METODE PCR UNTUK DETEKSI CAMPYLOBACTER sp.

66 cadF dapat mendeteksi kontaminasi genus Campylobacter sp. 76 lebih banyak dari C. coli 2 pada daging ayam. Spesies C. coli umumnya lebih banyak ditemukan pada daging babi. Kasus infeksi C. coli sehingga menyebabkan enteritis pada manusia di Denmark jarang terjadi, namun infeksi diperkirakan akibat mengkonsumsi daging babi Cabrita et al. 1992. Meskipun belum jelas kasus enteritis akibat mengonsumsi daging babi atau ayam yang terkontaminasi C. jejuni atau C. coli, tetapi hasil penelitian Boes et al. 2005 melaporkan bahwa daging babi telah terkontaminasi spesies C. jejuni dan C. coli. Gambar 19 Hasil PCR menggunakan primer glyA sumur 1-9 dan hipO sumur 10 dan 11 isolat yang berasal dari sampel sumur 2-9 dan ATCC C. coli sumur1 sebagai kontrol positif dengan target gen 126 bp Hasil identifikasi dengan teknik PCR diperoleh hasil 124 41.6 karkas ayam telah terkontaminasi Campylobacter sp. Dari 124 sampel positif Campylobacter sp. sebanyak 70 56.5 adalah C. jejuni dan 54 43.5 adalah C. coli. Hal tersebut memperlihatkan bahwa karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di DKI Jakarta, Jawa Barat Bogor dan Sukabumi dan Jawa Tengah Kudus dan Demak telah terkontaminasi oleh bakteri Campylobacter spp, terutama spesies C. jejuni dan C. coli. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 67 Gambar 20 Jumlah isolat Campylobacter sp. pada karkas ayam yang diambil pada tahun 2009 dan 2011 di isolasi secara konvensional dan PCR Isolasi Campylobacter sp. menggunakan metode konvensional umumnya memerlukan waktu empat hari untuk mengetahui hasil negatif dan 6-7 hari untuk melakukan konfirmasi hasil yang positif. Pada penelitian ini teknik PCR dengan menggunakan target gen hipO dan glyA mampu membedakan Campylobacter sp. antara spesies C. jejuni dan C. coli pada waktu yang lebih cepat. Hasil uji ini Gambar 20 sejalan dengan hasil penelitian Lawson et al. 1998 dan Kulkarni et al. 2002 yang melaporkan untuk identifikasi C. jejuni dan C. coli menggunakan metode PCR lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional. Sensitivitas uji PCR Hasil sensitivitas uji PCR untuk mendeteksi C. jejuni disajikan pada Gambar 21 di bawah ini. Gambar 21 Sensitivitas uji PCR menggunakan primer hipO dengan besar target gen 323 bp 10 20 30 40 50 60 70 2009 2010 2011 konvensional PCR cfu ml 10 6 10 5 10 4 10 3 10 2 10 1 isolat 68 Metode PCR yang digunakan pada penelitian dapat mendeteksi minimum 10 3 cfuml, hasil ini sama dengan hasil penelitian Fode-Vaughan et al. 2001 yang menggunakan metode PCR untuk mendeteksi gen stx1 mikroorganisme enteropatogen Escherichia coli O157:H7 dari susu pada deteksi limit 10 3 cfuml. Hasil penelitian lebih sensitif dari hasil penelitian Inglish dan Lisa 2003 menggunakan metode nested multiplex PCR untuk mendeteksi Campylobacter sp. dari feses sapi pada 10 4 cfug. Peneliti lain Lablanc-Maridor et al 2011 juga melakukan uji sensitivitas mendeteksi gen glyA bakteri C. coli dari sampel kandang babi menggunakan metode real-time PCR dengan deteksi limit 10 3 cfum 2 . Tabel 7 Pasangan hasil identifikasi Campylobacter jejuni metode PCR menggunakan primer hipO dan konvensional Konvensional + Konvensional - PCR + 22 42 PCR - 2 132 Validasi metode PCR sebagai metode alternatif untuk mendeteksi Campylobacter jejuni dengan gold standart metode konvensional dianalisa menggunakan data yang disajikan pada Tabel 7. Hasil yang diperoleh adalah sensitivitas dan spesifitas metode PCR mengidentifikasi Campylobacter sp. adalah 91.7 dan 75.9 secara berurutan. Nilai sensitivitas 91.7 menunjukkan bahwa metode PCR sensitif dapat digunakan untuk membedakan isolat Campylobacter sp. dengan bakteri yang lain. Nakari et al. 2008 melaporkan 32 dari 145 isolat C. jejuni menunjukkan reaksi negatif pada uji hippurate. Data pada Tabel 7 memperlihatkan adanya 2 isolat positif pada uji konvensional hasl identifikasi menggunakan API Campy tetapi negatif pada uji PCR, sehingga menyebabkan rendahnya spesifitas 75.9 metode PCR untuk mendeteksi isolat sampai tingkat spesies Campylobacter jejuni. 69 SIMPULAN PCR dapat digunakan untuk mendeteksi C. jejuni dan C. coli sebagai kontaminan pada daging ayam yang dijual di pasar swalayan dan tradisonal di lokasi pengambilan sampel. Isolasi dan identifikasi secara PCR lebih sensitif mendeteksi C. jejuni dan C. coli daripada metode konvensional dengan deteksi minimum C. jejuni 10 3 cfuml, sensitivitas 91.7, dan spesifitasnya 75.9. DAFTAR PUSTAKA Alexandrino M, Grohmann E, Szewzyk U. 2004. Optimation of PCR-based for rapid detection of Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, and Yersinia enterocolitica serovar 0:3 in waste samples. Water Res 38: 1340-1346. Alter T. Gaull F, Kasimir S, Gurtler M, Fehlhaber K. 2005. Distribution and genetic characterization of porcine Campylobacter coli isolates. Berl Munch Tierarztl Wochenschr 118: 214-219. Anonim. 2003. Microbiology of food and animal feeding stuffs-protocol for the validation of alternative methods. The European Standard EN ISO 16140:2003 has the status of a British Standard. Archana PI, Taha AK. 2010. PCR based detection of food borne pathogens. Engin and Technol 68: 689-691. Barrow, Feltham. 2003. Character of gram-negative bacteria. Dalam Cowan and Steel’s manual for the identification of medical bacteria. New York: Cambridge University Press. Blackburn CW, Clure PJ. 2003. Campylobacter dan Areobacter. Di dalam: Foodborne Pathogens. Hazards, Risk Analysis and Control. New York: CRC Press. Boes J, Nersting L, Nielsen EM, Kranker S, Enoe C, Wachmann HC, dan Baggesen DL. 2005. Prevalence and diversity of Campylobacter jejuni in pig herds on farms with and without cattle or poultry. J Food Prot 684: 722-727. Cabrita J, Rodrigues J, Braganca F, Morgado C, Pires I, Goncalves AP. 1992. Prevalence, biotypes, plasmid profil and antimicrobial resistance of Campylobacter isolated from wild and domestic animals from northeast Portugal. J Appl Bacteriol 73: 279-285. Eyers M, Sabine C, Guy VC, Herman G, Rupert DW. 1993. Discrimination among thermophilic Campylbacter species by polymerase chain reaction amplification of 23S rRNA gene fragments. J Clin Microbiol 3112: 3340- 3343. 70 Eyigor A, Dawson KA, Langlois BE, Pickett CL. 1999. Cytolethal distending toxin genes in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli isolates: detection and analysis by PCR. J Clin Microbiol 375: 1646. Fang SW, Ching JY, Daniel YCS, Cheng CC, Roch CY. 2006. Amplified fragment length polymorphism, serotyping, and quinolone resistence of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli strains from chicken-related samples and humans in Taiwan. J Food Prot 694: 775-784. Fermer C, Engvall EO. 1999. Specific PCR Identification and differentiation of the thermophilic Campylobacters, Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, and C. upsaliensis. J Clin Microbiol 10: 3370-3373. Flynn OMJ, Ian SB, David AM. 1994. Prevalence of Campylobacter species on fresh retail chicken wings in Northern Ireland. J Food Prot 574: 334-336. Fode-Vaughan KA, Wimpee CF, Remsen CC, Collins ML. 2001. Detection of bacteria in environtmental samples by direct PCR without DNA extraction. Biotechniques 31: 598-607. Gillespie IA, O’Brien SJ, Frost JA. 2002. A case-case comparison of Campylobacter coli and Campylobacter jejuni infection: a tool for generating hypotheses. Emerg Infect Dis 89: 937-942. Gonzales I, Grant KA, Peter T, Richardson, Park SF, Collins MD. 1997. Specific identification of the enteropathogens Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli by using a PCR test based on the ceuEgene encoding a putaive virulence determinant. J Clin Microbiol 353: 759. Inglis GD, Lisa DK. 2003. Use of PCR for Direct Dtection of Campylobacter species in bovine feces. Appl Environ Microbiol 696: 3435-3447. Jamshidi A, Bassami MR, Farkhondeh T. 2008. Isolation and identification of Campylobacter coli from poultry carcasses by conventional and multiplex PCR methods in Mashhad, Iran. Iranian J Vet Res 92: 138-144. Kramer JM, Frost JA, Bolton FJ, Wareing DRA. 2000. Campylobactercontamination of raw meat and poultry at retail sale: identification of multiple types and comparison with isolates from human infection. J Food Prot 6312: 1654-1659. Kulkarni SP, Lever S, Logan JMJ, Lawson AJ. 2002. Detection of campylobacter species: a comparison of culture and polymerase chain reaction based methods. J Clin Pathol 55: 749-753. Lawson AJ, Shafi MS, Pathak K, Stanley J. 1998. Detection of Campylobacter in gastroenteritis: comparison of direct PCR assay faecal samples with selective culture. Epidemiol Infect 121: 547-553. Lindqvist R, Andersson Y, Jong B, Norberg B. 2000. A Summary of Reported Foodborne Disease Incidents in Sweeden, 1992 to 1997. J Food Prot 6310: 1315-1320. 71 Meldrum RJ, Tucker D, Smith RMM, Edwards C. 2005. Survey of Salmonella and Campylobacter contamination of whole, raw poultry on retail sale in Wales in 2003. J Food Prot 687: 1447-1449. Nakari UM, Puhakka A, Sitonen A. 2008. Correct identification and discrimination between Campylobacter jejuni and Campylobacter coli by a standardized hippurate test and spesies-specific polymerase chain reaction. Eur J Clin Microbiol Infect Dis DOI 10.1007s10096-008-0467-9. Oyofo BA et al. 2002. Surveilance of bacterial pathogens of diarrhea disease in Indonesia. Diag Microbiol and Infect Dis 44: 227-234. Poeloengan M, Noor SM. 2003. Isolasi Campylobacter jejuni pada daging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Di Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Puslitbang Peternakan. Rashid ST, Dakuna I, Louie H, Ng D, Vandamme P, Johnson W, Chan VL. 2000. Identification of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, Arcobacter butzleri, dan A. butzleri-like species based on the glyA gene. J Clin Microbiol 4: 1488-1494. Raymond S, Tsang W, Figueroa T, Bryden L, Lai-King Ng. 2001. Flagella as potential marker Campylobacter jejuni strains associated with Guillain-Barre Syndrome. J Clin Microbiol 2: 762-764. Ringertz S, Robert CR, Olof R, Arini S. 1980. Campylobacteer fetus subsp. jejuni as a cause of gastroenteritis in Jakarta, Indonesia. J Clin Microbiol 10: 538-540. Shane SM. 2000. Campylobacteriosis. Di dalam: Disease of Poultry. 9 th Ed. Ames, Iowa: State University Press. hlm 236-246. Shao WF, Yang CJ, Shih DYC, Chou CC, Yu RC. 2006. Amplified fragment length polymorphism, serotyping, and quinolone resistance of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli strains from chicken-related Samples and human in Taiwan. J Food Prot 694: 775-783. Stern NJ, Pretanik S. 2006. Counts of Campylobacter spp. on U.S. broiler carcasses. J Food Prot 695: 1034-1039. Tam CC, Brien SJO, Adak GK, Meakins SM, Frost JA. 2003. Campylobacter coli – an important foodborne pathogens. J Infect 47: 28-32. Wang G, Clifford G, Tracy M, Taylor, Chad P, Connie B, Lawrence P, David L, Woodward, Frank GR. 2002. Colony multiplex PCR assay for identification and differentiation of Campylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, and C. fetus subsp. fetus. J Clin Microbiol 4012: 4744-4747. 72 73

6. PRODUKSI ANTIBODI UNTUK PENGEMBANGAN METODE ELISA DETEKSI ANTIGEN

CAMPYLOBACTER JEJUNI ABSTRAK Campylobacter jejuni merupakan bakteri patogen peyebab diare dan telah banyak dilaporkan di negara-negara yang sudah maju maupun sedang berkembang. Konsumsi unggas telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama terhadap infeksi Campylobacter jejuni pada manusia. Melakukan kontrol kontaminasi Campylobacter sp. pada ayam broiler merupakan strategi yang tepat untuk mengurangi kejadian infeksi pada manusia yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Campylobacter sp. bersifat sulit diisolasi dan diidentifikasi sehingga uji fenotipik terhadap isolat sangat terbatas. Identifikasi sampai tingkat spesies sangat bervariasi dan bersifat subyektif dalam menyimpulkan hasil interpretasi dari hasil uji biokimia. Metode standar deteksi Campylobacter sp. dianggap sensitif tapi juga memerlukan ketelitian, membutuhkan waktu yang lama, dan mahal. Keterbatasan ini memungkinkan untuk menentukan teknik diagnsa yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi Campylobacter sp. Teknik deteksi berbasis immunoassay seperti Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay ELISA merupakan metode alternatif dan komplementer untuk mendeteksi Campylobacter sp. dalam sampel. Metode ELISA tidak memerlukan biaya mahal dan peralatan canggih. Komponen utama dari teknik ELISA adalah antibodi yang mampu mengenal secara spesifik dan sensitif terhadap antigen yang terletak pada permukaan sel-sel Campylobacter sp. Pada penelitian ini dilakukan produksi antibodi dari hewan kelinci, domba, dan ayam yang telah diimunisasi menggunakan antigen flagella dan whole cell isolat lokal C. jejuni yang akan digunakan untuk mengembangkan metode ELISA. Hasil yang diperoleh adalah antibodi yang dihasilkan oleh ayam memiliki nilai OD yang lebih tinggi dari pada kelinci dan domba. Kata kunci : Antibodi, antigen, Campylobacter jejuni, ELISA ABSTRACT Campylobacter jejuni is a frequent enteric pathogen that causes diarrheal disease in both developed and developing countries. Poultry consumption has been identified as a major risk factor for human infection with Campylobacter jejuni. Controlling contamination of Campylobacter sp. on chickens carcass has been identified as an appropriate strategy for reducing the incidence of human infection with this public health pathogen. Campylobacters are fastidious bacteria, and this limits the available phenotypic tests by which isolates may be differentiated. Identification to species level is hindered by variations in methodology and the subjective interpretation of biochemical test results. Standard methods of detection of campylobacteria are very sensitive but also very laborious, timeconsuming, and expensive. These limitations emphasize the necessity for a rapid and sensitive 74 techniques for the detection of Campylobacter in foods and foodstuffs. Immunochemical techniques are alternative and complementary methods for the detection of Campylobacter spp. in food, environmental, and clinical samples for their sensitivity reliability, simplicity, and cost-effectiveness. These methods do not require expensive, sophisticated instrumentation and it is possible to adapt them for field measurement. The major component of immunoassays is the antibody that is responsible for specific and sensitive recognition of antigens located on the surface of the Campylobacter cells. I n this research, the production of antibodies from animals rabbits, sheep, and chickens were immunized using flagella and whole cell antigen local isolate C. jejuni that will be used to develop an ELISA method. The result is an antibody produced by the chickens have optical density OD values higher than in rabbits and sheep. Key word : Antibody, antigen, Campylobacter jejuni, ELISA PENDAHULUAN Campylobacter jejuni merupakan agen penyebab penyakit gastrointestinal pada manusia. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada manusia umumnya bersifat sporadik Nachamkin 1999. Menurut Kapperud et al. 1992 ingesti dan menangani daging ayam serta produk olahannya yang terkontaminasi memiliki faktor risiko terjadinya Campylobacteriosis. Metode isolasi kontaminan Campylobacter sp. pada bahan pangan dapat dilakukan dengan melakukan kultur pada media yang mengandung enrichment dan dilanjutkan isolasi pada agar selective Skirrow 1977; Bolton et al 1984; Karmali et al. 1986. Mendeteksi kontaminan bakteri Campylobacter sp. pada bahan pangan menggunakan metode konvensional memerlukan waktu yang cukup lama dan untuk melakukan deferensiasi secara fenotipik menentukan spesies tidak selalu akurat Rautellin et al. 1999. Metode cepat secara polymerase chain reaction PCR untuk mendeteksi dan mengidentifikasi C. jejuni telah dilaporkan Inglis Lisa 2003; Rashid et al. 2000; Fermer Engvall 1999. Metode deteksi secara analisis immunochemical berbasis antibodi lebih sederhana, cepat dan sensitif untuk mendeteksi serta mendeferensiasi tipe bakteri kontaminan pada bahan pangan. Antibodi dapat mendeteksi mikroorganisme kontaminan pada bahan pangan apabila dikembangkan dengan antibodi yang spesifik dan memiliki kemampuan menangkap target antigen sebagai analyte Gabriela Malin 2002. Komponen utama metode immunoassay adalah antibodi yang spesifik dan sensitif menangkap antigen terletak pada permukaan sel 75 Campylobacter sp. Metode ini dapat digunakan untuk serotyping dan mendeteksi Campylobacter sp. Penner Hennessy 1980; Penner et al. 1983; Bailey et al. 2008; Tomas et al. 2005. ELISA Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay merupakan metode cepat yang digunakan sebagai uji imunologi untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel, menggunakan indikator enzim untuk reaksi imunologi Burgess 1995. Menurut Wicker et al. 2001 adanya bakteri kontaminan Campylobacter sp. yang terdapat dalam sampel dapat dideteksi menggunakan kit komersial seperti Transia Plate ELISA secara cepat. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh antibodi yang spesifik dapat mendeteksi antigen Campylobacter secara ELISA. BAHAN DAN METODE Produksi antibodi untuk pengembangan metode ELISA Perbanyakan antigen Isolat terpilih yang telah murni ditumbuhkan pada media Nutrient Broth No 2 dan dinkubasi pada suhu 42 o C selama 48 jam pada kondisi mikroerofilik 5 O 2 , 10 CO 2 , 85 N 2. Perbanyakan dilakukan secara bertingkat dengan menumbuhkan 100 µl isolat murni yang telah dithawing setelah dibekukan dalam 10 ml media cair diinkubasi pada suhu, waktu dan kondisi yang sama seperti di atas. Selanjutnya larutan suspensi tersebut dimasukkan ke dalam 100 ml media cair, setelah selesai inkubasi larutan suspensi disubkultur pada 1000 ml media cair dan dilakukan inkubasi kembali. Sebelum mikroorganisme dimatikan menggunakan 1 formalin pa dan dilakukan uji kemurnian media selective CCDA. Larutan suspensi disentrifus selama 20 menit menggunakan kecepatan 10 000 rpm. Pelet yang diperoleh dicuci 3 kali dengan cara menambahkan 100 ml NaCl fisiologis steril dan disentrifuse 10 000 rpm. Pelet yang dihasilkan ditambah 10 ml NaCl nonpyrogenic selanjutnya disiapkan sebagai suspensi antigen. Antigen whole cell disiapkan dengan melakukan sonikasi suspensi antigen selama 30 detik dalam kondisi suhu 4 o C menggunakan sonicator. Antigen flagella dibuat menggunakan metode ekstraksi glycine Logan Trust 1982; Harris et al. 1987. Sebanyak 1 ml suspensi antigen Campylobacter 76 jejuniditambahkan ke dalam 10 ml dalam 0.2 M glycine hydrochloride pH 2.2. Suspensi distirer menggunakan magnet stirer pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian dilakukan sentrifuse 12 000 rpm selama 15 menit, supernatan yang dihasilkan dinetralisasi menggunakan NaOH. Selanjutnya dilakukan dialisis dalam NaCl fisiologis suhu 4 o C selama semalam. Pembuatan antigen outer membrane protein OMP dilakukan dengan melakukan sonikasi pada suspensi selama 30 detik. Sel debris dibuang setelah dilakukan sentrifuse 5 000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan selanjutnya disentrifus menggunakan kecepatan 100 000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 o C. Pelet yang dihasilkan disuspensikan dalam destilated water dan ditambahkan 2 wv sodiumN-lauryl-sarcosine sampai pH 7.5. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 20 menit dan dilakukan sentrifus menggunakan kecepatan 100 000 rpm selama 50 menit pada suhu 4 o C. Ekstrak pelet yang dihasilkan di cuci dua kali dalam 0.05 M Tris hydrochloride buffer pH 7.5 dan disuspensikan menggunakan distilled water sebagai antigen dapat disimpan pada suhu -20 o C De Melo Pecheree 1990. Antigen whole cell, flagellin dan outer membrane protein masing- masing dimasukkan ke dalam buffer yang mengandung 5 vv 2-mercaptoethanol, 10 vv glycerol, 2 vv sodium dodecyl sulfate, dan 0,0625 M Tris base. Sampel dipanaskan pada suhu 100 o C selama 3 menit. Sebanyak 5 µl sample yang mengandung 10 g protein dimasukkan ke dalam tiap sumuran gel electrophoresis. Pemisahan protein menggunakan gel electrophoresis sodium dodecyl sulfate- polyacrylamide gel electrophoresis SDS-PAGE dilakukan dalam 4.5 stacking gel dan 12 sodium dodecyl sulfate-polyacrilamide gel. Electrophoresis dilakukan pada 8 mA semalam atau menggunakan 4 stacking gel dan 10 separating gel Wenman et al. 1985. Pembuatan Antiserum Antiserum diproduksi dengan melakukan imunisasi antigen pada hewan percobaan. Antigen whole cell konsentrasi 90 mg dan flagella 40 g yang telah diemulsikan dalam Freund’s complete adjuvanFCA Sigma masing-masing diinjeksikan pada hewan kelinci, domba, dan ayam SPF secara intramuskuler. Injeksi dilakukan pada empat sisi sehingga total 2 ml. Sebelum hewan percobaan 77 diimunisasi, diambil darahnya terlebih dahulu untuk mengetahui titer antibodi preimunisasi. Booster dilakukan secara subcutan pada hari ke-14 atau dua minggu kemudian menggunakan antigen yang diemulsifikasi menggunakan Incomplete Freund’s AdjuvantIFA Sigma Newell et al. 1984. Respon antibodi terhadap anti C.jejunidiamati setiap dilakukan booster Ritter et al. 1996. Titer antibodi yang terjadi diukur dengan menggunakan ELISA. Prosedur uji yang digunakan adalah direct ELISA seperti yang telah dilakukan oleh Blaser dan Duncan 1984 dan Stird et al. 2001, terlebih dahulu ditentukan optimal dilution dari semua reagen secara checkerboard titration dan waktu serta pengenceran yang optimum untuk inkubasi sebelum digunakan untuk menguji. Antigen whole cell disiapkan dalam larutan buffer coating 0.5 M carbonate buffer pH 9.6, sebanyak 100 µl larutan antigen mengandung protein 10 mg ditambahkan ke dalam masing-masing U-bottom maxisorp microwell plates. Plate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 4 o C selama 24 jam. Setelah selesai inkubasi plate dikosongkan dan dicuci empat kali menggunakan washing buffer PBS phosphate-bufferd saline pH7.4 mengandung 0.1 Tween 20 dan 100 µl blocking buffer PBS mengandung 5 Tween 20. Serum yang akan diuji diencerkan 1:200 dalam PBS mengandung 0.01 wv sodium azide. Serum yang diuji dan kontrol diuji duplikasi dengan inkubasi pada suhu ruang selama 75 menit, diikuti empat kali pencucian. Horseradish peroxidase-labeled antiserum chicken diencerkan 1:8000 dalam washing buffer selanjutnya 100 µl ditambahkan ke dalam masing-masing lubang plate dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 75 menit sebelum dicuci. Terakhir ditambahkan 100 µl tetramethyl benzidine sebagai substrat dan diinkubasikan selama 10 menit kemudian ditambahkan 100 µl stop reaction 0.2 M H 2 SO 4 . Nilai optical density OD di baca menggunakan ELISA reader panjang gelombang 450 nm. Pemisahan Ig G Purifikasi terhadap serum hiperimun yang telah dikoleksi dari hewan percobaan dilakukan menurut metode Harlow dan Lane 1988. Campuran serum dan ammonium sulfat tersebut digoyang secara perlahan-lahan sampai tercampur rata selama 10 menit. Setelah terjadi presipitasi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5 000 rpm selama 15 menit. Suspensi di bagian atas dibuang perlahan- 78 lahan atau dibuang dengan cara dipipet. Presipitat dilarutkan kembali dengan akuades yang volumenya sama dengan volume serum awal. Larutan presipitat dalam akuades kemudian di dialisis menggunakan 0.01 M phosphate buffer saline PBS dalam plastik semipermeabel beberapa kali pada suhu 4 ºC selama 24 jam. Ig G antiflagela diperoleh menggunakan column protein A HiTrap Protein A HP, GE selanjutnya dapat disimpan pada suhu -20 o C sampai digunakan untuk uji ELISA. HASIL DAN PEMBAHASAN Antigen

C. jejuni

Isolat lokal C1 Campylobacter jejuni yang telah murni diperbanyak dengan menumbuhkan pada media agar selective CCDA seperti pada Gambar 22. Gambar 22 Memupuk bakteri C. jejuni pada media agar selektif CCDA Setelah selesai dilakukan inkubasi selama 48 jam secara mikroaerofilik menggunakan jar seperti pada Gambar 10 kemudian isolat dipanen dimasukkan ke dalam botol yang telah diisi aquadest steril Gambar 23 dan 24. 79 Gambar 23 Suspensi antigen C. jejuni Gambar 24 Suspensi hasil panen koloni C. jejuni Hasil karakterisasi antigen yang diperoleh disajikan pada Gambar 25 adalah antigen yang diperoleh menggunakan ekstraksi glycine pH 2.2 pada isolat local C. jejuni C1 maupun isolat standar C. jejuni ATCC memiliki protein antigen dengan berat molekul 30 kDa dan 31 kDa. Menurut Logan dan Trust 1982 ekstraksi menggunakan glycine dapat melepaskan protein antigen yang utama pada permukaan C. jejuni termasuk flagellum yaitu komponen protein flagellin yang memiliki besaran molekul 31 kDa, namun protein ini tidak dapat ditemukan pada perlakuan ekstraksi menggunakan sarcosine. 80 Gambar 25 SDS PAGE antigen yang diekstraksi glycine. 1 adalah standar protein, 2 antigen whole cell ATCC Campylobacter jejuni, 3 antigen flagella C. jejuni isolat C1 asal Sukabumi, 4 Antigen flagella Campylobacter jejuni ATCC Antigen lain yang diperoleh baik pada isolat C1 maupun standar ATCC C. jejuni adalah protein yang memiliki besar molekul 40 kDa dan 60 kDa. Namun demikian terdapat beberapa perbedaan protein yang dihasilkan menggunakan ekstraksi glycine pada isolat C1 dan standar. Isolat C1 memiliki protein yang besar molekulnya 41 kDa yang tidak muncul pada isolat standar, sedangkan isolat standar memiliki protein dengan berat molekul 58 kDa yang tidak muncul pada isolat C1. Antigen outer membrane protein OMP dapat diperoleh menggunakan ekstraksi sarcosinate Blaser et al. 1984, besaran protein yang diperoleh adalah 92.5 kDa, flagellin 57-63 kDa, porin protein 43-45 kDa yang imunogeniknya rendah, serta beberapa protein minor 29-31 kDa yang bersifat imunogenik Logan Trust 1982; Rautelin Kosonen 1983. Protein OMP yang memiliki berat molekul 41 kDa dan 45 kDa merupakan mayor protein 50 pada permukaan Campylobacter jejuni Blaser et al. 1984. Hasil penelitian ekstraksi sarcosinate dapat dilihat pada Gambar 26, bahwa protein antigen yang diperoleh dari isolat C. jejuni lapang C1 memiliki besar molekul 41 kDa dan 60 kDa, sedangkan isolat standar C. jejuni ATCC memiliki besar molekul 37 kDa dan 60 kDa. Kedua isolat tersebut yaitu C. jejuni standart dan lapang tidak terdapat protein besar molekul 30 kDa yang merupakan protein imunogenik Blaser et al. 1984. 1 2 3 4 kDa 60 40 30