Disposisi Struktur Birokrasi Analisis Indikator dalam Implementasi Kebijakan

Jika terjadi bencana namun memakan sedikit korban, Dinas Sosial melalui Tagana harus melakukan musyawarah bersama masyarakat untuk mencari solusi dimana dana akan diperoleh. Melalui musyawarah yang pernah terjadi sebelumnya, dana diperoleh dari bantuan pengusaha-pengusaha yang ada di wilayah bencana dan ada juga yang berasal dari masyarakat yang berada di sekitar wilayah bencana. Disinilah peran swasta berpengaruh dalam menanggulangi bencana. Hal seperti itu juga yang terjadi dengan kondisi barang-barang yang ada di gudang persediaan. Tidak dapat dipungkiri dengan sistem stok yang digunakan Dinas Sosial dapat membuat adanya barang kadaluarsa yang diberikan kepada korban bencana. Sebaiknya dalam hal persediaan gudang seperti ini, pemerintah melakukan kerja sama kepada perusahaan untuk menyediakan barang bantuan seperti Indomie misalnya. Jika terjadi bencana, pihak Tagana dapat mengambil barang tersebut dari pihak perusahaan. Untuk persediaan barang di gudang tetap ada namun hanya dengan jumlah yang sedikit. Dari penjelasan tersebut, penulis menilai bahwa sumber daya yang ada dalam implementasi kebijakan penanggulan bencana di Deli Serdang minim sehingga menghambat indikator disposisi dimana keinginan dan semangat implementor untuk menjalankan tugasnya dihalangi oleh keterbatasan sumber daya.

5.1.3 Disposisi

Disposisi merupakan keadaan dimana implementor mau atau tidak mau melakukan sesuai arahan yang dibuat oleh pembuat kebijakan. Disposisi menghalangi implementasi jika implementor melakukan sesuatu yang jauh dari harapan semula. Universitas Sumatera Utara Disposisi dianggap baik bila setiap implementor memiliki motivasi dan keinginan dalam melaksanakan kebijakan. Perangkat desa menunjukan sikap mereka yang positif terhadap kebijakan ini ketika mengurus administrasi kepada masyarakat. Bakesbang juga menunjukan respon positif dengan sigap dalam menangani administrasi untuk menghubungi tiap dinas dalam membantu proses penanggulangan bencana. Tagana tidak kalah dengan motivasi dan mimpinya terhadap penanggulangan bencana di Deli Serdang. Tagana memiliki harapan untuk mendirikan Sekolah Manajemen Bencana yang memiliki visi untuk memanusiakan manusia dengan harapan ketika setiap implementor melakukan penanggulangan bencana tidak hanya sebatas menjalankan program namun dengan motivasi untuk menolong orang lain, seperti motivasi yang dimiliki Tagana dalam melakukan tugasnya. Dalam hal kedisiplinan, hampir seluruh anggota mentaati piket 24 jam. Piket 24 jam tersebut berisi jadwal tiap anggota yang harus ada di markas Tagana guna mengantisipasi adanya laporan mendadak tentang bencana. Oleh karena itu, penulis menilai bahwa disposisi dalam implementasi kebijakan dapat dikatakan baik.

5.1.4 Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi juga merupakan indikator yang sering dijadikan alasan sebagai suatu penyebab tidak baiknya penanggulangan bencana yang ada di Kabupaten Deli Serdang. Rumitnya struktur birokrasi membuat kebingungan untuk mengikuti alur kebijakan penanggulangan bencana yang ada di Deli Serdang. Untuk itu terlebih dahulu menjelaskan bagaimana posisi Tagana, Dinas Sosial dan Bakesbang untuk melakukan penanggulangan bencana. Bahkan penulis akan menjelaskan alasan tidak adanya BPBD di dalam Kabupaten ini. Universitas Sumatera Utara Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, dijelaskan bahwa penanggulangan bencana di Indonesia dikoordinir oleh suatu badan yang bernama Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB di tingkat pusat yang kemudian akan melakukan koordinasi kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD. Setiap pengeluaran yang dikeluarkan oleh BNPB berasal dari APBN sedangkan pengeluarkan yang dikeluarkan BPBD berasal dari APBD. Melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah diinstruksikan kepada pemerintah kabupatenkota untuk membentuk BPBD di setiap kabupatenkota yang ada di Daerah. Namun sampai saat ini masih ada kabupatenkota yang belum memiliki BPBD seperti Deli Serdang. Bakesbang menilai otonomi daerah mempengaruhi daerah untuk mau atau tidak mengikuti kepentingan pusat. Walaupun sesungguhnya otonomi daerah tidak berarti membuat daerah menjadi sesuka hati dan tidak menuruti keputusan pusa. Hingga saat ini Bupati Deli Serdang masih belum memiliki rencana untuk mendirikan badan tersebut. Hal itu dikarenakan Bupati Deli Serdang menilai bahwa SKPD yang ada di Deli Serdang telah memenuhi kuota yang terdapat pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Selain itu apabila pemerintah Deli Serdang memaksakan untuk mendirikan BPBD maka kemungkinan akan mengalami defisit anggaran APBD. APBD Deli Serdang dinilai kurang cukup untuk menambah 1 satu badan lagi di daerah tersebut.Bakesbang juga menilai sampai saat ini bencana yang terjadi di Deli Serdang masih dalam tahap wajar dan merasa belum memerlukan BPBD. Universitas Sumatera Utara Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Deli Serdang yang telah mencapai esselon II masih terbatas sedangkan yang menjadi syarat Kepala BPBD adalah pejabat esselon II. Selama ini yang terjadi, banyak kabupatenkota yang mendirikan BPBD namun tidak disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan kemampuan sumber daya. Oleh karena itu, di beberapa daerah BPBD cenderung tidak memiliki pekerjaan dan SDM yang mengisi badan itupun bukan orang-orang yang dipersiapkan untuk penanggulangan bencana. Untuk hal itu, penulis sepakat dengan pandangan Bakesbang. Penulis melihat yang menjadi permasalahan penanggulangan bencana bukan tentang ada atau tidaknya BPBD tetapi karena komunikasi, sumber daya dan struktur birokrasi. Namun, hal yang menjadi permasalahan ialah sekalipun tidak ada BPBD Kabupaten, seharusnya BPBD Provinsi Sumatera Utara tetap membantu Deli Serdang di dalam menanggulangi bencana. Penanggulangan bencana ialah suatu urusan yang merupakan tanggung jawab kemanusiaan, seharusnya tanpa adanya undang-undang pun tiap instansi harus saling bekerja sama. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang seharusnya semakin mempermudah penanggulangan bencana bukan untuk mengkotak-kotakan tanggung jawab dan jika ada perbedaan dasar hukum lantas jadi tidak peduli. Namun yang terjadi, implementor terkurung dalam batasan program mereka dan tidak bersifat luwes, sehingga jika ada sesuatu yang tidak terdapat pada undang-undang maka pemerintah cenderung tidak mau mengerjakannya. Bakesbang sebagai fungsi administrasi berfungsi sebagai penghubung antara dinas-dinas yang ada di Deli Serdang. Apabila di suatu bencana memerlukan bantuan maka Bakesbang akan menghubungi dinas-dinas melalui Universitas Sumatera Utara surat. Misal jika ada trafo atau tiang listrik jatuh maka Bakesbang akan menghubungi PLN, jika ada sekolah yang rusak maka Bakesbang akan menghubungi Dinas Pendidikan namun untuk instruksinya dikerjakan oleh Dinas PU Pekerjaan Umum dan begitu juga kepada dinas-dinas yang lainnya. Sedangkan bagian Tagana ialah sebagai relawan yang diutus oleh Dinas Sosial kepada korban bencana. Dasar hukum yang dipegang oleh Kabupaten Deli Serdang ialah Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 karena belum adanya BPBD di kabupaten ini. Namun sekalipun seperti itu di dalam Perpres tersebut juga mengatur mengenai pencegahan, penanganan darurat dan pemulihan. Hal itu sama juga dengan substansi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, hanya berbeda istilahnya saja. Struktur birokrasi yang baik juga dapat dilihat ketika masing-masing implementor melakukan tugas, pokok dan fungsinya dengan baik. Hal kecil yang dapat dilihat penulis ialah adanya pernyataan Bakesbang mengenai adanya beberapa desa terjadinya bencana yang tidak mau memberikan laporan kepada Bakesbang karena dinilai tidak memberi bantuan secara langsung kepada desa. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa tiap pihak baik pemerintah maupun desa yang tidak menghargai wewenang atau tupoksi instansi pemerintahan. Berbicara mengenai struktur birokrasi, kita tidak dapat bisa memahami dari sudut pandang fragmentasi saja. Namun haruslah kita melihatnya dari sisi ada atau tidak SOP. Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit Universitas Sumatera Utara kerja yang bersangkutan. Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal, karena SOP selain dapat digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, juga dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Hal itu lah yang tidak dapat penulis temukan pada Desa Sei Mencirim bahkan Deli Serdang secara umumnya. SOP lebih dikenal di Deli Serdang dengan istilah Protap Prosedur Tetap. Ketidakadaan Protap di kabupaten diakibatkan oleh sumber daya berupa dana. Untuk itu pihak Tagana tidak bisa berdiam diri akan masalah itu. Solusi yang selama ini dilakukan adalah musyawarah dengan warga desa dan perangkat desa guna mendapatkan daya ukur serta sumber dana yang tepat selain pemerintah. Daya ukur yang selama ini digunakan Tagana dalam mengukur bantuan yang akan diberikan ialah dengan memperkirakan saja berapa kerugian yang korban alami dan disinkronkan dengan jumlah dana bantuan yang ada. Tidak adanya Protap bukan seratus persen salah sari Tagana atau Bakesbang. Namun hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja karena membuat kecurigaan masyarakat kepada Tagana dan Bakesbang. Dari penjelasan di atas, keadaan struktur organisasi di Deli Serdang baik SOP maupun fragmentasinya tidak baik dan menyebabkan permasalahan dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana. Universitas Sumatera Utara

5.2 Analisis Hubungan antar Indikator Menurut George Edward III