Enteritis Campylobacteriosis pada Manusia

20 yang digunakan untuk mencuci karkas Upton 1995. Pada gambar 3 dapat dilihat kejadian infeksi C. jejuni dari ayam ke manusia. Gambar 3 Skema penyebaran infeksi Campylobacter jejuni melalui penanganan, konsumsi karkas ayam, susu tanpa pasteurisasi dan air Konkel et al. 2001 Kejadian campylobacteriosis pada manusia dapat terjadi akibat kontaminasi silang pada saat penanganan karkas ayam dan memakan daging ayam yang kurang matang atau kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci karkas Altekruse 1998. Kontaminasi mikroba biasanya terjadi pada permukaan bahan pangan. Pada karkas ayam biasanya terjadi pada kulitnya. Lee et al. 1998 melaporkan bahwa C. jejuni dapat tumbuh dengan baik pada kulit ayam yang lepas dari karkas. Berrang et al. 2001 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah mikroba yang terdapat pada karkas tanpa kulit maupun beserta kulit, walaupun dalam penelitian tersebut menunjukkan ada sedikit perbedaan jumlah Campylobacter sp. yang terdapat pada karkas beserta kulitnya lebih banyak jika dibandingkan karkas tanpa kulit. Kejadian campylobacteriosis selain disebabkan karena mengkonsumsi karkas ayam yang telah terkontaminasi dapat juga terjadi akibat mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi, serta minuman yang terkontaminasi. Di Taiwan telah dilakukan isolasi C. jejuni pada karkas ayam 55, karkas bebek 20, karkas babi 10, dan susu segar 30 Shao et al. 2006. 21 Pada umumnya pertumbuhan Campylobacter sp. pada bahan pangan tidak berkembang dengan baik. Mikroba tidak mampu berproliferasi pada suhu ruang maupun refrigerator. Mikroba sifatnya sangat fragile dan sensitif terhadap beberapa jenis antimikroba, akan tetapi kontaminasi mikroba pada karkas dalam jumlah sedikit ± 800 sel sudah mampu menimbulkan penyakit pada manusia Norman Pretanik 2006. Menurut Lee et al. 1998 pada penyimpanan -20 o C dan -70 o C mikroba dapat bertahan hidup namun tidak mampu mengadakan replikasi. Pada suhu ruang dan suhu 4 o C dapat tumbuh dan memperbanyak diri meskipun lambat, sehingga pada saat dilakukan thawing maka mikroba yang masih bertahan hidup dalam karkas pada suhu freezing akan tetap memiliki kemampuan hidup. Kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh C. jejuni dapat terjadi apabila pada penyimpanan terdapat pertumbuhan mikroba sampai berjumlah 100 kali lipat. Perubahan yang terjadi berupa lendir, perubahan warna kulit dan bau sehingga menyebabkan penampakan karkas yang kurang disukai Lee et al. 1998.

2.4. Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan

Keamanan pangan saat ini merupakan masalah penting di beberapa negara, hal ini disebabkan karena kesadaran yang tinggi dari konsumen dalam mengkonsumsi bahan pangan berkualitas dan aman. Munculnya risiko antara lain ditentukan karena terjadinya perubahan dalam proses produksi dan pengolahan bahan pangan asal ternak, adanya laporan mengenai munculnya foodborne pathogen sebagai emerging dan re-emerging disease, serta pola masyarakat mengkonsumsi bahan pangan. Perdagangan pangan internasional yang semakian luas juga dapat meningkatkan risiko penyebaran mikroorganisme patogen ke negara lain, sehingga dapat meningkatkan risiko manusia menderita food-borne disease. Perkembangan analisa risiko dilaporkan oleh Codex Alimentarius Commission CAC terus meningkat selama dekade terakhir. World Health Organization WHO dan Food and Agriculture Organization FAO mengembangkan pendekatan risiko berbasis bahaya pada bahan pangan dalam bidang kesehatan masyarakat menggunakan analisa risiko. Analisa risiko adalah suatu proses yang terdiri dari tiga komponen yaitu kajian risiko risk assessment, manajemen risiko risk management, dan komunikasi risiko risk communication WHO 1995. Kajian risiko merupakan proses dimana risiko dari bahaya dievaluasi 22 secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi kajian risiko secara kuantitatif telah dilakukan sejak tahun 1970an untuk mengetahui risiko manusia yang terpapar oleh bahan kimia Soller 2006. Melakukan evaluasi kajian risiko terhadap bakteri patogen sebagai agen foodborne disease penting dilakukan untuk mengetahui secara kuantitatif peluang terjadinya risiko yang dapat diakibatkan oleh patogen serta dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Hasil evaluasi kajian dapat disampaikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian risiko pada agen foodborne disease dievalusi dengan melakukan kajian pada semua tahapan mata rantai pangan hingga siap saji. Kajian risiko sebaiknya mampu menjawab permasalahan yang ada, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manajer risiko untuk mencapai keputusan. Manajemen risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan risiko termasuk hasil dari kajian risiko, digunakan untuk membuat keputusan tentang bagaimana risiko tersebut akan dikendalikan kemudian bagaimana keputusan itu akan diterapkan. Komunikasi risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan kajian dan manajemen risiko merupakan media untuk berlangsungnya proses kajian dan manajemen risiko Buchanan 2004. Kajian risiko sering disebut sebagai microbial risk assessment MRA dievaluasi untuk mengetahui kemungkinan atau probabilitas keparahan suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu agen patogen. CAC mendefinisikan kajian risiko sebagai proses berbasis ilmiah yang terdiri dari empat langkah yaitu: 1 identifikasi bahaya, 2 karakterisasi bahaya, 3 kajian paparan, dan 4 karakterisasi risiko FAO 2000.

2.4.1. Identifikasi bahaya

Bakteri thermophilic Campylobacter sp. dilaporkan sebagai penyebab utama infeksi gastrointestinal pada manusia. Ayam yang terinfeksi Campylobacter menyebabkan kontaminasi pada karkas yang dihasilkan. Karkas ayam merupakan sumber utama foodborne disease. Saluran pencernaan dan air merupakan sumber kontaminasi pada proses pemotongan di rumah potong Atanassova et al. 2007. Cara penyimpanan daging ayam di pasar tradisional dan swalayan menyebabkan perbedaan tingkat prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. Andriani et al. 2012a. Pengobatan terhadap infeksi Campylobacter sp. saat ini adalah 23 menggunakan antibiotika namun bervariasinya pola resistensi terhadap antibiotika menyebabkan sulitnya pengobatan pada peternakan ayam maupun manusia.

2.4.2. Karakterisasi bahaya

Gastroenteritis akibat infeksi Campylobacter sp. meskipun dapat sembuh sendiri self-limiting namun dilaporkan mortalitasnya mencapai 32 pada isolat yang patogenitasnya sangat tinggi hasil isolasi dari ayam dan penderita memiliki sistem imun yang rendah Anonim 2005. Selain menyebabkan gastroenteritis C. jejuni juga dapat menyebabkan penyakit sistemik seperti meningitis, bakteremia, localized extraintestinal infection, immuno reactive complications seperti Guillain- Barre syndrome GBS dan reactive arthritis. Mengkonsumsi daging ayam yang terkontaminasi Campylobacter sp dapat menyebabkan kejadian foodborne gastrointestinal disease. Dosis respon merupakan faktor penting yang berhubungan dengan virulensi mikroorganisme patogen terhadap kejadian infeksi pada manusia sebagai host. Apabila tidak diperoleh data dosis respon yang sesuai maka kemampuan mikroorganisme patogen menginfeksi manusia dapat digunakan sebagai faktor virulensi WHO 1999. Kemungkinan terjadinya penyakit pada manusia setelah mengkonsumsi bahan pangan yang terkontaminasi tergantung pada tiga probabilitas yaitu: probabilitas mikroorganisme tertelan, mikroorganisme mampu bertahan dan menginfeksi host setelah ditelan, dan kemungkinan host menjadi sakit setelah terinfeksi. Lingkungan, patogen dan host adalah meruapakan variabel yang berperan penting dalam probabilitas munculnya penyakit. Pengaruh lingkungan termasuk makanan yang telah terkontaminasi dan kondisi ekosistem saluran pencernaan. Pengaruh patogen meliputi dosis, virulensi, dan kolonisasi pada saluran pencernaan host. Pengaruh host meliputi status usia, kekebalan dan perut isi Coleman Marks 1998. Terdapat dua hipotesis yang dapat digunakan untuk analisa hubungan dosis-respons terhadap mikroorganisme patogen sebagai kontaminan pada bahan pangan. Yang pertama didasarkan pada dosis infeksi minimal, yang harus dicerna sebelum infeksi atau efek samping terjadi. Hipotesis kedua adalah bahwa sel patogen tunggal memiliki kemampuan untuk memulai infeksi atau penyakit Haas 1983; Rubin 1987; Rubin Moxon 1984. Pada hipotesis kedua, tidak menggunkan jumlah ambang batas, dan meningkatnya probabilitas infeksi disebabkan karena jumlah mikroorganisme patogen. Beberapa