Pengertian perzinaan SANKSI PERZINAAN MENURUT HUKUM ISLAM
46
sudah kawin ataupun belum kawin, dan dilakukan atas dasar suka sama suka atau tidak.
43
Secara harfiah zina berarti fahishah, yaitu perbuatan yang keji. Dimana zina berarti hubungan kelamin diantara seorang laki-laki dengan perempuan yang
satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.
44
Para Ulama mengartikan zina dengan susunan kalimat yang berbeda-beda namun isinya sama
yaitu :
ٍّيِهَتْشُم ِةَهْ بشلا ِنَع ٍلاَخ ِِْيَعِب ٍمرَُُ ٍجْرَفِب ِرَكذلا ُجَلْيِا
45
“Zina ialah memasukkan alat kamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan dalam persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya bukan karena
subhat dan perempuan itu mendatangkan syahwat”. Zina adalah perbuatan dosa yang sangat besar, hal ini sebagaimana
diungkapkan dalam firman allah swt, Qs.Al- Isra‟ ayat 32 :
ًليِبَس َءاَسَو ًةَشِحاَف َناَك ُنِإ ََِّزلا اوُبَرْقَ ت َاَو
Artinya : “Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.”Al- Isra’:ْ32
Allah juga berfirman dalam al- qur‟an surat Al-Furqan ayat 68 sebagai
berikut :
43
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,Jakarta:Sinar Grafika,2005, h.3
44
Abdur Rahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam,Jakarta: PT.Rineka Cipta,1992, h.31
45
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,Jakarta:Sinar Grafika,2005, h.3
47
Artinya :Dan orang-orang yang tidak menyeru Allah beserta Tuhan yang lain, dan tidak membunuh akan suatu diri, kecuali dengan haknya hukum
bunuh dan tidak pula berzina. Barangsiapa berbuat semacam itu, bertemulah dia dengan dosa. al-Furqan: 68
Pelaku zina tentunya akan mendapatkan sanksi yang berat berdasarkan ketentuan yang telah digariskan Al-
Qur‟an dan hadits Nabi SAW, meskipun demikian dalam pelaksanaannya, hukuman bagi pelaku zina tersebut haruslah
memenuhi beberapa syarat pokok. Namun dalam penjelasan mengenai persyaratan ini terdapat dua bagian, yakni syarat yang muttafaq dan syarat yang mukhtalaf.
Adapun syarat syarat tersebut yakni sebagai berikut : a.
Baligh.maka tidak ada had bagi anak yang belum baligh. b.
Berakal. tidak berlaku had bagi orang gila. Jika orang berakal berzina dengan orang gila atau sebaliknya, maka yang mendapat hukuman had adalah
orang yang berakal. c.
Muslim. d.
Tidak dalam paksaan. Para ulama berbeda pendapat apakah orang yang dipaksa mendapat hukuman had atau tidak. Ulama jumhur mengungkapkan
bahwa tidak ada had bagi orang yang dipaksa. Ulama Hanabilah mengungkapkan tetap berlaku had meskipun dipaksa jika masih
memungkinkan menghindar, jika tidak mungkin maka tidak berlaku had.
48
e. Pelaku berbuat zina dengan sesama manusia, jika ia menyetubuhi hewan
maka tidak ada had baginya namun berlaku hukum ta‟zir. f.
Pelaku zina sekufu maka tidak ada had zina jika menyetubuhi anak anak menurut satu pendapat. Namun pendapat jumhur mengatakan bahwa tetap
berlaku had dalam hal ini selama masih memungkinkan menegakkannya. g.
Tidak ada unsur syubhat dalam perbuatan tersebut. Misalnya seorang laki- laki menyetubuhi wanita yang disangka adalah istrinya atau budak nya.
Namun ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf mengatakan bahwa tetap berlaku had, meskipun ada syubhat.
h. Pelaku tersebut mengetahui bahwa zina diharamkan. Jika ia tidak
mengetahui keharaman itu maka ulama berbeda pendapat, namun pendapat yang rajih dalam hal ini adalah gugurnya had.
i. Melakukan perbuatan zina dengan wanita yang masih hidup, jika
menyetubuhi mayat, maka jumhur berpendapat bahwa tidak berlaku had, namun dalam pendapat yang masyhur di kalangan malikiyah mengatakan tetap
berlaku had. j.
Jelas bahwa telah terjadi perzinahan. Yakni dengan kadar masuknya penis ke vagina sekira kira hasyfah. Adapun jika terjadi persetubuhan melalui dubur
maka tidak berlaku had, namun jatuh hukum ta‟zir menurut hanafiyah, dan tetap berlaku had sebagaimana had zina dalam pendapat sekalian mazhab.
Imam Syamsuddin Abi Al-Farroj seorang ulama bermazhab Hanbali menyatakan dalam kitab nya Syarhul Kabir bahwa seorang pezina tidak
49
dikenai hukuman had melainkan dengan memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut
46
: a.
Baligh Seorang yang sudah baligh merupakan persyaratan pokok untuk dapat
ditegakkan had zina jika ia melakukan zina, baik muhsan maupun ghair muhsan. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh imam
tirmizi sebagai berikut :
ىَح ِمِئا لا ِنَع ٍثَلَث ْنَع ُمَلَقْلا َعِفُر ىَح ِ ْوُ تْعَمْلا ِنَعَو ُبْيِشَي ىَح ِِّبصلا ِنَعَو ُظِقْيَ تْسَي
ُلِقْعَ ي
47
Artinya : diangkat qalam itu atas tiga orang, orang yang tidur sampai ia bangun, anak
– anak sampai ia baligh dan orang gila sampai ia sadar. b.
Berakal tidak gila Orang gila juga dibebaskan dari had apabila didapati melakukan zina dan saat
itu memang ia sedang gila. Permasalahan yang berkembang ialah jika seorang yang sesaat gila dan sesaat sadar, lalu didapati melakukan zina, maka untuk hal ini
para ulama mengatakan bahwa harus diteliti terlebih dahulu keadaan saat ia melakukan zina tersebut, apabila didapati sadar,maka berlaku had zina, apabila
tidak maka tidak ada had baginya.
c. Mengetahui larangan zina
46
Ibn Qudamah. Al-Mughni wa Syarhul kabir. Darul kutub Al-Arabiyah ; Juz 10 h. 119
47
At-Turmudzi, Sunan At-Turmudzi. Kitab hudud „an Rasulillah No 1343
50
d. Dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan tertidur
Apabila ada seseorang yang dalam keadaan tidak sadar atau tidur melakukan zina atau dizinahi orang lain, maka tidak ada had zina baginya sebab ia dalam
keadaan tidak sadar atau dikenal dengan istilah “Rufi‟al Qolam”. Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan dalam kitabnya Fiqh Al-Islam
Wa Adillatuhu bahwa syarat – syarat agar dapat ditegakkannya had terbagi dua,
yang pertama syarat yang harus ada untuk tegaknya had secara menyeluruh yakni adanya imamah pemerintahan islam. Adapun yang kedua yakni syarat yang
khusus harus ada dalam penegakan had rajam, yakni adanya saksi perbuatan tersebut, dan dalam hal ini imam pemerintah setempat yang menegakkan
hukumnya, sama halnya dengan had jilid. Berdasarkan keterangan diatas, dapat difahami bahwa perbuatan jarimah
dikategorikan jarimah zina apabila telah memenuhi persyaratan – persyaratan
diatas secara menyeluruh, apabila ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi, maka perbuatan jarimah tersebut tidak di kategorikan zina.Misalnya melakukan
persetubuhan melalui dubur, maka perbuatan perbuatan ini menurut ulama Hanafiyah tidak disebut zina, berbeda hal nya dengan kalangan sahabat, ulama
Syafi‟iyah, Hanabilah dan Malikiyah
48
yang tetap mengkategorikan perbuatan tersebut dalam kategori zina.
Dari berbagai defenisi yang dikemukakan oleh beberapa pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa hakikat yang merupakan kriteria dari perzinahan yaitu :
48
Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, juz 7. h.5350
51
a. Zina itu perbuatan memasukkan alat kelamin laki-laki atau zakar kedalam
alat kelamin perempuan. Maksudnya apa saja yang dimasukkan selain dari zakar tidak disebut zina melainkan onani, begitu pula halnya dengan
memasukkan zakar kedalam lubang mana saja selain vagina tidak disebut zina.
b. Perbuatan hubungan kelamin itu, pada hakikatnya adalah haram. Hal ini
mengandung arti apabila keharamannya itu dikarenakan faktor luar atau keadaan, tidak disebut zina. Semisalnya suami haram melakukan
hubungan kelamin dengan istrinya yang sedang menstruasi dan nifas. Dalam hal ini keharamannya bukan karena substansinya melainkan karena
faktor luar. c.
Perbuatan hubungan kelamin itu pada dasarnya secara alamiah disenangi, yaitu dengan manusia yang hidup. Hal ini berarti hubungan kelamin
dengan mayat dan hewan tidak disebut zina .
d. Perbuatan hubungan kelamin itu disebut zina dengan segala akibat
hukumnya apabila pada perbuatan itu telah bebas dari segala kemungkinan kesamaran atau subhat, seperti bersetubuh dengan perempuan yang
diyakini sebagai istrinya, akan tetapi justru orang lain atau wathi syubhat.