Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan BM: 119.
Perempuan dalm masyarakat taradisional jarang diberi kesempatan untuk berpendapat baik dalam lingkungan keluarga
maupun di masyaraktnya. Keputusan dalam keluarga dan masyarakat lebih banyak ditentukan oleh kaum laki-laki. Hal tersebut
menunjukkan tidak adanya ruang demokrasi bagi perempuan sehingga memposisikannya sebagai anggota masyarakat yang selalu tergantung
kepada setiap keputusan yang berlaku dalam keluarga. Masyarakat Eropa juga mendukung prasangka yang bias gender terhadap
perempuan pribumi dan melakukan mereka secara diskriminatif.
3. Hukum dan Politik
Hukum membedakan masyarakat berdasarkan ras dan melakukan diskriminasi di dalamnya bahkan prakteknya lebih
berorientasi pada kepentingan kolonial. Hukum kolonial merupakan sistem yang dianut seluruh masyarakat di Hindia namun sifatnya tidak
memihak kepada pribumi. … dia bilang: Annelies Millema berada di bawah hukum Eropa,
Nyai tidak. Nyai hanya pribumi. Sekiranya dulu Juffouw Annelies Millema tidak diakui Tuan Millema, dia pribumi dan
pengadilan putih tidak punya suatu urusan.. BM: 488. Sah atau tidaknya seorang anak dalam perkawinan campur pun
tergantung dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut dalam hukum kolonial. Kaum pribumi juga tidak memposisikan pribumi sebagai
masyarakat yang memiliki hak yang sama, terutama terhadap kaum perempuan yang menjadi nyai sehingga mereka kerap menjadi korban.
Derai tawa semakin meriah, mengejek, lebih demonstratif juga jaksa, juga hakim tersenyum senang dapat melakukan siksaan
batin atas diri wanita pribumi yang banyak diiri oleh perempuan-perempuan Totok dan Indo Eropa tersebut BM:
425. ...di bawah larangan hakim yang memaksanya menggunakan
Jawa- BM: 426. Cuplikan tersebut menunjukkan adanya diskriminasi terhadap
perempuan dalam bidang hukum ketika NO dilarang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar dan dipermalukan di pengadilan.
Kekuasaan laki-laki atas perempuan ini berproses mencipatakan ketidakadilan gender dalam berbagai macam bentuk. Ketimpangan itu
pula yang menyebabkan perempuan diposisikan subordinat, sehingga menghalalkan tersingkirnya perempuan dari posisi-posisi tertentu
Getar Gender, 2004: 152-153. Hukum Kebapakan itulah yang berperan dalam perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan
karena bentuk-bentuk keputusan serta pembagian haknya berorientasi kepada kaum laki-laki.
Aku akan bergerak di lapangan politik, Minke. Cuma sayang sekali Nederland Belanda belum membenarkan seorang wanita
jadi angota Tweede Kamer BM: 288.
Hukum Kolonial juga menempatkan perempuan Belanda dalam posisi subordinat. Seperti yang pernah dinyatakan Mariam de la croix,
cita-citanya menjadi anggota Tweede Kamer perwakilan rakyat tidak mendapat ijin karena perempuan di Belanda pada saat itu tidak
mengijinkan kaum perempuan menempati posisi di bidang politik. Pengambilan keputusan dalam hal politik dipegang oleh kaum laki-laki
dan melarang perempuan mengeluarkan apresiasinya di ruang gerak pemerintahan BM: 288.
Annelies Millema berada di bawah hukum Eropa, Nyai tidak. Nyai hanya pribumi BM: 488.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum Belanda yang berlaku di masyarakat memarginalkan perempuan pribumi terlebih mereka
yang menjadi perempuan simpanan sebab posisinya yang setara dengan budak. Hukum Belanda bersifat tidak melindungi perempuan
pribumi. Kaum feminisme marxisme berpendapat bahwa perempuan adalah kelas yang tertindas sebab mereka berada dalam kondisi budaya
yang menindas dan membuat posisnya termarginalkan. “Dengan campur tangan pengadilan hukum justru tidak
mengakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak- anakku lagi, walau mama ini yang melahirkan” BM: 136.
Nyai yang berasal dari keluarga priyayi biasanya diserahkan oleh ayahnya kepada orang Belanda atau pun orang Eropa lainnya
untuk mengamankan kedudukan dan jabatan sang ayah Prisma, 1994: 27 seperti halnya yang dialami oleh tokoh NO dalam BM. Tokoh NO
berasal dari keluarga yang terpandang di mata masyarakat sekitarnya. Demi meningkatkan jabatan sebagai kasir, NO dijual kepada
administratur Belanda bernama Herman Millema. Sanikem adalah anak perempuan dari Sastrotomo dan berasal dari Tulungan.
Kehidupan sehari-hari Sastrotomo adalah sebagai pegawai di pabrik gula dan menjadi juru tulis.
Awal mula tinggal dengan Herman Millema Sanikem masih merasa kehilangan harga dirinya, namun ketekunannya mempelajari
banyak hal dan bekerja mengurus perusahaan Herman, Sanikem berkembang
menjadi pribadi yang
mandiri hingga
mampu mengembalikan harga dirinya kembali. Kehidupan keluarganya
tergolong baik, ia memiliki dua orang anak dan perusahaannya pun berkembang pesat. Kehidupan keluarga yang semula stabil mulai
berubah ketika Maurist Millema datang mengganggu keluarga NO. Sebagai seorang anak sah Herman Millema ia menuntut haknya dan
ibunya sebagai istri sah. Sikap diskriminatif juga terjadi ketika Maurist Millema datang ke Boerderij Buitenzorg untuk menuntut haknya
sebagai keluarga sah Millema dan bersikap melecehkan NO. “Tak ada urusan dengan kowe, Nyai,” jawabnya dalam Melayu,
diucapkan sangat kasar dan kaku, kemudian ia tak mau melihat padaku lagi.
“Tuan Millema” katanya lagi dalam Belanda, tetapi tak menggubris aku. “Biar pun Tuan kawini nyai, gundik ini,
perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen, Dia Kafir…….Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah mencampurkan
darah Kristen Eropa dengan darah kafir berwarna dosa tak
terampuni” BM: 146.
Penghinaan Maurits terhadap NO menunjukkan bahwa berhubungan dengan seorang nyai sangat rendah di mata masyarakat
Belanda dan dianggap sebagai pelanggaran dosa agama Kristen. NO merasa sejak itu kehidupan keluarganya mulai tidak stabil. Herman
Millema sebagai pemilik perusahaan tiba-tiba menjadi pendiam dan sering tidak berada di rumah. Peristiwa tersebut mengungakapkan
bahwa hubungan dengan seorang nyai adalah kesalahan yang besar dan menganggap anak-anak yang dihasilkan adalah anak haram sehingga
menimbulkan keretakan dalam rumah tangga. Hubungan NO dan Millema sebatas seperti seorang tuan dan pembantunya sementara
seorang nyai dituntut untuk melakukan tugas sebagai istri meskipun tidak dinikahi secara sah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Eropa
memiliki hukum tidak bersifat melindungi perempuan pribumi. Tindakan demikian membuat NO merasa tidak dihargai sebagai
perempuan BM: 139. Dalam mendengarkan itu terngiang-ngiang kata-kata Bunda:
Belanda sangat, sangat berkuasa, namun tidak merampas istri orang seperti raja-raja Jawa. Bunda? Tidak lain dari
menantumu, istriku, kini terancam akan mereka rampas, merampas anak dari ibunya, istri dari suaminya, dan hendak
merampas juga jerih payah Mama selama lebih dari duapuluh tahun tanpa mengenal hari libur. Semua hanya didasarkan pada
surat-surat indah jurutulis-jurutulis ahli, dengan tinta hitam tak luntur yang menembus sampai setengah tebal kertas BM:
487.
Cuplikan tersebut menjelaskan bahwa Hukum Kolonial tidak memperhitungkan segi hak asasi perempuan pribumi karena posisinya
adalah budak atau nyai dari seorang laki-laki Belanda. Hukum Kolonial tidak memperhitungkan hak-hak perempuan bahkan dalam
pengakuan terhadap anak kandung dan pendapatan selama bekerja.
4. Keberagaman Agama