Delik adat Keadaan Sosial Masyarakat Adat Batak Toba

30

B. Pengertian Perzinaan

Bentuk perbuatan hubungan seksual yang dapat dikategorikan tindak pidana zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Didalam hukum positif hal ini diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP pada pasal 284, yaitu hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain. 21 Menurut R.Soesilo zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dalam hal ini persetubuhan dilakukan harus dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. 22 Dalam hukum positif terdapat istilah Fornication dan Adultery.Tokoh hukum positif Sue Titus Ried mendefinisikan Fornication sebagai hubungan seksual yang tidak sah antara dua orang yang masing-masing tidak terikat perkawinan. 23 Sedangkan Adultery adalah hubungan seksual yang dilakukan antara dua orang yang apabila keduanya atau salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain. 24 21 Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Diindonesia Ditinjau Dari Hukum Islam , Jakarta:Kencana, 2010, h.65 22 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, h.209 23 Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Diindonesia, h.183 24 Ibid, h.200 31 Selain itu, KUHP juga melarang hubungan seksual yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana zina, yaitu persetubuhan laki-laki dengan seorang perempuan yang sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Hal ini sesuai dengan pasal 286 KUHP yang berbunyi : “ Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Menurut pasal 287 KUHP , seseorang dapat dikategorikan sebagai pelaku zina, yaitu terhadap orang yang melakukan persetebuhan diluar perkawinan dengan seorang perempuan, yang belum berumur 15 tahun. Jika usia perempuan tersebut tidak jelas, maka dapat diketahuinya atau harus diduganya bahwa perempuan tersebut belum waktunya untuk dinikahi. Hukuman yang ditentukan dalam pasal 287 KUHP adalah pidana penjara paling lama 9 tahun. 25 Pengertian yang ada didalam KUHP tentu berbeda dengan yang digunakan oleh masyarakat selama ini. Dimana setiap seorang laki-laki dan seorang perempuan yang melakukan persetubuhan diluar ikatan perkawinan yang sah, bisa didefenisikan sebagai tindakan zina tanpa harus dicari tahu lagi apakah laki-laki atau perempuan tersebut sedang berada dalam suatu ikatan perkawinan dengan perempuan atau laki-laki lain. Tentunya hal tersebut berbeda dengan konsep masyarakat indonesia yang religius. Dimana, setiap bentuk perzinan, baik telah terikat perkawinan ataupun belum, merupakan suatu perbuatan yang tabu yang melanggar nilai-nilai kesusilaan.Konsep masyarakat seperti ini tidak dapat berarti banyak jika hukum pidana nasional mendatang tidak mengakomodasi dalam ketentuannya.Para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai 25 Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, h.66 32 penggunaan istilah pengganti dari zina atau Overspel ini.Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina, sedangkan pendapat lain menggunakan istilah “mukah” atau “gendak”. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya dari Moelyatno, Andi hamzah, R.Soesilo. 26

C. Pengertian Sanksi

Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seorang mengerti mengenai norma-norma yang berlaku. Misalnya saja sanksi terhadap pelanggaran norma agama, dimana setiap pelanggar nantinya akan mendapatkan sanksi dineraka. Sanksi terhadap norma kesusilaan ialah, dikucilkan dari pergaulan masyarakat setempatnya. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan adalah ia akan mendapatkan perlakuan secara tidak terhormat dan lain sebagainya. Jadi, jelas bahwa sanksi terhadap ketiga kelompok norma tersebut tergantung kepada kesadaran perseorangan, sehingga fungsi alat pemaksa lebih bayak tergantung pada kata hati nurani seseorang. Oleh karena itu, bagi orang yang tidak terlalu percaya kepada suatu ajaran agama, sering terjadi bahwa ia tidak mempunyai rasa penyesalan atau rasa tergugah, tidak peduli apakah ia akan dianggap baik oleh masyarakat dan tidak mau tahu pula mengenai sopan santun. Akibat dari perilaku tersebut maka akan banyak kepentingan-kepentingan dalam pergaulan hidup manusia kurang mendapatkan perlindungan. Mungkin malahan menjadi bentrokan-bentrokan yang lebih meluas diantara kepentingan-kepentingan. 26 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, h.89-91