LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

4 Apabila ada perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam suatu keluarga atau kerabat tentunya seseorang ini akan mencari jalan penyelesaian dengan para anggota kerabatnya, dengan kepala kerabat atau kepala adat, sehingga keluarga yang tadinya tidak seimbang karena ada perselisihan dapat kembali tenang dan damai. Apabila ada perselisihan didalam bertetangga maka cara penyelesaiannya adalah pendamaian dengan kerabat dan tetangga atau meminta bantuan padakepala kampung, kepala desa pula, sedangkan perselisihan didalam organisasi perkumpulan maka penyelesaiannya adalah dengan perantaraan teman sekarya, seorganisasi, seagama dan lain-lain. Persekutuan hukum adat di Indonesia mempunyai bentuk dan nama yang berbeda-beda, namun dari berbagai bentuk yang berbeda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk pokok yaitu persekutuan hukum adat kekerabatan yang terdiri dari tiga bentuk kerukunan, yaitu rukun keluarga, rukun kerabat, dan rukun suku; untuk persekutuan hukum adat ketetanggaan terdiri dari tiga bentuk kerukunan, yaitu rukun tetangga, rukun kampung, dan rukun desa. Dan yang terakhir adalah bentuk persekutuan hukum adat keorganisasian yang terdiri dari tiga bentuk kerukunan juga yaitu, rukun kumpulan, rukun organisasi, dan rukun golongan. 2 Pada dasarnya, manusia senantiasa berinteraksi atau melakukan hubungan interpersonal karena kebutuhan akan inklusi, kontrol dan afektif. Pengalaman berinteraksi inilah yang nantinya akan menghasilkan sistem nilai, yaitu konsep 2 Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni Bandung,1981, h.16 5 abstrak mengenai apa yang buruk dan apa yang baik yang nantinya akan berpengaruh pada pola pikir manusia yang akan dibentuk menjadi sikap manusia, yakni kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau keadaan tertentu. Dari sikap manusia ini nanti lahir pula perilaku yang kemudian menjadi pola perilaku yang apabila diabstrakkan akan menjadi norma atau kaedah yang merupakan patokan tentang perilaku yang pantas. Norma ini pulalah yang nantinya akan mengatur interaksi antar manusia atau hubungan interpersonal. 3 Dalam penulisan proposal ini, penulis memfokuskan pada kehidupan masyarakat adat batak, khususnya adat Batak Toba. Didalam kehidupan bermasyarakat di batak toba hubungan kekerabatan biasanya disebut dengan Dalihan Na Tolu tungku nan tiga. 4 Dimana dalihan na tolu ini merupakan suatu kerangka yang meliputi hubungan kekerabatan darah dan perkawinan. Penamaan dan perumusan pihak-pihak yang merupakan dalihan na tolu ini adalah orang- orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek yang sama dan yang benar- benar merayakan upacara kekerabatan secara bersama-sama pula, bukan hanya dari sekedar klasifikasi marga. Didalam lingkungan kelompok keluarga kecil peraturan yang pertama dan yang paling utama adalah yang dinyatakan oleh suatu pengadilan hundulan, “semoga setiap orang sejahtera”. Inilah yang disebut dengan adat “parsaripeon” 3 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali 1981 Jakarta, h.79 4 J.C.Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba ,LKIS Yogyakarta, 2004, Yogyakarta, h. x 6 peraturan yang harus diperhatikan oleh semua anggota keluarga,yang merupakan aturan untuk mencegah terjadinya garis hukum yang tajam didalam kelompok keluarga ini. 5 Didalam sistem hukum adat sekalipun, segala tindakan yang bertentangan dengan peraturan adat merupakan tindakan ilegal; hukum adat mengenal pula upaya-upaya untuk memulihkan hukum jika hukum itu diperkosa dilanggar. 6 Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan untuk memperbaiki kembali hukum didalam ruang lingkup pidana dengan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut didalam ruang lingkup perdata.Berhubungan dengan hal itu, didalam sistem hukum adat sendiri tidak ada perbedaan acara dalam hal penuntutan dalam ruang lingkup pidana maupun perdata.Dan biasanya apabila terjadi suatu pelanggaran maka petugasakan mengambil tindakan kongkrit untuk membetulkan hukum yang dilanggar itu.Dimana yang menjadi petugas hukum disini biasanya adalah kepala adat. Didalam peradilan adat, para hakim adat biasanya memberlakukan hukum adat itu secara materiil maupun formal.Mereka tidak terikat pada suatu peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan peradilan tersebut. Dimana cara pelaksanaannya adalah dengan cara musyawarah dan mufakat atas dasar kekeluargaan dan kerukunan kekerabatan atau kerukunan ketetanggaan. 5 J.C.Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba ,LKIS Yogyakarta, 2004, Yogyakarta, h.186 6 Iman Sudiyat, Hukum Adat Seketsa Asas,Liberty Yogyakarta, 1981,Yogyakarta, h.175 7 Persidangan biasanya dilakukan bukan untuk mewujudkan suatu keputusan melainkan untuk mencari jalan penyelesaian sepakat, seia-sekata karena saling pengertian.Apabila para pihak dapat menerima penyelesaian yang disetujui bersama maka itu pulalah yang menjadi putusannya.Pada masyarakat hukum adat batak yang bersendikan genealogis patrilinial yaitu garis kebapakan, maka yang menjadi anggota majelis hakim adat adalah petua-petua adat menurut garis keturunan laki-laki. Tidak seperti halnya didalam penjatuhan hukuman menurut KUHP,hakim adat hanya dapat menetapkan hukuman adat yang sederhana saja, misalnya bersifat reaksi adat terhadap pelanggaran yang telah terjadi, berupa peringatan, teguran, pemberian ampun atau maaf, kewajiban menyelenggarakan upacara sedekah, selamatan, membersihkan kerabat atau bersih desa atau yang lebih berat adalah hukuman buang, disingkirkan atau diusir dari kampung halaman. Tetapi dengan penjatuhan hukuman seperti ini tidak memberikan efek jera sama sekali terhadap pelaku. Bagaimana pula halnya dengan perbuatan zina.Zina juga merupakan delik yang terutama melanggar kepentingan hukum seseorang selaku suami.Karena perbuatan zina itu maka kesucian masyarakat terganggu pula. Di tanah batak toba harus diselenggarakan upacara pembersihan masyarakat yang disebut dengan “pangurasion”penyucian 7 , karena perbuatan zina itu menimbulkan upaya pertahanan raksi adat dari pihak atau kerabat atau suami yang terhina. Bahkan 7 Iman Sudayat, Hukum Adat Sketsa Adat., h.193 8 apabila pelakunya belum menikah, si pemuda hanya memberikan piso kepada parboru sebagai bentuk penyucian pangurasion untuk menyenangkan hatinya apabila si pemuda tidak mau menikahi parboru ini atau orangtua dari parboru tidak mengizinkan untuk dilaksanakan pernikahan.Jadi, tidak ada efek jera yang diberikan dari petua adat kepada pelaku zina, hingga nantinya pelaku bisa saja melakukan tindakan tersebut berulang-ulang. Bukankah sanksi hukum diberlakukan agar si pelanggar hukum mendapatkan efek jera dan tidak akan berbuat pada pelanggaran yang sama? Di dalam hukum adat Batak Toba, keberadaan pasangan perzinahan sangat ditentang. Perbuatan tercela tersebut dianggap menyalahi norma-norma yang ada khususnya norma kesopanan dan kesusilaan. Hidup bersama secara terbuka dan tidak sah sebagai suami istri marbagas roha-roha tidak dikenal dikalangan pemuda dan tidak selaras dengan hubungan gadis dengan parborunya.Namun, hal seperti itu banyak terjadi dikawasan yang disiplin hukum dan adat istiadatnya lemah, yaitu diantara orang yang sudah tua dan sudah pernah kawin.Ini adalah pelanggaran terhadap adatsala tu adat dan pantas dituntut dan dihukum oleh penguasa. 8 Pada hukum adat Batak Toba sendiri dikenal sebagai daerah atau suku yang sangat tegas dalam memberikan sanksi sehingga seseorang yang melanggar peraturan harus berpikir dua kali lipat. Begitu pun dengan perzinahan, adanya perzinahan yang terjadi di suku adat Batak Toba akan dikenai sanksi adat. Apabila 8 J.C.Vergouwen , Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, h.217 9 ada yang melakukan praktik perzinahan di daerah teritorial mereka maka langkah yang pasti akan ditempuh adalah dinikahkan. Namun sebelum dinikahkan para pelanggar aturan yakni pasangan perzinahan akan diberikan sanksi. Apapun dan siapapun yang melanggar aturan pasti akan mendapatkan balasannya. Bahkan hal yang belum diatur pada hukum positif pun telah ada pengaturannya pada hukum adat yang salah satunya adalah pengaturan tentang hukuman bagi pasangan perzinahan yakni dimana seorang pasangan yang melakukan hubungan hidup layaknya suami istri diluar pernikahan secara sah. Di masyarakat adat Batak Toba memberikan sanksi yang tegas untuk pelaku perzinahan, tetapi sanksi yang diberikan itu tidak memberikan efek jera sama sekali. Sebenarnya mengenai perzinahan diindonesia sudah diatur didalam KUHP pada pasal 284 KUHP. Dalam pasal 284, zina hanyalah zina yang pelakunya sudah terikat dengan akad nikah, yaitu kasus perselingkuhan yang terjadi dalam delik aduan, sehingga disamping KUHP tidak mengenal istilah zina ghairu muhsan belum menikah, didalamnya juga mengandung pengertian bahwa selama para pelaku suami atau istri yang merasa aman dengan delik perzinahan yang dilakukan pasangannya, maka pelaku tidak dapat dituntut karena tidak diadukan pula oleh pihak yang merasa dirugikan. 9 Muhammad Abduh Malik mengemukakan bahwa: “Apabila seorang laki-laki yang mempunyai istri melakukan hubungan seksual bersetubuh dengan perempuan lain tetapi istri tidak keberatan, maka KUHP tidak akan diberlakukan terhadap suami. Begitupula sebaliknya, apabila seorang perempuan yang telah mempunyai suami 9 M.Nurul Irfan, Masyrofah,.Fiqh Jinayah Jakarta: Amzah, 2013, h.38 10 bersetubuh dengan laki-laki lain tetapi sisuami tidak keberatan, maka siistri juga tidak akan dikenai hukuman oleh KUHP.” Jadi, apabila suami tidak keberatan istrinya berselingkuh berzina dengan lak- laki lain atau siistri tidak keberatan suaminya berselingkuh berzina dengan perempuan lain dengan motif hawa nafsu, imbalan materiil, atau lainnya ; maka perbuatan zina tersebut bukan perbuatan buruk yang perlu dilarang dalam KUHP. Apabila suami merasa malu mengadukan istrinya atau istri merasa malu mengadukan suaminya yang melakukan perselingkuhan kepada aparat penegak hukum, maka sudah barang tentu perbuatan zina tersebut tidak akan diproses. Dengan demikian, perbuatan zina yang dilakukan seorang suami atau istri dapan berjalan terus. Jadi, berarti pasal 284 KUHP ini tidak akan berfungsi untuk mencegah terjadinya perbuatan zina dalam masyarakat, dan bahkan memberi peluang. 10 Lain halnya dengan RUU KUHP yang baru yang sudah mulai memberikan sanksi bagi pelaku zina. Hanya saja tetap masih sama dengan KUHP yang lama yaitu dalam RUU KUHP delik zina dan kumpul kebo hanya masuk dalam delik aduan sehingga kerangka hukum bagi pelaku zina dan kumpul kebo kurang begitu kuat dan tidak dijelaskan pula secara rinci tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo, serta unsur yang ada dalam delik tersebut. Misalnya dalam memberikan hukuman bagi pelaku maksimal lima tahun penjara dan dikenai denda sebesar Rp. 600.000 sesuai dengan ketentuan pasal 484 10 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang,2003, cet. Ke-1, h.191-192 11 nomor 1 huruf E RUU KUHP . kumpul kebo dimaksud dalam hal ini adalah pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup serumah tanpa ada ikatan perkawinan. Selain itu Kumpul kebo merupakan istilah populer dimasyarakat untuk menyebut perbuatan hidup bersama diluar pernikahan yang sah. Didalam istilah asing, kumpul kebo dapat didentikkan dengan sebutan “samen leven”, living in non-matrimonialunion ”, “conjugal union”, atau “cohabitation”. Dengan adanya RUU KUHP mengenai tindak pidana kumpul kebo ini memunculkan kritik yang pro dan kontra diantara masyarakat.kritik dari pandangan kontra yaitu menyatakan bahwa dibanyak negara masalah susila tidak pernah dipersoalkan karena memang negara tidak berhak untuk mengurusi moral dan rasa kesusilaan masyarakat dan diaturnya masalah kumpul kebo berarti memasuki ranah kehidupan seks pribadi individu. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa apabila RUU KUHP ini lolosantara lain dijadikannya kumpul kebo sebagai tindak pidana, maka akan membuka peluang potensi bagi terciptanya konflik horizontal. 11 Lain halnya dengan yang memberikan kritikan pro, kumpul kebo merupakan suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial tetapi tidak ada aturannya dan belum terjamah oleh hukum.Oleh karena itu, wajar jika kemudian diwadahi dalam peraturan yang lebih konkret. Dinyatakan pula bahwa, belum ada bukti bahwa pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku kumpul kebo akan tercipta konflik horizontal.selama ini pun dikampung-kampung 11 Pendapat dari Gayus, Suhardi, Hendardi, dan Thamrin Amal Tomagola lihat KOMPAS, edisi 3092003 dan 1102003. 12 berlaku norma yang menolak pelanggaran moral seperti itu, sehingga pelakunya digerebek petugas Hansip dan warga yang merasa terganggu. 12 Dengan hal tersebut diatas maka sangat mungkin akan terjadi perpecahan didalam suatu masyarakat. Oleh karena itu untuk menanggulangi dan mengantisipasi masyarakat perlu diperhatikan norma-norma atau peraturan hidup tertentu yang ada dan sifatnya memaksa.Karena aturan yang berisifat memaksa itu bertujuan untuk memelihara struktur-struktur sosial yang berlaku. Dalam Islam sendiri, perzinahan merupakan salah satu kategori seksualitas yang tidak beradab karena telah keluar dari konsep islam itu sendiri. MenurutIslam seksualitas yang sah adalah seksualitas yang diridhoi oleh syariat Islam. Dengan demikian, perzinahan adalah bentuk lain dari penyimpangan seksual. Sehingga nantinya, para pelaku zina akan dikenkan sanksi baik itu pelaku zina muhsan sudah menikah maupun ghairu muhsan belum menikah. Didalam Islam juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku zina itu sendiri bahkan bagi pelaku zina yang sudah menikah diberikan sanksi rajam sampai meninggal. Bagaimana pula efektifitasnya bagi pelaku zina yang beragama Islam di adat Batak Toba?. Mengenai sanksi yang diberlakukan dalam hukum adat Batak Toba inilah penulis ingin mengangkat judul penelitian yaitu : “SANKSI PERZINAAN DI MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM . 12 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Jakarta:Kencana 2011, h.301 13

B. PEMBATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

1. Pembatasan Masalah

Masyarakat adat batak toba menganut asas monogami dan tidak boleh berzina. Tapi pada kenyataannya masih banyak yang berpoligami dan berzina. Masalah tersebut penulis batasi pada hukum adat Batak Toba, perzinaan dalam masyarakat adat Batak Toba dan perzinaan dalam hukum Islam.

2. Rumusan Masalah

Dalam masyarakat adat Batak Toba, tidak boleh beristri lebih dari satu dan melakukan zina. Kenyataannya masih banyak yang beristri lebih dari satu dan melakukan zina. Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana sanksi perzinaan di Masyarakat Adat Batak Toba ? 2. Bagaimana sanksi perzinaan di Hukum Islam ? 3. Bagaimana sanksi perzinaan dalam hukum adat Batak toba dalam perspektif hukum Islam? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikan mengenai sanksi perzinaan bagi pelaku zina di masyarakat Hukum Adat Batak Toba. 2. Untuk mendeskripsikan mengenai sanksi perzinaan dalam Hukum Islam. 3. Untuk menganalisis sanksi terhadap pelaku zina dalam Hukum Adat Batak Toba menurut perspektif Hukum Islam. 14

D. KEGUNAAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui sanksi dalam pelanggaran didalam Hukum Adat Batak Toba, khususnya untuk kasus pezinahan. 2. Untuk mengetahui analisis perbandingan hukum di dalam Hukum adat Batak Toba dan Hukum Islam. 3. Untuk dijadikan rujukan bagi peneliti selanjutnya dalam studi tentang perzinahan didalam hukum positif maupun hukum Adat di Indonesia.

E. TINJAUAN KAJIAN TERDAHULU

Pada kajian terdahulu penulis menemukan beberapa judul yang berkaitan dengan skripsi yang penulis buat, antara lain: 1. “Delik Perzinahan Dalam Perspektif KUHP dan Hukum Pidana Islam”. Penulis Ishlah Farid, Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011. Penulis skripsi ini menemukan bahwa jenis delik zina menurut hukum Islam adalah delik umum atau delik biasa bukan delik aduan. Siapa saja orang yang menyaksikan adanya perbuatan pidana perzinaan, asalkan ia atau mereka dapat menghadirkan empat orang saksi berkewajiban melaporkan perbuatan zina tersebut tanpa menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan suami atau istri pelaku. Sedangkan tindak pidana perzinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP termasuk dalam kategori Delik Aduan Absolut mutlak. Menurut hukum pidana Islam hal ini berarti pasal 284 KUHP tidak akan 15 berfungsi untuk mencegah terjadinya perbuatan zina dalam masyarakat dan bahkan memberi peluang maraknya perzinaan dalam masyarakat. 2. “Tinjauan Fikih Dan Hukum Positif Terhadap Zina Sebagai Alasan Menikah”. Penulis Dede Saepuloh, Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. Penulis skripsi ini menemukan bahwa zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan perkawinan didorong dengan banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya, tidak adanya restu dari pihak orang tua untuk melakukan pernikahan secara sah, namun selain itu kurang kuatnya dasar pengetahuan agama dan moral masyarakat pada masa sekarang ini sehingga terjadi pernikahan karena zina. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahan semacam ini sah dilakukan tetapi cara untuk mendapatkan restu dengan menzinahi telebih dahulu tetap tidak dibenarkan. 3. “Sanksi Hukum Terhadap Delik Overspel Analisa Perbandingan Pasal 28 KUHP, Hukum Pidana Islam dan Qanun Aceh Tentang Delik Perzinahan. Penulis Yulva Nesri Wahyuni, Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Tahun 2012. Penulis skripsi ini menemukan bahwa, sanksi bagi pelaku Overspelsama dengan sanksi hukum dalam KUHP yang diberlakukan untuk pelaku zina seperti hukuman cambuk, dipenjara, dan dikenakan denda atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku Overspeltersebut. Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam pelaku Overspeldikenakan 16 hukuman rajam dan dera seratus kali. Dan Qanunaceh mengancam pelaku Overspeldengan Hukuman Ta‟zir, yaitu cambuk paling banyak 9 kali dan paling sedikit 3 kali. Dari uraian beberapa skripsi diatas, penulis yakin bahwa skripsi yang akan disusun oleh penulis tidak akan tumpang tindih karya tulisnya. Dimana dalam penulisan skripsi ini, penulis lebih menitik beratkan pada perzinaan dalam Hukum Adat Batak Toba.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan pendekatan penelitian Dalam rangka memperoleh data yang akurat dan valid maka diperlukan metode yang representatif.Dalam hal ini, penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan umum yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif.Karena, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha memahami gejala tingkah laku manusia menurut sudut pandang subyek penelitian dan memungkinkan peneliti memahami gejala sebagaimana subyek mengalaminya, memfokuskan pada proses-proses yang terjadi dalam individu, serta lingkungannya sebagai satu kesatuan.Hal ini penting agar dapat diperoleh gambaran utuh dari penghayatan subyek terhadap keadaan yang dialaminya.Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang diamati. 2. Tekhnik pengumpulan data