Skripsi S1 Deskriminasi Terhadap Perempu
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
Skripsi ini disusun guna memperoleh gelar Sarjana Fakultas Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Disusun oleh: Fatonah Winiarum
NIM : 05025002
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA 2010
(2)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberagaman dalam sebuah masyarakat dapat menyebabkan terjadinya berbagai fenomena diskriminasi. Diskriminasi merupakan suatu pola pembedaan yang kerap terjadi dalam masyarakat dan dapat memicu terjadinya bermacam-macam konflik. Contoh-contoh bentuk diskriminasi dalam masyarakat yang sering ditemukan adalah dalam hal perbedaan warna kulit, kelas sosial, hingga jenis kelamin serta peran-peran yang mempengaruhinya di dalam masyarakat.
Secara formal, pengertian diskriminasi diatur di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 ayat (3) undang-undang tersebut menyatakan,
„Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.‟
Diskriminasi merupakan salah satu ciri kolonialisme. Hal tersebut selain terjadi dalam bidang pendidikan, juga terjadi dalam lapangan kerja dan pergaulan sehari-hari pada umumnya. Pada masa kolonial, masyarakat
(3)
pribumi hanya dapat menempati posisi-posisi atau jabatan terendah dalam pemerintahan dan dampaknya berpengaruh pada perbedaan upah yang diterima pegawai pribumi tersebut. Dalam pergaulan sehari-hari terjadi fenomena perbedaan besar antara kelompok berkulit sawo matang dengan kulit putih. Perkawinan merupakan contoh ciri masyarakat kolonial yang sangat menonjol. Laki-laki kulit putih dengan bebas memperistri atau menggunakannya sebagai istri tidak sah perempuan pribumi sebagai gundik, tetapi jelas tidak dapat terjadi sebaliknya (Ratna, 2008: 15). Perempuan pribumi tidak dapat melakukan hal tersebut terhadap laki-laki kulit putih.
Ketika masyarakat kolonial masuk, tujuan mereka semata-mata tidak untuk menjajah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara barat mendorong kaum kolonial mengunjungi daerah dan berlayar dengan tujuan 3 G (Gold, Gospel, Glory) yang berarti emas atau kekayaan, agama dan kejayaan. Sejalan dengan pernyataan Kartodirjo, bahwa pada umumnya Kolonialisme dipicu oleh faktor lain, seperti: politik, agama dan petualangan (Ratna, 2008: 11). Berbeda dengan Inggris yang menggunakan tanah jajahannya untuk berdagang, Belanda melakukan politik kolonialisme dengan cara memunguti upeti. Atas usulan Van den Bosch, Belanda melakukan Politik Tanam Paksa yang berlangsung sejak tahun 1830 sampai dengan 1870 untuk menopang perekonomian yang memburuk. Baik upeti maupun tanam paksa keduanya menyebabkan kesengsaraan terhadap rakyat Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa:
Di bawah Kolonialisme Belanda, politik diskriminasi dan pemaksaan budaya mengakibatkan berakarnya mentalitas inlander atau konsep
(4)
rendah diri dalam masyarakat pribumi. Sebagai salah satu seorang sadar elit yang sadar retorika Kolonial, Soekarno mengungkapkan
adanya manipulasi dan kesenjangan Kolonial dalam
mengkonstruksikan mentalitas inlander di masyarakat pribumi (Ita, 2007: 9).
Diskriminasi sengaja diciptakan oleh kolonialis untuk kepentingan politik. Kebijakan politik yang diterapkan kepada masyarakat menimbulkan fenomena perbedaan dalam masyarakat. Kaum pribumi dibedakan dalam banyak instrumen seperti penerapan bea cukai, sekolah, gaya berpakaian, perdagangan, dan sebagainya. Instrumen yang tercipta merupakan alat untuk mengontrol dan mengendalikan secara ketat berdasarkan ras. Pribumi yang mempunyai pengaruh, memiliki harta dan senjata dijadikan agen demi kepentingan Pemerintahan Kolonial. Pada waktu itu, masyarakat kulit berwarna diharuskan bertingkah laku sesuai dengan warna kulit tersebut sehingga terjadilah budaya diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat
tersebut (Segregasi Ras pada Kota-Kota Kolonial .www.yahoogroups.com).
Politik diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda berhasil mengeksploitasi pribumi yang saat itu masih terbelakang.
Kolonialisme berpengaruh juga terhadap sistem klasifikasi dalam masyarakat, contohnya di Jawa. Masyarakat yang semula dibedakan berdasarkan pada keturunan, terbagi menjadi berdasarkan kepemilikan tanah sehingga tercipta berbagai bentuk diskriminasi hingga menimbulkan pembagian hak asasi yang tidak merata. Kedatangan Pemerintah Kolonial di Nusantara selama kurang lebih 350 tahun mengakibatkan berbagai dampak terhadap masyarakat pribumi Indonesia. Diskriminasi terjadi dalam banyak
(5)
aspek, salah satunya terhadap kaum perempuan. Budaya Jawa sebelum sistem kolonial masuk menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, yaitu sebagai makhluk kedua setelah laki-laki. Setelah kolonial masuk perempuan semakin menempati posisi yang tidak menguntungkan. Kolonialisme menempatkan perempuan sebagai obyek sistem patriarkhi. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan oleh kaum perempuan pribumi tetapi perempuan pendatang dari Eropa.
Bukti adanya diskriminasi tercermin dalam sistem pergundikan. Sistem tersebut memaksa perempuan pribumi dieksploitasi untuk kepentingan Belanda. Salah satunya adalah dengan sistem perdagangan atau jual beli secara paksa. Perempuan pada masa kolonial mayoritas bekerja sebagai budak di rumah-rumah orang Belanda. Jika salah satu dari mereka menjadi nyai, statusnya naik dari seorang pembantu menjadi tuan rumah tidak resmi. Nyai adalah sebutan bagi perempuan pribumi yang menjadi istri tidak resmi laki-laki Eropa. Meskipun demikian, perlakuan terhadap perempuan yang menjadi gundik tersebut terasa tidak adil. Seorang perempuan yang menjadi gundik tidak mempunyai hak apa-apa dalam hal kepemilikan, bahkan jika anak lahir, ia tidak memilki hak anaknya. Seorang nyai dapat diusir sewaktu-waktu dari rumah majikannya (Helwig, 2007: 38). Seorang nyai memiliki akses yang terbatas dalam hubungan sosial dengan masyarakat pribumi. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti rasa segan dari masyarakat pribumi terhadap kedudukan nyai dan adanya kekangan dari konsruksi budaya Kolonial yang berusaha membatasi diri dari
(6)
pergaulan dengan masyarakat pribumi. Selain itu ia juga terkucil dari pergaulan Eropa (Sugihastuti dan Istna, 2007: 86). Seorang nyai dalam dunia patriarkhi dipandang sebagai kelas yang lebih rendah.
Mengkaji perempuan, hal yang tidak dapat lepas adalah masalah gender. Gender bukan diartikan menurut biologi, tetapi juga berdasarkan konstruksi masyarakat. Dalam kajian perempuan, gender dipertimbangkan untuk mengkaji fenomena perempuan dalam masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Khususnya dalam penelitian yang mengambil latar kolonialisme tersebut. Perempuan sebagai lawan laki-laki digambarkan dalam citra-citra tertentu yang mengesankan inferioritas perempuan, baik dalam struktur sosial maupun budaya (Sugihastuti dan Istna, 2007: 83). Sementara itu perempuan memerlukan aktualitas diri dalam lingkungannya. Oleh karena itu perempuan memerlukan sarana dalam pergaulan sosial dengan masyarakat tempat ia tinggal dengan tidak memperhitungkan berbagai perbedaan seperti, agama, ras, etnis dan sebagainya (Sugihastuti dan Istna, 2007: 84).
Stereotip yang dibentuk oleh gender dalam aplikasinya memiliki kecenderungan menguntungkan jenis kelamin tertentu, yakni laki-laki. Keuntungan tersebut dilihat dari berbagai tatanan sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat yang menganut budaya patriarkhi. Dampak lain yang timbul akibat stereotipe terhadap perempuan dapat berupa pembagian ruang untuk perempuan. Dalam perspektif feminisme dikenal dua terminologi yang menggambarkan ruang aktifitas bagi perempuan, yaitu
(7)
domestik dan publik. Ruang domestik melingkupi aktivitas yang berkaitan dengan rumah tangga, sedangkan ruang publik menyangkut aktivitas perempuan yang dilakukan di luar rumah baik interaksi dengan masyarakat sekitar maupun dalam lingkungan pekerjaan (Sugihastuti dan Istna, 2007: 84)
Permasalahan perempuan tidak hanya muncul dalam masyarakat tetapi juga terefleksikan dalam karya sastra. Karya sastra sebagai cermin masyarakat pada zamannya mampu mengungkap fenomena-fenomena tersebut dalam bentuk cerita. Karya sastra merupakan refleksi pengarang pada zamannya meskipun ia tidak hidup dalam zaman yang sedang ditulisnya. Seorang pengarang 1980-an dapat menulis novel tahun 1800 dengan menggunakan referensi data yang menunjang. Oleh sebab itu penulisan karya sastra tidak akan lepas dari kenyataan sosial budaya yang melatarbelakanginya.
Penulis memprediksi adanya perilaku diskriminasi terhadap perempuan dalam novel Bumi Manusia (selanjutnya disingkat BM) karya Pramoedya Ananta Toer. Novel tersebut berlatar belakang kehidupan sejarah Indonesia pada tahun 1898-an, yaitu ketika Kolonialisme dan Feodalisme masih ada di tanah air. Feodalisme yang terjadi di wilayah Jawa masih kuat membelenggu ruang gerak kaum perempuan. Pada masyarakat feodal, perempuan ditempatkan sebagai kanca wingking. Istilah kanca wingking dalam bahasa Jawa berarti teman belakang, yang dapat dimaknai sebagai
(8)
teman hidup yang pekerjaanya berada di sektor domestik dan tidak setara dengan posisi suaminya.
Berbeda halnya dengan perempuan yang hidup di pedesaan. Perempuan di kalangan masyarakat biasa di pedesaan cenderung memiliki posisi setara dengan kaum laki-laki. Perempuan dalam keluarga feodal tidak memiliki peran dan kedudukan yang setara. Dalam lingkungan yang demikian perempuan kerap mendapat perlakuan yang tidak adil serta berbagai bentuk penindasan dan kekerasan.
Penciptaan karya sastra selalu bersumber dari fenomena yang terjadi dalam masyarakat (Rampan dalam Sugihastuti dan Istna, 2007: 81). Karya sastra mengungkap struktur sosial, fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat dan interaksi di dalamnya. Secara lebih sederhana, karya sastra mengungkap unsur-unsur dalam masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin di dalamnya merupakan tema yang menarik, sebab dalam perkembangannya, interaksi tersebut menuntut adanya jenis kelamin yang lebih unggul dibanding dengan yang lainnya sehingga memicu tanda-tanda diskriminasi yang berasal dari tindak inferioritas tersebut. Pola diskriminasi terhadap perempuan juga terlihat dalam karya-karya Belanda yang dilatarbelakangi oleh kehidupan Indonesia di masa Kolonialisme. Penelitian mengenai hal tersebut telah dilakukan oleh Tineke Hellwig.
Beberapa karya Indonesia masih menampilkan segi keterpurukan perempuan sebagai korban adanya budaya patriarkhi, misalnya dalam novel
(9)
Siti Nurbaya, Pengakuan Pariyem, Ronggeng Dukuh Paruk dan sebagainya. Dalam novel-novel tersebut perempuan masih dijadikan obyek seksualitas dan subordinasi budaya tradisional dan pada akhirnya menyerah kepada keadaan setelah memperjuangkan haknya.
BM dipilih sebagai bahan penelitian karena di dalamnya sarat dengan nilai-nilai perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan yang
diciptakan masyarakat kolonial dan feodal Jawa. BM menggambarkan
perempuan sebagai korban sekaligus di sisi lain menjadi sosok pertama
penggerak semangat perjuangan. Selain itu, dipilihnya BM karena
merupakan karya masterpiece dari tetralogi novel Pulau Buru sebagai cerita
awal perjuangan bangsa melakukan berbagai bentuk perlawanan. BM
mendapat berbagai penghargaan seperti The PEN Freedom the write Award pada 1988, Ramon Magsaysay Award tahun 1995, Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang tahun 2000 dan pada tahun 2004 mendapatkan penghargaan The Norwegian Authoers Union dan Pablo Nuruda dari presiden Republik Chile Senor Richard Lagos Escobar karena faka-fakta kemanusiaan yang diungkap tersebut (Toer, 2006:1). Pramoedya sebagai pengarang merupakan novelis terkenal tidak hanya di Indonesia tetapi juga di beberapa negara di seluruh dunia dan banyak mendapatkan penghargaan yang bersifat internasional dari karya-karyanya. Selain itu berbagai permasalahan yang ditemukan dalam BM masih relevan dibahas di masa sekarang.
Penulis mencoba mengkaji tokoh perempuan dalam penelitian ini dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
(10)
1. Tokoh perempuan dihadirkan sebagai kaum yang banyak mendapatkan perlakukan diskriminatif terhadap sistem namun di sisi lain perempuan sebagai salah satu pencipta nilai-nilai perjuangan. Contohnya dapat dilihat dari bagaimana tokoh Nyai Ontosoroh mengutarakan pemikirannya sebagai perempuan dan sebagai masyarakat pribumi. 2. Pentingnya kajian gender untuk menentukan peran-peran perempuan
dalam masa Kolonial tersebut sebagai dasar analisis, sebab dalam mengkaji perempuan, hal yang tidak boleh lepas adalah permasalahan gender. Penelitian ini difokuskan pada tokoh-tokoh perempuan, namun tokoh laki-laki juga sedikit dibahas untuk memperkuat analisis dan kajian terhadap bentuk-bentuk diskriminasi.
3. Perempuan dalam novel Pramoedya rata-rata digambarkan dalam
berbagai keistimewaan sehingga terkesan memfokuskan pada kelebihan perempuan. Hal ini terkait dengan sosok Pramoedya yang menjadikan seorang ibu atau perempuan sebagai figur yang memiliki karakter istimewa. Pembuatan novel Gadis Pantai pun inspirasinya diambil dari nenek Pramoedya yang sangat disayanginya dan pernah menjadi korban sistem Feodalisme salah satu bangsawan di Jawa.
Adapun penggunaan istilah obyek kajian dalam penelitian ini adalah perempuan. Istilah perempuan digunakan dalam penelitian ini dengan alasan sebagai berikut:
1. Istilah perempuan juga berasal dari kosakata empu yang berarti orang yang dipertuan, dihormati, dan dihargai (Handayani, 2008: vi).
(11)
2. Istilah wanita bersumber dari bahasa Sanskerta, dengan kata dasar wan yang berarti nafsu sehingga kata wanita mempunyai arti obyek seksualitas (Handayani, 2008: vi)
3. Dalam bahasa Jawa, istilah wanita adalah akronim wani ditata, artinya keberaniannya hanya ada karena orang lain memintanya. Hal ini menunjukkan bahwa wanita adalah obyek yang hampir tidak memiliki kehendak (Handayani, 2008: vi). Istilah wanita menurut tembung Jamboran berasal dari istilah wani ing tata (Basis, 1988: 235).
4. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah perempuan berarti
manusia yang memiliki puki (vagina), dapat mestruasi, hamil, melahirkan dan menyusui (KBBI tahun 2005).
Berdasarkan pertimbangan di atas penggunaan istilah perempuan lebih bermakna positif dibanding dengan istilah wanita.
Judul penelitian ini ditentukan untuk mengungkap bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan terkait dengan latar belakang sosial budaya pada masa kurun waktu 1800 di Jawa. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap potret kehidupan masyarakat feodal dan kolonial, bentuk-bentuk diskriminasi serta dampak yang diakibatkannya. Kondisi sosial
budaya dalam BM yang demikian membuat peneliti mengambil teori
Sosiologi Sastra sebagai pisau bedah analisis novel BM. Tujuannya agar mampu mengungkap fakta-fakta sosial budaya masyarakat yang terbentuk dalam lingkungan novel BM. Pembahasan dengan fokus tokoh perempuan juga tidak lepas dari analisis berbasis gender.
(12)
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas masalah yang muncul dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Terdapat gambaran sosial budaya tertentu yang menyebabkan terjadinya
diskriminasi dalam novel BM.
2. Terdapat dikotomi antara masyarakat Hindia (Pribumi) dan Kolonial Belanda dalam berbagai bidang kehidupan.
3. Banyak ditemukan bentuk ketidakadilan Sistem Kolonial terhadap
masyarakat pribumi.
4. Ditemukan permasalahan yang menyangkut Sistem Kolonialisme pada zaman Hindia Belanda.
5. Terdapat berbagai perbedaan antara masyarakat pribumi dan kolonial yang menyebabkan fenomena prasangka dan perilaku diskriminasi.
6. Banyak ditemukan bentuk-bentuk diskriminasi dalam novel BM.
7. Terdapat berbagai dampak yang terjadi akibat diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai bidang.
8. Terdapat berbagai dampak prasangka dan perilaku diskriminasi terhadap masyarakat Pribumi dan masyarakat Indo di dalam novel BM.
9. Terdapat berbagai permasalahan mengenai perempuan dan eksistensinya
di dalam masyarakat BM.
10.Banyak ditemukan semangat demokrasi kaum perempuan dan bentuk perjuangannya dalam melawan penindasan dan ketidakadilan dalam novel BM.
(13)
11.Terdapat perbenturan antar kelas sosial dalam masyarakat baik antara masyarakat Belanda dan Pribumi maupun dalam sistem sosial masyarakat Pribumi itu sendiri dalam novel BM.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas masalah dapat dibatasi sebagai berikut: 1. Kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi terjadinya diskriminasi
perempuan dalam novel BM.
2. Bentuk diskriminasi perempuan dalam novel BM.
3. Dampak diskriminasi perempuan dalam novel BM.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi terjadinya diskriminasi dalam novel BM?
2. Bagaimana bentuk diskriminasi perempuan yang terdapat dalam novel BM?
3. Dampak apa saja yang diakibatkan oleh adanya diskriminasi perempuan
(14)
E. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi terjadinya diskriminasi perempuan dalam novel BM.
2. Mengetahui bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam
novel BM.
3. Mengetahui dampak-dampak yang diakibatkan oleh diskriminasi
perempuan dalam novel BM.
F. Manfaat penelitian
Terdapat dua hal manfaat yang terdapat dalam sebuah penelitian. Diharapkan dalam penelitian ini manfaat yang diperoleh adalah:
1. Manfaat Teoretis
a. Menambah wawasan penelitian sastra pada masa yang akan datang.
b. Menghadirkan sudut pandang dan cara yang berbeda dalam
melakukan kajian mengenai perempuan, terutama dalam
menganalisis fenomena diskriminasi yang sering dialami oleh kaum perempuan pada masa kolonialisme.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
terhadap pengembangan teori sastra khususnya novel dan dapat digunakan untuk peningkatan apresiasi sastra, khususnya dalam kajian Sosiologi Sastra.
(15)
2. Manfaat Praktis
Pertama, penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan kepada pembaca khususnya mengenai eksistensi perempuan dalam karya sastra. Kedua, dapat dijadikan bahan perbandingan terhadap hal-hal yang mengungkap fakta-fakta diskriminasi perempuan pada masa sekarang. Ketiga, penelitian ini diharapkan dapat memotivasi penelitian yang akan datang agar dapat menggali lebih terperinci khususnya mengenai kajian perempuan dalam karya sastra.
G. Landasan Teori
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, landasan teori untuk menganalisis novel BM adalah analisis sosiologi sastra. Metode Sosiologi Sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis, yaitu masyarakat yang melatarbelakangi penulis, sebab dalam proses berkarya penulis tidak dapat lepas dari masyarakatnya. Hal tersebut beranjak dari pemahaman bahwa karya sastra merupakan refleksi kenyataan pada zamannya.
Pemahaman terhadap karya sastra berangkat dari sebuah penjelasan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dibangun secara imajinatif, namun kerangka imajinatifnya tidak dapat dipahami di luar kerangka empirisnya. Di sisi lain karya sastra bukan semata-mata merupakan gejala individual melainkan gejala sosial (Ratna,
(16)
2003: 26-27). Karya sastra sebagai dunia miniatur berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dibangun dalam pola-pola kreatifitas dan imajinasi pengarang.
Menurut Satoto (1986: 150) pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dianut orang sampai sekarang berorientasi pada aspek dokumentasi sosial. Hal tersebut sejalan dengan kritik aliran Hegel dan Taine bahwa kebesaran sejarah dan sosial disamakan dengan kehebatan artistik. Seniman menyampaikan kebenaran sekaligus merupakan kebenaran sejarah dan sosial (Wellek&Werren, 1993: 111). Landasan tersebut yang menjadikan sastra sebagai rujukan dalam menganalisis gejala sosial pada masa tertentu.
Teori Ian Watt yang diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono juga mengungkapkan tiga macam pendekatan dalam sosiologi sastra, yaitu pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Hal yang terutama diteliti dalam pendekatan ini adalah: pertama, bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya. Hal itu termasuk apakah ia menerima bantuan dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap. Kedua, sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi. Ketiga, masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Hal ketiga dari prinsip pendekatan sosiologi sastra Ian Watt adalah sastra sebagai cermin masyarakat, yaitu meliputi: pertama, sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra ditulis. Kedua, sejauh mana sifat pribadi
(17)
disampaikannya. Ketiga, sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili masyarakat. Unsur ketiga dalam pendekatan Sosiologi Sastra adalah fungi sosial sastra. Dalam hubungan ini terdapat tiga hal yang menjadi pokok persoalan, yaitu: sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya, sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan kedua hal tersebut (Damono,1984: 3-4).
Sosiologi Sastra juga mengungkap mengenai feminisme. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kaum laki-laki (Djajanegara, 2000: 4). Pada umunya karya sastra yang menampilkan tokoh wanita dapat dikaji dari segi
feministik. Djajanegara mengungkapkan beberapa metode dalam
menerapkan kajian feminis dalam karya sastra, yaitu: pertama, mengidentifikasikan tokoh satu atau beberapa tokoh perempuan dalam karya sastra untuk mencari kedudukan tokoh-tokoh tersebut dalam masyarakat, mengetahui perilaku atau watak tokoh melalui gambaran langsung yang dipaparkan oleh penulis dan menganalisis pendirian serta ucapan tokoh perempuan yang bersangkutan. Kedua, meneliti tokoh lain terutama tokoh laki-laki yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh-tokoh perempuan. Ketiga, mengamati sikap penulis karya yang tengah dikaji. Untuk mengetahui pandangan serta sikap penulis sebaiknya juga mengamati latar belakangnya (Djajanegara, 2000: 51-54).
(18)
Diskriminasi perempuan adalah fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat disebabkan dalam berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Istilah “diskriminasi terhadap perempuan” itu sendiri dalam konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan diartikan menjadi:
“perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan ”
(Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. www.bappenas.go.id).
Diskriminasi terhadap perempuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semangat perjuangan bagi kaum perempuan yang disebut dengan gerakan feminisme. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan dan phalogosentrisme (www.yahoo-feminisme.com).
Menurut Najmanuddin dalam penelitiannya mengatakan,
timbulnya berbagai isu atau permasalahan yang menyangkut perempuan disebabkan oleh hal-hal yang bersumber dari beberapa poin berikut ini, yaitu:
1. Paham patriarkhi yang dianut oleh laki-laki yang menekankan
pembagian kerja secara seksual dan harus dipatuhi oleh kaum perempuan.
(19)
2. Perbedaan sosiokultural termasuk norma sosial terjadi dalam suatu perkawinan campur.
Sastra adalah eskpresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan demikian meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam hal ini sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan bentuk komunikasi pengarang dengan lingkungan yang membentuknya (Endraswara, 2003: 77), sehingga dengan mengkaji permasalahan sosial budaya dalam karya sastra, masyarakat dapat mengkaji fenomena dalam masyarakat khususnya menyangkut permasalahan diskriminasi terhadap perempuan.
(20)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian dan kajian mengenai BM sebelumnya pernah dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah:
1. Penelitian berjudul Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer: Analisis Pascakolonial yang disusun oleh Novieta Theodora. Penelitian tersebut merupakan skripsi tahun 2008 dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Penelitian tersebut memfokuskan kajiannya pada tokoh Nyai Ontosoroh (selanjutnya disingkat NO) dalam rangka mengetahui wacana Kolonial dan Feodalisme pada masa BM ditulis. Menurut Teodora, Sistem Kolonial muncul dalam bentuk peliyanan terhadap NO sebagai subjek pribumi. Bentuk peliyanan diwujudkan dalam inferioritasan NO dalam masyarakat Pribumi yang mengenal sistem Feodalisme. Selain itu dibahas pula bentuk-bentuk perlawanan NO dalam berbagai cara, seperti dengan cara hukum, kolektif dan individu. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa BM dianggap sebagai karya sastra pascakolonial karena berlatarbelakang masyarakat Kolonial sehingga dianalisis dengan teori Pascakolonial. Liyan berasal dari bahasa Jawa liya ditambah akhiran n yang berarti lain. Istilah liyan ditujukan untuk menunjukkan posisi subordinat perempuan
(21)
dalam pembahasan gender, yaitu sebagai posisi yang di-lain-kan setelah laki-laki atau posisi yang dinomorduakan. Posisi lain dalam hal ini berarti perempuan tidak menempati posisi yang setara dengan kaum laki-laki, sehingga kepentingannya seringkali diabaikan.
2. Penelitian lain yang telah dilakukan adalah skripsi Karina Maheswara tahun 2004 berjudul Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: Kritik Sastra Feminis, dari FIB UGM. Penilitian tersebut mengkaji perempuan dalam tokoh novel BM dalam perspektif Feminisme. Analisis Kritik Feminis diterapkan dengan menggunakan pendekatan feministik, yaitu dengan mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan, mengidentifikasi tokoh laki-laki, dan menjelaskan mengenai sikap pengarang melalui kosakata yang digunakan. Menurut Maheswara, ide feminisme lahir dari respon tokoh-tokoh atas konstruksi sosial yang mendiskriminasikan perempuan (2004: 72) sehingga kegagalan dalam memperjuangkan tokoh Annelies dalam BM merupakan pencerminan dari kekalahan feminisme dalam melawan konstruksi sosial.
3. Selain itu kajian mengenai BM telah banyak dilakukan, seperti terdapat dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh I.B. Putera Manuaba berjudul Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Pendegradasian dan Interpretsi Makna Perjuangan Martabat Manusia. Dalam tulisanya, pendegradasian martabat manusia banyak direfleksikan dalam karya Pramoedya. Pendegradasian tersebut berupa: pembedaan ekstrim kelas
(22)
atas dan bawah, pembedaan manusia, pewarisan nasib rendah manusia dan kekerasan pada manusia.
4. Tineke Hellwig dalam In The Shadow of Change juga melakukan
penelitian mengenai karya Pramoedya yaitu mengenai BM dan Gadis Pantai pada tahun 2003. Hellwig mengungkapkan citra perempuan dalam ketidakadilan situasi pada masa Kolonialisme dan Feodalisme dalam penelitiannya. Minke sebagai tokoh utama dalam novel BM merupakan narator yang menceritakan kisah NO dan Annelies yang menjadi korban kekerasan sistem Kolonial dan Feodal yang bersifat patriarkhat. Kekerasan tersebut disebabkan pula oleh pandangan negatif masyarakat mengenai citra seorang nyai. Menurut Hellwig pola kekuasaan yang ditampilkan dalam BM merupakan faktor pendorong terjadinya citra negatif dan diskriminasi yang menimbulkan dampak kekerasan terhadap kaum perempuan. Kekuasaan tersebut adalah: kekuasaan Kolonial orang kulit putih atas orang Jawa, kekuasaan Patriarkhal atas perempuan dan kekuasaan orang tua atas anak-anaknya.
B. Sekilas Tentang Pengarang
Pramoedya Ananta Toer merupakan sastrawan asal Blora dan juga lahir di Blora pada tanggal 6 Februari 1925. Ia merupakan anak sulung dari sebuah keluarga bertradisi Islam dan Nasionalis. BM merupakan salah satu karyanya yang terinspirasi dari sosok wartawan Indonesia pertama bernama R.M. Tirto Adi Soerjo yang tercermin dari tokoh Minke. Sebagai orang Jawa
(23)
dari Blora, ia mengidentikkan dirinya dengan Samin Surosentika (Peletak dasar ajaran ‟Samin‟) dalam setiap karyanya.
Pramoedya Ananta Toer berasal dari keluarga yang cukup dihormati di mata masyarakat. Meskipun status sosial kedua orang tuanya cukup tinggi dan terpandang, keluarga Toer bukanlah keluarga yang kaya sehingga ibunya mesti mengerjakan banyak pekerjaan rumah bahkan juga memelihara bermacam-macam ternak dan menerima jahitan untuk mencari tambahan penghasilan. Sejak kecil, ibunya selalu mendidik Toer dan adik-adiknya dengan berulang-ulang mengingatkan mereka menjadi orang yang bebas merdeka dan bermartabat. Nasihat Saidah membuat Toer tumbuh menjadi mandiri dan tidak pernah meminta-minta. Ibunya juga yang membuatnya mau mengejar ketertinggalannya di sekolah. Ia juga mengingat baik nasihat ayahnya yang menyatakan bahwa hidup adalah perjuangan dan segala hal adalah pergulatan (www.antaranews.com). Teeuw mengungkapkan bahwa humanisme dan humanitas, universal, proletaris, individual atau modern, marxisme, dan realisme sosialis merupakan label-label yang melekat pada diri Pramoedya di masa yang berbeda-beda dan dalam konteks sosial yang berlainan yang dikenakan padanya atau dipergunakan oleh dirinya sendiri. Semua itu penerapan dari konsep benar, adil, baik dan indah (Kurniawan, 2003: 13).
Karya-karya Pramoedya dekat sekali dengan analisis historis, ia menjadikan paparan peristiwa-peristiwa sejarah maupun pengalaman hidup pribadinya sebagai setting konflik-konflik yang menjadi tema karya
(24)
sastranya. Blora, masa penjajahan Jepang, revolusi kemerdekaan, agresi militer Belanda I dan II, atau Perang Dunia II menjadi pilihan setting yang menawan dalam novel maupun cerpen Pramoedya. Tetralogi ‟Pulau Buru‟ -nya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) ditulis dengan latar belakang sejarah pergerakan nasional Indonesia dari rentang sejarah 1898-1918. Disebut tetralogi karena keempat novelnya merupakan rangkaian kisah sejarah pergerakan yang diperankan oleh tokoh yang sama, yaitu Minke. Sedangkan Arus Balik ditulisnya dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa pada tahun 1990-an.
BM adalah novel pertama dari tertralogi cerita dari pulau Buru yang banyak dikenal sebagai karya masterpiece Pramoedya. Tiga novel lainnya adalah Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. BM diterbitkan oleh Lentera Dipanatara pada tahun 1980. Karya ini menghadirkan perempuan dalam nuansa perjuangan. Kehadiran tersebut diindikasikan dengan penggambaran karakter atau watak tokoh-tokohnya yang berkembang sesuai proses yang panjang dan penuh problematika. Tema besar BM adalah pertentangan kelas antara pribumi dengan dua kubu, yaitu Kolonialisme Belanda dan Feodalisme di dalam budaya pribumi, yaitu budaya Jawa. Pertentangan kelas tersebut menyebabkan berbagai konflik yang terjadi. Salah satu konflik tersebut berupa ketidakadilan dalam berbagai segi kehidupan. Kolonialisme tidak hanya menindas pribumi tetapi juga kaum perempuan. BM berlatar belakang kota Surabaya dan Blora, namun dalam novel tersebut setting lebih banyak di Surabaya pada tahun 1800-an.
(25)
Kehidupan masyarakat yang melatarbelakangi adalah masyarakat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu pribumi dan kolonial. Budaya yang melatarbelakangi masyarakatnya adalah budaya Jawa.
Secara keseluruhan novel atau karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang diketahui penulis menurut urutan tahun terbit adalah sebagai berikut:
a. Karya nonfiksi:
1. Mari Mengarang (1954, tidak jelas keberadaannya di tangan penerbit),
2. Sejarah Bahasa Indonesia, Satu Percobaan (1964), 3. Realisme Sosialis Dan Sastra Indonesia (1963), 4. Sikap Dan Peran Intelektual Di Dunia Ketiga (1981), b. Karya fiksi:
1. Sepuluh Kepala Nica (1946, namun hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta 1947)
2. Kranji-Bekasi Jatuh (1947, fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi), 3. Perburuan (1950, pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta,
1949),
4. Keluarga Gerilya (1950),
5. Subuh (1951, kumpulan 3 cerpen),
6. Percikan Revolusi (1951, kumpulan cerpen), 7. Mereka Yang Dilumpuhkan I & II (1951),
8. Bukan Pasar malam (1951),
9. Di Tepi Kali Bekasi (1951, dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947),
10.Dia Yang Menyerah (1951, kemudian dicetak ulang dalam
kumpulan cerpen),
11.Cerita Dari Blora (1952, pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953),
12.Gulat Di Jakarta (1953),
13.Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), 14.Korupsi (1954),
15.Cerita Dari Jakarta (1957), 16.Cerita Calon Arang (1957),
17.Sekali Peristiwa Di Banten Selatan (1958),
18.Panggil Aku Kartini Saja (1963, dibakar oleh AD 13 Oktober 1965),
19.Kumpulan Karya Kartini (1963, dibakar oleh AD 13 Oktober 1965),
(26)
21.Gadis Pantai (1962-1965),
22.Lentera (1965, tidak jelas nasibnya di tangan penerbit), 23.Bumi Manusia (1980), dilarang Jaksa Agung),
24.Anak Semua Bangsa (1981, dilarang Jaksa Agung), 25.Tempo Doeloe (1982, antologi sastra pra-Indonesia), 26.Jejak Langkah (1985, dilarang Jaksa Agung), 27.Sang Pemula (1985, dilarang Jaksa Agung), 28.Rumah Kaca (1988, dilarang Jaksa Agung), 29.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995),
30.Arus Balik (1995),
31.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997), 32.Arok Dedes (1999),
33.Mangir (2000), 34.Larasati (2000),
35.Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005).
Karya-karya Pramoedya, seperti halnya karya-karya sastra yang lain, relatif tidak pernah lepas dari pembahasan mengenai perempuan, namun peneliti mengambil beberapa contoh karya Pramoedya yang membahas perempuan sebagai bahan perbandingan terhadap BM, yaitu : Gadis Pantai, Larasati, dan Midah si Manis Bergigi Emas.
Dalam novel Gadis Pantai, perempuan digambarkan sebagai kaum pribumi dalam posisi tertindas oleh sistem feodalisme sesuai dengan temanya, yaitu pertentangan status sosial. Perempuan dalam Gadis Pantai berkarakter lugu dan penuh kebebasan karena hidup dari latar belakang lingkungan masyarakat pantai (Gadis Pantai, 1987: 19). Sejak dipaksa menjadi istri percobaan Bendoro dan menjalani kehidupan baru di dalam istana, Gadis Pantai merasa tertekan oleh banyak aturan yang diterapkan padanya. Ia merasa kemerdekaan hidupnya direnggut oleh sebuah sistem kekuasaan. Hal tersebut menimbulkan suatu proses perenungan dan pada akhirnya muncul keberanian untuk melakukan perlawanan meskipun
(27)
mengalami kekalahan. Kekalahan yang dialami oleh Gadis Pantai adalah tidak mendapatkan hak menjadi ibu bagi anak kandungnya sendiri dan diusir dari rumah Bendoro (Gadis Pantai, 1987: 253). Novel tersebut memiliki persamaan dengan BM yaitu mengungkap kehidupan perempuan tertindas yang bernasib menjadi istri tidak resmi seorang penguasa.
Nasib yang sama dialami oleh Larasati, yaitu sempat menjadi gundik orang Arab pada masa Revolusi sebagai simbol kekalahan nasional dan harga diri. Larasati merupakan novel berlatar revolusi dengan seorang aktris bernama Larasati sebagai tokoh utamanya. Larasati dalam perjuangannya juga mengalami diskriminasi ketika ia tidak diperkenankan ikut berjuang di medan perang karena ia seorang perempuan. Diskriminasi dan perasaan rendah diri membuat ia jatuh ke tangan orang Arab yang membuatnya menjadi gundik. Sedangkan dalam novel Midah si Manis Bergigi Emas perempuan digambarkan menjadi korban diskriminasi dan kekerasan di lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Tokoh Midah dalam novel tersebut menunjukkan berbagai diskriminasi terhadap perempuan di dalam lingkungan keluarga hingga di lingkungan masyarakat di luar rumah. Kisah Midah diakhiri dengan kekalahan moral setelah pulang kembali ke rumahnya. Kekalahan moral tersebut ditunjukkan dengan diserahkannya anaknya yang masih bayi kepada orang tuanya sementara ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengembara karena merasa tidak pantas menjadi ibu yang baik.
Karya tidak lepas dari konteks sosial pengarang, seperti yang dijelaskan Watt dalam Faruk, bahwa ada tiga hal yang dapat dijadikan
(28)
landasan untuk mengkaji konteks sosial pengarang, yaitu: bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan masyarakat seperti apa yang dituju pengarang (Faruk, 2005: 4). Konteks sosial tersebut juga ditemukan pada latar belakang Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya menjadi pengarang sejak masa kecilnya dan belajar secara otodidak. Dalam profesi kepengarangannya, ia terinspirasi beberapa pengarang besar seperti: John Steinbeck, William Soroyan, Lode Zielen dan terutama Maxim Gorki (Kurniawan, 2002: 8). Sebagian besar karyanya memperlihatkan sikap keadilannya yang kritis dan cenderung fanatik dengan ketidakadilan dan penindasan (Kurniawan, 2002: 9). Sebagai tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) karyanya terkait dengan aliran realisme sosialis yang dekat dengan paham kerakyatan (Kurniawan, 2002: 11). Ia merupakan pengarang yang menghabiskan seluruh hidupnya dengan menulis. Sebagai tokoh Lekra ia memokuskan tema-tema ceritanya pada rakyat dari golongan kelas menengah ke bawah.
Pramoedya menempatkan sosok perempuan sebagai inspirator utama dalam karya-karyanya. Ibu Pramoedya sendiri adalah seorang perempuan yang lembut hati dan pada waktunya dapat menjadi keras dan tegas. Ia merupakan sosok yang paling dicintainya dengan tulus (Kurniawan, 2002: 17). Karena kecintaannya tersebut, karakter demikian tercermin dalam karya-karyanya yang membahas perempuan. Kisah mengenai ketertindasan
(29)
perempuan juga terinspirasi dari sejarah hidup nenek Pramoedya yang direfleksikan dalam novel Gadis Pantai.
Seorang pengarang ketika menuangkan pikiran, harapan, gagasan dan perasaannya sekaligus menyusun ke dalam bentuk tulisan, melakukan juga kontempelasi terhadap kejadian-kejadian atau gejala yang berkaitan dengan kehidupan manusia (Kramadibrata, 2003: 65). Sedangkan dalam merancang karyanya, pengarang tidak lepas dari pengamatannya mengenai sejarah yang berlangsung. Hal ini sejalan dengan pernyataan Warren dan Wellek bahwa sebagai dokumen sosial, sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial (Wellek dan Werren, 1989: 122). Pengarang sebagai pencipta karya sastra mengemukakan ide, renungan dan pemikiran mengenai peristiwa yang dialaminya, oleh sebab itu karya tidak dapat lepas dari kenyataan sosial pada waktu berlangsungnya sebuah cerita, sehingga karya sastra dipercaya mampu merefleksikan zamannya.
Bagi Pramoedya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Menurut Eka Kurniawan, Pramoedya menganut paham Realisme Sosialis, namun menurut pernyataan Pramoedya, ia tidak semata-mata mendukung paham tersebut. Hal tersebut dikatakan dalam wawancaranya di majalah TEMPO. Pramoedya tampil menjadi diri sendiri yang terpisah dari kriteria kepengarangan, namun sebagai pengarang ia tidak lepas dari pengalaman yang terjadi dari lingkungannya. Karya-karya yang diterbitkan bukan tidak memiliki tujuan. Bagi Pramoedya keindahan karya sastra terletak pada perjuangan melawan penindasan dan keterpurukan akibat penjajahan. Nuansa
(30)
perjuangan melawan kolonial yang ditampilkan Pramoedya terinspirasi dari pengalamannya selama ditindas oleh sistem yang membuatnya menjadi tahanan politik selama berturut-turut.
Karena seringnya Pramoedya menyampaikan pesan perjuangan melalui tokoh perempuan, Aveling mengatakan bahwa Pramoedya seorang feminis, namun sebagai pengarang laki-laki, beberapa hal dari karyanya nampak terdapat segi superioritas laki-laki yang mampu mengalahkan keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam karyanya. Terbukti dalam penggambaran tokoh Minke yang selalu dicintai beberapa tokoh perempuan dalam BM.
…Nyai telah menceritakan asal muasal sakitnya, dan minta dengan amat sangat, bukan sekedar menganjurkan seperti dulu, agar aku segera datang sesuai dengan nasihat dokter. Kata dokter Martinet, tanpa kehadiranku Annelies tak punya harapan sembuh, boleh jadi akan semakin melarut (BM: 291).
Cuplikan tersebut menunjukkan bahwa sebagai laki-laki ia adalah
orang yang bertanggungjawab, para perempuan dalam BM tersebut
membutuhkan sosok laki-laki sebagai pelindung dan penyelamat keluarga dan perusahaan. Kehadiran Minke (sebagai tokoh utama laki-laki) terkesan menjadi sumber kebahagiaan dan keselamatan perusahaan NO dan Annelies. Selain itu, sebagai tokoh utama, Minke merupakan sosok inspiratif dan gambaran pribumi yang memilki harga diri dan semangat perjuangan.
Gaya penulisan Pramoedya juga tidak lepas dari faktor budaya Samin. Pramoedya Ananta Toer berasal dari daerah Blora Jawa Tengah. Blora merupakan daerah yang mempunyai kelompok masyarakat khas yang
(31)
berani menentang pemerintah. Kelompok masyarakat tersebut dinamakan masyarakat samin. Disamping bertradisi Jawa, masyarakat samin terbentuk oleh penyatuan visi dan misi ajaran Saminisme.
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya Kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup
besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan
Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati di Blora pada saat itu (www.wikipedia.com).
Kondisi masyarakat seperti inilah yang sendikit mempengaruhi pengarang dalam menulis karyanya. Karya-karya Pramoedya sarat dengan unsur perjuangan melawan sistem yang menindas dan tidak adil. Hal tersebut sejalan dengan kondisi masyarakat samin yang anti kolonialisme sebab kolonialisme adalah sistem yang menjajah dan merugikan rakyat. Kondisi sosial budaya pada masyarakat samin berpengaruh pada karakter tulisan Pramoedya yang bernada tegas menentang ketidakadilan.
C. BM dalam Perspektif Sosiologi Sastra
Karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi melainkan juga merupakan pencerminan atau rekaman budaya dan suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya tersebut dilahirkan (Taine dalam Endraswara, 2003). Rekaman budaya yang tersirat dalam karya sastra pada akhirnya dapat
(32)
dikaji dengan menggunakan sosiologi sastra. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Taine menyebut novel bertujuan menggambarkan kehidupan nyata, mendeskripsikan karakter-karakter, serta menyugestikan rancangan tindakan dan memberikan penilaian terhadap motif-motif tindakan (Faruk, 2005: 46).
Hal tersebut sejalan dengan representasi kenyataan historis yang terdapat dalam novel BM. Masyarakat yang digambarkan dalam novel BM berlatar Surabaya dan Blora pada sekitar tahun 1898. BM merupakan novel yang menceritakan berbagai kehidupan masyarakat yang tinggal dalam lingkungan Kolonial dan Feodal dengan berbagai konflik yang mewarnainya. Karakter-karakter tokoh di dalamnya merupakan representasi dunia pemikiran dan perasaan pengarang dalam menampilkan ideologinya.
Pramoedya memilih tokoh nyai sebagai tokoh utama. Sistem
Kolonial telah menempatkannya dalam posisi tertindas secara ganda sebagai seorang perempuan di hadapan laki-laki dan seorang pribumi di hadapan penjajah Belanda. Tetapi di sisi lain, sebagai perempuan yang keluar dari hierarki masyarakat tradisional Jawa dan menjadi “kekasih” penjajah, seorang nyai mempunyai akses pada pengetahuan dan harta benda yang tidak
dimiliki perempuan pribumi lainnya. Kehidupan nyai yang sekaligus
merupakan kutukan dan berkah tersebut menurut Bandel sangat cocok melukiskan keadaan bangsa yang terjajah (2006: 43). Tema tersebut diungkapkan Pramoedya dalam novel BM sebagai representasi ideologinya
(33)
mengungkapkan bahwa penjajahan dapat terjadi di Indonesia khususnya di Jawa karena masyarakat Jawa sendiri yang memberikan kesempatan kepada bangsa Eropa (BM, 2006: 217). Ide-ide semacam itu seringkali digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan kebenaran dan perenungan kepada pembaca dalam menyikapi fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
Adapun yang disebut nyai menurut Leonard Blusse adalah
perempuan yang dipelihara pejabat kolonial maupun swasta-swasta Belanda yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Bahkan sebelum Belanda datang, pedagang Asia dan Portugis sudah terbiasa memelihara nyai. Pada masa VOC, orang Belanda yang beristrikan perempuan bumi putera tidak boleh membawa istri beserta anak-anak dari perkawinan itu ke negara asalnya. Perkawinan dianggap tidak sah oleh pihak gereja. Peristiwa demikian membuat kompeni memelihara nyai saja yang dapat ditinggalkan setiap saat (Christanty dalam Basis, 1994: 21)
Pengarang sangat berpengaruh dalam model penciptaan karya sastra. Semesta tokoh dan peristiwa yang diceritakan merupakan dunia yang dipahami bersama-sama dengan orang lain. Melalui karya sebenarnya seorang penulis atau seniman mencoba memahami dirinya sendiri. Studi biografis baik dalam proses produksi karya seni maupun karya keilmuan sosial dianggap memiliki sejumlah manfaat, terutama dalam kaitannya dengan latar belakang proses rekonstruksi fakta-fakta (Ratna, 2003: 198). Termasuk dalam hal ini peristiwa atau fakta-fakta sosial yang terjadi di Hindia Belanda.
(34)
Di pihak lain pengarang juga memiliki keterbatasan pengalaman baik secara sosiopsikologis maupun sosiobiologis sehingga data biografi yang terkandung dalam karya sastra sebenarnya sudah dimanipulasikan ke dalam bentuk-bentuk rekaan dan hanya sebagian kecil yang berkaitan dengan karya sastra (Ratna, 2003: 200). Seperti yang digambarkan dalam novel BM, latar belakang masyarakat Feodal dan Kolonial merupakan salah satu bentuk fenomena yang ditunjukkan pengarang dalam menampilkan fenomena kekuasaan serta ide-ide perjuangan melawan kedua sistem tersebut. Termasuk bagaimana peran-peran perempuan dalam melakukan perlawanan terhadap perlakuan diskriminatif dari kedua sistem tersebut.
Dalam hubungannya dengan masalah gender, perempuan pada masyarakat kolonial menduduki kelas yang rendah setelah laki-laki sehingga berpengaruh pada perannya dalam masyarakat. Hal tersebut dikemukakan oleh feminis dari Amerika yang mendasarkan ideologinya pada konsep marxis, bahwa perempuan merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain yaitu kelas laki-laki (Djajanegara, 2000: 2).
D. Perempuan dan Gender
Umar dalam Budiawati mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis manusia yang ditentukan secara biologis. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan baik secara sosial
(35)
maupun kultural, misalnya perempuan dikenal lembut dan cantik (Bias Gender dalam Verba Bahasa Indonesia, 2004: 12).
Ketika membahas permasalahan perempuan, satu konsep penting yang tidak dapat diabaikan ialah konsep gender. Hal ini menjadi masalah yang krusial kerana streotip yang dibentuk oleh gender dalam aplikasinya memiliki kecenderungan menguntungkan jenis kelamin tertentu yakni laki-laki. Keuntungan tersebut dilihat dari berbagai tatanan sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat yang menganut budaya patriarkhi. Perempuan sebagai lawan jenis laki-laki digambarkan dengan citra-citra tertentu yang mengesankan inferioritas perempuan baik dalam struktur sosial maupun budaya (Sugihastuti dan Istna, 2007: 83). Interaksi yang terjalin antara perempuan dan laki-laki menuntut adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul daripada jenis kelamin yang lain yaitu perempuan.
Proses pengambilan keputusan dalam sebuah keluarga juga tidak terlepas dari kontrol kekuasaan laki-laki yang dianggap lebih berwenang (Sugihastuti dan Istna, 2007: 82). Hal tersebut terjadi dan seolah dilegalkan oleh konstruksi kebudayaan setempat. Proses yang berulang-ulang akhirnya banyak membentuk pandangan negatif tentang kaum perempuan yang diantaranya meliputi fungsi, peran, dan kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat. Salah satu adalah stereotip bahwa perempuan merupakan kaum yang lemah, sedangkan laki-laki adalah kaum yang kuat. Berdasarkan hal ini perempuan memiliki kecenderungan yang kuat untuk tergantung kepada laki-laki. Sebaliknya laki-laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol perempuan
(36)
dalam berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, sistem pembagian kerja dan sebagainya (Sugihastuti dan Istna, 2007: 83).
Diskriminasi merupakan aksi negatif yang bersumber dari prasangka dan stereotip. Prasangka adalah sebuah sikap yang cenderung negatif terhadap anggota kelompok sosial tertentu hanya karena keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu. Sedangkan stereotip adalah kerangka berpikir kognitif yang menyatakan bahwa semua orang adalah bagian dari sebuah kelompok sosial yang menunjukkan karakteristik yang serupa. Parasangka berkaitan erat dengan stereotip dan wujud reaksinya berupa tindakan diskriminasi, salah satunya adalah rasisme atau pembedaan bedasarkan ras (Robert A. Baron dan Donn Byrne, 2002: 255-256).
Fakih dalam Budiawati menyatakan bahwa stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Menurutnya, stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip tersebut bersumber dari pandangan gender. Terjadinya ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, bersumber dari stereotip yang dilekatkan padanya. Misalnya masyarakat beranggapan bahwa perempuan memiliki tugas sekunder, seperti sebagai ibu rumah tangga. Anggapan bahwa laki-laki lebih kuat lebih cerdas dan emosinya lebih stabil, sementara perempuan lemah, kurang cerdas dan emosinya labil, juga hanyalah persepsi stereotipe gender (Bias Gender dalam Verba Bahasa Indonesia, 2004: 11-12).
(37)
E. BM dan Kondisi Sosial Budayanya
Sejak jaman penjajahan Belanda, Jawa telah dijadikan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Hindia Belanda adalah nama Indonesia setelh dikuasai pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itulah terjadi berbagai perubahan sosial yang lebih canggih, masyarakat Jawa telah terbagi menjadi lebih banyak kelompok dibandingkan ketika sebelum perang kemerdekaan (Murniati, 2004: 87).
Di bawah Kolonialisme Belanda, politik diskriminasi dan pemaksaan budaya mengakibatkan berakarnya mentalitas inlander atau konsep rendah diri dalam masyarakat pribumi, terlebih pada kaum perempuan. Sebagai salah satu tokoh yang sadar elit dan retorika Kolonial, Soekarno berhasil mengungkapkan adanya manipulasi dan kesenjangan Kolonial dalam mengkonstruksikan mentalitas inlander pada masyarakat pribumi (Ita, 2007: 9). Hal tersebut adalah merupakan bagian dari misi kolonial untuk menjajah wilayah Hindia.
Culturstelsel yang terjadi pada abad ke-19 adalah landasan kuat proses legalitas klasifikasi rasial di Hindia Belanda. Jc Baud adalah salah satu pembentuk dan pelaksana culturestelsel, menegaskan bahwa bahasa, warna kulit, agama, moral, keturunan, ingatan historis dan semuanya adalah sepenuhnya berbeda antara orang-orang Belanda dan orang-orang Jawa. Orang Belanda adalah penguasa dan Jawa adalah yang dikuasai. Salah satu penegasan atas politik rasial ini dilakukan oleh Gubernur Jendral JJ Rochusen yang memerintah pada tahun 1848-1849. Ia mempertegas perbedaan biner
(38)
antara penjajah dan yang dijajah dengan mengagung-agungkan keindahan kulit putih dan superioritas moral serta intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit cokelat. Sampai pada abad 19, asumsi dan klasifikasi rasial ini menjadi legal (Ita, 2007: 59-60).
Warna putih di Indonesia mempunyai makna yang positif daripada kulit berwarna. Goon dan Craven mengatakan bahwa secara garis besar, di Asia, putih adalah simbol dari kesucian, kebaikan, keindahan dan kemurnian. Selain itu secara garis besar, putih adalah simbol dari kebersihan, kecantikan, kesucian, kebaikan, dan derajat yang tinggi. Sebaliknya warna hitam identik dengan kotor, jelek, dosa, malam (gelap) dan sedih (Ita, 2007: 15-16). Hal tersebut yang menyebabkan diskriminasi perempuan yang berawal dari pandangan mengenai warna kulit.
Perempuan dalam pandangan tradisi Jawa tersubordinasi di bawah laki-laki. Perempuan dipandang hanya sebagai subyek yang terikat sistem patriakhat. Hal tersebut diungkapkan oleh Suhandjati (2001: 94) bahwa perempuan hanya bertugas mengurusi soal-soal domestik, yaitu urusan kerumahtanggaan. Oleh karena itu perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Di depan umum seorang istri tidak boleh lebih menonjol dari suami. Sampai sekarang pun masih tetap terdengar bahwa perempuan harus bisa
macak (berhias diri), masak (memasak), dan manak (beranak), yang
merupakan tugas-tugas domestik bagi perempuan yang sudah berkeluarga, yaitu tugas-tugas internal kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, bagi orang Jawa perempuan dikatakan sebagai kanca wingking. Ideologi tersebut begitu
(39)
kuat membelenggu perempuan dari kalangan masyarakat Feodal Jawa, sehingga mempunyai pengaruh yang sangat luas (Murniati, 2004: 105). Pengaruh tersebut terealisasikan dalam berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Pendidikan berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu dan dari tahun ke tahun. Kebanyakan para murid dari golongan pria saja, sedangkan gadis pribumi tidak seperti para gadis asing lainnya yang ikut mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi (www.suaramerdeka.com). Saat itu situasi politik yang tak menentu dan ditambah pengaruh adat yang kuat menjadikan perempuan pribumi terbelakang dalam bidang pendidikan. Wanita semata-mata hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Setelah melanjutkan sekolah rendah, mereka menjadi gadis-gadis pingitan dan dipersiapkan untuk berumah tangga. Namun di sisi lain perempuan yang berasal dari keluarga petani dan buruh sebenarnya tidak banyak terikat oleh ajaran-ajaran raja-raja atau agama yang datang bersama kekuatan Kolonial. Mereka memiliki peran yang berbeda dengan perempuan Feodal atau kalangan atas. Mereka berperan dalam bidang sosial dan ekonomi. Otoritasnya dalam keluarga jauh lebih besar (Murniati, 2004: 105).
Dalam era VOC pada tahun 1600-an, masyarakat Eropa selalu memerlukan ijin untuk menikah. Garis pemisah utama dalam masa ini bukan ras melainkan agama. Karena keadaan tersebut, banyak laki-laki Eropa yang tidak pernah mengawini perempuan Asia, tetapi hidup dengannya sebagai gundik atau nyai. Larangan bagi orang Kristen mengawini perempuan yang
(40)
bukan Kristen tetap berlaku bahkan setelah VOC tidak ada lagi. Pada tahun 1805 masih saja menjadi bahan perbincangan (Hellwig, 2007: 35). Nyai merupakan budak perempuan bagi laki-laki Belanda. Budak perempuan biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang paling miskin. Mereka tidak berada pada posisi negosiasi atau dapat mengajukan tuntutan apa pun (Hellwig, 2007: 36). Anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut juga digolongkan menjadi bagian masyarakat yang berbeda, yaitu masyarakat indo. Pada masa Kolonial, kesetaraan antara golongan kulit putih dan indo mustahil terjadi (Hellwig, 2007: 26-27).
James Peacock dalam Murniati mengatakan bahwa kedudukan dan peran perempuan di Indonesia diwarnai oleh sistem masyarakatnya. Secara garis besar, sistem masyarakat di Indonesia dikelompokkan menjadi sistem matrilineal, patrilineal, dan bilineal (Getar Gender, 2004: 80). Perubahan ke tahap Feodalisme, menggeser kedudukan dan peranan perempuan lewat ajaran raja-raja dalam suatu wilayah. Kolonialisme dan Imperialisme mendorong semakin kuatnya budaya patriarkhi, atau membuat kedudukan perempuan semakin rendah. Rendahnya pendidikan pada akhirnya juga menjebak perempuan pada golongan bawah ke dalam sistem patriarkhi yang kuat (Murniati, 2004: 84). Akar patriakhi di Indonesia bersumber dari beberapa aspek, yaitu: sosiologi atau pembagian kerja dan fungsi masyarakat, kebudayaan (feodalisme) dan ajaran agama, tradisi atau adat istiadat, politik (kolonialisme), imperialism, dan militerisme, ekonomi atau kapitalisme (Murniati, 2004: 85).
(41)
F. Diskriminasi terhadap Perempuan
Menurut Firestone, kelas sosial yang didasarkan pada jenis kelamin merupakan konsep dasar yang dapat dipergunakan untuk menganalisis berbagai ketidakadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan kelas sebenarnya adalah perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya struktur biologi perempuan merupakan kelemahan yang menyebabkan perempuan dikuasai laki-laki dengan sistem patriarkhi (Diskriminasi Gender, 87).
Diskriminasi yang terdefinisikan dalam konvensi persamaan hak menjelaskan kriteria dan bentuk diskriminasi yang dapat dikategorikan terhadap perempuan.
BAGIAN I Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. www.bappenas.go.id).
Diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat tidak terjadi begitu saja melainkan terbentuk melalui proses yang panjang. Pada waktu manusia masih berpikir sangat sederhana mereka belajar dari yang mereka amati dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membutuhkan
(42)
pembagian kerja untuk kelangsungan hidup. Mulailah pembagian kerja untuk kelangsungan hidup atas dasar biologis. Menurut sejarah sejak zaman itu, terjadi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Kemudian muncul perbedaan jenis pekerjaan luar (publik) dan pekerjaan dalam (domestik).
Terisolasi oleh lingkungan hidupnya, maka perempuan cenderung berkelompok, mengelola makanan dan obat-obatan. Ini berbeda dengan laki-laki yang bekerja di luar secara bebas. Aturan mengenai hidup termasuk pembagian kerja dibuat perempuan yang hidupnya menetap. Budaya ini dinamakan budaya matriakhat, dengan anak dikenal dari garis keturunan ibu. Perubahan budaya matriakhat menjadi patriakhat terjadi pada waktu laki-laki mengenal peternakan. Sifat peternakan yang menciptakan harta, membutuhkan pelimpahan harta sebagai warisan. Karena kebutuhan pelimpahan ini, laki-laki mulai mencari keturunnnya untuk diberi hak waris. Sejak itu, anak dikenal dari garis keturunan ayah (Murniati, 2004: 79).
Perjalanan budaya patriarkhi semakin kuat dan mantap ketika terjadi perubahan sosial ke masyarakat Feodal. Kemudian masyarakat ini berkembang menjadi masyarakat kapitalis dan akhirnya dikunci dengan sistem militerisme. Akibat perubahan sosial tersebut, masyarakat berpandangan bahwa norma manusia dianggap benar apabila dipandang dari sudut laki-laki. Semua ini berlaku di berbagai aspek kehidupan, yaitu seperti aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, bahkan agama. Keadaan inilah yang melahirkan segala macam diskriminasi terhadap perempuan, walaupun akibatnya mengenai kaum laki-laki juga (Murniati, 2004:80).
(43)
Perempuan Indonesia mempunyai peran dalam merebut kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah. Bahkan lebih dari itu, posisi perempuan berada dalam kesetaraan dengan kaum laki-laki, jauh sebelum masuknya Feodalisme dan Kolonialisme dengan berbagai pandangan ideologi gendernya yang bias (Murniati, 2004:94). Budaya patriarkhi yang dibentuk oleh sistem Kolonial dan Feodal merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Kekerasan adalah tindakan atau perilaku atau aksi sosial yang berakar pada diskriminasi dan berdampak atau berakibat secara tidak seimbang kepada perempuan. Bentuk kekerasan bisa sangat beragam tergantung pada lingkungan budaya (MAKARA, 2003 Vol 7: 66).
Dalam konteks peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan nilai sosial yang hidup di masyarakat, misalnya dalam permasalahan diskriminasi jenis kelamin, permasalahan utama yang dihadapi adalah kuatnya pandangan sebagian masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Pandangan demikian tidak hanya terdapat pada kaum laki-laki, tetapi banyak juga perempuan yang mempunyai pandangan bahwa secara kodrati tidak setara atau lebih rendah dari laki-laki.
Apabila seseorang yang berpandangan demikian berada di posisi pembentuk peraturan perundang-undangan atau pembuat kebijakan publik, potensi terjadinya kebijakan yang diskriminatif menjadi lebih besar. Di samping itu, kurangnya perhatian para pembentuk peraturan perundang-undangan dalam mematuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
(44)
pemerintahan juga berperan besar melahirkan peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif (www.bappenas.com).
Kebijakan yang bersifat diskriminatif masih sering terjadi di beberapa daerah, antara lain dengan dibentuknya peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang tata cara berpakaian dan batas ruang gerak perempuan di ruang publik serta melarang perempuan keluar malam tanpa muhrim. Disamping itu, sejak diberlakukannya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, laporan terhadap terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, sedangkan catatan terjadinya kekerasan terhadap laki-laki tidak tersedia. Sistem sosial belum memungkinkan hal tersebut dilakukan.
Diskriminasi merupakan aksi yang cenderung menimbulkan dampak negatif terhadap perempuan. Dampak tersebut antara lain adalah harapan yang lebih rendah terhadap perempuan, kepercayaan diri dan persepsi diri yang rendah terhadap perempuan, reaksi negatif dan glass ceiling atau disebut juga dengan pembedaan gender dalam mendaki tangga karir (Robert A. Baron dan Donn Byrne, 2005:249-253). Diskriminasi terhadap perempuan juga menyebabkan berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik maupun nonfisik atau psikologis. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan namun diskriminasi tersebut masih ada hingga di masa sekarang.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada tahun 2005 terjadi 20.392 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut meningkat menjadi 22.512
(45)
kasus pada tahun 2006. Selain itu, Indonesia sebagai negara yang juga meratifikasi berbagai konvensi, salah satunya adalah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, tetapi dalam tataran pelaksanaan ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut belum sepenuhnya dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam penyelesaian kasus-kasus yang berhubungan dengan tindakan diskriminasi khususnya diskriminasi terhadap perempuan.
(46)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Obyek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode deskriptif kualitataif. Menurut Peorwandari penelitian deskripsi kualitatif sangat baik digunakan dalam penelitian mengenai perilaku dalam konteks budaya. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis dan lesan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dari mereka (Moleong, 1991: 3). Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan dan mengintepretasikan data-data tertulis berupa satuan cerita yang terdapat dalam sumber data. Pendekatan tersebut sesuai dengan kajian mengenai tokoh perempuan. Obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah karya sastra berupa novel yang berjudul Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.
B. Penentuan Sumber Data
1. Data primer dan data sekunder
Data primer diambil dari naskah Bumi Manusia karya Pramoedya yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara, Jakarta pada tahun 2006. BM diterbitkan pertama kali oleh penerbit Hasta Mitra pada tahun 1980 di Jakarta. Data primer tersebut berupa kata, frase, kalimat, paragraf dan kumpulan-kumpulan paragraf yang mengandung representasi fenomena
(47)
diskriminasi tokoh perempuan dalam BM. Data sekunder berupa pustaka dan beberapa artikel dari majalah serta artikel dari internet sebagai data penunjang teori.
2. Populasi dan sampel penelitian
Sesuai dengan penentuan sumber data yang ada, populasi penelitian ini adalah semua hal yang terdapat dalam naskah BM. Ada pun sampel data dalam penelitian ini adalah hal-hal yang mengungkap fenomena diskriminasi terhadap perempuan. Penggambaran peristiwa
unsur-unsur tersebut dipandang sebagai gejala sosial yang
mengisyaratkan sikap, perilaku, dan peristiwa yang terjadi pada tokoh merupakan unsur utama untuk dianalisis lebih lanjut.
C. Instrument Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa kartu data dan data lain yang bersifat tertulis. Kartu data digunakan untuk mencatat data yang diperoleh dari teks yang kemudian dilakukan identifikasi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research) dan teknik catat. Teknik studi pustaka dilakukan untuk menemukan bentuk-bentuk diskriminasi dengan teori sosiologi sastra dan pendekatan feminisme dalam BM. Sedangkan teknik
(48)
catat digunakan untuk mencatat semua data yang diperoleh selama penelitian dilakukan. Teori sosiologi sastra difokuskan pada akar diskriminasi perempuan yang menyebabkan berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan yang berasal dari kondisi masyarakat dan sosial budayanya.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif kualiatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap subyek penelitian (BM) bertolak dari literatur yang terkait dengan pokok masalah yang dibicarkan. Secara umum langkah-langkah analisis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Membaca secara cermat dan teliti novel BM karya Pramoedya Ananta
Toer.
2. Mengidentifikasikan konsep dan aspek latar belakang sosial BM yang menjadi faktor pemicu diskriminasi terhadap perempuan.
3. Mengindentifikasikan konsep diskriminasi perempuan.
4. Mengkaji dan mendeskripsikan diskriminasi perempuan dalam teori sosiologi dan feminisme pada kajian pustaka serta menelaah dampak-dampak diskriminasi akibat perilaku diskriminasi tersebut.
(49)
F. Sistematika Laporan Penelitian
Sistematika pelaporan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
Bab 1: pendahuluan yang berisi uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan landasan teori.
Bab 2: kajian pustaka yang berisi uraian mengenai novel BM dan
Pramoedya Ananta Toer, karya-karya Pramoedya yang berbicara mengenai perempuan dan gender, diskriminasi terhadap perempuan, teori psikologi, perspektif Sosiologi Sastra, kondisi sosial budaya masyarakatnya dan penelitian-penelitian yang relevan.
Bab 3: metodologi penelitian yang berisi populasi, sampel, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, penarikan kesimpulan dan sistematika laporan penelitian.
Bab 4: pembahasan atau analisis penelitian. Bab 5: Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
(50)
BAB IV PEMBAHASAN
A. Potret Kondisi Sosial Budaya dalam Novel BM
Novel BM berlatar waktu sekitar tahun 1890-an pada saat kolonial Belanda masih berkuasa di Hindia (BM: 18) saat tokoh Minke menyebut nama tahun ketika ratu Wilhelmina diangkat sebagai pemimpin negara dan dirayakan oleh warga Hindia Belanda yang terdiri dari pribumi dan Eropa di Hindia. Pada tahun tersebut kolonial masih menempati posisi penting dalam politik di Indonesia karena mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan di Hindia, seperti sosial, budaya, hukum, dan pendidikan.
Masyarakat dalam novel BM digambarkan sebagai masyarakat
yang tinggal di wilayah Hindia Belanda secara geografis dan menganut sistem sosial yang ada di dalamnya. Sistem sosial yang dianut cenderung berpusat pada kekuasaan Kolonialisme. Konteks sosial masyarakat dalam BM digambarkan sebagai fenomena kekuasaan yang direpresentasikan melalui semua tokoh yang ada di dalamnya.
Masyarakat selalu terikat dengan sistem budaya dan kondisi sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tersebut. Berbicara mengenai masyarakat dan sejarah, sastra selalu berkaitan dengan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Masyarakat itu sendiri tidak lepas dari kelas-kelas yang ada di sekitarnya. Kelas sosial memungkinkan masyarakat melakukan mobilitas sosial. Kelas dapat dibagi menjadi beberapa kriteria, yaitu
(51)
berdasarkan agama, ekonomi, kedudukan, keturunan, umur, dan jenis kelamin. Kolonial adalah masyarakat Belanda yang tinggal di daerah jajahan. Mereka menganut hukum mereka sendiri yaitu Kolonialisme. Setting tempat BM adalah di Surabaya. Tempat ini banyak disebutkan sebab di Surabaya berbagai tokoh penting tinggal dan menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi selama cerita berlangsung. Surabaya dalam BM sering disebut sebagai tempat tinggal NO dan Annelies di Boerderij Buitenzorg, sebuah perusahaan pertanian di Wonokromo Surabaya (BM: 130). NO dan kedua anaknya tinggal di dalamnya. Ia memimpin dan mengelola perusahaan tersebut.
Selain Surabaya, Blora banyak disebut dalam BM sebagai kota kelahiran tokoh utama, selain itu juga merupakan tempat kalahiran pengarang. Dalam BM Blora ditulis dalam inisial “B”. Blora terletak di Jawa Tengah dekat dengan Jepara. Blora pada zaman kolonial dikenal mempunyai masyarakat yang memiliki jiwa pemberontak. Masyarakat itu disebut masyarakat Samin.
Masyarakat Samin mempunyai ciri khas, yaitu selalu melakukan perlawanan terhadap sistem politik sejak zaman penjajahan Belanda. Pramoedya termasuk bagian dari masyarakat Samin, hal tersebut ditunjukkan dalam bahasanya yang beraksen melawan dan memprotes. Kehidupan masyarakat Samin cukup mempengaruhi Pramoedya sebagai penulis naskah BM. Salah satunya ditunjukkan dengan representasi tokoh NO yang anti segala hal berbau kolonialis.
(52)
BM menunjukkan adanya fenomena feodalisme dan kolonialisme pada abad ke 19 masih kuat pengaruhnya di Hindia Belanda. Kedua hal tersebut berpengaruh dalam pola-pola kekuasaan. Feodalisme adalah pola atau sistem yang dilakukan oleh masyarakat Jawa khususnya di kalangan bangsawan, sedangkan Kolonialisme dilakukan oleh masyarakat Belanda yang menjajah.
1. Dikotomi antara Pribumi dan Kolonial
Pada masa Kolonialisme, komunitas Eropa di Hindia terdiri dari bangsa Eropa asli (totok) dan golongan Indo yang berdarah campuran.
Masyarakat Hindia tersebut dalam BM adalah masyarakat yang
terkondisikan secara diskriminatif. Hal tersebut didasarkan pada prasangka masyarakat yang terjadi di dalamnya yang mengatakan bahwa golongan kolonial dan pribumi merupakan kelompok masyarakat yang berbeda. Masyarakat kolonial memandang pribumi Hindia adalah kelompok masyarakat yang lebih rendah dari kelompok masyarakat Eropa. Begitu pula dengan masyarakat pribumi yang sadar dengan kedudukan mereka yang rendah terhadap masyarakat Eropa karena kalah dalam hal teknologi, ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga dalam sejarah, pribumi seringkali menjadi budak masyarakat Belanda.
Setelah lebih dari 250 tahun masa kolonialisme, daerah jajahan tersebut mencapai titik pemantaban supremasi kulit putih. Golongan Kolonial saat itu ditetapkan menjadi bagian yang memasuki posisi
(53)
pengendali dan pengambilan keputusan. Masyarakat kolonial memandang diri mereka sebagai kelompok yang jauh lebih tinggi daripada seluruh penduduk lain di Hindia dan bersikap patriakhal. Orang Eropa di Hindia tampil sebagai golongan elit kelas menengah khas. Hanya yang menjadi militer tidak termasuk kategori ini.
Masyarakat Jawa pada saat itu mengenal dua struktur sosial, yaitu priyayi dan petani. Sedangkan Kolonial membagi struktur sosial berdasarkan warna kulit, agama dan kepemilikan ekonomi. Perbedaan dua budaya tersebut yang menyebabkan adanya berbagai permasalahan yang timbul dan menjadi rangkaian konflik dalam BM dan pada
akhirnya menempatkan tokoh-tokoh pelaku BM dalam berbagai
karakteristik yang saling berkaitan. Kolonialisme dan Patriarki membedakan masyarakat menjadi kelas-kelas sosial.
Mayarakat Jawa dalam BM menganut sistem Feodalisme.
Sistem tersebut ditunjukkan dalam tradisi tunduk terhadap yang lebih berkuasa.
“Orang Jawa sujud berbakti kepada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang Jawa harus berani mengalah, Gus.” (BM: 193)
Cuplikan tersebut adalah pernyataan yang diungkapkan Bunda, ibu Minke, sebagai representasi masyarakat Jawa yang memegang nilai kehormatan kepada yang lebih tua dan yang lebih berkuasa. Masyarakat Jawa menghormati masyarakat Kolonial Belanda karena lebih berkuasa di Hindia. Hal tersebut merupakan faktor terjadinya
(54)
diskriminasi terhadap pribumi yang berujung pada berbagai bentuk penindasan. Namun sebagai pribumi yang terpelajar, Minke menolak nilai-nilai tersebut. Sebab ia pernah merasakan perasaan rendah di hadapan Eropa ketika mengunjungi rumah Robert Millema.
“Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Dia sudah tahu sekarang: aku Pribumi. Pengusiran setiap saat bisa terjadi” (BM: 28).
Hal tersebut mengungkapkan bahwa tidak jarang pula terjadi perlakuan dikriminatif orang Belanda terhadap kaum pribumi seperti pengusiran. Masyarakat pribumi kerap menerima penghinaan semacam itu dari masyarakat kolonial.
Pribumi dan Eropa merupakan dua golongan yang hidup dengan berbagai prasangka satu sama lain. Hal tersebut terlihat dari bagaimana teman-teman Minke, Mariam dan Sarah berbicara kepadanya. Mariam dan Sarah sebagai siswi HBS dari Belanda mengatakan berbagai kualitas Eropa di bidang ilmu dengan bernada meremehkan kaum pribumi, namun Minke mengungkapkan kelebihan Pribumi yang tidak dimiliki Eropa (BM: 215-217). Kelebihan Eropa dalam hal kekuasaan dan ilmu jusru lebih banyak dipergunakan untuk menindas pribumi. Hal tersebut juga dapat terlihat dalam salah satu cuplikan yang dinyatakan NO berikut,
Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelaan ini lebih benar daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena, keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus? (BM: 426).
(55)
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh NO dalam sidang Eropa sebagai bentuk protes terhadap perilaku masyarakat Belanda atau Eropa terhadap Pribumi karena merasa lebih unggul. Bahkan hukum Eropa melegalkan adanya diskriminasi terhadap pribumi.
Penghinaan Pribumi oleh Kolonial sangat dirasakan oleh Minke yang bersekolah di HBS karena rata-rata siswa sekolah HBS berasal dari kalangan totok dan indo.
Ia bawa aku untuk kemegahan diri dan saksi. Mengapa aku? Karena aku Pribumi, maka ia dapat lebih gampang mempercantik diri dengan aku sebagai perbandingan. Tepat seperti adat wanita atasan Eropa di jaman lewat yang membawa monyet ke mana-mana agar kelihatan lebih cantik (daripada monyetnya). (BM: 317-318)
Cuplikan tersebut adalah salah satu bentuk diskriminasi atau rasisme yang dilakukan Robert Suurhof sebagai ras Eropa terhadap Minke yang seorang Pribumi dengan menganggap bahwa pribumi lebih rendah dari pada masyarakat golongan totok. Perlakuan diskriminatif masyarakat Kolonial terhadap Pribumi juga ditunjukkan melalui bahasa yang dipergunakan. Kolonial cenderung menggunakan bahasa Melayu kasar bila berbicara kepada pribumi.
“Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!”
“Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (BM: 64)
Bahasa tersebut dilontarkan oleh Herman Millema ketika bertemu Minke di rumahnya, bahkan memanggilnya dengan sebutan
(1)
Hak-hak berusaha NO tidak dilindungi secara hukum. Bahkan meskipun perusahaan dijalankan oleh NO, ia tidak mendapat hak apapun karena perusahaan masih tetap atas nama Herman Millema. dan selain itu NO bukan istri sah Herman. Ketidakadanya kualitas di bidang ekonomi tersebut, perempuan yang menjadi nyai dianggap hanya perempuan yang suka menghambur-hamburkan harta tuannya dan bergaya hidup mewah. Namun hal tersebut tidak terjadi pada diri NO.
Ibu Sanikem dan Bunda adalah perempuan yang tergantung secara ekonomi dan pekerjaannya dalam sektor domestik. Ketergantungan secara ekonomi berdampak pada ketergantungan dalam segala hal hingga pada tempat tinggal. Ketergantungan tersebut menimbulkan ketidakpercayaan terhadap perempuan karena dianggap tidak memiliki potensi ekonomi.
Saat zaman Kolonial dan Feodal perempuan kurang berperan penting dalam pengembangan sektor ekonomi. Jika mereka dapat bekerja di luar rumah, pekerjaan yang diambil juga menyangkut sektor domestik. Faktor ekonomi membuat perempuan harus rela bekerja di luar dan mendapat upah yang lebih sedikit. Penempatan posisi perempuan dalam sektor pekerjaan pun masih dibedakan menurut jenis kelamin. Perempuan cenderung ditempatkna di sektor domestik dan banyak diantaranya merupakan eksploitasi terhadap perempuan dalam bentuk prostitusi.
(2)
Prostitusi yang terjadi pada kaum perempuan berpengaruh pada perspektif masyarakat mengenai eksistensi perempuan. Secara seksual perempuan dinilai hanya sebagai barang dagangan sehingga martabat dan harga dirinya tidak dipertimbangkan. Hal ini terjadi pada diri Maiko dan teman-temannya dalam BM. Anggapan tersebut membuat kaum perempuan kerap menerima tindak kekerasan baik secara fisik maupun nonfisik.
(3)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut,
1. Masyarakat dalam BM dicerminkan sebagai masyarakat yang penuh dengan prasangka dan konflik dalam berbagai bidang kehidupan yang berasal dari prasangka antar ras, yaitu antara ras Eropa dan Pribumi Hindia. Budaya yang dominan dalam masyarakat tersebut adalah Feodalisme dan Kolonialisme. Hal tersebut memicu terjadinya berbagai bentuk diskriminasi yang merugikan kaum pribumi. Diksriminasi yang disebabkan faktor-faktor tersebut membuat kaum perempuan menjadi korban utama.
2. Bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan terjadi dalam berbagai aspek, diantaranya:
a. Dalam lingkungan keluarga perempuan ditempatkan pada sektor domestik untuk melayani anggota keluarga laki sedangkan laki-laki ditempatkan pada sektor publik.
b. Masyarakat menempatkan perempuan sebagai anggota masyarakat nomor dua setelah laki-laki serta tidak memiliki hak yang setara dengan laki-laki.
(4)
c. Hukum dan politik yang berlaku di Hindia adalah hukum dan sistem politik Kolonial yang tidak berpihak kepada perempuan dan dalam prakteknya justru membedakan kaum perempuan berdasarkan ras. d. Keberagaman agama menyebabkan ketidakadilan terutama terhadap
masyarakat pribumi karena Hukum Kolonial yang berlaku di Hindia berorientasi pada agama Kristen yang dianut oleh kelompok masyarakat Kolonial.
e. Dalam hal ekonomi, perempuan, khususnya perempuan pribumi, tidak mendapat kesempatan berkembang karir dan bisnis karena tidak adanya undang-undang atau hukum yang melindungi dan memberikan kesempatan berwirausaha bagi mereka.
3. Diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan berbagai dampak dalam kehidupan mereka. Dampak tersebut juga terjadi dalam berbagai bidang kehidupan seperti:
a. Dampak secara sosial dan budaya: diskriminasi menyebabkan perempuan terjebak dalam posisi yang lebih rendah dari pada laki-laki sehingga sangat mudah untuk terjebak dalam perbudakan. Selain itu perempuan tidak mendapat hak menempuh pendidikan yang sama dengan laki-laki.
b. Dampak secara prokologi: diskriminasi terhadap perempuan menimbulkan dampak positif dan negatif secara psikologis. Dampak positif menimbulkan sikap keberanian, kepercayaan diri dan perasaan
(5)
berharga diri. sedangkan dampak negatifnya adalah perasaan rendah diri, perasaan takut, dan trauma permanen.
c. Dampak secara politik dan hukum: hukum yang bersifat rasisme menyebabkan perempuan tidak mendapatkan perlindungan secara adil. Ketidakadilan ersebut memyebabkan mudahnya perempuan menjadi korban kekerasan baik secara fisik maupun nonfisik.
d. Dampak secara ekonomi: Perempuan dalam BM tidak memiliki kesempatan mengembangakan dirinya dalam bidang karir dan tidak dapat mendiri secara ekonomi.
(6)
B. Saran
1. Novel BM dapat dijadikan acuan mempelajari aspek-aspek perjuangan dan latar belakang sejarah perjuangan bangsa.
2. Novel BM dapat dijadikan sumber inspirasi karena berisi mengenai berbagai macam karakter manusia, pola pikir, permasalahan-permasalahan dan bagaimana cara-cara manusia tersebut mengatasi masalahnya.
3. Novel BM dapat menjadi khasanah dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sastra dan dapat dijadikan bahan penelitian selanjutnya karena banyaknya permasalahan yang terdapat di dalam novel tersebut.