Komunikasi Analisis Indikator dalam Implementasi Kebijakan

5.1.1 Komunikasi

Dalam implementasi kebijakan, komunikasi adalah persyaratan pertama untuk berjalannya suatu kebijakan dengan baik. Komunikasi memerlukan komunikator penyampai pesan dan komunikan penerima pesan. Komunikator yang dimaksud dalam kebijakan penanggulangan bencana ialah BPBD Provinsi Sumatera Utara, Bakesbangpol-Linmas, Tagana dan Perangkat desa. Sedangkan yang menjadi komunikan ialah korban bencana, Tagana dan Bakesbangpol- Linmas. Hal tersebut menjelaskan bahwa semua pihak dapat menjadi komunikan dan komunikator. Banyak hal yang harus dikomunikasikan dalam implementasi kebijakan yaitu mengenai sosialisasi tentang bencana baik pengertian bencana, proses penanggulangan bencana prabencana, tanggap darurat dan pasca darurat, bahkan proses administrasi yang menyertainya. Sebagian besar implementor dalam penanggulangan bencana tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka kerjakan. Pada bab sebelumnya diketahui bahwa komunikasi yang ada di antara tiap komunikator dan komunikan tidak baik. Namun, tidak seratus persen komunikasi dalam implementasi kebijakan ini tidak baik. Masih terdapat komunikasi yang baik antar perangkat desa dalam menanggulangi bencana dan juga pada sesama staff Tagana. Komunikasi yang tidak baik dapat dilihat dari tidak adanya pelatihan yang diberikan sebagai salah satu bentuk dari tahapan prabencana. Terkhusus melihat besarnya kebutuhan Desa Sei Mencirim terhadap pelatihan karena desa ini termasuk daerah rawan bencana. Desa ini telah mengalami 3 tiga kali bencana Universitas Sumatera Utara dalam kurun waktu 4 empat tahun terakhir ditambah dengan sejarah desa ini yang merupakan jalur lintasan angin dan terdapat pintu angin di daerah tersebut. Baik perangkat desa maupun korban bencana mengaku pasrah akan datangnya bencana ini karena ketidaktahuan mereka akan apa yang harus dilakukan ketika bencana ini kembali datang dan tidak tahu apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir akibat bencana puting beliung. Salah satu korban bencana mengaku bingung apa yang harus dilakukannya mengingat toko usaha yang ia miliki selalu terkena angin puting beliung dan ia telah melakukan beberapa kali perubahan konstruksi bangunan untuk meminimalisir kerugian namun ternyata hasil yang ia dapatkan tidak memuaskan. Korban bencana menilai bahwa setiap konstruksi memiliki kelemahan dan kekurangannya masing-masing dan kerugian material yang diderita sama besarnya. Tidak hanya perangkat desa dan korban bencana yang tidak mengetahui informasi tentang bencana, bahkan Bakesbang sebagai koordinator pun tidak tahu mengenai teknis proses penanggulangan bencana. Bakesbang tidak pernah mendapat pengetahuan tersebut dari BPBD atau dari sumber manapun. Hanya pihak Tagana yang cukup mengetahui tiap tahap dalam penanggulangan bencana. Komunikasi dapat dikatakan baik apabila setiap komunikan dan komunikator memiliki pengertian yang sama tentang hal yang mereka kerjakan. Namun ternyata hal itu tidak penulis temukan dalam proses implementasi penanggulangan bencana ini. Untuk pengertian bantuan saja, masyarakat dan pemerintah memiliki perspektif yang beda dan salah mengenai hal itu. Pengertian bantuan menurut masyarakat adalah sesuatu hal yang bukan menjadi hak mereka, mereka menganggap jika pemerintah memberikan bantuan, Universitas Sumatera Utara itu adalah hal yang patut disyukuri namun untuk besarannya mereka pasrah dengan berapapun yang mereka peroleh. Pengertian bantuan yang benar ialah hak korban bencana yang patut diperjuangkan dan perlu diketahui apa saja bantuan yang patut didapatkan dari pemerintah menurut undang-undang yang berlaku. Berbeda dengan pengertian bantuan menurut perangkat desa, Bakesbang dan Tagana yang menganggap bantuan sebagai kebaikan dari pemerintah kepada masyarakat, bukan sesuatu yang dapat bisa dituntut masyarakat dan bersifat sukarela. Namun, seharusnya pemerintah menilai bantuan sebagai kewajiban yang harus diberikan secara bertanggung jawab berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Perspektif seperti itulah yang membuat implementasi berjalan tidak baik karena pelaku-pelaku kebijakan telah memiliki pandangan yang salah terhadap kebijakannya. Komunikasi yang dibangun antara pihak Tagana sebagai implementor terdekat pada masyarakat dengan masyarakat pun tidak baik. Masyarakat merasakan bahwa pihak pemerintah yang datang hanya sekedar untuk melihat dan mendata saja. Tidak ada komunikasi yang baik ketika Tagana dan dinas-dinas yang lain mengukur setiap kerusakan bahkan mendata bantuan apa yang akan diberikan kepada masyarakat. Menurut masyarakat bantuan yang mereka peroleh tidak tepat guna dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, bantuan yang diperoleh masyarakat ada yang berupa terpal, sementara korban bencana ternyata merasa malu bila mereka menggunakan terpal dan lebih memilih untuk mengungsi ke rumah sanak saudara yang lain sehingga bantuan tersebut menjadi Universitas Sumatera Utara tidak terpakai. Sedangkan bantuan berupa alat tulis sekolah tidak diperoleh korban bencana, mengingat saat kejadian ialah tahun ajaran awal bagi para siswai. Bantuan yang diterima masyarakat yang berupa uangpun tidak mencukupi dana yang mereka butuhkan. Butuh waktu selama berbulan-bulan bagi korban bencana untuk membetulkan kembali tempat tinggal mereka. Komunikasi yang tidak baik ini pun membuat timbulnya kecurigaan masyarakat kepada pihak pemerintah dengan adanya desas-desus mengenai besaran bantuan uang yang seharusnya mereka terima. Sementara Tagana mengaku mereka ingin memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan namun terhalang oleh keterbatasan sumber daya berupa dana. Permasalahan-permasalah tersebutlah yang timbul bila komunikasi tidak dianggap penting dalam implementasi kebijakan. Satu indikator yang bermasalah dapat mempengaruhi indikator yang lain seperti komunikasi yang ternyata dipengaruhi oleh sumber daya yang tidak mencukupi. Untuk itu, penulis akan menjelaskan bagaimana peran sumber daya mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan bencana.

5.1.2 Sumber Daya