Sanikem dianggap barang yang dapat ditukar dengan jabatan oleh ayahnya sendiri. Hal ini dapat digolongkan sebagai tindakan
perdagangan anak dan perempuan sebab nilainya dapat ditukar dengan materi. Tindakan Sastrotomo terhadap Sanikem menunjukan adanya
pola-pola kekerasan yang berasal dari diskriminasi dalam keluarga. Diskrimiansi tersebut berasal dari prasangka bahwa perempuan adalah
makhluk yang tidak memiliki kehendak dan perasaan sehingga dapat diperlakukan menurut keinginan.
2. Diskriminsi dalam Masyarakat
Masyarakat seringkali menjadi tolak ukur dalam menilai buruk atau benar tingkah laku perempuan karena masyarakat terbentuk dari
sistem budaya yang mengikat. Budaya Jawa mengenal berbagai tradisi dan tata cara yang mengatur perempuan untuk dapat disebut layak
menurut ukuran masyarakat.
“..jadi kau larang istrimu untuk dipangkur? kau tak jijik nanti melihat giginya ada yang runcing?” BM: 459.
Budaya pangkur dalam masyarakat diperuntukkan bagi perempuan agar dinilai cantik. Pangkur adalah memotong dan
meratakan gigi bagian bawah agar terlihat lebih cantik di mata kaum laki-laki, namun dalam segi kesehatan, pangkur dapat membahayakan
karena memotong bagian email gigi. Label cantik secara tradisional telah membedakan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seolah
harus mempercantik diri demi kaum laki-laki sedangkan bagi laki-laki
tidak ada tradisi yang mengharuskan mereka terlihat baik di mata perempuan.
“Waktu aku masih kanak-kanak, Gus, buruk benar perempuan tak bisa mem
batik.” BM: 461 Selain itu perempuan yang tidak bisa membatik dianggap buruk.
Membatik adalah seni menggambar kain. Pada saat itu membatik adalah salah satu kegiatan para perempuan Jawa yang dilakukan di
rumah. Perempuan pada saat itu harus dapat membatik sebab membatik merupakan tolak ukur terampil atau tidaknya perempuan di
mata masyarakat. Perempuan yang tidak dapat membatik dipandang buruk oleh masyarakat. NO juga membatik ketika masih remaja
sebelum ia diambil menjadi nyai. Simbol-simbol diskriminasi perempuan dalam masyarakat
tradisional juga terlihat dari bagaimana masyarakat memperlakukan benda-benda tertentu hasil budaya seperti keris.
“Ampun Bunda, coba Bunda tarikkan keris itu untuk sahaya, biar sahaya lihat”
“Husy, kau memang sudah bukan Jawa. apa kau samakan ini dengan pisau dapur?”
waktu aku lihat butir airmata pada wajahnya buru-buru aku ikat kain batik itu dan menyembahnya:
“Ampun Bunda, bukan maksud sahaya hendak sakiti Bunda. Ampun, beribu ampun ya Bunda.”
Bunda membuang muka dan menghapus airmata dengan pundaknya.
“Jangan keterlaluan, Gus, juga jangan keterlaluan bukan-jawa- mu. Mulai kapan perempuan boleh menarik keris dari
saarungnya? Keris hanya untuk lelaki..” BM: 462. Keris juga dianggap benda yang hanya digunakan oleh laki-laki
dan tidak diperbolehkan untuk dipegang perempuan. Keris dianggap
sakral untuk kaum laki-laki saja BM: 462. Keris di lingkungan bangsawan adalah senjata yang harus dibawa oleh kaum laki-laki
karena digunakan juga untuk berperang. Dalam perkembangannya, keris disakralkan dan hanya menjadi benda yang boleh dipegang oleh
laki-laki atau anggota keluarga laki-laki. Begitulah keadaanku, keadaan perawan waktu itu, Ann-hanya
bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entah kemana, entah sebagai istri
nomor berapa, pertama atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang beruntung kalo jadi yang
pertama dan tunggal. Dan itu keluarbiasaan dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelaki yang mengambil dari rumah
itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perempuan harus
mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada lelaki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan
dan mengusir…BM: 119 Cuplikan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
pengaruh penting dalam memberi label negatif terhadap perempuan. Masyarakat Jawa pada waktu itu menganggap bahwa perempuan yang
telah berusia 13 tahun dan belum menikah dianggap sudah masuk dalam kategori perawan tua. Ketika sudah masuk usia menikah, orang
tua mereka lah yang berperan menjodohkannya. Perempuan yang telah memasuki umur 13 tahun biasanya dipingit sebelum dijodohkan.
Mereka diharuskan berada di rumah dan mempersiapkan diri menjadi ibu rumah tangga. Mereka juga tidak mengenal siapa calon suami yang
akan dijodohkan oleh kedua orang tua mereka dan ketika menjadi istri ia mengabdi sepenuhnya kepada suami mereka dengan menerima
segala bentuk perlakuannya.
Perempuan Jawa pada tahun 1880-an masih bertolak ukur pada peraturan tradisional, bahkan yang berumur 13 tahun sudah
dianggap sebagai perawan tua. Dalam budaya Jawa pada saat itu, segi keberhasilan perempuan hanya dinilai dari apakah ia sudah menikah
pada umur tertentu dan apakah ia berhasil dalam sektor domestik yaitu sebagai ibu rumah tangga.
Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah semasa kanak-kanak dulu. Malah duduk di
pendopo aku tidak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak BM: 118.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya bentuk diskriminasi yang berujung pada penindasan. Sebab dalam budaya tersebut tidak
terlihat adanya unsur pembebasan kaum perempuan yang ditandai dengan pendidikan sekolah atau di luar pendidikan bersifat domestik.
Pada masyarakat Kolonial terjadi pembedaan antara perempuan Eropa dan Pribumi. Perempuan pribumi biasanya tidak mendapat
penghormatan yang sama dengan perempuan Eropa. Pembedaan tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat kolonial tetapi juga
pribumi. Dan aku ragu, haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita
Eropa, atau aku hadapi ia seperti wanita pribumi- jadi aku harus tidak peduli? BM: 33
Bunda masuk untuk mempersiapkan riasku…. Ia ragu melihat Jan Depperste yang menatapnya dengan
pandangan melecehkan.
“Bundaku, Jan‟ kataku Baru teman itu tersenyum terpaksa dan membungkuk
menghormat BM: 456.
Cuplikan tersebut adalah pernyataan isi hati Minke ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan NO di Boerderij Boetenzorg, hal
tersebut menunjukkan bahwa perempuan pribumi hanya merupakan bagian masyarakat yang tidak perlu dihargai oleh kaum laki-laki.
Sedangkan cuplikan kedua adalah reaksi Jan Dapperste, teman Minke yang sedang menemuinya di rumah NO. Semula Minke pun
berpendapat negatif dengan NO ketika bertemu untuk pertama kali di Boerderij Boetenzorg. Tidak hanya Minke, masyarakat dari kalangan
Eropa juga melabeli NO dengan pandangan yang negatif. ….terdengar peringatan pada kuping batinku: awas, jangan
samakan dia dengan bunda. Dai hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak tidak syah,
sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan utuk kehidupan senang dan mewah BM: 38.
“Tuanmuda, Tuanmuda, tentu Tuanmuda menghendaki anaknya; tapi ibunya juga lebih bernafsu Semua orang
memuji-muji kecantikan anaknya. Tak ada yang berani datang ke sana. Beruntung benar Tuanmuda ini. Tapi ingat-ingat,
salah- salah Tuanmuda diterkam oleh si Nyai” BM: 75.
Cuplikan tersebut menunjukkan adanya label negatif masyarakat terhadap perempuan yang menjadi nyai. NO dianggap perempuan yang
setipe pelacur dan hanya hidup bermewah-mewah. Namun dalam kenyataannya NO tidak seperti anggapan umum melainkan justru
tipikal perempuan pekerja keras yang mampu memimpin perusahaan dan kritis terhadap berbagai keadaan yang terjadi di sekitarnya akibat
dari trauma yang pernah dideritanya.
Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan BM: 119.
Perempuan dalm masyarakat taradisional jarang diberi kesempatan untuk berpendapat baik dalam lingkungan keluarga
maupun di masyaraktnya. Keputusan dalam keluarga dan masyarakat lebih banyak ditentukan oleh kaum laki-laki. Hal tersebut
menunjukkan tidak adanya ruang demokrasi bagi perempuan sehingga memposisikannya sebagai anggota masyarakat yang selalu tergantung
kepada setiap keputusan yang berlaku dalam keluarga. Masyarakat Eropa juga mendukung prasangka yang bias gender terhadap
perempuan pribumi dan melakukan mereka secara diskriminatif.
3. Hukum dan Politik