Perspektif Budaya Jawa terhadap Kaum Perempuan

Cuplikan tersebut merupakan perkataan NO kepada Annelies yang menunjukkan posisi NO di depan hukum Kolonial. Perempuan pribumi yang menjadi gundik orang Eropa tidak dilindungi oleh hukum yang berlaku. Mereka tidak memiliki hak untuk tinggal dan mengakui anak-anak kandung mereka. NO merupakan contoh dari korban ketidakadilan hukum tersebut karena ia adalah pribumi. Meskipun NO yang mengelola perusahaan milik Herman Millema, ia tidak mempunyai hak pembagian harta secara hukum karena ia adalah pribumi.

2. Perspektif Budaya Jawa terhadap Kaum Perempuan

Masyarakat feodal telah mengenal sistem pergundikan sebelum kolonial Belanda datang, yaitu di lingkungan kerajaan. Di samping mempunyai banyak istri, raja juga mempunyai istri tidak sah yang disebut dengan selir. Setelah sistem masyarakat feodal terserap ke dalam sistem masyarakat kolonial, perempuan bumi putra yang dulu dipergundik kaum bangsawan kini menjadi gundik pejabat kolonial, yang disebut dengan nyai Prisma, 1994: 26. Feodalisme adalah pola kepemimpinan yang berpusat pada seorang raja. Dalam masyarakat feodal raja atau laki-laki adalah orang yang berkuasa dan memiliki wewenang yang tidak terbatas dalam menentukan bawahannya. Pola-pola yang demikian akhirnya menyebar pada masyarakat di sekitar kerajaan. Baik Kolonialisme maupun Feodalisme adalah sistem yang bersifat patriarki, sebab kekuasaan dijalankan oleh kekuasaan yang dipegang oleh laki-laki. Pola kekuasaan feodal yang patriarkhi menyebabkan perempuan menjadi korban. “Seorang Eropa, Eropa Totok, telah membeli diriku dari orang tuaku,” suaranya pahit mengandung dendam yang tak tertebus dengan lima istana.”Aku dibeli untuk dijadikan induk bagi anak- anaknya” BM: 341. Sanikem dijual ayahnya hanya untuk kepentingan jabatan, sebab bagi masyarakat feodal Jawa, jabatan adalah faktor terpenting agar mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat Jawa khususnya di Jawa Timur saat itu, jabatan adalah sesuatu yang menjadi ciri gaya hidup kalangan priyayi. Demi jabatan tertentu, orang bahkan rela menjual harta benda bahkan anak gadisnya sendiri. Selain itu Sanikem adalah salah satu contoh perempuan Jawa yang terikat sistem feodal yang bersifat patriarkhat. Perempuan pada saat itu mendapat kewajiban-kewajiban khusus dalam keluarga. Ketika dewasa ia dipingit dan menunggu lamaran dari seorang laki-laki pilihan kedua orang tuanya. Sementara itu dia harus belajar menjadi seorang istri yang baik dan tunduk pada suami dalam pandangan Jawa. Budaya Jawa cenderung menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, tugasnya di dalam rumah tangga diidealkan pada sektor domestik, yaitu merawat diri, memasak, melayani suami dan mengurus anak. Kondisi biologis perempuan nampaknya dijadikan alasan untuk melegalkan hal tersebut sehingga mereka harus tinggal di dalam rumah dan tidak bekerja di sektor publik. Aku sendiri masih termangu melihat perempuan meninggalkan dapur rumah tangga sendiri, berbaju – kerja, mencari penghidupan pada perusahaan orang, bercampur dengan pria Apa ini tanda jaman modern di Hindia? BM: 44. Cuplikan tersebut menunjukkan bahwa tidak lazim bagi perempuan pribumi Hindia pada saat itu meninggalkan rumah dan bekerja di luar rumah terlebih bercampur dengan laki-laki. Tugas perempuan bagi masyarakat pribumi Hindia adalah berada di dalam rumah. Saat itu tidak banyak perempuan yang bekerja di luar rumah mengurus perusahaan kerena faktor kebudayaan menuntut perempuan menjadi ibu rumah tangga. Faktor intern diindikasikan dari kondisi psikologi tokoh-tokoh perempuan dalam BM. Dalam kajian feminisme faktor psikologi perempuan menjadi pertimbangan untuk membahas masalah tindak diskriminasi. Pelabelan bahwa perempuan lemah dan laki-laki kuat mempengaruhi faktor kejiwaan seseorang yang dibawa dalam berbagai bidang kehidupan. Sanikem, Ibu Sanikem dan Bunda adalah perempuan yang terikat tradisi masyarakat Feodal Jawa yang menempatkan mereka dalam posisi liyan. Masyarakat pribumi rata-rata memberi label negatif pada perempuan yang menjadi nyai. Seorang nyai dianggap sebagai perempuan yang memiliki tingkat budaya dan kesusilaan yang rendah BM: 38,75. Begitu juga yang terjadi pada NO. Meskipun dari segi bakat dan materi NO adalah perempuan luar biasa dan mampu memimpin perusahaan, namun di sisi lain bagi masyarakat tertentu, NO dipandang sebagai perempuan yang tuna susila. Pandangan negatif juga terjadi dalam keluarga Minke, yaitu pandangan ayahnya terhadap perempuan yang menjadi nyai, seperti dalam cuplikan berikut: “Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai? Kalau tuannya jadi mata gelap dan kau ditembak mati, mungkin di hajar dengan parang, atau pedang.. bagaimana akan jadinya?...” BM: 185. Sebelumnya Minke berpandangan bahwa seorang nyai juga merupakan masyarakat yang memiliki kadar kesusilaan rendah. Bukan hanya Mefrouw Telinga atau aku, rasanya siapapun tahu, begitulah tingkat susila keluarga nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Namun pada perkembangannya Minke menyadari bahwa pola pikirnya harus adil dalam memandang sesuatu termasuk terhadap kaum perempuan yang ditemuinya. Orang luar sebagian memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang nyai, seorang gundik. Atau orang menghormatinya karena kekayaannya. Aku melihatnya dari segi lain lagi: dari segala apa yang ia mampu kerjakan, dari seg ala apa yang ia bicarakan….. Cuplikan tersebut menunjukkan bahwa Minke memandang perempuan pribumi yang menjadi nyai secara obyektif. Karena kecerdasan dan kepribadiannya, sosok NO menjadi inspirasi Minke dalam menyadari pentingnya melawan dan berjuang untuk memperoleh martabat yang sama.

3. Perspektif Masyarakat Kolonial terhadap Kaum Perempuan