Diskriminasi dalam Keluarga Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dalam BM

B. Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dalam BM

Dikriminasi terhadap perempuan dalam BM dilatarbelakangi oleh pandangan-pandangan masyarakat dan berbagai kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas. Bentuk diskriminasi dapat berbagai macam. Salah satunya adalah yang terjadi dalam latar belakang kehidupan NO dalam BM. Selain mengalami berbagai pembatasan di lingkungan keluarga, ia mengalami pembatasan hak ketika dipaksa menjadi seorang nyai. Meskipun telah menjadi perempuan yang mandiri karena belajar secara otodidak, budaya yang berlaku tetap memposisikannya sebagai perempuan yang tidak bermoral meskipun dalam hal ekonomi dan intelektualitasnya, NO disegani oleh masyarakat. Penjelasan mengenai diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu dalam lingkup keluarga, sosial masyarakat, hukum, bidang ekonomi bahkan agama.

1. Diskriminasi dalam Keluarga

Keluarga adalah tempat pertama pendidikan seorang anak sejak dalam kandungan. Nilai-nilai moral ditanamkan dari lingkungan keluarga. Pembedaaan atau diskrimiansi menurut jenis kelamin, khususnya perempuan, tertanam dari lingkungan pertama atau keluarganya untuk pertama kali dalam kehidupan perempuan. BM mengungkap bentuk diskriminasi terhadap perempun dalam keluarga, yaitu dalam kehidupan Sanikem, Ibu Sanikem, Bunda dan keluarga Minke di Blora. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam menyerap pemahaman secara berangsur-angsur terhadap rasa takut dan prasangka. Masyarakat Jawa dalam BM ditandai dengan pola-pola hierarki dalam keluarga. Seorang ayah mempunyai posisi sebagai pimpinan tertinggi yang harus dihormati keberadaannya di dalam keluarga. Segala keputusan berada di tangan seorang ayah dan seorang ibu tidak memiliki posisi setara dengannya. Sejak dini anak diajari untuk menghormati yang lebih tua dan berkuasa serta menyayangi yang lebih muda, namun pada kenyataannya pola-pola kekuasaan yang dimiliki seorang ayah ataupun anggota keluarga yang lebih tua kurang bersifat menyayangi dan melindungi. Sementara anak belajar dari bagaimana perlakuan ayah terhadap ibu atau bagaimana mereka memperlakukan anak-anak mereka. Seringkali anak dididik berdasarkan jenis kelamin sehingga sejak dini anak menyadari berbagai perbedaan yang membatasi ruang gerak mereka. Waktu berumur tigabelas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah semasa kanak-kanak dulu. Malah duduk di pendopo aku tidak dperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak BM: 118. Benih-benih rasisme, diskriminasi dan seksisme ditanamkan melalui sikap para orang tua, cara mereka memperlakukan orang lain, larangan-larangan dan teguran-teguran Basis, 1996: 20. Seperti yang ditunjukkan ketika Sanikem pasrah menunggu perintah dari ayahnya. Aku harus lakukan semua perintah orang tuaku, terutama ayah. Dari luar kamarku kudengar Ibu menyangkal dan menyangkal tanpa mendapat pelayaanan BM: 121. Dalam diskriminasi gender, disebutkan bahwa inti dominasi laki-laki terhadap perempuan adalah dalam keluarga Hastanti, 2004: 88. Sebelum dijual kepada Herman Millema, Sanikem adalah perempuan Jawa yang bernasib seperti perempuan pribumi pada umumnya. Ketika masih kecil ia ditanamkan nilai-nilai budaya Jawa yang mengharuskan ia berlaku sesuai dengan tuntutan adat, yaitu tidak boleh menonjol di depan umum melebihi laki-laki, harus mengetahui urusan dapur, belajar menjadi ibu rumah tangga dan dipingit ketika beranjak remaja untuk dipersiapkan menjadi istri. Banyak di antaranya dijodohkan dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya ketika akan menikah. Seperti halnya yang dialami oleh Sanikem yang pada akhirnya dijodohkan dengan cara yang tidak diinginkannya. Patriarki terlihat pada sistem keluarga Sanikem. Akibatnya posisi tersebut dalam keluarga, membuat pendapatnya tidak didengar sebab posisinya dalam keluarga hanya mengurusi persoalan domestik semata dan bukan persoalan publik. Nasib yang serupa terjadi pada ibu Sanikem yang tidak dapat mencegah anaknya dijual kepada Herman Millema. Aku harus lakukan semua perintah orang tuaku, terutama ayah. Dari luar kamarku kudengar Ibu menyangkal dan menyangkal tanpa mendapat pelayanan BM: 121. Itulah untuk pertama kalinya ayah berbuat sesuatu untukku: menjinjingkan koporku BM: 121. Anak perempuan diidentikkan sebagai ibunya dalam sistem keluarga, sehingga keberadaannya tidak lebih penting daripada anak lelaki. Dalam hal ini pihak laki-laki adalah pusat segala keputusan dalam keluarga. Perempuan tetap mendapat tempat di belakang atau di dalam dan tidak di ruang publik. Perempuan dalam keluarga juga dididik untuk melayani anggota keluarga yang laki-laki. Menurut aturan aku jadi pengiring ayahnda dan Bunda waktu memasuki sidang resepsi. Abang akan jadi pembuka jalan, sedang saudari-saudariku tak mendapat tugas di depan umum. Mereka sibuk di belakang BM: 199. Cuplikan di atas merupakan isi hati Minke ketika menjadi penerjemah di acara ayahnya saat diangkat menjadi bupati. Menunjukkan bahwa anak perempuan dalam keluarganya hanya mengurus di belakang sementara anak laki-laki, Minke dan Abangnya, berada di depan menjadi penyambut tamu ketika ada acara pengangkatan bupati di rumah mereka. Selain itu perempuan dalam keluarga Minke tidak diberi kesempatan menempuh pendidikan sehingga mereka dikondisikan untuk menjadi pelayan laki-laki dan tidak dapat mandiri. Sedangkan laki-laki wajib menempuh pendidikan tinggi dan menjadi bupati untuk meneruskan jabatan ayahnya. Hal tersebut menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam keluarga. Dominasi laki-laki terhadap perempuan tampak dalam kontrol laki-laki terhadap fungsi reproduksi dan pengasuhan anak Diskriminasi Gender, 2004: 88, terbukti ketika Minke dianggap mursal oleh ayahnya dan pulang ke rumah orang tuanya, ayahnya bersikap antipati dan memprotes tindakan Minke bergaul dengan NO dan Annelies. Pada akhirnya Minke diharuskan menghadap Bunda, ibu kandung Minke. Penyerahan Minke kepada Bunda adalah bentuk dari pelimpahan tanggungjawab anak beserta pendidikannya terhadap kaum perempuan ketika anak melakukan kesalahan. Sistem yang berlaku dalam keluarga seperti yang telah dijelaskan di atas menunjukkan tidak adanya pengajaran bersifat demokrasi. Sanikem justru mengalami intimidasi dan tekanan yang bersumber dari sistem yang ditanamkan dalam keluarga tersebut. Tak tahu aku bagaimana wajah Tuan Besar Kuasa. Tak layak seorang gadis baik-baik mengangkat mata dan muka pada seorang tamu lelaki tak dikenal baik oleh keluarga. Apalagi orang kulit putih pula. Aku hanya menunduk, meletakkan isi talam di atas meja. “aku masuk lagi untuk menantikan perintah baru. Dan perintah itu tidak datang…” “Ikem, kau tidak keluar dari rumah ini tanpa seijin Tuan Besar Kuasa. Kau tidak akan kembali ke rumah tanpa seijinku ” BM: 123. Cuplikan di atas menunjukkan bentuk pemaksaan kehendak terhadap perempuan dan penderitaan tokoh perempuan terhadap kehandak orang tua dan tekanan orang Belanda yang membelinya. Sanikem dianggap barang yang dapat ditukar dengan jabatan oleh ayahnya sendiri. Hal ini dapat digolongkan sebagai tindakan perdagangan anak dan perempuan sebab nilainya dapat ditukar dengan materi. Tindakan Sastrotomo terhadap Sanikem menunjukan adanya pola-pola kekerasan yang berasal dari diskriminasi dalam keluarga. Diskrimiansi tersebut berasal dari prasangka bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak memiliki kehendak dan perasaan sehingga dapat diperlakukan menurut keinginan.

2. Diskriminsi dalam Masyarakat