Lingkungan Kerja dan Bidang Ekonomi

Selain itu dalam bidang agama, Kolonial tidak mengakui keberadaan hukum Islam yang rata-rata dianut oleh masyarakat pribumi. Hal tersebut dibuktikan ketika dianggapnya Minke dan NO dianggap memaksa Annelies menikah dan dilabeli masih dibawah umur oleh hukum Belanda sehingga pernikahannya tidak sah. Sedangkan secara hukum Islam pernikahan mereka sah. Hubungan Annelies dan Minke pun dianggap sebagai bentuk kesalahan sehingga mendapat penghinaan di dalam persidangan BM: 425-426. Hal tersebut menyebabkan Annelies dalam posisi yang sulit. Di satu sisi pernikahannya dengan Minke dapat menyelamatkan kondisi kejiwaannya, namun hukum Belanda justru memutuskan pernikahannya tidak dapat diakui. Selain itu Hukum Belanda pada akhirnya memutuskan pembagian hak kepemilikan dengan memihak Maurits Millema sebagai warga Belanda dan keluarga sah Herman Millema serta membawa Annelies ke Nederland beserta harta perusahaan yang dikelola NO.

5. Lingkungan Kerja dan Bidang Ekonomi

Feodalisme tidak mengenal cara duduk setara antara seorang ayah dengan ibu dan juga anak-anak mereka. Hal tersebut menunjukkan ketidaksetaraan dalam keluarga sekaligus menunjukkan ketidaksetaraan dalam hal ekonomi. Tidak adanya cara duduk yang setara menunjukkan kelas sosial perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Hal tersebut berpengaruh juga terhadap nuansa ekonomi yang terjadi dalam sebuah keluarga. Rendahnya kedudukan perempuan dalam keluarga juga dipacu oleh ketidakmampuan di bidang ekonomi. Persepsi bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga membuat posisi perempuan tidak berfungsi dalam hal ekonomi. Posisi laki-laki dalam keluarga tersebut membuat mereka lebih berhak menentukan segala kebijakan dalam rumah tangga. Bunda dan ibu Sanikem adalah representasi perempuan pribumi yang tergantung kepada suami dalam permasalahan ekonomi. Posisi Bunda dalam keluarga adalah mengurus dan bertanggungjawab atas pendidikan anak. Selain itu Bunda dan ibu Sanikem juga bertanggungjawab dalam sektor domestik. Pada masa kolonial Belanda, tidak banyak perempuan yang bekerja di sektor publik. Rata-rata jika mereka bekerja di luar, mereka tetap bekerja di sektor domestik seperti pembantu rumah tangga atau pelayan keluarga Belanda. Perempuan yang bekerja di sektor publik justru menjadi fenomena yang tidak umum terjadi. Hal itu dikarenakan juga oleh faktor biologis perempuan yang disediakan untuk melahirkan, menyusui dan mengasuh anak sehingga mengharuskan perempuan tinggal di dalam rumah dan bertanggungjawab atas pendidikan anak, meskipun mendidik anak tidak hanya tanggung jawab ibu namun juga seorang ayah. Namun, perempuan dalam keluarga juga seringkali berfungsi sebagai penambah penghasilan keluarga jika perekonomian keluarga sedang dibawah standar sedangkan kebutuhan meningkat. Di samping bertanggungjawab di dalam rumah, mereka juga bertanggungjawab mencari nafkah. Itu sebabnya perempuan seringkali mengalami beban ganda. Terbukti pada posisi NO yang menjadi kepala perusahan sejak Herman Millema meninggalkan rumah dan tinggal di tempat prostitusi Babah Atjong. Meskipun NO bekerja membanting tulang untuk menjalankan perusahaan, namun tidak adanya hukum yang mengutarakan kedudukannya sebagai pemimpin perusahaan membuat hak-hak kepimilikan harta bendanya tidak diakui oleh hukum Belanda. Kewajiban mengurus sektor domestik dan tuntutan ekonomi membuat perempuan mengalami beban ganda. “Sekarang ini Minke, pemerintah Hindia atas desakan beberapa orangtua murid telah memecat aku sebagai guru dan menganjurkan aku meninggalkan Hindia” BM: 473. Tidak adanya undang-undang yang mengatur hak perempuan dalam sektor ekonomi membuat kaum perempuan mengalami banyak hambatan dalam karirnya. Seperti yang dialami oleh Juffrouw Magda Petters yang dipecat dari pekerjaannya karena dianggap menyebarkan paham liberalisme, sementara sebagai guru ia memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luas melebihi guru-guru lain di sekolah HBS BM, 2006 : 320-322. Sebagai guru ia mampu memberikan pendapatnya mengenai bangsa Eropa dan pribumi Hindia secara adil. Sebagai perempuan ia mampu menghidupi diri sendiri dengan pekerjaan yang diambilnya meskipun belum terikat pernikahan. Prasangka bahwa Magda Petters penganut paham Liberal membuatnya tidak disukai oleh para guru dari kalangan Eropa Totok dan para orang tua murid HBS. Permasalahan perempuan dalam hal ekonomi juga berkaitan dalam kekerasan yang terjadi di dalamya. Beban ganda dan kekerasan dialami oleh Maiko dan teman-temannya yang menjadi pelacur di rumah Babah Atjong. Selain karena tuntutan keluarga, perempuan bekerja juga sebagai bentuk dari tuntutan adat. Maiko adalah sebagian kecil dari korban trafficking yang mengalami kekerasan. Bahkan jika ada yang memiliki penyakit, mereka dibunuh dan tidak dikembalikan ke negaranya. Tahun mendatang aku harap aku bisa pulang kembali ke Jepang dan kawin dengan Nakatani, yang menunggu aku pulang membawa modal BM: 235. Cuplikan tersebut menunjukkan bahwa adat yang berlaku di Jepang juga melakukan ketidakadilan terhadap perempuan, yaitu menuntut perempuan harus memiliki modal untuk calon suami ketika akan menikah. Jika perempuan tersebut tidak memiliki modal, ia harus bekerja sampai mendapatkan modal tersebut hingga terjebak dalam lingkungan prostitusi atau pelacuran. Adat yang berlaku di masyarakat seringkali menjadikan perempuan sebagai pihak yang mengalami kerugian. Sanikem mengalami nasib yang sama dengan Maiko. Sanikem atau NO merupakan tokoh perempuan yang mengalami penindasan. Sejak remaja Sanikem dipingit oleh keluarganya dan pada akhirnya diperdagangkan oleh ayahnya demi menyelamatkan jabatan. Perbedaannya hanya terletak pada kondisi perekonomian dan jaminan hidup yang dimiliki NO lebih bersifat lebih layak. Meskipun menjadi nyai dan tidak diakui secara hukum, NO tidak menjadi korban prostitusi secara berkala, namun Maiko mendapat berbagai kekerasan selama menjadi pelacur. Selain itu Maiko juga merupakan saksi kekerasan yang terjadi dalam lingkungan kerjanya. Selama menjadi nyai, NO pun dipekerjakan sebagai buruh peternakan di perusahaan Boerderij Boetenzorg. Ia bekerja keras dan selalu belajar dari apapun yang dikerjakannya hingga menjadi perempuan yang mampu memimpin perusahaan secara profesional. Kamampuannya tersebut dimanfaatkan oleh Millema untuk kepentingan perusahaan. “Lebih baik aku pergi dari sini daripada menemuinya.” “Kalau pergi, bagaimana aku? Bagaimana sapi-sapi itu?” Tak ada yang bisa mengurusnya.” “Banyak orang bisa disewa buat mengurusnya.” “Sapi-sapi itu hanya mengenal kau.” Begitulah aku mulai mengerti, sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Millema. Sebaliknya dia yang tergantung padaku ” BM: 131. Kemandirian Sanikem akhirnya membuat dirinya sendiri menjadi terampil mengelola perusahaan, bahkan Millema pada akhirnya menjadi tergantung kepadanya. Dalam pandangan feminis, NO memiliki kualitas sebagai perempuan yang sukses karena mampu melindungi diri sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan optimis. Keoptimisan NO juga terlihat dengan bagaimana ia berjuang mempertahankan Annelies meskipun pada akhirnya mengalami kegagalan BM: 535.

C. Dampak Diskriminasi terhadap Perempuan dalam BM