BM  menunjukkan  adanya  fenomena  feodalisme  dan  kolonialisme pada  abad  ke  19  masih  kuat  pengaruhnya  di  Hindia  Belanda.  Kedua  hal
tersebut berpengaruh dalam pola-pola kekuasaan. Feodalisme adalah  pola atau sistem yang dilakukan oleh  masyarakat Jawa khususnya di kalangan
bangsawan,  sedangkan  Kolonialisme  dilakukan  oleh  masyarakat  Belanda yang menjajah.
1. Dikotomi antara Pribumi dan Kolonial
Pada masa Kolonialisme, komunitas Eropa di Hindia terdiri dari bangsa Eropa asli totok dan golongan Indo yang berdarah campuran.
Masyarakat  Hindia  tersebut  dalam  BM  adalah  masyarakat  yang terkondisikan  secara  diskriminatif.  Hal  tersebut  didasarkan  pada
prasangka  masyarakat  yang  terjadi  di  dalamnya  yang  mengatakan bahwa  golongan  kolonial  dan  pribumi  merupakan  kelompok
masyarakat  yang  berbeda.  Masyarakat  kolonial  memandang  pribumi Hindia adalah kelompok masyarakat yang lebih rendah dari kelompok
masyarakat Eropa. Begitu pula dengan masyarakat pribumi yang sadar dengan  kedudukan  mereka  yang  rendah  terhadap  masyarakat  Eropa
karena  kalah  dalam  hal  teknologi,  ilmu  pengetahuan  dan  kekuasaan, sehingga dalam sejarah, pribumi seringkali menjadi budak masyarakat
Belanda. Setelah  lebih dari 250 tahun  masa kolonialisme,  daerah  jajahan
tersebut  mencapai  titik  pemantaban  supremasi  kulit  putih.  Golongan Kolonial  saat  itu  ditetapkan  menjadi  bagian  yang  memasuki  posisi
pengendali  dan  pengambilan  keputusan.  Masyarakat  kolonial memandang  diri  mereka  sebagai  kelompok  yang  jauh  lebih  tinggi
daripada  seluruh  penduduk  lain  di  Hindia  dan  bersikap  patriakhal. Orang  Eropa  di  Hindia  tampil  sebagai  golongan  elit  kelas  menengah
khas. Hanya yang menjadi militer tidak termasuk kategori ini. Masyarakat  Jawa  pada  saat  itu  mengenal  dua  struktur  sosial,
yaitu priyayi dan petani. Sedangkan Kolonial membagi struktur sosial berdasarkan warna kulit, agama dan kepemilikan ekonomi. Perbedaan
dua budaya tersebut yang menyebabkan adanya berbagai permasalahan yang  timbul  dan  menjadi  rangkaian  konflik  dalam  BM  dan  pada
akhirnya  menempatkan  tokoh-tokoh  pelaku  BM  dalam  berbagai karakteristik  yang  saling  berkaitan.  Kolonialisme  dan  Patriarki
membedakan masyarakat menjadi kelas-kelas sosial. Mayarakat  Jawa  dalam  BM  menganut  sistem  Feodalisme.
Sistem  tersebut  ditunjukkan  dalam  tradisi  tunduk terhadap  yang  lebih berkuasa.
“Orang  Jawa  sujud  berbakti  kepada  yang  lebih  tua,  lebih berkuasa,  satu  jalan  pada  penghujung  keluhuran.  Orang  Jawa
harus berani mengalah, Gus.” BM: 193 Cuplikan  tersebut  adalah  pernyataan  yang  diungkapkan  Bunda,
ibu Minke, sebagai representasi masyarakat Jawa yang memegang nilai kehormatan  kepada  yang  lebih  tua  dan  yang  lebih  berkuasa.
Masyarakat  Jawa  menghormati  masyarakat  Kolonial  Belanda  karena lebih  berkuasa  di  Hindia.  Hal  tersebut  merupakan  faktor  terjadinya
diskriminasi  terhadap  pribumi  yang  berujung  pada  berbagai  bentuk penindasan.  Namun  sebagai  pribumi  yang  terpelajar,  Minke  menolak
nilai-nilai  tersebut.  Sebab  ia  pernah  merasakan  perasaan  rendah  di hadapan Eropa ketika mengunjungi rumah Robert Millema.
“Rasanya  ada  gendang  bermain  dalam  jantungku.  Dia  sudah tahu sekarang: aku Pribumi. Pengusiran setiap saat bisa terjadi”
BM: 28. Hal  tersebut  mengungkapkan  bahwa  tidak  jarang  pula  terjadi
perlakuan  dikriminatif  orang  Belanda  terhadap  kaum  pribumi  seperti pengusiran. Masyarakat pribumi kerap menerima penghinaan semacam
itu dari masyarakat kolonial. Pribumi dan Eropa merupakan dua golongan yang hidup dengan
berbagai prasangka satu sama lain. Hal tersebut terlihat dari bagaimana teman-teman Minke, Mariam dan Sarah berbicara kepadanya. Mariam
dan  Sarah  sebagai  siswi  HBS  dari  Belanda  mengatakan  berbagai kualitas  Eropa  di  bidang  ilmu  dengan  bernada  meremehkan  kaum
pribumi, namun Minke mengungkapkan kelebihan Pribumi yang tidak dimiliki Eropa BM: 215-217. Kelebihan Eropa dalam hal kekuasaan
dan  ilmu  jusru  lebih  banyak  dipergunakan  untuk  menindas  pribumi. Hal  tersebut  juga  dapat  terlihat  dalam  salah  satu  cuplikan  yang
dinyatakan NO berikut, Orang  Eropa  dapat  membeli  perempuan  Pribumi  seperti  diriku
ini.  Apa  pembelaan  ini  lebih  benar  daripada  percintaan  tulus? Kalau orang Eropa boleh  berbuat karena, keunggulan uang dan
kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus? BM: 426.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh NO dalam  sidang Eropa sebagai  bentuk  protes  terhadap  perilaku  masyarakat  Belanda  atau
Eropa  terhadap  Pribumi  karena  merasa  lebih  unggul.  Bahkan  hukum Eropa melegalkan adanya diskriminasi terhadap pribumi.
Penghinaan Pribumi oleh Kolonial sangat dirasakan oleh Minke yang  bersekolah  di  HBS  karena  rata-rata  siswa  sekolah  HBS  berasal
dari kalangan totok dan indo. Ia  bawa  aku  untuk  kemegahan  diri  dan  saksi.  Mengapa  aku?
Karena  aku  Pribumi,  maka  ia  dapat  lebih  gampang mempercantik  diri  dengan  aku  sebagai  perbandingan.  Tepat
seperti adat wanita atasan Eropa di jaman lewat yang membawa monyet  ke  mana-mana  agar  kelihatan  lebih  cantik  daripada
monyetnya. BM: 317-318
Cuplikan  tersebut  adalah  salah  satu  bentuk  diskriminasi  atau rasisme  yang  dilakukan  Robert  Suurhof  sebagai  ras  Eropa  terhadap
Minke  yang  seorang  Pribumi  dengan  menganggap  bahwa  pribumi lebih  rendah  dari  pada  masyarakat  golongan  totok.  Perlakuan
diskriminatif  masyarakat  Kolonial  terhadap  Pribumi  juga  ditunjukkan melalui bahasa yang dipergunakan. Kolonial cenderung menggunakan
bahasa Melayu kasar bila berbicara kepada pribumi. “Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet”
“Kowe  kira,  kalo  sudah  pake  pakean  Eropa,  bersama  orang Eropa,  bisa  sedikit  bicara  Belanda  lantas  jadi  Eropa?  Tetap
monyet” BM: 64
Bahasa  tersebut  dilontarkan  oleh  Herman  Millema  ketika bertemu  Minke  di  rumahnya,  bahkan  memanggilnya  dengan  sebutan
monyet.  Sementara  Minke  berbicara  padanya  dengan  bahasa  Belanda untuk  menghormati.  Contoh  lain  adalah  ketika  dokter  Gubermen
berbicara pada NO dan  Minke ketika akan  merawat Annelies,  ia  juga menggunakan bahasa melayu kasar.
“Nyai  Mengapa  kowe  biarkan  anak  ini  dibius  begitu  hebat?” tanyanya pada Mama dalam melayu kasar.
“Apa  perlu  Tuan  segera  tinggalkan  rumah?”  balas  nyai  dalam melayu bernada dan cara lebih kasar lagi.
“Verdomme,  apa  kowe  misih  tidak  mengerti?  Aku  dokter Gubermen.”  BM: 519
Disamping  pandangan-pandangan  negatif  tersebut,  sebagian masyarakat  Eropa  juga  sadar  dengan  adanya  sisi  kelebihan  dari
masyarakat pribumi. Aku  telah  ikut  berperang  di  Aceh,  hanya  karena  tadinya
menduga Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan. Ternyata mereka melawan, dan melawan benar, tidak
kepalang  tanggung.  Gagah  berani  pula,  seperti  dalam  banyak perang besar di Eropa BM: 334.
Cuplikan  tersebut  adalah  ungkapan  dari  Jean  Marais,  sahabat Minke  yang  pernah  berperang  di  Aceh.  Ia  mengungkapkan  sisi
semangat  perjuangan  yang  dimiliki  masyarakat  pribumi  ketika berperang  dengan  bangsa  Eropa.  Hal  tersebut  menunjukkan  adanya
pengakuan  dari  bangsa  Eropa  terhadap  eksistensi  dan  kelebihan masyarakat pribumi di Hindia.
Dalam bidang hukum laki-laki Belanda masih dilarang menikah dengan  perempuan  pribumi,  akibatnya  budaya  pergundikan  menjadi
semakin  marak.  Pola  pergundikan  hampir  sama  terjadi  dalam
masyarakat bangsawan Jawa yang feodal. Di samping itu, pergundikan terjadi karena kebanyakan laki-laki Belanda yang sudah menikah tidak
dapat membawa istri-istri mereka ke Hindia. Selama  250  tahun  pertama  hanya  sedikit  perempuan  Belanda
yang  menetap  di  tanah  jajahan.  Mereka  tidak  mampu  menyesuaikan gaya  hidup  Belanda  yang  standar  dengan  kebiasaan  borjuisnya.
Perempuan-perempuan  muda  Eropa  dan  Indo  tersebut  dikirim  ke Hindia  untuk  menjadi  istri  laki-laki  kulit  putih  yang  sama  rasnya.
Dengan  demikian  terwujud  golongan  rasial  dan  sosial  keturunan campuran, yang dalam abad-abad setelah itu memainkan peran penting
Helwig, 2007: 6. Patriarki menunjukkan sebuah bukti adanya sistem sosial yang
mendukung  atau  membenarkan  predominasi  pria,  menimbulkan pemusatan  kekuasaan  dan  previlise  di  tangan  kaum  pria  dan
mengakibatkan kontrol dan subordinasi terhadap kaum perempuan dan pada  akhirnya  menciptakan  ketimpangan  gender.    Budaya  patriarkhi
tersebut berasal dari pola-pola kekusaan feodal dan kolonial yang rata- rata  dipegang  oleh  kaum  laki-laki.  Patriarkhi  menunjukkan  adanya
kontrol  dan  kekuasaan  yang  dipegang  orang  laki-laki  terhadap perempuan.
Mamamu  hanya  seorang  pribumi,  akan  tidak  mempunyai sesuatu hak atas semua,  juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk
anakku sendiri, kau, Ann. Percuma saja akan jadinya kita berdua membanting  tulang  tanpa  hari  libur  ini.  Percuma  aku  telah
lahirkan  kau,  karena  hukum  tidak  mengakui  keibuanku,  hanya karena aku pribumi yang tidak dikawini secara syah BM: 112.
Cuplikan  tersebut  merupakan  perkataan  NO  kepada  Annelies yang  menunjukkan  posisi  NO  di  depan  hukum  Kolonial.  Perempuan
pribumi  yang  menjadi  gundik  orang  Eropa  tidak  dilindungi  oleh hukum  yang  berlaku.  Mereka  tidak  memiliki  hak  untuk  tinggal  dan
mengakui  anak-anak  kandung  mereka.  NO  merupakan  contoh  dari korban  ketidakadilan  hukum  tersebut  karena  ia  adalah  pribumi.
Meskipun  NO  yang  mengelola  perusahaan  milik  Herman  Millema,  ia tidak mempunyai hak pembagian harta secara hukum karena ia adalah
pribumi.
2. Perspektif Budaya Jawa terhadap Kaum Perempuan