Gambar 4.4 Truk Penyaluran Bantuan
Sumber: Penelitian Tahun 2013
4.1.3 Disposisi
Sekalipun bila komunikasi dan sumber daya yang dimilliki Desa Sei Mencirim adalah baik namun bila tidak ada disposisi yang mendukung maka
kedua indikator itu pun menjadi sia-sia. Disposisi merupakan keadaan dimana implementor mau atau tidak mau melakukan sesuai arahan yang dibuat oleh
pembuat kebijakan. Disposisi menghalangi implementasi suatu kebijakan jika implementor benar-benar melakukan sesuatu yang jauh dari harapan semula.
Untuk itu penulis menanyakan bagaimana disposisi dalam proses penanggulangan bencana puting beliung. Hasil diperoleh bahwa disposisi yang
ada cukup baik. Hal itu dikarenakan adanya semangat dan komitmen Tagana untuk mengerjakan bagian mereka sebagai relawan dan tidak ditemukan
pernyataan yang berisi pertentangan kepada atasan ataupun ketidaksediaan
Universitas Sumatera Utara
mereka dalam melakukan penanggulangan bencana ini. Berikut adalah kutipan wawancara yang menjelaskan cara pandang Tagana terhadap tugas yang
diembannya:
Staff Tagana
“Ini soal kemanusiaan bukan soal politik dek. Lagipula dalam setiap rezeki kita itu ada rezeki orang lain jadi kita memang harus tolong
menolong untuk itu”
Begitu pula yang terdapat pada implementor lainnya baik Bakesbang maupun perangkat desa. Setiap implementor mempunyai harapan untuk bagian
yang dikerjakannya dan semangat untuk menanggulangi bencana. Hal ini cenderung dikarenakan sifat dasar kemanusiaan yang sejak awal telah ada dalam
diri kita masing-masing.
4.1.4 Struktur Birokrasi
Para implementor kebijakan mungkin tahu apa yang harus dikerjakan, memiliki motivasi dalam namun kemungkinan kegagalan dapat disebabkan oleh
struktur organisasi dimana mereka melayani. Struktur birokrasi juga merupakan indikator yang sering dijadikan alasan bagi setiap narasumber sebagai suatu
penyebab tidak baiknya penanggulangan bencana yang ada di Kabupaten Deli Serdang. Penulis terlebih dahulu ingin menyajikan data yang berisi tentang tidak
terdapatnya BPBD di Deli Serdang. Dari setiap narasumber yang telah diwawancarai, diperoleh hasil bahwa adanya budaya “tergantung atasan” yang
selalu menjadi jawaban ketika dipertanyakan pertanyaan ini. Struktur birokrasi yang tidak baik tercipta pada hubungan antara
implementor di Deli Serdang dengan BPBD Provinsi Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Ketidaksetaraan wewenang BPBD dengan Bakesbang membuat mereka seperti memiliki “jarak” dan menyebabkan kesulitan komunikasi. Begitu juga antara
Dinas Sosial dan Tagana. Selain itu terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian standar SOP dan fragmentasi.
Standar Operasional Prosedur SOP adalah pedoman atau standar yang digunakan implementor dalam menjalankan tugasnya dan juga memudahkan
korban bencana untuk mengetahui apa yang menjadi batasan hak yang ia miliki. Untuk itu penulis ingin mengetahui apa yang menjadi SOP dari penanggulangan
bencana. Jikalau tidak ada SOP, apakah yang menjadi pengganti SOP yang dijadikan panduan bagi implementor dalam menjalankan tugasnya? Berikut
kutipan wawancara yang diperoleh ketika penulis mengajukan pertanyaan tersebut:
Perangkat desa
“Pedoman untuk penanggulangan bencana ada namun itu disimpan oleh Sekdes.”
Namun sampai saat ini penulis tidak dapat mengetahui pedoman yang
dikatakan perangkat desa tersebut dan perangkat desa juga tidak dapat menunjukan dan menjelaskan pedoman penanggulangan bencana tersebut kepada
penulis. Pernyataan itu juga bertentangan dengan pernyataan yang disampaikan Tagana kepada penulis.
Staff Tagana
“Maksudnya? Protap Prosedur Tetap? Kami tidak memiliki protap jadi harus diadakan musyawarah supaya kami tau dana dari mana bisa
digunakan, mungkin bisa dari pengusaha atau masyarakat itu sendiri. Kalau ukurannya enggak ada yang pasti sih dek.. Kita kira-kira aja..
sebenarnya maunya membantu banyak tapi bagaimana mau dibilang.”
Universitas Sumatera Utara
Tidak adanya pedoman yang jelas membuat pihak implementor membuat diskresi sesuka hati mereka. Penanggulangan bencana yang dilakukan Tagana di
setiap wilayah bencana memiliki ukuran yang berbeda yang hanya dilandaskan dengan musyawarah yang dilakukan Tagana kepada pihak desa. Hal itu membuat
korban bencana menjadi salah paham dan timbul kebingungan apa yang harus mereka lakukan untuk memperoleh hak mereka.
Korban bencana
“Uang yang dikasih itu pun kurang jadi saya harus nyicil-nyicil untuk memperbaiki rumah ini. Yang saya tahu seharusnya saya menerima
bantuan Rp 8.000.000, saya melihat itu di koran. kemarin ada yang hiitung kerusakan tapi saya enggak tahu bagaimana perinciannya dan
cara hitungnya.”
Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab untuk sebuah bidang
kebijakan di antara unit-unit organisasional. Fragmentasi yang ada pada penanggulangan bencana dilakukan melalui Bakesbangpol sebagai koordinir yang
bertugas memberikan surat kepada dinas-dinas yang dibutuhkan. Melalui penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa SOP dalam implementasi kebijakan
penanggulan kurang baik namun fragmentasi dilakukan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
BAB V ANALISA DATA