Karakterisasi bahaya Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan

29 basa. Semakin panjang primernya semakin tinggi temperatur annealing Sulandari Zein 2003. Apabila suhu dinaikkan sampai 72 o C, maka primer dengan bantuan enzim DNA polymerase akan membentuk untaian DNA sesuai dengan runutan DNA yang terbelah, proses ini disebut elongasi extension. Umumnya setelah proses siklus PCR selesai, ditambah waktu post elongasi selama 5-10 menit pada temperatur 72 o C agar semua hasil PCR berbentuk untai ganda Sulandari Zein 2003. Ketiga tahapan tersebut merupakan satu siklus termal. Jumlah fragmen DNA yang digandakan adalah 2 n dimana n adalah banyaknya siklus termal. Rumus tersebut berasal dari penambahan jumlah keping copy DNA secara eksponensial, dimana keping DNA yang terbentuk menjadi cetakan bagi reaksi selanjutnya. Banyaknya siklus yang dilakukan tergantung pada banyaknya produk PCR yang diinginkan Sulandari Zein 2003. Menurut Sahin et al. 2003 metode molekuler PCR selain dapat mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter sp. juga dapat mendeteksi adanya bakteri patogen kontaminan yang lain pada bahan pangan. Analisis PCR pada bahan pangan secara umum meliputi tahapan isolasi DNA dari sampel makanan, amplifikasi sekuen target secara PCR, visualisasi dengan melakukan separasi produk amplifikasi pada elektroforesis gel agarosa sehingga diketahui ukuran fragmen yang dihasilkan dibandingkan dengan DNA marker setelah perlakuan staining menggunakan etidium bromida. Metode PCR dapat mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter sp. tergantung primer yang digunakan. Primer gen 16S rRNA atau 23S rRNA umumnya digunakan untuk mendeteksi genus thermophilic Campylobacter pada lokasi susunan sekuen gen hipO, flaA, mapA, ceuE, glyA, cadF atau lpxA Al Rashid 2000; Wang et al. 2002. Beberapa jenis uji PCR seperti multiplex PCR Wang et al. 2002 dan real-time PCR Logan et al. 2001 Sails et al. 1998 telah dilaporkan dapat mendeteksi Campylobacter sp. Multiplex PCR dilakukan menggunakan beberapa primer spesifik dalam satu reaksi sehingga deteksi dan identifikasi dapat dilakukan secara bersamaan Sahin et al. 2003b. Real-time PCR dapat secara akurat mengukur kuantitas DNA template dan dapat memberikan perkiraan jumlah organisme yang ada dalam sampel, meskipun memerlukan peralatan dan reagen yang lebih mahal daripada metode PCR konvensional Sahin et al. 2003b. Metode PCR dapat digunakan untuk identifikasi enteropathogen C. jejuni dan C. coli menggunakan 30 probe gene ceuE yang diduga mengkode faktor virulensi Campylobacter Gonzales et al. 1997. Peneliti Mateo et al. 2005 telah mengembangkan metode PCR sebagai alat deteksi dan identifikasi C. jejuni dan C. coli yang mengkontaminasi produk perunggasan menggunakan probe gene mapA dan ceuE. Eyigor et al. 1999 melakukan deteksi dan analisa isolat C. jejuni dan C. coli menggunakan metode PCR menggunakan gen cytolethal distending toxin cdt, gen cdt yang dihasilkan oleh C. jejuni dan C. coli dan merupakan faktor virulen dari kedua spesies tersebut, memperlihatkan sekuen yang berbeda. Susunan nukleotida primer yang dapat digunakan untuk identifikasi Campylobacter sp. disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter Primer Gen Target Produk PCR bp Referensi cadF ceuE 23S rRNA 16S rRNA glyA fla hipO sapB2 asp cdt omp50 outer membran proteinCampylobacter komponen lipoprotein enterochelin C. coli thermophilic Campylobacter sp. Campylobacter sp. Serine hydroxymethyltransferase C. coli, C. lari, C. upsaliensis Flagellin C. jejuni, C. coli Hippuricase C. jejuni Surface layer protein C. fetus subs. fetus Aspartokinase C. coli cytolethal distending toxinC. jejuni dan C. coli outer membrane proteinCampylobacter sp. 400 894 650 816 126 450 323 435 500 - 1100 Nayak et al. 2005 Nayak et al. 2005 Trust et al. 1994; Eyers et al. 1993 Linton et al. 1997; Kulkarni et al. 2002 Rashid et al. 2000 Oyofo et al. 1992 Wang et al. 2002 Wang et al. 2002 Linton et al. 1997; Amri et al. 2007 Eyigor et al. 1999 Dedieu et al. 2004 31

2.5.2.2. Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay ELISA

Metode cepat secara immunochemical menggunakan antibodi merupakan uji yang sensitif untuk mendeteksi bakteri kontaminan pada bahan pangan Blankenfeld-Enkvist Brannback 2002. Metode cepat yang dapat dikembangkan antara lain uji latex-agglutination, immunodiffusion test, dan enzyme-linked immunoabsorbent assay ELISA. Uji latex-agglutination menggunakan antibodi yang dilapisi partikel lateks berwarna yang dapat mengidentifikasi secara cepat serologis atau isolat kultur murni bakteri. Adanya aglutinasi antaraantibodi dan antigen dapat dibaca secara visual. Uji immunodiffusion dilakukan dengan meletakkan sampel yang telah diinkubaskan dalam media enrichment pada matriks gel yang telah mengandung antibodi. Adanya antigen pada matriks akan menyebabkan presipitasi yang terlihat seperti garis. ELISA Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay adalah salah satu metode cepat secara biokimia yang digunakan sebagai uji imunologi untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel. Ciri utama teknik ini adalah menggunakan indikator enzim untuk reaksi imunologi Burgess 1995. Tahapan ELISA diawali coating yaitu adsorbsi secara pasif antibodi pada permukaan padat 96-well microtiter plate yang terbuat dari polyvinyl chloride atau polystyrene. Protein yang teradsorb pada permukaan plastik mengalami ikatan hydrophobic antara protein nonpolar dengan matriks plastik. Terjadinya ikatan antibodi pada permukaan plastik tergantung pada perbandingan volume antibodi yang dilarutkan dalam larutan bufer coating dengan luas permukaan matriks padat, konsentrasi larutan, temperatur, serta waktu inkubasi sehingga dapat ditentukan konsentrasi antibodi yang akan dicoating Burgess 1995; Crowther 2009. Jika protein yang digunakan untuk coating adalah murni, biasanya digunakan volume 50 µl dengan konsentrasi protein 1-10 µgml Crowther 2009. Konsentrasi protein yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penumpukan dan penebalan lapisan protein sehingga dapat mengganggu interaksi ikatan protein dengan matrik padat Crowther 2009 Gambar 7. Inkubasi dapat dilakukan pada temperatur 37 o C selama 1-3 jam atau pada 4 o C selama semalam.