Keberagaman Agama Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dalam BM

4. Keberagaman Agama

Dalam era VOC, orang Eropa selalu memerlukan ijin dari pemerintah untuk menikah. Garis pemisah utama dalam masa ini bukan ras melainkan agama. Karena keadaan itu, banyak laki-laki yang tidak pernah mengawini perempuan Asia, melainkan hidup dengannya sebagai gundik atau nyai. Larangan bagi orang Kristen mengawini perempuan yang bukan Kristen tetap berlaku bahkan setelah masa VOC berakhir. Pada tahun 1805 hal tersebut masih menjadi perbincangan Helwig: 35. Herman Millema tidak ingin menikahi NO secara resmi. Hal itu terkait dengan ketaatan Herman Millema terhadap agama Kristen BM: 117. Kristen melarang perkawinan campur dengan yang bukan kristen sehingga Herman tidak menikahi NO secara sah. Selain itu ia juga masih memiliki istri dan anak dalam status sah. Hal tersebut terlihat ketika gereja menolak pembaptisan Robert Millema dan Annelies karena mereka lahir dari rahim perempuan pribumi dan ketika Herman menolak usulan pengajuan pernikahan resmi oleh NO. Patriarki dalam kolonialisme juga menyebabkan berbagai penindasan terhadap perempuan khususnya kaum pribumi di Hindia bahkan di bidang agama. Dalam pandangan kaum feminis agama dianggap sebagai lembaga yang seringkali memposisikan perempuan dalam posisi the second sex, artinya hanya sebagai kaum kedua sebab dilahirkan dari tulang rusuk adam. Terlebih dalam agama Kristen, perempuan dianggap sebagai pencipta dosa pertama. Tujuan diciptakannya perempuan hanya untuk menemani pria dan perempuan juga dipandang sebagai makhluk sekunder Basis, tahun ke-34, Oktober 1996: 23. Menurut Taylor, dalam novel maupun realitas Hindia Belanda awal abad 19 juga akan terlihat adanya perbenturan antara budaya pernyaian dengan moral Calvinis Ortodoks yang mengagungkan nilai- nilai kristiani. Ajaran Kristen yang mengharamkan perzinahan dan menempatkan perkawinan sebagai perwujudan yang sakral dalam hubungan laki-laki dan perempuan tidak berlaku bagi orang Belanda di Hindia Prisma, 1994: 28-29. Lembaga agama di masa kolonial menjadi salah satu alat pemerintah untuk meligitimasi kekuasaan yang tidak terbatas. Dalam BM halaman 137, terjadi gejala adanya ketidaksesuaian dalam sistem gereja. Satu sisi agaman Kristen melarang perzinahan namun di sisi lain tidak memperbolehkan laki-laki Belanda memperistri perempuan pribumi secara sah namun melonggarkan budaya pernyaian. Hal tersebut membuktikan adanya penindasan tersistem dari Kolonial yang menyebabkan kaum perempuan menjadi korban. “Aku bilang juga: anakku ini sudah kawin. Dia istri orang. Orang itu hanya tersenyum tak kentara dan menjawab: dia belum kawin. Dia masih di bawah umur. Kalau toh ada yang mengawinkan atau mengawininya, perkawinan itu tidak syah. Kau dengar itu, Minke, Nak? Tidak syah” BM: 488-489. Selain itu dalam bidang agama, Kolonial tidak mengakui keberadaan hukum Islam yang rata-rata dianut oleh masyarakat pribumi. Hal tersebut dibuktikan ketika dianggapnya Minke dan NO dianggap memaksa Annelies menikah dan dilabeli masih dibawah umur oleh hukum Belanda sehingga pernikahannya tidak sah. Sedangkan secara hukum Islam pernikahan mereka sah. Hubungan Annelies dan Minke pun dianggap sebagai bentuk kesalahan sehingga mendapat penghinaan di dalam persidangan BM: 425-426. Hal tersebut menyebabkan Annelies dalam posisi yang sulit. Di satu sisi pernikahannya dengan Minke dapat menyelamatkan kondisi kejiwaannya, namun hukum Belanda justru memutuskan pernikahannya tidak dapat diakui. Selain itu Hukum Belanda pada akhirnya memutuskan pembagian hak kepemilikan dengan memihak Maurits Millema sebagai warga Belanda dan keluarga sah Herman Millema serta membawa Annelies ke Nederland beserta harta perusahaan yang dikelola NO.

5. Lingkungan Kerja dan Bidang Ekonomi