Dampak Diskriminasi terhadap Perempuan secara Sosial Budaya

akhirnya menjadi tergantung kepadanya. Dalam pandangan feminis, NO memiliki kualitas sebagai perempuan yang sukses karena mampu melindungi diri sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan optimis. Keoptimisan NO juga terlihat dengan bagaimana ia berjuang mempertahankan Annelies meskipun pada akhirnya mengalami kegagalan BM: 535.

C. Dampak Diskriminasi terhadap Perempuan dalam BM

Diskriminasi yang terjadi dalam BM menimbulkan dampak yang dialami oleh tokoh perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Tokoh- tokoh perempuan dalam novel BM yang merasakan dampak tersebut adalah NO, Annelies, ibu Sanikem NO, Magda Petters, Mariam de la croix, serta beberapa tokoh perempuan yang disebut dalam BM meskipun tidak dijelaskan secara detil. Dampak diskriminasi terhadap perempuan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Dampak Diskriminasi terhadap Perempuan secara Sosial Budaya

Dalam keluarga anak perempuan dibiasakan berperan sebagai istri dan ibu, selain itu ditanamkan juga nilai-nilai tentang bagaimana menjadi patuh, menyenangkan orang lain, harus banyak diam, dan sebagainya. Dari keluarga kerajaan, pola pendidikan seperti itu merebak hingga masyarakat sekitar. Keluarga juga merupakan faktor penting menanamkan nilai-nilai termasuk pola-pola Feodalisme. Di samping keluarga masyarakat juga berpengaruh dalam penanaman nilai-nilai Feodalisme yang mendiskriminasikan perempuan. Ketika Minke harus menghadap ibunda, berarti menunjukkan bahwa pendidikan anak sepenuhnya dibebankan kepada seorang ibu. Anak lelaki juga menjadi korban pembedaan gender jika ia sudah dituntut untuk menjadi pemimpin. Dibuktikan dengan diharuskannya Minke mengenyam pendidikan di HBS sekolah setingkat SMU yang didirikan oleh pemerintah Belanda dan diharuskan menjadi Bupati setelah lulus, sedangkan saudara-saudara perempuannya wajib di dalam rumah. Hal tersebut juga berlaku dalam masyarakat Jawa pada saat itu. Dampak negatif diskriminasi perempuan dapat dilihat dari kehidupan masa lalu Sanikem NO. Diskriminasi yang disebabkan oleh tradisi masyarakat dan keluarga membuatnya tidak dapat berkembang dan terbelakang secara pendidikan. Sebagai anak perempuan ia harus menuruti apapun permintaan orang tua seperti halnya yang diajarkan oleh sistem Feodalisme Jawa yang bersifat patriarkhat. Diskriminasi semacam itu membuat Sanikem menjadi alat penukar jabatan ayahnya, Sastrotomo, karena dalam keluarganya perempuan hanya diarahkan menjadi ibu rumah tangga dan kecenderungan sebagai budak. “Ikem, kau tidak keluar dari rumah ini tanpa seijin Tuan Besar Kuasa. Kau tidak akan kembal i ke rumah tanpa seijinku.” BM: 123. Cuplikan tersebut menunjukkan adanya tekanan pihak ayah dan orang Belanda yang mengambilnya sebagai gundik. Disebut perbudakan karena ia diharuskan menuruti perintah ayahnya dan Herman Millema. Posisi NO dalam masyarakat menduduki kelompok masyarakat marginal dan selalu mendapat perspektif negatif. Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibanya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa badan diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan syah BM: 128. Nilai-nilai budaya yang menempatkan perempuan pada posisi rendah tidak saja mempengaruhi sistem dalam keluarga tetapi juga masyarakat secara luas. Sekolah dan media masa merupakan dua lembaga sosialisasi yang terpenting dalam masyarakat Basis, 1996:21. Pribumi menganggap nyai adalah perempuan tuna susila dan pada akhirnya tidak diakui keberadaannya di masyarakat. Di sisi lain NO merupakan sosok yang dikagumi karena kesuksesanya mengelola perusahaan besar dan perkembangan dirinya yang menjadi perempuan luar biasa meskipun belajar dengan otodidak. Perempuan yang menjadi korban pernyaian di Hindia hampir tidak memiliki pergaulan dengan masyarakat sekitar baik pribumi maupun Belanda sebab pelabelan negatif membuat kondisi menjadi demikian. Terbukti bahwa hampir lima tahun NO tidak menerima tamu keluarga sampai ia bertemu dengan Minke, hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga NO terpisah dari kehidupan umum di masyarakat. “Dan aku ragu, haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi ia seperti wanita pribumi-jadi aku harus tidak peduli?”BM: 33 Pernyataan yang dipikirkan tokoh Minke saat bertemu pertama kali dengan NO menunjukkan anggapan yang dirasakan masyarakat pada saat itu terhadap kedudukan perempuan pribumi. Sikap tidak peduli menunjukkan adanya anggapan diskriminatif terhadap posisi perempuan. Diskriminasi perempuan dalam keluarga membuat ibu Sanikem akhirnya kehilangan anak kandungnya sendiri. Ia tidak berhasil membela Sanikem di depan Suratomo. Diskriminasi dalam keluarga membuat pendapatnya tidak didengar dan dipertimbangkan. Ibu Sanikem hanya dapat menangis dan pasrah ketika Sanikem dijual kepada Herman Millema BM: 199, 121. Pada akhirnya sikap demikian membuatnya tidak diakui sebagai ibu berpisah dengan Sanikem secara batin karena ketidakmampuan tersebut, NO memutuskan hubungannya dengan orang tua kandungnya BM: 122. Selain Ibu Sanikem, Bunda juga merupakan perempuan yang tidak dapat melakukan perlawanan ketika Minke dan Annelies mengalami kasus. Diskriminasi tidak hanya menyebabkan kekerasan secara psikologis tetapi juga kekerasan secara fisik. Salah satunya adalah tindak perkosaan. Tindakan tersebut dialami oleh Sanikem dan putrinya. Sanikem diperkosa oleh Herman Millema di dalam sistem pergundikan dan Annelies oleh abangnya sendiri dalam pertentangan ras. Hal tersebut membuktikan adanya kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena diskriminasi ras sebab Robert Millema merasa ia bukan bagian dari anak nyai melainkan masyarakat Eropa. Perdagangan perempuan juga merupakan bentuk kekerasan. Perdagangan perempuan terjadi pada NO dan Maiko. Perdagangan perempuan terjadi pada halaman 123 BM ketika Sanikem dijual, serta perdagangan prostitusi yang dilakukan Babah Atjong. Perdagangan demikian sangat merendahkan nilai perempuan termasuk yang terjadi pada wanita Jepang yang dijual sebagai pelacur secara ilegal. Meski demikian ia pun terkukung adat Jepang yang mengharuskan ia mencari uang untuk biaya pernikahannya. Perdagangan perempuan yang dilakukan Babah Atjong terhadap Maiko dan perempuan lain tersebut termasuk tindakan trafficking atau disebut juga perdagangan manusia yang merendahkan martabat manusia terutama kaum perempuan.

2. Dampak dalam Aspek Psikologis