dampak negatif media dalam konteks peniruan ke arah negatif. Namun mereka juga memiliki keyakinan bahwa segala sesuatunya akan berjalan
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan pertambahan usia Daffa. Selebihnya, ketika Daffa menonton sendirian, dapat dipastikan berapa banyak tayangan dewasa yang ditontonannya,
serta berapa banyak hal yang tidak layak disaksikannya. Daffa menyukai hampir semua yang disajikan televisi. Daffa tidak
memiliki alasan khusus untuk menonton. Daffa menonton karena tidak ada aktivitas lain yang lebih mendesak untuk dilakukan. Pada dasarnya, sangat banyak
hal yang tak dipahaminya saat menonton, maka dia kerap bertanya kepada orang tuanya. Daffa memiliki banyak pengetahuan baru setelah mendapat jawaban dari
orang tuanya, namun ini tidak selalu terjadi. Karena Daffa juga belum memahami perbedaan hal nyata atau khayalan, tentang tindakan terpuji atau tidak terpuji,
serta kandungan informasi yang terdapat dalam suatu tayangan, tanpa pemberitahuan orang tuanya. Namun, Daffa sudah dapat merasakan dengan baik
tentang rasa senang, sedih, semangat, atau takut, yang memang secara alamiah telah dimilikinya. Dapat dikatakan orang tua cukup berperan dalam meningkatkan
pemahaman anak terhadap tayangan televisi.
Universitas Sumatera Utara
Informan 5 Keluarga Bapak Yusli Hardi
Keluarga Bapak Yusli Hardi 37 tahun serta Ibu Yeni Jamaidawati 35 tahun dikaruniai empat anak, dan keempat-empatnya adalah anak perempuan.
Pak Yus, begitu panggilannya, bekerja sebagai seorang buruh di sebuah pabrik yang memproduksi kayu olahan, sedangkan istrinya adalah seorang ibu rumah
tangga. Keduanya menamatkan jenjang pendidikan di tingkat mengah atas, bedanya, Pak Yus menyelesaikannya di STM sedangkan istrinya di SMEA. Anak
pertamanya duduk di kelas 6 SD, anak keduanya di kelas 4 SD, dan dua anaknya lagi masih balita. Anaknya yang termasuk menjadi informan adalah yang duduk di
kelas 4 SD yakni bernama Deya Nabila. Hampir serupa dengan tiga kepala keluarga sebelumnya, Pak Yus
cenderung lebih menyerahkan urusan pengawasan terhadap anak-anak, termasuk kegiatan menyaksikan televisi yang dilakukan oleh Deya kepada istrinya, dengan
alasan intensitas keberadaan istrinya di rumah jauh lebih tinggi ketimbang dirinya. Dirinya mengetahui bahwa istrinya telah membuatkan jadwal rutinitas yang baik
bagi anak-anaknya. Dirinya merasa sangat peduli terhadap apa pun yang menyangkut kehidupan anak-anaknya, termasuk kegiatan menonton televisi yang
memang sudah seperti rutinitas yang tidak dipisahkan dari keluarga mereka, namun keterbatasan dirinya dalam memiliki banyak waktu di rumah membuatnya
lebih mempercayakan hal tersebut kepada sang istri. Berdasarkan pengamatan Bu Yeni sehari-hari, Deya sangat menaruh
perhatian pada tayangan-tayangan pencarian bakat dan musik di samping kartun, sinetron, maupun tayangan petualangan dan informasi ringan yang juga
Universitas Sumatera Utara
disukainya. Deya memiliki kebebasan dalam memilih sendiri tayangan yang diingininya. Ketika menyaksikan acara ajang pencarian bakat tersebut, Deya
tampak antusias dan sangat konsentrasi menontonnya. Menurut Bu Yeni, hal tersebut memiliki dampak positif dalam pembentukan kepribadian Deya
selanjutnya. Menurutnya, acara tersebut menyebarkan pengetahuan tentang pentingnya rasa percaya diri dan mengurangi ketakutan untuk tampil.
Ketika Pak Yus beserta istri dan anak-anaknya sedang berada dalam ruang menonton bersama, biasanya program yang dipilih adalah program berita. Ketika
menonton, biasanya Deya lebih banyak diam memperhatikan apa yang ditampilkan stasiun televisi, menurut Pak Yus ini disebabkan kekurangpahaman
Deya terhadap apa yang diberitakan. Pak Yus maupun berpendapat bahwa siaran berita adalah jenis tayangan yang peling masuk akal di antara ratusan program
lain yang ditawarkan. “Betul atau enggaknya, itu masalah belakang, tapi ya saya tetap merasa kalau nonton berita itu sangat banyak manfaatnya, salah satunya bisa
meningkatkan kualitas pemikiran kita yang nantinya akan mendapat lebih banyak pertanyaan dari anak-anak”, ungkap Pak Yus.
Seperti anak-anak seusianya yang tinggal di sekitar rumahnya, Deya memiliki rutinitas harian, seperti bersekolah dan mengaji pada pagi dan siang hari,
kemudian dilanjutkan dengan les di malam hari. Dapat dikatakan, waktu menonton televisi terbatasi dengan sendirinya melalui jadwal aktivitas dirinya
yang cukup padat, belum lagi ditambah dengan pekerjaan rumah. Pada sore hari dan sepulang les di malam hari adalah kesempatan bagi Deya untuk menonton.
Batas maksimal bagi Deya untuk kegiatan ini adalah pukul 10 malam. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Bu Yeni, pembatasan dilakukan untuk membiasakan Deya memiliki jadwal kegiatan yang baik serta berkaitan juga dengan kesehatan matanya. Pada hari
libur, biasanya Deya tahan berlama-lama di depan televisi. Namun, hal tersebut tidak dibiarkan begitu saja oleh sang ibu. Ada saat-saat di mana televisi harus
dimatikan, tanpa memedulikan protes yang dilakukan olehnya. “Kadang-kadang ya nangis juga, tapi sebentar ajanya, ga sampai ngambek-ngambekan”, begitu
penggambaran Bu Yeni tentang ekspresi yang ditunjukkan Deya. Bu Yeni juga menyimpulkan sendiri bahwa anak-anaknya bukanlah pecandu televisi, hanya
memang kegiatan tersebut sudah menjadi bagian dalam aktivitas sehari-hari. Menurut Bu Yeni, tayangan-tayangan televisi, yang disaksikan oleh Deya,
selain menawarkan fungsi menghibur juga memiliki fungsi informatif. Melalui program-program seperti, Bocah Petualang Bolang, Laptop Si Unyil, serta ajang
pencarian bakat, Deya menjadi mengerti tentang hal-hal baru yang belum pernah diketahuinya sebelumnya. Bu Yeni yang sering mendampingi anak-anaknya
ketika menonton selalu memberi penjelasan tentang hal-hal baru tersebut, bahkan sering kali merasa harus mengingatkan anak-anaknya untuk menyimpan hal-hal
baru tersebut dalam memori mereka, karena adanya keyakinan bahwa sesederhana apa pun pengetahuan, akan memiliki faedah pada masa yang akan datang.
Pak Yus maupun Bu Yeni menganggap bahwa saat ini produksi program acara di setiap stasiun televisi cenderung beragam. Namun, Bu Yeni merasa
bahwa hanya sedikit sekali yang memang pas untuk anak-anaknya. “Untungnya, Deya ataupun kakaknya ga mau nonton tayangan yang tidak-tidak, karena
memang kalau dilihat banyak sekali program acara yang ga pantas ditonton sama
Universitas Sumatera Utara
anak-anak, tapi ditayangkan waktu anak-anak lagi nonton”, sesal Bu Yeni. Adapun program yang dikhawatirkan masih berkisar sinetron percintaan, yang
menurut mereka berdua mengajarkan gaya hidup konsumerisme, cenderung asusila, dan tidak memiliki nilai positif untuk ditiru sedikitpun. Menurut mereka,
tayangan dapat dikatakan baik jika di dalamnya penuh dengan informasi yang mendidik namun tidak menjemukan seperti pelajaran di sekolah, sedangkan
keburukan tayangan dilihat dari seberapa banyaknya unsur yang menunjukkan perbuatan tidak terpuji, tindak kekerasan, serta khayalan yang terlalu tidak masuk
akal. “Tayangan televisi akan bernilai negatif jika kita menyaksikannya tidak
menggunakan otak dan hati kita”, terang Bu Yeni. Menurutnya, selagi para penikmat televisi, berpikir secara sehat ketika menerima suatu tayangan, maka
senegatif apa pun tayangan tersebut, tidak akan ada bedanya sama sekali dengan tayangan yang bernilai positif. Hal ini juga menjadi jawaban mereka ketika
ditanya perihal nilai moral maupun amoral yang terkandung dalam suatu tayangan. Mereka berpendapat bahwa tayangan televisi sampai saat ini bersifat
netral, yang berarti berada di tengah-tengah antara nilai positif dan negatif. Baik acara musik, ajang pencarian bakat, kartun, maupun sinetron anak,
kesemuanya dikatakan tidak memiliki nilai edukatif, hanya berita dan beberapa judul tayangan informasi ringan khas anak-anaklah yang mereka anggap sangat
edukatif. Tidak edukatif menurut mereka bukan berarti tidak layak tonton, hanya memang tidak ada intisari yang bermanfaat untuk memperkaya khasanah
pengetahuan yang menontonnya. Meski dilarang menonton sinetron percintaan,
Universitas Sumatera Utara
namun terkadang timbul kekhawatiran. “Mungkin sekarang anak-anak gak akan tertarik untuk nonton sinetron cinta-cintaan karena sering Saya larang, tapi kan ga
ada jaminan untuk beberapa tahun ke depan, inilah yang terkadang membuat saya jadi sering merepet sendiri waktu nonton sinetron sendirian”, paparnya.
Dampak media menurut mereka dikatakan mempengaruhi anak ketika anak-anak menjadi dewasa sebelum waktunya serta memiliki kemauan atau
kebiasaan yang aneh dan cenderung memancing emosi. Menurut mereka, sampai saat ini, baik Deya maupun kakaknya masih bertingkah sebagaimana anak-anak
seusianya. Penampilan mereka diatur sedemikian rupa oleh sang ibu yang menomorsatukan kesederhanaan, tanpa mencontoh idola mereka yang sering
mereka tonton. “Kagum boleh sama orang, tapi kan ga mesti niru-niru, orang itu karma masuk tivinya makanya kayak gitu”, tutur Bu Yeni menirukan apa yang
sering disampaikannya kepada anak-anaknya yang beranjak remaja. Kotak berwarna bernama televisi dalam keluarga Pak Yus berperan
sebagai media massa elektronik satu-satunya. Sehingga, besar harapan agar benda tersebut menjadi sesuatu yang berdaya guna dan menyebarkan banyak pelajaran
kepada keluarga ini. “Semoga nanti ada, atau harapan saya sih banyak ya, stasiun televisi yang menyajikan pendidikan dalam bentuk yang lebih menarik agar
seluruh anak bangsa bisa belajar dengan riang supaya pintar, karena hampir semua rakyat Indonesia punya televisi, tapi anak-anaknya ga sekolah”, ungkapnya
menutup pembicaraan.
Universitas Sumatera Utara
Pemaparan hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa pendampingan terhadap anak dilakukan dengan memberi pemahaman tentang hal-hal yang
sedang disaksikan. Tingginya frekuensi dan intensitas menonton bersama sang ibu, membuat peran ibu menjadi lebih menonjol. Tanggap akan dampak media,
penyeleksian program acara, serta adanya pembatasan terhadap jadwal menonton sedikit banyak menunjukkan tingkat melek media yang mereka miliki. Dari
pemberian pemahaman tersebut, Deya menjadi lebih terbuka pemikirannya serta lebih kaya pengetahuannya.
Kesimpulan Kasus
Deya memang tampak sudah dapat memahami pesan-pesan yang terdapat pada tayangan televisi, baik itu yang bersifat menghibur, menginformasikan, atau
mengajak untuk takut. Ini, menurut Deya diperoleh dari penjelasan yang diberikan orang tuanya. Sehingga disimpulkan bahwa kedua orang tuanya memiliki peran
yang sangat nyata dalam peningkatan pemahaman dirinya terhadap tayangan televisi.
Universitas Sumatera Utara
Informan 6 Keluarga Bapak Suryadi
Keluarga Bapak Suryadi terdiri atas empat anggota keluarga. Pak Yadi yang berusia 35 tahun memiliki istri bernama Ibu Susilawati yang lebih tua lima
tahun darinya. Keluarga mereka dikaruniai sepasang putera dan puteri yang bernama Maysyarah 7 tahun dan Zikri 4 tahun. Pak Yadi, yang menyelesaikan
pendidikannya sampai tingkat STM, merupakan seorang karyawan swasta, sedangkan istrinya yang lulusan SD sehari-harinya berjualan di sebuah warung
makan. Keluarga ini lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Syarah
bersekolah di pagi hari dan dilanjutkan mengaji sampai siang hari, setelah selesai dirinya pulang ke warung makan tempat ibunya berjualan. Biasanya, mereka
pulang lebih awal, yakni ketika sore tiba, di banding Pak Yadi yang pulang agak malam. Saat-saat keberadaan mereka di rumahlah televisi menjadi memiliki
fungsi. Bu Susi memastikan dan meyakini bahwa tayangan yang menjadi ditonton secara intensif sehari-hari oleh anaknya adalah kartun, sedangkan beberapa jenis
tayangan lainnya sekadar sambil lalu saja. Kartun yang ditonton pun dikhususkan lagi kepada beberapa judul yang memang diarahkan olehnya untuk ditonton
anaknya. Ketika menonton, otomatis kendali berada pada seluruh anggota keluarga,
karena memang setiap individunya memiliki selera yang sama tingginya terhadap tayangan kartun. Terkadang jika Pak Yadi kebetulan menjadi pengawas anak-anak
karena sang istri tidak berada di rumah, biasanya dia agak cuek terhadap apa yang ditonton anaknya, namun ada keyakinan kuat pada dirinya bahwa Syarah dan
Universitas Sumatera Utara
adiknya hanya akan menonton judul kartun yang biasanya diinstruksikan oleh sang ibu. Masalah batasan menonton terhadap Syarah, Pak Yadi maupun Bu Susi
tidak membatasi terlalu ketat, namun tetap diawasi. Pekerjaan rumah selalu dikerjakan sehabis makan siang, sehingga ketika sore sampai malam tiba Syarah
sudah bebas untuk melakukan kegiatan lain, termasuk menonton sampai jam sembilan malam.
Menurut Bu Susi, kartun adalah tayangan teraman dan terbaik untuk anaknya saat ini. Dalam kartun-kartun yang dipilihkannya, unsur kekonyolan
menjadi hal yang paling ditonjolkan, sehingga ini dianggapnya sesuai dengan usia anaknya. Ini diperkuat juga dengan kesenangannya menonton kartun, ditambah
kesediaan sang suami untuk mengalah. “Pokoknya, kalau ada anak-anak ya kami ga pernah nonton yang lain selain kartun, lucu aja gitu kalau nonton kartun, jadi
senang, gak ada ngeluh-ngeluh, marah-marah, cuma ketawa aja”, ungkap Bu Susi yang juga menyatakan bahwa dirinya sangat mewaspadai program-program acara
lain yang mengandung hal-hal yang tidak baik berdasarkan penglihatannya. Alasannya hampir sama dengan beberapa orang tua yang lain yang
menuduh sinetron perintaan sebagai sumber keburukan. Kata-kata kasar, ketidaksopanan, pelecehan, serta pengagung-agungan terhadap materi, menjadi
beberapa poin utama yang melatarbelakangi ketidaksediaan Bu Susi untuk membiarkan anak-anaknya menontonnya. Ini juga mengakibatkan dirinya tidak
menyukai, apalagi menonton satu judul sinetron pun. Tidak ada pelajaran yang bisa dipetik dari sinetron, ini menjadi alasan bagi Pak Yadi untuk menjustifikasi
Universitas Sumatera Utara
bahwa sinetron adalah contoh tayangan yang buruk dan menyesalkan menjamurnya keberadaan tayangan tersebut di beberapa stasiun televisi.
Menurut mereka televisi hanyalah benda penghibur yang tidak memiliki nilai apa-apa, baik itu negatif atau positif. “Orang yang ditonton di rumah cuma
kartun, mana lah ada negatif atau positifnya”, terangnya. Ketika ditanya tentang nilai edukatif, Bu Susi juga hanya menggelengkan kepala lalu menyatakan bahwa
apa yang ditonton anaknya saat ini tidak memiliki nilai didikan sedikitpun. Dirinya juga tidak mengarahkan Syarah untuk menonton berita atau tayangan
yang bersifat informatif lainnya, dengan alasan usia Syarah masih terlalu kanak- kanak untuk menghadapi hal-hal yang dirinya anggap berat dan susah dicerna
tersebut. “Aku aja susah kadang ngerti berita-berita itu, banyak kali politiknya, apalagi anakku”, ungkap Bu Susi.
Tidak adanya penjelasan tentang isi dari tayangan yang ditonton oleh anaknya, juga diakibatkan jarangnya sang anak untuk bertanya. Ini disebabkab
Syarah sudah dianggap paham, dilihat dari ekspresi-ekspresi yang
ditunjukkannya. “Scooby Doo itu ya lucu, kalau Upin Ipin lucu juga”, papar Syarah yang juga menambahkan bahwa dirinya memang lebih banyak tertawa
ketika menonton dari pada memusingkan pikiran untuk mencari tahu apa yang sedang disaksikannya. Menurut Bu Susi, jika pun ada pertanyaan yang terlontar
dari Syarah, biasanya Bu Susi akan menjawab jika memang dia mengetahui apa jawabannya, sedangkan jika tidak, maka dirinya menolak untuk menjawab dan
mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak penting.
Universitas Sumatera Utara
Bu Susi juga Pak Yadi tidak memperdulikan nilai moral maupun amoral dari tayangan televisi karena mereka selalu kembali pada argumen bahwa judul
kartun yang mereka pilihkan adalah kartun anak-anak yang tidak memiliki unsur yang patut ditiru atau patut dihindari. Jadi, tidak ada yang perlu diterjemahkan
atau ditanamkan pada anak-anaknya. “Televisi kan sebenarnya cuma bisa menghibur, jadi ya pandai-pandai kita la kalau milih program acara. Saya memang
tipe ibu yang sangat memperhatikan apa-apa yang ditonton Syarah dan menurut Saya ini ga dilakukan oleh semua ibu”, tegas Bu Syarah menanggapi
kemungkinan adanya dampak yang ditimbulkan dari tayangan televisi. Mereka berdua memiliki harapan agar perkembangan stasiun televisi,
terutama milik swasta, lebih memihak pada anak-anak yang mereka sebut generasi yang berada pada fase yang sangat rapuh untuk terpengaruh, sekaligus kuat dalam
mentransformasikan apa yang mereka lihat ke dalam tindakan nyata. Namun, mereka tidak memberi penjelasan lebih jauh bagaimana tayangan yang berpihak
pada anak-anak tersebut.
Disesuaikan dengan jawaban-jawaban yang diterima, ditarik kesimpulan bahwa kedua orang tua dalam keluarga ini memiliki peranan yang sangat penting
dalam mendampingi anak mereka dalam hal pengawasan terhadap tindakan mengonsumsi televisi tersebut. Tetapi, peranan yang tampak dalam memberikan
pemahaman terhadap anak tentang tayangan yang disaksikan hanya sesekali dilakukan. Selain adanya anggapan bahwa tayangan yang selalu ditonton tidak
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
memiliki kebutuhan untuk ditranslasikan kepada anak, ketidakpahaman orang tua sendiri menjadi hambatan untuk memberi pemahaman.
Syarah menjadi cenderung pasif ketika menerima apa yang ditontonnya. Dirinya hanya tahu sebatas pada lucu tidaknya cerita yang sedang dia tonton.
Selebihnya dia menerjemahkannya sendiri. Ketidakpahaman anak ketika menonton, membuatnya belum dapat membedakan dengan baik antara realitas dan
buatan.
Universitas Sumatera Utara
Informan 7 Keluarga Bapak Maharlin
Bapak Maharlin 29 tahun, yang akrab disapa dengan panggilan Pak Mahar ini memiliki istri bernama Ibu Valvia Adraria 30 tahun, serta tiga orang
puteri. Puterinya yang pertama berusia 6 tahun bernama Leni Anastasya, dan dua putrinya yang lain bernama Ladys dan Liyen masih berusia balita. Pak Mahar
menamatkan pendidikannya sampai memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia sedangkan istrinya sampai di tingkat SMP. Sehari-hari, Pak Mahar adalah seorang
karyawan swasta bagian keuangan yang bekerja pada suatu perusahaan bidang home industry, dan istrinya adalah seorang ibu rumah tangga.
Pekerjaan yang ditekuni Pak Mahar menuntut dirinya untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah, bahkan tidak jarang dia harus menginap
di luar kota. Hal ini mendorong dirinya untuk senantiasa mengingatkan sang istri untuk selalu memprioritaskan kebutuhan anak-anaknya di rumah dibanding
urusan-urusan lain, “Biarlah rumah kotor, yang penting anak-anak terurus dengan baik”, ungkap Pak Mahar. Begitu juga dalam hal penggunaan televisi, dirinya
selalu menekankan pada istrinya untuk menghindarkan anak-anaknya, terutama Leny yang paling sering mengonsumsi media tersebut, dari tayangan-tayangan
yang memiliki dampak traumatis bagi Leny. Pak Mahar dan Ibu Via saat ini selalu menghindarkan tayangan-tayangan
berunsur horor maupun kisah asmara dari Leny. Mereka membuat tindakan antisipasi tersebut didasari adanya pengalaman di mana Leny memiliki ketakutan
berlebih, bahkan di rumahnya sendiri, setelah menonton suatu tayangan horor, yang disebut Leny sebagai “film hantu” tersebut. Sedapat mungkin, Leny hanya
Universitas Sumatera Utara
diperkenankan untuk menyaksikan tayangan-tayangan yang menurut mereka layak bagi usianya, seperti kartun, sinetron anak, atau program hiburan anakanak
lainnya. Ibu Via yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anaknya di
rumah melarang Leny untuk menonton kartun atau sinetron yang mengisahkan cerita percintaan. “Pernah dia nonton kartun Jepang yang pacaran-pacaran itu,
habis itu jadi banyak nanya tentang yang belum pantas diketahuinya”, ujar Bu Via yang mengaku terpaksa mengkespresikan rasa kagetnya dengan menolak
menjawab pertanyaan anaknya tersebut dengan sedikit marah, dan hanya menyamakan hal tersebut dengan sesuatu yang memalukan.
Seperti anak-anak kebanyakan, aktivitas Leny setiap harinya adalah bersekolah dari pagi hingga siang hari, dan selanjutnya memiliki kewajiban untuk
tidur siang. Biasanya, Leny menonton televisi sejak dia bangun tidur di pagi hari sembari bersiap-siap untuk bersekolah. Kemudian pada siang hari sehabis bangun
dari tidur siang, Leny biasanya menyaksikan kartun pada sebuah stasiun televisi swasta yang target utamanya adalah anak-anak. Jika kegiatan menyaksikan
televisi tersebut dianggap Bu Via sudah terlalu lama, maka televisi akan dimatikan tanpa kompromi, selain mengantisipasi kepasifan Leny, hal ini juga
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada pesawat televisi itu sendiri. Bu Via terkadang mendampingi Leny ketika menonton, dan dirinya juga
memberitahu Leny tentang hal-hal yang tampak masih membingungkan bagi Leny, misalnya tentang nyata tidaknya para tokoh kartun atau kesaktian para
tokoh sinetron. Namun, Bu Via tidak selalu menemani Leny menonton karena
Universitas Sumatera Utara
anak bungsunya yang masih berusia dua tahun membutuhkan perhatian ekstra. Pak Mahar sendiri jarang sekali menonton bersama anak-anak, karena ketika
dirinya di rumah dan hendak menonton televisi, maka kendali terhadap remote control televisi berada penuh padanya. Tayangan yang biasa disaksikannya adalah
tayangan berita, dan jika sudah begini, Leny yang memang belum paham tentang hal-hal yang diberitakan akan lebih memilih bermain bersama adik-adiknya. Jika
sang ayah tidak berada di rumah, barulah kebebasan dalam memilih tayangan berada di tangan Leny, dengan atau tanpa pengarahan dari sang ibu.
Pak Mahar dan Bu Via merasa bahwa tayangan televisi, baik itu kartun maupun sinetron anak, keduanya sama-sama memiliki fungsi menghibur.
Informasi yang sifatnya berkaitan dengan pengetahuan secara umum, bagi Bu Via tidak terkandung dalam tayangan yang sering ditonton anak sulungnya tersebut.
Pertambahan pengetahuan yang dimiliki Leny, menurut mereka bukan berasal dari tayangan televisi melainkan dari pelajaran di sekolah dan ucapan mereka berdua.
Namun, pengetahuan tentang pengembangan diri mereka bedakan dari pengetahuan umum, dan mereka anggap terkandung dalam acara ajang pencarian
bakat. Tayangan ajang pencarian bakat khusus anak-anak bagi Bu Via memiliki
dampak positif dalam hal memotivasi Leny untuk lebih berani dan percaya diri, karena menurut Bu Via, Leny tergolong anak yang pemalu. Bu Via sambil
memeragakan pola tingkah seorang model cilik berkata, “Tengok itu Leny, dia aja berani tampil kayak gitu, mana ada orang tuanya nemani, sendirian dia di
panggung itu”, untuk mendorong anaknya mengikuti perlombaan-perlombaan
Universitas Sumatera Utara
yang diselenggarakan oleh sekolah tempat anaknya menuntut ilmu, karena selama ini Leny tetap enggan ikut serta.
Pak Mahar dan Bu Via juga mengeluhkan seringnya sinetron anak yang dipenuhi dengan adegan-adegan perkelahian serta pengungkapan kata-kata kasar
yang dilakukan juga oleh anak-anak, padahal sinetron tersebut hampir selalu ditonton oleh anaknya. Untuk itu, biasanya ketika Bu Via turut menonton sinetron
tersebut bersama Leny, dirinya akan memberitahu Leny bahwa hal tersebut adalah hal buruk dan tidak boleh ditiru. Tetapi jika ada ajaran tentang perilaku yang baik,
Bu Via juga akan mendukung dan memuji tindakan tersebut serta menganjurkan Leny untuk melakukannya. “Iya, kalau sedang nonton sama mama, biasanya
mama banyak kasi tahu Leny tentang sifat baik dan sifat buruk, tapi kalau nonton sendirian sering ga tau”, papar Leny membenarkan pernyataan ibunya.
Tolak ukur tayangan televisi bernilai baik, menurut Pak Mahar dilihat dari bagaimana santunnya bahasa yang digunakan, alur ceritanya yang sederhana
namun menghibur, masuk akal dan tidak imajiner, serta sarat akan ajaran kebaikan, jika bertentangan dengan beberapa unsur tersebut maka tayangan
tersebut berpredikat buruk dan tidak layak konsumsi, baik bagi dirinya dan istri, maupun anak-anaknya. Sedangkan menurut sang ibu, ketiadaan unsur percintaan
adalah simbol layak tidaknya suatu tayangan disaksikan oleh Leny. Keluarga Pak Mahar hampir tidak pernah menonton bersama. Pengguna
televisi paling loyal adalah Leny dan sang ayah, dan keduanya memiliki selera yang jauh berbeda, sehingga jika salah satu mengalah maka yang satunya lagi
akan beranjak meninggalkan ruangan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi Leny
Universitas Sumatera Utara
untuk bertanya tentang hal yang tidak dipahaminya kepada sang ayah, dan sebaliknya sang ayah juga tidak pernah tahu paham tidaknya Leny terhadap apa
yang ditonton. Leny lebih banyak berinteraksi dengan sang ibu saat menonton, namun untuk hal-hal yang bersifat teknis, Bu Via mengaku sedikit kesulitan
dalam menjelaskan. Menurut Pak Mahar dampak dari tayangan televisi memiliki potensi yang
cukup tinggi dalam mempengaruhi tiap-tiap orang yang menontonnya. Anak yang membantah kata-kata ibunya, suka mengolok-olok, atau menjadi pemalas adalah
beberapa dampak negatif tayangan televisi versi Pak Mahar. Dirinya menganggap televisi adalah guru yang sangat lihai dalam menanamkan ilmunya secara
perlahan tapi pasti. Bu Via sependapat dengan pernyataan suaminya, dan dirinya menambahkan pengawasan terhadap kegiatan tersebut adalah upaya yang cukup
berarti. Televisi sebagai media massa elektronik satu-satunya di rumah mereka
membuat mereka menggunakan media ini secara maksimal. Sehingga, mereka berharap akan ada program-program acara baru yang lebih bermutu dan memiliki
pengaruh yang baik terhadap tumbuh kembang anak-anak mereka kelak. Mereka memiliki gambaran, yang menurut mereka agak absurd, yakni harapan kelak
tayangan kartun favorit Leny mengajarkan tentang pelajaran-pelajaran Leny di sekolah dalam tiap episodenya, sehingga kartun tersebut tidak hanya menghibur
tetapi juga bermanfaat secara akademis.
Universitas Sumatera Utara
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa ibu memiliki peran yang jauh lebih nyata dibanding ayah. Ayah hanya memberi pengawasan dengan
menginstruksikannya kepada ibu. Ibu lah yang melakukan pengawasan terhadap jadwal menonton serta pemberian pemahaman tentang makna yang terkandung
dalam suatu tayangan. Tingginya kepedulian sang ibu tentang apa saja yang ditonton anak didasari oleh kewaspadaan sang ibu terhadap tayangan-tayangan
yang dirinya dan suaminya khawatirkan. Sehingga tingkat melek media keluarga ini dapat dikatakan baik.
Kesimpulan Kasus
Dari penuturan Leny, tampak bahwa dirinya sudah banyak paham tentang apa yang ditontonnya, meski unsur-unsur teknis masih menjadi kebingungan
baginya. Dirinya terbiasa menjadi penonton yang aktif, karena tanpa ditanya, ibunya sangat sering menjelaskan hal-hal yang terdapat pada tayangan televisi.
Universitas Sumatera Utara
Informan 8 Keluarga Bapak Kamsul
Keluarga Bapak Kamsul 40 tahun dan Ibu Mulyani 38 tahun telah membangun rumah tangga sejak lima belas tahun yang lalu. Dari pernikahannya
tersebut, mereka memiliki 3 orang anak, dua puteri dan satu putera. Anak pertamanya, Rizky Febriyanti, duduk di kelas dua SMA, anak keduanya M.Taufik
Hidayat duduk di kelas 6 SD, dan anak bungsunya, Salsa, baru berusia 11 bulan. Pak Kamsul menamatkan pendidikannya sampai ke tingkat STM, sedangkan
istrinya meraih gelar Sarjana Pendidikan. Pekerjaan Pak Kamsul saat ini bergerak di bidang kontraktor sedangkan Bu Mul adalah seorang guru SD.
Bu Mul sehari-harinya mengajar di sebuah Sekolah Dasar Negeri yang cukup terkemuka di daerahnya. Gelar SD berstandar internasional yang dimiliki
oleh institusi tempatnya mengajar, mebuatnya memiliki jam kerja yang lebih panjang dibanding guru-guru di SD lain di daerahnya. Dirinya pergi pagi hari dan
pulang ketika sore menjelang, enam hari dalam seminggu. Anak keduanya, Taufik, juga bersekolah di sekolah tersebut, sehingga mereka kerap pergi dan
pulang bersama-sama. Kegiatan rutin ini memungkinkan Bu Mul untuk lebih mengetahui hal-hal yang dikerjakan oleh anaknya, dibanding suaminya.
Pak Kamsul sendiri memiliki pekerjaan yang terkadang cukup menyita waktu, cepat atau lambat waktu kepulangannya ke rumah bergantung pada besar
kecilnya urusan suatu proyek yang sedang ditanganinya. Pak Kamsul sering pulang ke rumah ketika hari telah menjelang malam.
Televisi bagi Pak Kamsul dan Bu Mul dianggap sebagai sebuah media hiburan sekaligus media informasi. Televisi menghadirkan suasana-suasana yang
Universitas Sumatera Utara
belum diketahui sebelumnya, mengalirkan begitu banyak pengetahuan yang sangat baik bagi mereka berdua maupun anak-anak mereka. “Program acara di
televisi sebagian ada yang begitu sarat informasi, meskipun lebih banyak yang tidak begitu penting untuk ditonton, apalagi secara intens”, ujar Bu Mul. Sejauh
ini, Pak Kamsul dan Bu Mul berpendapat bahwa beberapa tayangan televisi sering kali menyajikan informasi-informasi yang sangat baik, bagi pertambahan
pengetahuan Taufik, yang mereka katakan pemikirannya masih cenderung sederhana.
Bersekolah dari pagi hingga sore membuat Taufik tidak memiliki banyak waktu untuk bermain-main di luar rumah. Ketika tiba di rumah, waktu yang
dimilikinya banyak dihabiskan untuk beristirahat. Menonton televisi menjadi salah satu alternatif untuk melepas penat setelah berada di sekolah sekitar delapan
jam. Biasanya, Taufik menonton kartun, sinetron anak, tayangan variety show, atau program musik yang sedang tayang. Pemilihan tayangan, menurut Taufik
didasarkan pada menarik tidaknya tayangan tersebut, dan ini bergantung pada situasi personal dirinya sendiri serta ada tidaknya tugas lain yang lebih mendesak
untuk dikerjakan. Pak Kamsul mapupun Bu Mul mengetahui bahwa Taufik sangat menyukai
film kartun, program yang berisi tentang perjalanan wisata atau petualangan, sinetron anak, juga pertandingan bola. Menurut Bu Mul, meskipun jika dilihat dari
usia Taufik yang hampir menginjak masa pubertas, anak laki-laki semata wayangnya tersebut masih menggilai film kartun. Film kartun yang ditonton
Taufik biasanya adalah beberapa judul yang bertema kepahlawanan. Sinetron
Universitas Sumatera Utara
anak yang sarat imajinasi pun terkadang menarik perhatian Taufik, meski dia tidak selalu menyempatkan waktu untuk menontonnya karena adanya batasan
waktu yang ditetapkan oleh sang ibu. Taufik diberi kebebasan untuk menonton televisi sampai batas jam tujuh
malam. Setelah jam itu, televisi tidak lagi menyala. Pekerjaan rumah dari sekolah, persiapan seragam untuk hari berikutnya, dan selanjutnya tidur, adalah aktivitas
lanjutan yang harus dilakukan oleh Taufik setelah waktu bersantai usai. “Ibu memang membiasakan Taufik untuk selalu disiplin dalam membagi waktu, karena
dirinya sendiri yang kelak akan mendapat manfaat dari disiplin itu, ga ada yang namanya keteteran waktu mengerjakan sesuatu, apa pun itu kegiatannya”, papar
dirinya. Selama ini, Bu Mul mengatakan bahwa Taufik tidak pernah mengeluh atau merasa tidak adil karena memang sudah dibiasakan sejak lama.
Ketika bersama-sama menonton televisi, biasanya Bu Mul atau pun Pak Kamsul sering menganjurkan Taufik untuk menonton suatu program acara yang
mereka anggap lebih banyak nilai didikannya, seperti berita, dan biasanya Taufik tidak menolak anjuran tersebut. Menurut Bu Mul saat ini tayangan televisi lebih
dipenuhi oleh tayangan-tayangan yang bersifat megutamakan sisi komersialitas dibanding kualitasnya. Dirinya membandingkan kondisi tayangan televisi saat ini
dengan masa kejayaan TVRI beberapa belas tahun yan lewat. “Kalau dulu kita ditanya nama presiden atau menteri-menteri, pasti mudah kali jawabnya, bahkan
yang dari luar negeri sekalipun”, papar Bu Mul, yang agak menyesalkan perubahan drastis yang terjadi di ranah pertelevisian saat ini.
Universitas Sumatera Utara
Pak Kamsul juga miris melihat betapa mudahnya film kartun “impor” mempengaruhi perangai anak-anak yang tinggal di lingkungan rumahnya. Hal ini
disepakati oleh Bu Mul yang dengan spontan menyebutkan judul kartun dari negeri jiran yang sedang sangat digemari. Bahkan di tempatnya mengajar sang
ketua kelas beserta anak-anak murid lainnya menirukan apa yang dilakukan oleh para tokoh kartun saat memberi salam hormat kepada guru di pagi hari, dan hal ini
menurut Bu Mul bukan merupakan hal yang tidak baik, sehingga dirinya beserta rekan guru yang lainnya langsung memperingatkan para murid untuk tidak
mengulangi hal tersebut. Selain itu gaya berdandan berlebihan yang dilakukan oleh anak-anak seusia Taufik juga mereka anggap merupakan hasil ajaran
tayangan televisi. Pengaruh yang tampak terjadi pada penampilan fisik Taufik sendiri menurut mereka berdua hanyalah mengenai gaya rambut maupun gaya
berpakaian, namun masih dalam batas wajar, terlebih mengingat lagi bahwa Taufik sudah beranjak memasuki fase remaja.
Ketika menonton berita atau program yang menampilkan lokasi-lokasi atau hal-hal baru yang belum pernah diketahuinya, biasanya Taufik selalu
menanyakannya kepada ibu atau ayahnya. Namun jika yang disaksikannya adalah kartun favorit atau sinetron anak, tak sekalipun dirinya bertanya karena memang
dia merasa paham. Pak Kamsul maupun Bu Mul juga menganggap Taufik sudah dapat memahami hal nyata maupun rekaan imajinasi dari tayangan-tayangan yang
bagi Tauifik sangat menghibur tersebut. Masalah pesan moral atau pun amoral yang sering terpadu dalam suatu tayangan yang sering disaksikan oleh Taufik,
Universitas Sumatera Utara
mereka berpendapat bahwa Taufik sudah dapat menyerap atau menolaknya secara mandiri.
Taufik sendiri membenarkan hal tersebut, dengan berkata,”Iya, Taufik paham mana yang buatan komputer mana yang asli, juga yang ga boleh dicontoh
atau harus dicontoh”. Taufik sudah dapat memahami pesan moral yang terkandung di dalam tayangan televisi, karena kegiatan Tanya jawab antara
dirinya dengan orang tua sudah sangat sering dilakukan pada waktu sebelumnya. Film kartun atau sinetron anak yang sering disaksikan oleh Taufik menurut
pasangan suami istri ini sama sekali tidak memiliki nilai edukatif. Semua disajikan secara berlebihan dan membawa anak ke dunia khayal tingkat tinggi.
Siaran berita serta program tentang perjalanan maupun petualangan adalah program yang mereka sepakati baik bagi Taufik. Harapan mereka adalah
menjamurnya stasiun televisi swasta sebaiknya lebih dapat menyeimbangkan antara kebutuhan finansialnya dengan penyajian tayangan yang bermutu. Menurut
mereka, program acara yang bersifat informatif diharapkan dapat lebih memiliki porsi waktu yang jauh mendominasi dibanding tayangan lain yang kurang ada
faedahnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga ini memiliki tingkat melek media yang tinggi. Penjadwalan waktu menonton yang
diatur secara baik, pengetahuan mereka tentang tayangan yang ditonton oleh Taufik, serta pemberian penjelasan sejak dini tentang makna dari tayangan-
tayangan tersebut, terbukti meningkatkan pemahaman Taufik di masa sekarang.
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
Penilaian kritis mereka tentang baik buruknya program acara, juga menunjukkan bahwa mereka adalah tipe orang tua yang sangat tanggap dengan perkembangan
program acara, apapun dan kepada siapa pun ditujukan. Dilihat dari sisi Taufik, diketahui bahwa pemahaman dirinya tentang apa
yang sering disaksikannya memang baik adanya. Bukan sekadar dilihat dari segi emosional, tetapi juga dalam urusan kognitif. Taufik tidak hanya menikmati
hiburan ketika menonton, tetapi juga memahami dan selanjutnya berusaha mencari tahu lebih banyak informasi yang berkaitan dengan dunia sekitarnya
dengan bertanya kepada orang tuanya..
Universitas Sumatera Utara
Informan 9 Keluarga Bapak Sutiono
Bapak Sutiono berusia 40 tahun memiliki istri yang lebih muda 10 tahun darinya, bernama Ibu Eka Susanti. Dalam 9 tahun usia pernikahan mereka, dua
puteri dan satu putera adalah karunia yang mereka peroleh. Anak pertamanya bernama Dipa Putri Lafaiza berusia 8 tahun, yang kedua bernama Nazwa,
sedangkan yang ketiga, pada saat peneliti berkunjung, masih belum diberi nama, karena usianya baru seminggu. Pak Yono dengan pendidikan STM yang
dimilikinya, bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik sedangkan Bu Eka adalah seorang ibu rumah tangga.
Pak Yono dan Bu Eka memberi predikat ortodoks pada cara mereka mengawasi Putri saat mengonsumsi televisi. Pengertian yang lebih sederhana dari
predikat tersebut adalah bahwa mereka berdua sangat menyadari adanya perubahan zaman yang sangat cepat, dari yang serba konvensional sampai ke
serba digital, sehingga sebagai orang tua harus selalu memiliki kesiapan dalam menjaga anak dari hal-hal buruk yang mungkin hadir di sela-sela perubahan
tersebut, termasuk dari pertumbuhan pesat stasiun televisi. Bu Eka merasa yakin bahwa banyak tayangan televisi yang tidak sehat, dan dibanding suaminya
dirinyalah yang paling merasa takut jika anaknya terkena pengaruh negatif dari tayangan-tayangan televisi yang pertumbuhannya kian subur tersebut.
Putri termasuk penonton yang setia, dirinya menonton televisi setiap ada kesempatan. Jadwal sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, mengaji, dan
membantu pekerjaan sang ibu adalah kegiatan lain yang mencegah Putri untuk menonton. Ketika tugas lain sudah selesai, maka Putri sudah bebas untuk
Universitas Sumatera Utara
menyalakan televisi dan menonton acara kesukaannya. Berbeda dengan teman- temannya yang menomorsatukan kartun sebagai tayangan favorit, Putri jauh lebih
menyukai program masak memasak. Dari tayangan tersebut, Bu Eka merasa senang karena anaknya yang masih delapan tahun tersebut sudah hapal bermacam
bumbu, bahkan terkadang memprotes rasa masakannya dengan gaya khas yang dimilikinya. “Kok asin kali mak, atau itu beli bahan masaknya di mana mak”,
tutur Bu Eka menirukan pertanyaan yang biasa dilontarkan Putri ketika membandingkan masakan ibunya dengan takaran bumbu sang koki yang sering
disaksikannya. Kartun juga menjadi kesukaannya, hanya karena tidak mengajarkan apa-apa maka seolah tidak memberi kesan pada Putri. Kartun sering
menimbulkan kebingungan bagi Putri, dirinya heran melihat betapa mudahnya perpindahan objek kartun tersebut, jika hal ini ditanyakan pada ibunya maka Bu
Eka menjawab itu sebagai hasil olah komputer. Namun terkadang banyak pertanyaan yang tidak terjawab oleh Bu Eka, karena Putri menanyakan sesuatu
yang terlalu kompleks atau menggunakan bahasa yang sukar dipahami. Saat menyaksikan acara humor adalah saatnya keluarga Pak Yono
menonton bersama. Ketiadaan adegan-adegan yang tidak pantas membuat keluarga ini tidak pernah melewatkan program tersebut. Putri diperbolehkan
menonton sampai jam 9 malam. Selain karena sudah saatnya tidur, hal ini juga dilakukan karena menurut Pak Yono sudah tidak ada lagi yang layak ditonton oleh
Putri, “Semua sudah untuk Dewasa”, paparnya. Pak Yono menganggap bahwa tayangan yang paling dilarang untuk ditonton oleh Putri adalah sinetron
percintaan. Meski begitu, terkadang sang ibu melibatkan Putri saat dirinya ingin
Universitas Sumatera Utara
menonton salah satu judul sinetron. Tetapi Bu Eka tidak pernah meninggalkan Putri sendirian saat menontonnya, karena dia tahu bahwa ada saat-saat di mana
adegan dewasa akan dimunculkan. Ketakutan yang menurut dirinya berlebihan ini, didukung juga dengan
adanya pertanyaan-pertanyaan aneh dari Putri tentang apa yang pernah dikatakan teman-teman sebayanya padanya. Pertanyaan tersebut berkisar pada kata-kata
yang kurang sopan dan cenderung asusila. Saat mendengarnya, Bu Eka mengaku kaget dan sedikit membentak Putri. Namun setelah itu dirinya mengeluarkan jurus
jitu dengan melontarkan kata miskin. Dirinya menceritakan betapa takutnya Putri akan kata miskin. Hal tersebut membuatnya lebih mudah dalam mengontrol
perilaku Putri serta memotivasi Putri untuk berperilaku lebih baik. Menurut Bu Eka, teman-teman Putri tersebut pasti terpengaruh oleh tayangan televisi, sehingga
Bu Eka menjadikan ini sebagai teguran baginya untuk lebih memproteksi anaknya. Dirinya mengatakan bahwa tidak bisa percaya terhadap anak seratus
persen, tetap ada kemungkinan buruk dari seorang anak yang berperangai sangat baik sekalipun ketika di rumah. Karena ketika di luar, dirinya berinteraksi dengan
anak-anak yang berasal dari beragam jenis keluarga. Dengan pembatasan yang ada, baik Pak Yono maupun Bu Eka sudah
merasa sedikit aman. Tayangan masak memasak favorit Putri menurut mereka minus nilai negatif. Sejauh ini Putri selalu menonton tayangan yang memang
ditujukan untuk anak-anak, sehingga mereka tidak terlalu banyak mengarahkan atau mendukung Putri untuk mengikuti program-program tertentu yang menurut
mereka baik. Baik buruknya tayangan kembali pada ada tidaknya unsur
Universitas Sumatera Utara
vulgarisme dalam tayangan tersebut, tanpa ada unsur lain sebagai pembanding. Unsur vulgarisme menurut mereka adalah unsur perusak moral, dan rusaknya
moral akan menjadi pemicu utama rusaknya mental Putri, keluarga mereka sendiri, dan penonton televisi lainnya, dan pada gilirannya akan menjurus pada
kerusakan yang bersifat holistik. Terkadang Putri juga menonton reality show yang sering mengisahkan
penderitaan orang miskin secara nyata. Bu Eka sering menjelaskan apa yang ditampilkan oleh gambar tersebut dengan menyatakan bahwa tangan di atas jauh
lebih baik dari tangan di bawah. Bu Eka membandingkannya dengan sinetron yang sering kali menampilkan sosok orang miskin secara berlebihan, dalam artian
terlalu sengsara, terlalu lusuh, dan terlalu mudah diinjak-injak. Ini lah yang membuatnya tidak suka berlama-lama melihat sinetron.
Menurut Pak Yono, untuk saat ini Putri menonton televisi hanya untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan. Namun Bu Eka kembali menyatakan bahwa
kritikan Putri terhadap masakan adalah pengetahuan yang diperoleh Putri dari televisi. Mendidik dalam arti memberikan pengetahuan bermanfaat seperti yang
didapat Putri dari sekolah menurut mereka berdua belum terdapat pada apa yang ditonton Putri. Menurut mereka, semua akan sejalan dengan bertambahnya usia
Putri. Mengenai simbol-simbol yang berada di pojok atas layar kaca, Pak Yono maupun Bu Eka tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena mereka berpendapat
bahwa semua kembali pada isi tayangan, sedangkan simbol hanyalah simbol semata, bukanlah penentu baik buruknya tayangan.
Universitas Sumatera Utara
Pak Yono maupun Bu Eka memosisikan televisi sebagai media massa elektronik terfavorit dan terpenting di rumah. Putri adalah salah satu pengguna
teraktifnya. Oleh sebab itu, besar harapan stasiun televisi lebih bijak dalam memproduksi tayangan. Mereka menginginkan tayangan-tayangan yang sesuai
dengan usia anak-anak mereka saat ini dan selanjutnya. Mereka mendambakan adanya penempatan jadwal acara secara tepat, baik waktu maupun sasaran
konsumennya. Sehingga para orang tua tidak perlu terlalu cemas atau paranoid terhadap dampak buruk yang dituduhkan berasal dari tayangan televisi.
Putri memiliki keinginan yang lebih konkret dari kedua orang tuanya. Dirinya berangan kelak setiap stasiun televisi memiliki lima program masak-
memasak yang beragam, baik menu maupun para kokinya. “Kan enak bisa tahu banyak masakan, kalau udah pintar masak nanti kan bisa jadi koki terkenal terus
jadi orang kaya kayak kata mama”, ungkapnya dengan penuh tawa.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, ditarik kesimpulan bahwa kedua orang tua, terutama sangat memperhatikan, bahkan memproteksi terhadap
kegiatan menonton televisi yang disaksikan. Meski bebas dalam hal jadwal menonton, namun penyeleksian terhadap program acara yang ditonton dilihat
sebagai tindakan bijak ketika mengonsumsi televisi. Pemberian pemahaman ketika anak bertanya juga merupakan nilai positif, sehingga tampak memang
keluarga ini benar-benar mendampingi anak dalam kegiatan bermedia tersebut. Penilaian tentang buruknya tayangan yang dicirikan oleh satu jenis program acara,
sedikit banyak menunjukkan bahwa tingkat melek media keluarga ini sudah baik.
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
Dari sisi anak, dapat diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki Putri sudah baik jika diukur dari segi usianya. Meski masih banyak hal yang terkadang
membingungkannya karena orang tuanya tidak dapat menjawab dengan baik masalah teknis yang disaksikannya, namun peningkatan pemahaman telah terjadi
mengenai masalah lain yang telah dijawab oleh orang tuanya. Putri yakin bahwa hal teknis tersebut akan dipahaminya seiring meningkatkanya level pendidikan
yang ia jalani.
Universitas Sumatera Utara
Informan 10 Keluarga Bapak Sukirno
Bapak Sukirno 42 tahun dan Ibu Suminah 36 tahun adalah sepasang suami istri yang bekerjasama dalam mengelola sebuah usaha keluarga yang
bergerak di bidang produksi bahan bangunan. Tingkat STM adalah pendidikan terakhir Pak Kirno sedangkan Bu Sum sampai pada tingkat SMP. Dari ketiga anak
yang mereka miliki, anak mereka yang kedua, Rahmat Hidayat, atau akrab disapa Dayat 11 tahun yang terpilih menjadi informan bagi penelitian yang peneliti
lakukan. Pak Kirno setiap harinya bersama-sama Bu Sum mengelola perusahaan
keluarga tersebut. Pak Kirno berperan sebagai pengantar barang pesanan dan Bu Sum banyak terlibat dalam urusan administrasi. Keduanya pergi bersamaan
dengan berangkatnya anak-anak mereka ke sekolah dan kembali saat sore. Dayat yang bersekolah pagi dilanjutkan mengaji dan les sampai sore juga memiliki
jadwal pulang yang sama dengan orang tuanya. Menurut sepengetahuan orang tuanya, Dayat biasanya menonton televsi saat waktu sudah menunjukkan pukul
tujuh malam. Saat pulang dari aktivitasnya Dayat lebih memilih bersepeda dengan teman-temannya.
Bu Sum mengetahui bahwa Dayat sangat suka dengan salah satu judul reality show yang sering menonjolkan unsur horor serta mistis. Jika sudah
menonton tayangan tersebut, Dayat biasanya sangat menikmati dan enggan beranjak dari tempat duduknya sampai tayangan tersebut selesai, bahkan jika
kebetulan bersambung, Dayat akan selalu ingat pada minggu berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
Terkadang Dayat juga menonton kartun. Hanya satu judul kartun yang disukai Dayat, serta sesekali mencuri-curi pandang pada sinetron percintaan.
Dayat bebas menonton sampai batas jam sebelas malam. Biasanya dirinya berangkat tidur saat mata sudah tidak dapat diajak kpmpromi. Tidak ketatnya
pembatasan terhadap jadwal menonton yang dilakukan oleh Dayat dikarenakan Pak Kirno merasa bahwa tidak ada dampak negatif yang terjadi dari kebebasan
yang diberikannya tersebut. Hanya, Pak Kirno memberi batasan tegas terhadap pelarangan konsumsi sinetron percintaan. “Apa yang ditonton itu, ganti”, ungkap
Pak Kirno mencontohkan bagaimana dirinya marah jika melihat Dayat menonton apa yang dilarangnya. Pak Kirno tidak mengarahkan Dayat untuk menonton
program tertentu, namun dengan tegas melarang setiap program yang mereka anggap tidak baik untuk ditonton. Bu Sum yang sependapat dengan sang suami
juga beropini bahwa Dayat berbeda dengan abangnya Heri, dalam hal perkembangan kejiwaan. Menurutnya, Dayat lebih cepat merespons simulus-
stimulus yang mengarah pada masalah asmara, sehingga dirinya benar-benar menjaga agar Dayat tidak bebas dalam menonton hal-hal tersebut karena
ditakutkan Dayat menjadi terlalu cepat dewasa. Program televisi yang baik menurut Bu Sum adalah apa yang sering
mereka saksikan bersama, seperti reality show, siaran berita, kartun, humor, dan program olah raga. Selebihnya hampir menjadi program-program yang tak terlihat
dengan seksama oleh pasangan-pasangan mata di keluarga mereka. Menurut mereka tayangan tersebut baik bagi anak-anak dalam artian sangat menghibur dan
menyenangkan untuk ditonton. Masalah nilai edukasi, Pak Kirno maupun Bu Sum
Universitas Sumatera Utara
pada dasarnya menidakkan hal tersebut, namun dengan sedikit ragu mengucapkan adanya nilai agama yang terkandung dalam kartun yang sering mereka tonton
bersama sebagai pengecualian. Saat menonton reality show, Dayat banyak mempertanyakan apakah alur
cerita tersebut fiktif atau nyata. Bu Sum akan menjawabnya sesuai pengetahuan yang dirinya miliki bahwa tayangan tersebut merupakan perpaduan antara kisah
nyata dan olahan sutradara. Selebihnya Dayat cenderung jarang bertanya tentang tayangan-tayangan lainnya. Sensasi ketakutan yang sering timbul setelah
menonton unsur horor yang dilebih-lebihkan, menjadikan Dayat semakin bersemangat untuk menantikan episode selanjutnya.
Bu Sum menganggap suatu tayangan itu bernilai positif ketika nilai agama dijadikan sebagai unsur yang dapat dilihat dengan mudah. Dengan harapan, anak-
anak akan lebih memahami agama, bahkan melalui kartun kesukaannya. Pak Kirno yang meragukan hal tersebut terdapat pada tayangan yang saat ini
berkembang pesat, hanya menyatakan nilai hiburanlah sebagai unsur utamanya. Dirinya beranggapan, tayangan televisi bukanlah sesuatu yang dapat diharapkan
menjadi agen penyebar kebaikan, karena di sana ada banyak kepentingan yang diperjuangkan. Menurutnya, hak konsumen hanya berada di nomor ke sekian dari
skala prioritas tiap-tiap stasiun televisi, terutama yang swasta. Baik Pak Kirno maupun Bu Sum, keduanya sama-sama tidak terlalu
memperhatikan lambang-lambang target suatu program. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut akan tampak dengan sendirinya dari tayangannya secara
konkret. Dengan kata lain, mereka berdua adalah “filter hidup” yang lebih jujur
Universitas Sumatera Utara
daripada simbol-simbol tersebut. Dayat yang merasa tidak bertambah pengetahuannya setelah menonton televisi mengaku hanya memperoleh hiburan
saat menonton. Bu Sum menekankan bahwa anak-anak seusia Dayat sebagian besar hanya menonton televisi untuk keperluan hiburan semata, selebihnya
kembali pada dirinya sendiri, orang tua, guru, dan teman-temannya. Keluarga Pak Kirno menganggap televisi sebagai media hiburan sesaat dan
cenderung kurang tinggi intensitas pemakaiannya. Waktu mereka banyak dihabiskan di luar rumah, dan menurutnya, kegiatan dirinya dan istrinya di
perusahaan, serta anak-anaknya di masing-masing institusi pendidikan formal maupun non formal, jauh memberikan hiburan yang lebih nyata, bahkan memiliki
fungsi mendidik yang lebih kompeten. Bu Sum yang sangat mewaspadai perkembangan jiwa Dayat yang menuju masa pubertas tersebut membuat dirinya
lebih mengantisipasi beberapa jenis tayangan yang dianggapnya memiliki kemampuan untuk merasuki jiwa Dayat, dan selanjutnya akan mempengaruhi
gaya berpikir dan berperilaku Dayat. Dirinya takut jika tiba-tiba Dayat ketahuan menyukai lawan jenis dan memiliki keinginan untuk melakukan hal-hal yang
sering ditampilkan di sinetron khas percintaan.
Melalui narasi di atas, diketahui bahwa orang tua memiliki pandangan yang cukup negatif terhadap tayangan televisi. Namun, hal tersebut tidak
mendorong mereka untuk melakukan pembatasan terhadap jadwal menonton. Pelarangan disaksikannya satu jenis program dilakukan ketika kebetulan mereka
berdua atau salah satu dari mereka memergoki sang anak. Tindakan memberi
Kesimpulan Kasus
Universitas Sumatera Utara
penjelasan tentang makna tayangan juga tidak terlalu sering dilakukan. Penilaian kritis terhadap produksi program acara yang buruk pada dasarnya menunjukkan
bahwa mereka memiliki tingkat melek media yang cukup baik, namun hal tersebut juga dibarengi dengan ketidakpedulian mereka untuk mentransformasikan konsep
tersebut kepada anak. Dari sisi anak, diketahui bahwa tindakan mengonsumsi televisi sebagian
besar didasari oleh kebutuhan afektif. Sedangkan untuk yang bersifat pengetahuan, anak cenderung tidak tertarik. Meningkatnya pemahaman anak
dilihat dari kemampuannya dalam melihat hal nyata maupun fiktif, namun tanpa ada nilai moral serta pengetahuan yang bertambah. Ini dikarenakan orang tua yang
tidak berperan dalam memberi pemahaman tersebut, serta kekurangpedulian anak tentang hal-hal baru. Anak tidak banyak bertanya tentang hal-hal baru tersebut
karena adanya anggapan ketidakpentingan hal tersebut dari pihak orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
IV.3. Pembahasan