atas dan bawah, pembedaan manusia, pewarisan nasib rendah manusia dan kekerasan pada manusia.
4. Tineke Hellwig dalam In The Shadow of Change juga melakukan penelitian mengenai karya Pramoedya yaitu mengenai BM dan Gadis
Pantai pada tahun 2003. Hellwig mengungkapkan citra perempuan dalam ketidakadilan situasi pada masa Kolonialisme dan Feodalisme dalam
penelitiannya. Minke sebagai tokoh utama dalam novel BM merupakan narator yang menceritakan kisah NO dan Annelies yang menjadi korban
kekerasan sistem Kolonial dan Feodal yang bersifat patriarkhat. Kekerasan tersebut disebabkan pula oleh pandangan negatif masyarakat
mengenai citra seorang nyai. Menurut Hellwig pola kekuasaan yang ditampilkan dalam BM merupakan faktor pendorong terjadinya citra
negatif dan diskriminasi yang menimbulkan dampak kekerasan terhadap kaum perempuan. Kekuasaan tersebut adalah: kekuasaan Kolonial orang
kulit putih atas orang Jawa, kekuasaan Patriarkhal atas perempuan dan kekuasaan orang tua atas anak-anaknya.
B. Sekilas Tentang Pengarang
Pramoedya Ananta Toer merupakan sastrawan asal Blora dan juga lahir di Blora pada tanggal 6 Februari 1925. Ia merupakan anak sulung dari
sebuah keluarga bertradisi Islam dan Nasionalis. BM merupakan salah satu karyanya yang terinspirasi dari sosok wartawan Indonesia pertama bernama
R.M. Tirto Adi Soerjo yang tercermin dari tokoh Minke. Sebagai orang Jawa
dari Blora, ia mengidentikkan dirinya dengan Samin Surosentika Peletak dasar ajaran ‟Samin‟ dalam setiap karyanya.
Pramoedya Ananta Toer berasal dari keluarga yang cukup dihormati di mata masyarakat. Meskipun status sosial kedua orang tuanya cukup tinggi
dan terpandang, keluarga Toer bukanlah keluarga yang kaya sehingga ibunya mesti mengerjakan banyak pekerjaan rumah bahkan juga memelihara
bermacam-macam ternak dan menerima jahitan untuk mencari tambahan penghasilan. Sejak kecil, ibunya selalu mendidik Toer dan adik-adiknya
dengan berulang-ulang mengingatkan mereka menjadi orang yang bebas merdeka dan bermartabat. Nasihat Saidah membuat Toer tumbuh menjadi
mandiri dan tidak pernah meminta-minta. Ibunya juga yang membuatnya mau mengejar ketertinggalannya di sekolah. Ia juga mengingat baik nasihat
ayahnya yang menyatakan bahwa hidup adalah perjuangan dan segala hal adalah pergulatan www.antaranews.com. Teeuw mengungkapkan bahwa
humanisme dan humanitas, universal, proletaris, individual atau modern, marxisme, dan realisme sosialis merupakan label-label yang melekat pada
diri Pramoedya di masa yang berbeda-beda dan dalam konteks sosial yang berlainan yang dikenakan padanya atau dipergunakan oleh dirinya sendiri.
Semua itu penerapan dari konsep benar, adil, baik dan indah Kurniawan, 2003: 13.
Karya-karya Pramoedya dekat sekali dengan analisis historis, ia menjadikan paparan peristiwa-peristiwa sejarah maupun pengalaman hidup
pribadinya sebagai setting konflik-konflik yang menjadi tema karya
sastranya. Blora, masa penjajahan Jepang, revolusi kemerdekaan, agresi militer Belanda I dan II, atau Perang Dunia II menjadi pilihan setting yang
menawan dalam novel maupun cerpen Pramoedya. Tetralogi ‟Pulau Buru‟- nya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca
ditulis dengan latar belakang sejarah pergerakan nasional Indonesia dari rentang sejarah 1898-1918. Disebut tetralogi karena keempat novelnya
merupakan rangkaian kisah sejarah pergerakan yang diperankan oleh tokoh yang sama, yaitu Minke. Sedangkan Arus Balik ditulisnya dengan latar
belakang masuknya Islam ke tanah Jawa pada tahun 1990-an. BM adalah novel pertama dari tertralogi cerita dari pulau Buru yang
banyak dikenal sebagai karya masterpiece Pramoedya. Tiga novel lainnya adalah Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. BM diterbitkan
oleh Lentera Dipanatara pada tahun 1980. Karya ini menghadirkan perempuan dalam nuansa perjuangan. Kehadiran tersebut diindikasikan
dengan penggambaran karakter atau watak tokoh-tokohnya yang berkembang sesuai proses yang panjang dan penuh problematika. Tema besar BM adalah
pertentangan kelas antara pribumi dengan dua kubu, yaitu Kolonialisme Belanda dan Feodalisme di dalam budaya pribumi, yaitu budaya Jawa.
Pertentangan kelas tersebut menyebabkan berbagai konflik yang terjadi. Salah satu konflik tersebut berupa ketidakadilan dalam berbagai segi
kehidupan. Kolonialisme tidak hanya menindas pribumi tetapi juga kaum perempuan. BM berlatar belakang kota Surabaya dan Blora, namun dalam
novel tersebut setting lebih banyak di Surabaya pada tahun 1800-an.
Kehidupan masyarakat yang melatarbelakangi adalah masyarakat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu pribumi dan kolonial. Budaya yang
melatarbelakangi masyarakatnya adalah budaya Jawa. Secara keseluruhan novel atau karya-karya Pramoedya Ananta Toer
yang diketahui penulis menurut urutan tahun terbit adalah sebagai berikut: a.
Karya nonfiksi: 1.
Mari Mengarang 1954, tidak jelas keberadaannya di tangan penerbit,
2. Sejarah Bahasa Indonesia, Satu Percobaan 1964,
3. Realisme Sosialis Dan Sastra Indonesia 1963,
4. Sikap Dan Peran Intelektual Di Dunia Ketiga 1981,
b. Karya fiksi:
1. Sepuluh Kepala Nica 1946, namun hilang di tangan penerbit
Balingka, Pasar Baru, Jakarta 1947 2.
Kranji-Bekasi Jatuh 1947, fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi, 3.
Perburuan 1950, pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949,
4. Keluarga Gerilya 1950,
5. Subuh 1951, kumpulan 3 cerpen,
6. Percikan Revolusi 1951, kumpulan cerpen,
7. Mereka Yang Dilumpuhkan I II 1951,
8. Bukan Pasar malam 1951,
9. Di Tepi Kali Bekasi 1951, dari sisa naskah yang dirampas Marinir
Belanda pada 22 Juli 1947, 10.
Dia Yang Menyerah 1951, kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen,
11. Cerita Dari Blora 1952, pemenang karya sastra terbaik dari Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953, 12.
Gulat Di Jakarta 1953, 13.
Midah Si Manis Bergigi Emas 1954, 14.
Korupsi 1954, 15.
Cerita Dari Jakarta 1957, 16.
Cerita Calon Arang 1957, 17.
Sekali Peristiwa Di Banten Selatan 1958, 18.
Panggil Aku Kartini Saja 1963, dibakar oleh AD 13 Oktober 1965,
19. Kumpulan Karya Kartini 1963, dibakar oleh AD 13 Oktober
1965, 20.
Wanita Sebelum Kartini 1963, dibakar oleh AD 13 Oktober 1965,
21. Gadis Pantai 1962-1965,
22. Lentera 1965, tidak jelas nasibnya di tangan penerbit,
23. Bumi Manusia 1980, dilarang Jaksa Agung,
24. Anak Semua Bangsa 1981, dilarang Jaksa Agung,
25. Tempo Doeloe 1982, antologi sastra pra-Indonesia,
26. Jejak Langkah 1985, dilarang Jaksa Agung,
27. Sang Pemula 1985, dilarang Jaksa Agung,
28. Rumah Kaca 1988, dilarang Jaksa Agung,
29. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I 1995,
30. Arus Balik 1995,
31. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II 1997,
32. Arok Dedes 1999,
33. Mangir 2000,
34. Larasati 2000,
35. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels 2005.
Karya-karya Pramoedya, seperti halnya karya-karya sastra yang lain, relatif tidak pernah lepas dari pembahasan mengenai perempuan, namun peneliti
mengambil beberapa contoh karya Pramoedya yang membahas perempuan sebagai bahan perbandingan terhadap BM, yaitu : Gadis Pantai, Larasati, dan
Midah si Manis Bergigi Emas. Dalam novel Gadis Pantai, perempuan digambarkan sebagai kaum
pribumi dalam posisi tertindas oleh sistem feodalisme sesuai dengan temanya, yaitu pertentangan status sosial. Perempuan dalam Gadis Pantai
berkarakter lugu dan penuh kebebasan karena hidup dari latar belakang lingkungan masyarakat pantai Gadis Pantai, 1987: 19. Sejak dipaksa
menjadi istri percobaan Bendoro dan menjalani kehidupan baru di dalam istana, Gadis Pantai merasa tertekan oleh banyak aturan yang diterapkan
padanya. Ia merasa kemerdekaan hidupnya direnggut oleh sebuah sistem kekuasaan. Hal tersebut menimbulkan suatu proses perenungan dan pada
akhirnya muncul keberanian untuk melakukan perlawanan meskipun
mengalami kekalahan. Kekalahan yang dialami oleh Gadis Pantai adalah tidak mendapatkan hak menjadi ibu bagi anak kandungnya sendiri dan diusir
dari rumah Bendoro Gadis Pantai, 1987: 253. Novel tersebut memiliki persamaan dengan BM yaitu mengungkap kehidupan perempuan tertindas
yang bernasib menjadi istri tidak resmi seorang penguasa. Nasib yang sama dialami oleh Larasati, yaitu sempat menjadi gundik
orang Arab pada masa Revolusi sebagai simbol kekalahan nasional dan harga diri. Larasati merupakan novel berlatar revolusi dengan seorang aktris
bernama Larasati sebagai tokoh utamanya. Larasati dalam perjuangannya juga mengalami diskriminasi ketika ia tidak diperkenankan ikut berjuang di
medan perang karena ia seorang perempuan. Diskriminasi dan perasaan rendah diri membuat ia jatuh ke tangan orang Arab yang membuatnya
menjadi gundik. Sedangkan dalam novel Midah si Manis Bergigi Emas perempuan digambarkan menjadi korban diskriminasi dan kekerasan di
lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Tokoh Midah dalam novel tersebut menunjukkan berbagai diskriminasi terhadap perempuan di dalam lingkungan
keluarga hingga di lingkungan masyarakat di luar rumah. Kisah Midah diakhiri dengan kekalahan moral setelah pulang kembali ke rumahnya.
Kekalahan moral tersebut ditunjukkan dengan diserahkannya anaknya yang masih bayi kepada orang tuanya sementara ia memutuskan untuk pergi dari
rumah dan mengembara karena merasa tidak pantas menjadi ibu yang baik. Karya tidak lepas dari konteks sosial pengarang, seperti yang
dijelaskan Watt dalam Faruk, bahwa ada tiga hal yang dapat dijadikan
landasan untuk mengkaji konteks sosial pengarang, yaitu: bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, sejauh mana pengarang
menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan masyarakat seperti apa yang dituju pengarang Faruk, 2005: 4. Konteks sosial tersebut juga
ditemukan pada latar belakang Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya menjadi pengarang sejak masa kecilnya dan belajar
secara otodidak. Dalam profesi kepengarangannya, ia terinspirasi beberapa pengarang besar seperti: John Steinbeck, William Soroyan, Lode Zielen dan
terutama Maxim Gorki Kurniawan, 2002: 8. Sebagian besar karyanya memperlihatkan sikap keadilannya yang kritis dan cenderung fanatik dengan
ketidakadilan dan penindasan Kurniawan, 2002: 9. Sebagai tokoh Lekra Lembaga Kebudayaan Rakyat karyanya terkait dengan aliran realisme
sosialis yang dekat dengan paham kerakyatan Kurniawan, 2002: 11. Ia merupakan pengarang yang menghabiskan seluruh hidupnya dengan menulis.
Sebagai tokoh Lekra ia memokuskan tema-tema ceritanya pada rakyat dari golongan kelas menengah ke bawah.
Pramoedya menempatkan sosok perempuan sebagai inspirator utama dalam karya-karyanya. Ibu Pramoedya sendiri adalah seorang perempuan
yang lembut hati dan pada waktunya dapat menjadi keras dan tegas. Ia merupakan sosok yang paling dicintainya dengan tulus Kurniawan, 2002:
17. Karena kecintaannya tersebut, karakter demikian tercermin dalam karya- karyanya yang membahas perempuan. Kisah mengenai ketertindasan
perempuan juga terinspirasi dari sejarah hidup nenek Pramoedya yang direfleksikan dalam novel Gadis Pantai.
Seorang pengarang ketika menuangkan pikiran, harapan, gagasan dan perasaannya sekaligus menyusun ke dalam bentuk tulisan, melakukan
juga kontempelasi terhadap kejadian-kejadian atau gejala yang berkaitan dengan kehidupan manusia Kramadibrata, 2003: 65. Sedangkan dalam
merancang karyanya, pengarang tidak lepas dari pengamatannya mengenai sejarah yang berlangsung. Hal ini sejalan dengan pernyataan Warren dan
Wellek bahwa sebagai dokumen sosial, sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial Wellek dan Werren, 1989: 122. Pengarang sebagai
pencipta karya sastra mengemukakan ide, renungan dan pemikiran mengenai peristiwa yang dialaminya, oleh sebab itu karya tidak dapat lepas dari
kenyataan sosial pada waktu berlangsungnya sebuah cerita, sehingga karya sastra dipercaya mampu merefleksikan zamannya.
Bagi Pramoedya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Menurut Eka Kurniawan, Pramoedya menganut paham Realisme Sosialis,
namun menurut pernyataan Pramoedya, ia tidak semata-mata mendukung paham tersebut. Hal tersebut dikatakan dalam wawancaranya di majalah
TEMPO. Pramoedya tampil menjadi diri sendiri yang terpisah dari kriteria kepengarangan, namun sebagai pengarang ia tidak lepas dari pengalaman
yang terjadi dari lingkungannya. Karya-karya yang diterbitkan bukan tidak memiliki tujuan. Bagi Pramoedya keindahan karya sastra terletak pada
perjuangan melawan penindasan dan keterpurukan akibat penjajahan. Nuansa
perjuangan melawan kolonial yang ditampilkan Pramoedya terinspirasi dari pengalamannya selama ditindas oleh sistem yang membuatnya menjadi
tahanan politik selama berturut-turut. Karena seringnya Pramoedya menyampaikan pesan perjuangan
melalui tokoh perempuan, Aveling mengatakan bahwa Pramoedya seorang feminis, namun sebagai pengarang laki-laki, beberapa hal dari karyanya
nampak terdapat segi superioritas laki-laki yang mampu mengalahkan keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam karyanya. Terbukti dalam
penggambaran tokoh Minke yang selalu dicintai beberapa tokoh perempuan dalam BM.
…Nyai telah menceritakan asal muasal sakitnya, dan minta dengan amat sangat, bukan sekedar menganjurkan seperti dulu, agar aku
segera datang sesuai dengan nasihat dokter. Kata dokter Martinet, tanpa kehadiranku Annelies tak punya harapan sembuh, boleh jadi
akan semakin melarut BM: 291.
Cuplikan tersebut menunjukkan bahwa sebagai laki-laki ia adalah orang yang bertanggungjawab, para perempuan dalam BM tersebut
membutuhkan sosok laki-laki sebagai pelindung dan penyelamat keluarga dan perusahaan. Kehadiran Minke sebagai tokoh utama laki-laki terkesan
menjadi sumber kebahagiaan dan keselamatan perusahaan NO dan Annelies. Selain itu, sebagai tokoh utama, Minke merupakan sosok inspiratif dan
gambaran pribumi yang memilki harga diri dan semangat perjuangan. Gaya penulisan Pramoedya juga tidak lepas dari faktor budaya
Samin. Pramoedya Ananta Toer berasal dari daerah Blora Jawa Tengah. Blora merupakan daerah yang mempunyai kelompok masyarakat khas yang
berani menentang pemerintah. Kelompok masyarakat tersebut dinamakan masyarakat samin. Disamping bertradisi Jawa, masyarakat samin terbentuk
oleh penyatuan visi dan misi ajaran Saminisme. Ajaran Samin Saminisme yang disebarkan oleh Samin Surosentiko
1859-1914, adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya Kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa
penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan
Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati di Blora pada saat itu www.wikipedia.com.
Kondisi masyarakat seperti inilah yang sendikit mempengaruhi pengarang dalam menulis karyanya. Karya-karya Pramoedya sarat dengan
unsur perjuangan melawan sistem yang menindas dan tidak adil. Hal tersebut sejalan dengan kondisi masyarakat samin yang anti kolonialisme sebab
kolonialisme adalah sistem yang menjajah dan merugikan rakyat. Kondisi sosial budaya pada masyarakat samin berpengaruh pada karakter tulisan
Pramoedya yang bernada tegas menentang ketidakadilan.
C. BM dalam Perspektif Sosiologi Sastra