BM dan Kondisi Sosial Budayanya

E. BM dan Kondisi Sosial Budayanya

Sejak jaman penjajahan Belanda, Jawa telah dijadikan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Hindia Belanda adalah nama Indonesia setelh dikuasai pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itulah terjadi berbagai perubahan sosial yang lebih canggih, masyarakat Jawa telah terbagi menjadi lebih banyak kelompok dibandingkan ketika sebelum perang kemerdekaan Murniati, 2004: 87. Di bawah Kolonialisme Belanda, politik diskriminasi dan pemaksaan budaya mengakibatkan berakarnya mentalitas inlander atau konsep rendah diri dalam masyarakat pribumi, terlebih pada kaum perempuan. Sebagai salah satu tokoh yang sadar elit dan retorika Kolonial, Soekarno berhasil mengungkapkan adanya manipulasi dan kesenjangan Kolonial dalam mengkonstruksikan mentalitas inlander pada masyarakat pribumi Ita, 2007: 9. Hal tersebut adalah merupakan bagian dari misi kolonial untuk menjajah wilayah Hindia. Culturstelsel yang terjadi pada abad ke-19 adalah landasan kuat proses legalitas klasifikasi rasial di Hindia Belanda. Jc Baud adalah salah satu pembentuk dan pelaksana culturestelsel, menegaskan bahwa bahasa, warna kulit, agama, moral, keturunan, ingatan historis dan semuanya adalah sepenuhnya berbeda antara orang-orang Belanda dan orang-orang Jawa. Orang Belanda adalah penguasa dan Jawa adalah yang dikuasai. Salah satu penegasan atas politik rasial ini dilakukan oleh Gubernur Jendral JJ Rochusen yang memerintah pada tahun 1848-1849. Ia mempertegas perbedaan biner antara penjajah dan yang dijajah dengan mengagung-agungkan keindahan kulit putih dan superioritas moral serta intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit cokelat. Sampai pada abad 19, asumsi dan klasifikasi rasial ini menjadi legal Ita, 2007: 59-60. Warna putih di Indonesia mempunyai makna yang positif daripada kulit berwarna. Goon dan Craven mengatakan bahwa secara garis besar, di Asia, putih adalah simbol dari kesucian, kebaikan, keindahan dan kemurnian. Selain itu secara garis besar, putih adalah simbol dari kebersihan, kecantikan, kesucian, kebaikan, dan derajat yang tinggi. Sebaliknya warna hitam identik dengan kotor, jelek, dosa, malam gelap dan sedih Ita, 2007: 15-16. Hal tersebut yang menyebabkan diskriminasi perempuan yang berawal dari pandangan mengenai warna kulit. Perempuan dalam pandangan tradisi Jawa tersubordinasi di bawah laki-laki. Perempuan dipandang hanya sebagai subyek yang terikat sistem patriakhat. Hal tersebut diungkapkan oleh Suhandjati 2001: 94 bahwa perempuan hanya bertugas mengurusi soal-soal domestik, yaitu urusan kerumahtanggaan. Oleh karena itu perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Di depan umum seorang istri tidak boleh lebih menonjol dari suami. Sampai sekarang pun masih tetap terdengar bahwa perempuan harus bisa macak berhias diri, masak memasak, dan manak beranak, yang merupakan tugas-tugas domestik bagi perempuan yang sudah berkeluarga, yaitu tugas-tugas internal kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, bagi orang Jawa perempuan dikatakan sebagai kanca wingking. Ideologi tersebut begitu kuat membelenggu perempuan dari kalangan masyarakat Feodal Jawa, sehingga mempunyai pengaruh yang sangat luas Murniati, 2004: 105. Pengaruh tersebut terealisasikan dalam berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pendidikan berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu dan dari tahun ke tahun. Kebanyakan para murid dari golongan pria saja, sedangkan gadis pribumi tidak seperti para gadis asing lainnya yang ikut mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi www.suaramerdeka.com. Saat itu situasi politik yang tak menentu dan ditambah pengaruh adat yang kuat menjadikan perempuan pribumi terbelakang dalam bidang pendidikan. Wanita semata-mata hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Setelah melanjutkan sekolah rendah, mereka menjadi gadis- gadis pingitan dan dipersiapkan untuk berumah tangga. Namun di sisi lain perempuan yang berasal dari keluarga petani dan buruh sebenarnya tidak banyak terikat oleh ajaran-ajaran raja-raja atau agama yang datang bersama kekuatan Kolonial. Mereka memiliki peran yang berbeda dengan perempuan Feodal atau kalangan atas. Mereka berperan dalam bidang sosial dan ekonomi. Otoritasnya dalam keluarga jauh lebih besar Murniati, 2004: 105. Dalam era VOC pada tahun 1600-an, masyarakat Eropa selalu memerlukan ijin untuk menikah. Garis pemisah utama dalam masa ini bukan ras melainkan agama. Karena keadaan tersebut, banyak laki-laki Eropa yang tidak pernah mengawini perempuan Asia, tetapi hidup dengannya sebagai gundik atau nyai. Larangan bagi orang Kristen mengawini perempuan yang bukan Kristen tetap berlaku bahkan setelah VOC tidak ada lagi. Pada tahun 1805 masih saja menjadi bahan perbincangan Hellwig, 2007: 35. Nyai merupakan budak perempuan bagi laki-laki Belanda. Budak perempuan biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang paling miskin. Mereka tidak berada pada posisi negosiasi atau dapat mengajukan tuntutan apa pun Hellwig, 2007: 36. Anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut juga digolongkan menjadi bagian masyarakat yang berbeda, yaitu masyarakat indo. Pada masa Kolonial, kesetaraan antara golongan kulit putih dan indo mustahil terjadi Hellwig, 2007: 26-27. James Peacock dalam Murniati mengatakan bahwa kedudukan dan peran perempuan di Indonesia diwarnai oleh sistem masyarakatnya. Secara garis besar, sistem masyarakat di Indonesia dikelompokkan menjadi sistem matrilineal, patrilineal, dan bilineal Getar Gender, 2004: 80. Perubahan ke tahap Feodalisme, menggeser kedudukan dan peranan perempuan lewat ajaran raja-raja dalam suatu wilayah. Kolonialisme dan Imperialisme mendorong semakin kuatnya budaya patriarkhi, atau membuat kedudukan perempuan semakin rendah. Rendahnya pendidikan pada akhirnya juga menjebak perempuan pada golongan bawah ke dalam sistem patriarkhi yang kuat Murniati, 2004: 84. Akar patriakhi di Indonesia bersumber dari beberapa aspek, yaitu: sosiologi atau pembagian kerja dan fungsi masyarakat, kebudayaan feodalisme dan ajaran agama, tradisi atau adat istiadat, politik kolonialisme, imperialism, dan militerisme, ekonomi atau kapitalisme Murniati, 2004: 85.

F. Diskriminasi terhadap Perempuan