yang menjadi informan sekunder dalam penelitian ini adalah beberapa korban bencana puting beliung yang terdapat di Desa Sei Mencirim.
Tipe wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe wawancara berstruktur dimana sebelum memulai wawancara, penulis terlebih
dulu menyusun panduan wawancara namun penulis tidak hanya terfokus pada pedoman wawancara tersebut namun penulis juga melakukan pengembangan pada
pedoman wawancara dengan menyesuaikan keadaan lapangan. Berikut ini disajikan hasil dari wawancara penulis yang diurutkan
berdasarkan indikator-indikator yang ada pada model implementasi George Edward III yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya yaitu sebagai berikut:
4.1.1 Komunikasi
Dalam implementasi kebijakan, komunikasi adalah persyaratan pertama untuk berjalannya suatu kebijakan dengan baik. Keputusan kebijakan dan
peraturan implementasi mesti disampaikan kepada personalia yang tepat sebelum bisa diikuti. Komunikasi mengenai ukuran implementasi harus diterima dengan
jelas. Jika tidak, para implementor akan kacau dengan apa yang harus dilakukan dan mereka akan memiliki diskresi kewenangan untuk mendorong tinjauannya
dalam implementasi kebijakan yang mungkin akan jauh dari pandangan si pembuat kebijakan.
Penulis ingin mengetahui sejauhmana para implementor mengartikan kebijakan yang ia harus diimplementasikan baik dalam perangkat desa, Tagana
dan Bakesbang. Untuk itu penulis ingin tahu bagaimana komunikasi yang telah dibangun oleh sesama perangkat desa ketika melakukan penanggulangan bencana
ketika bencana puting beliung terjadi. Berikut kutipan wawancaranya:
Universitas Sumatera Utara
Perangkat desa
“Kami semua sama-sama bekerja sama sewaktu ada gempa kemarin tapi administrasi penanggulangan bencana dipegang Sekdes namun kami
sebenarnya bahu membahu dalam mengerjakannya.”
Melalui pernyataan perangkat desa tersebut mengakui adanya komunikasi yang baik antara sesama perangkat desa yang dapat memudahkan penanggulangan
bencana ketika terjadi bencana. Selain komunikasi antar perangkat desa yang baik. Komunikasi yang dibangun oleh Tagana sebagai implementor terdekat pada
masyarakat. Mereka juga mengaku bahwa komunikasi antara sesama anggota Tagana baik. Hal itu dikarenakan setiap anggota Tagana menjunjung tinggi sikap
kekeluargaan dan sebagian besar anggota merupakan anggota relawan yang bertujuan untuk membantu korban bencana, bukan karena ada unsur politik atau
unsur lainnya.
Staff Tagana
“Tagana itu hanya relawan dek. Kami saja tidak dibayar, kami hidup dari membantu proyek dinas sosial”.
Tak hanya komunikasi antara sesama staff Tagana atau antara sesama perangkat desa. Penulis juga tertarik mengetahui bagaimana komunikasi yang
dibangun ketika terjadi bencana antara pihak desa dan pemerintah.
Perangkat desa
“Prosesnya desa melaporkan kepada kecamatan kemudian pihak kecamatan segera datang ke lokasi dan menghubungi Dinas Sosial.
Setelah itu Dinas Sosial, Koramil dan kecamatan datang ke lokasi membawa bantuan.
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi tidak hanya berarti bagaimana kerja sama antara setiap staff atau anggota tetapi bagaimana mengkomunikasikan isi kebijakan tersebut kepada
implementor. Komunikasi isi kebijakan dapat dilakukan melalui sosialisasi kebijakan atau bisa berupa pelatihan-pelatihan mengenai penanggulangan bencana
namun hal tersebut tidak penulis temukan pada Deli Serdang. Pelatihan yang diperoleh Tagana berasal dari pelatihan-pelatihan pribadi. Begitu juga di pihak
desa pun tidak diperoleh adanya pelatihan baik kepada warga desa maupun perangkat desa sehingga tidak ada satupun korban bencana yang dapat
menjelaskan dengan baik mengenai pengertian bencana, bagaimana proses terjadinya puting beliung, bahkan apa yang seharusnya korban kerjakan ketika
terjadi bencana tersebut.
Perangkat desa:
“Sekalipun sudah berkali-kali terjadi bencana ini namun tidak ada pencegahan yang dilakukan juga untuk pelatihan terhadap warga.
Pelatihan dilakukan hanya pada pihak kecamatan sehingga jikalau terjadi bencana maka kecamatanlah yang akan mengkader warga di desa. Yang
kami tahu jika terjadi bencana gempa dan puting beliung disuruh lari ke tempat yang kosong tetapi tetap saja kalau bencana puting beliung warga
jadi panik karena gelap gulita.”
Korban bencana:
“Hari itu hujan deras kali, seng kami habis semua, atap rumah yang di belakang sudah pindah semua ke warung ini. Saat itu kami masih di dalam
warung, panik sekali.” Selain komunikasi antara pembuat kebijakan dan implementor,
komunikasi yang baik juga diperlukan antara implementor dan masyarakat karena komunikasi yang kurang baik menyebabkan penolakan masyarakat terhadap
kebijakan yang akan dijalankan. Komunikasi yang baik antara implementor dengan warga ketika mengadakan tanggap darurat juga mempengaruhi proses
Universitas Sumatera Utara
implementasi. Terlihat bahwa implementor yang hadir di desa tidak melakukan komunikasi yang baik sehingga terlihat tidak terdapat hubungan yang baik di
antara kedua pihak. Warga desa hanya sekedar mendapatkan bantuan tanpa mendapatkan bimbingan yang baik oleh implementor yang hadir pada proses
tanggap darurat.
Korban bencana
“Kemarin datang juga Koramil tapi Cuma duduk-duduk, jalan-jalan, dapat uang lagi. Mana ada mereka yang membantu kami. Mereka pun
datangnya terlambat, kami sudah duluan membereskan baru mereka datang. Yang kemarin membantu saya itu masyarakat yang tidak kena
bencana.”
Komunikasi yang baik juga dapat mencegah timbulnya kesalahpahaman ataupun distorsi baik antara korban bencana, perangkat desa, Tagana, Dinas
sosial, Bakesbang dan pihak lainnya dan sebaliknya. Penulis melihat bahwa di antara korban bencana tidak ada satupun yang mengetahui bagaimana pelayanan
yang seharusnya diterima sehingga terjadi kesalahpahaman bahkan kecurigaan di kalangan korban bencana.
Korban bencana
“Yang saya tahu seharusnya saya menerima bantuan Rp 8.000.000, saya melihat itu di koran. kemarin ada yang hitung kerusakan tapi saya enggak
tahu bagaimana perinciannya dan cara hitungnya.” Pihak Tagana juga tidak bisa berbuat banyak untuk hal tersebut. Keinginan
untuk melakukan komunikasi mengenai sosialisasi bencana, antisipasi bahkan membukakan apa yang menjadi hak dari setiap korban terhalang oleh minimnya
sumber daya yang ada terkhusus sumber daya uang. Hal ini membuktikan bahwa tidak hanya indikator komunikasi yang mempengaruhi implementasi namun
Universitas Sumatera Utara
masih ada indikator lainnya yang dapat mempengaruhi, salah satunya ialah indikator sumber daya.
4.1.2 Sumber Daya