62
gadis pezina harus tetap tinggal dirumah dan menjauhkan diri dari khalayak ramai.
b. Mazhab syafi‟I dan Hanbali
Kedua mazhab ini berpendapat bahwa pelaku zina ghairu muhshan yang kedua-duanya berstatus merdeka dan dewasa,
diberlakukan sanksi cambuk seratus kali dan diasingkan ketempat yang jauh.Dengan demikian, mereka merasakan
sengsaranya jauh dari keluarga dan tanah air akibat jarimah yang telah mereka lakukan. Hukuman seperti inilah yang
pernah diberlakukan oleh abu bakar, umar, utsman, dan ali,
59
sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa ketentuan ini merupakan ijma‟. Umar bin Khatab pernah mengasingkan
pezina ghairu muhshan ke syam, sedangkan utsman sampai ke Mesir dan Ali sampai ke Bashrah
60
. Ada ketentuan khususbagi si gadis, dimana si gadis harus disertai mahram yang akan
menemani dan mengurusnya ditempat pengasingan
61
. c.
Mazhab Hanafi
59
Abu al-mawabib abdul wahbab bin ahmad bin ali al-anshari al- sya‟rani, Al-Mizan Al-
Kubra, singapura:s ulaiman mar‟i. h.154
60
Abu al-hasan ali bin muhammad bin habib al-mawardi, Hawi Al-Kabir, beirut: dar al- fikr, 1994, jilid XVII, h.19
61
Abdurrahman al-juzairi, Al- Fiqh „Ala Madzahib Al-Arba‟ah, beirut: dar al-fikr, 1996,
cet. Ke-1, jilid V, h.64-65
63
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku zina ghairu muhshan yang berupa cambuk seratus kali dan
pengasingan tidak dapat dicampuradukkan. Sebab, hukuman pengasingan sama sekali tidak disebutkan didalam surah An-
Nur ayat 2. kalau hukuman pengasingan juga diberlakukan, berarti mengadakan penambahan terhadap nash. Adapun sanksi
pengasingan hanya ditetapkan oleh hadis ahad dimana hadis tersebut tidak dapat menyempurnakan konsep hukuman bagi
pelaku zina ghairu muhshan. Mazhab ini bertumpu pada pandangan imam abu Hanifah yang
berpendapat bahwa pengasingan termasuk ta‟zir dan erat kaitannya dengan konsep kemaslahatan.Selama asas mashlahat
ini tidak diperoleh dengan dilaksanakannya pengasingan, maka sebaiknya
ditangguhkan.Abu Hanifah
dengan tegas
mengatakan bahwa cukuplah pengasingan itu sebagai fitnah. Artinya, fitnah hendaknya dihindari dengan cara meninggalkan
hukuman pengasingan. 1
Sanksi bagi pelaku zina Muhshan Zina Muhshan adalah zina yang pelakunya adalah laki-laki dan
perempuan yang sudah berkeluarga bersuami atau beristri secara sah.Sanksi bagi pelaku zina Muhshan adalah dirajam sampai
mati.Rajam merupakan hukuman untuk para pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan dilempati batu kerikil koral sampai mati. Dimana
64
penggunaan batu kecil dimaksudkan agar pelaku zina ini dapat merasakan kesakitan sedikit demi sedikit agar rasa penyiksaan yang
didapatnya berlangsung lama dan setimpal dengan kejahatan yang telah ia perbuat. Hukuman rajam ini dilakukan didepan umum sebagai
bentuk peringatan
bagi masyarakat,
sebagai perhatian
dan pembelajaran bagi umat pada umumnya.
65
BAB IV ANALISA SANKSI PERZINAAN DIHUKUM ADAT BATAK TOBA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A.
Sanksi Perzinaan Dihukum Adat Batak Toba
Dalam hukum adat Batak Toba, keberadaan pasangan kumpul kebo sangat ditentang. Perbuatan tercela tersebut dianggap menyalai norma-norma yang ada
khususnya norma kesopanan dan kesusilaan. Pada hukum adat Batak Toba sendiri dikenal sebagai daerah atau suku yang sangat tegas dalam memberikan sanksi
sehingga seseorang yang melanggar peraturan harus berpikir dua kali lipat. Begitu pun dengan kumpul kebo, adanya kumpul kebo yang terjadi di suku adat Batak
Toba akan dikenai sanksi adat.apabila ada yang melakukan praktik kumpul kebo di daerah teritorial mereka maka langkah yang pasti akan ditempuh adalah
dinikahkan. Namun sebelum dinikahkan para pelanggar aturan yakni pasangan
kumpul kebo akan diberikan sanksi sebagai berikut :
a. Pasangan yang melakukan praktik kumpul kebo akan disuruh meminta
maaf kepada tetua adat dan orang tua kedua belah pihak. b.
Para pelanggar aturan yakni pasangan kumpul kebo akan ditempatkan di suatu tempat atau yang biasa disebut pengasingan.
c. Para pelanggar dalam hal ini pasangan kumpul kebo juga disuruh
membayar denda yang jumlahnya ditentukan oleh aturan adat yang berlaku saat itu.
65
66
d. Setelah membayar denda barulah pasangan kumpul kebo diwajibkan
melaksanakan upacara pembersihan dan harus mengundang para kepala dan tetua marga yang disaksikan oleh para pemuda dan gadis desa.
e. Pada upacara tersebut pasangan kumpul kebo diwajibkan untuk
menyembelih paling tidak satu ekor kerbau yang menandakan bahwa hal tersebut adalah peristiwa besar.
f. Setelah upacara tersebut berakhir maka akan dimulailah pembicaraan
untuk menentukan hukuman apa yang diberikan selanjutnya. g.
Untuk menandai bahwa pasangan kumpul kebo tersebut setuju dengan adanya hukuman baru yang harus dijalani maka tanda persetujuan tersebut
berupa pemberian uloskain yang diserahkan oleh kerabat mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki dan kerabatnya , dan dari mereka
ini, pihak mempelai perempuan mendapatkan piso pertama. h.
Setelah itu hukuman selanjutnya akan ditentukan sesuai dengan kesepakatan pada saat itu.
Begitulah tahapan-tahapan sanksi yang harus dijalani oleh pasangan kmpul kebo yang melanggar aturan adat Batak Toba. Tapi, bentuk sanksi perzinaan
secara khususnya dibagi menjadi tiga golongan yaitu : A.
Pelaku zina merupakan laki-laki yang sudah menikah yang berhubungan dengan perempuan yang masih perawanMangunturi
Boru Atau Mangaroaroai
62
namun dalam hal ini yang dikenai sanksi nantinya adalah pihak laki-laki karena laki-laki itulah yang
62
J.C.Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba, h.355
67
sudah berbuat jahat pada perempuan atau gadis itu. Pihak yang bersalah atau laki-laki harus mengakui kesalahannya manopati
salana dan memberikan selembar kain ulos kepada perempuan atau gadis itu diatas ni indahan dohot juhut pada waktu
menyantap daging dan nasi, dimana pihak yang menyediakan hidangan itu adalah istri, ibu dan saudara perempuannya. Pada saat
menyantap hidangan tengah berlangsung, ia harus mengakui kesalahannya dan menyatakan jera mondak jora dihadapan
tunangannya si perempuan apabila sudah bertunangan, bapak atau saudara laki-lakinya dan para keluarga yang bersangkutan.
Mereka ini mengambil bagian dalam hidangan, dan sejumlah uang sebagai pernyataan bahwasanya hak mereka juga ikut dilanggar.
B. Pelaku zina yang sudah beristri kemudian melakukan zina dengan
istri orang lain Targombang atau Terdege Di Pinggol Ni Dalam
63
.maka sanksi yang didapatnya adalah suami dari wanita itu mempunyai hak untuk membunuh laki-laki itu. Sedangkan
siistri tadi, apabila suaminya bersedia menerimanya kembali maka ia harus membayar sejumlah uang kepada suaminya yang
mengandung makna bahwasanya istri parboru telah menyerahkan dirinya dalam keadaan yang sudah bersih pula.
C. Hubungan seksual yang dilakukan antara orang muda, Marmainan
melacur, bertindak sebagai suami-istri sebelum kawin Marpadan
63
J.C.Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba, h.356
68
- padan
64
. Sanksi bagi pelaku zina muda-mudi ini ditentukan oleh keadaan dan hubungan antar mereka pula. Biasanya pelaku ini
akan segera dinikahkan. Tetapi, apabila pemuda meninggalkan perempuan yang sudah digaulinya, atau jika orang tuanya tidak
menghendaki perkawinan maka hukumannya lebih berat. Si pemuda wajib membayar ongkos pangurasion penyucian dan
menenangkan hati parboru dengan memberikannya piso.
B. Sanksi Perzinaan Dalam Hukum Islam
Didalam hukum Islam ada dua macam pelaku zina yaitu pelaku zina ghair muhshan dan pelaku zina muhshan yang tentunya sanksinya berbeda pula.Bahkan,
untuk sanksi pezina bagi pelaku zina baik itu laki-laki maupun perempuan dibedakan pula menjadi dua macam, yaitu sanksi rajam dan dera dan ditambahkan
pula dengan hukuman pengasingan.Dan sanksi bagi orang yang merdeka pun berbeda dengan orang yang tidak merdeka budak atau hamba sahaya
65
. 2
Sanksi bagi pelaku zina Ghair Muhshan Zina ghair muhshan adalah zina yang pelakunya adalah laki-laki dan
perempuan yang belum berkeluarga. Sanksi bagi pelaku zina ghair muhshan ini ada dua macam yaitu :
c. Hukuman dera seratus kali
Apabila jejaka dan gadis melakukan perbuatan zina, maka mereka akan dikenakan hukuman dera seratus kali, hal ini berdasarkan
pada firman Allah dalam surah An-Nur ayat 2 :
64
Ibid, h.355
65
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta Sinar Grafika, 2005, Cet.ke2, h. 29