F. Diskriminasi terhadap Perempuan
Menurut Firestone, kelas sosial yang didasarkan pada jenis kelamin merupakan konsep dasar yang dapat dipergunakan untuk menganalisis
berbagai ketidakadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan kelas sebenarnya adalah perbedaan secara biologis antara laki-laki dan
perempuan. Menurutnya struktur biologi perempuan merupakan kelemahan yang menyebabkan perempuan dikuasai laki-laki dengan sistem patriarkhi
Diskriminasi Gender, 87. Diskriminasi yang terdefinisikan dalam konvensi persamaan hak
menjelaskan kriteria dan bentuk diskriminasi yang dapat dikategorikan
terhadap perempuan.
BAGIAN I Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki
dan perempuan Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. www.bappenas.go.id.
Diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat tidak terjadi begitu saja melainkan terbentuk melalui proses yang panjang.
Pada waktu manusia masih berpikir sangat sederhana mereka belajar dari yang mereka amati dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membutuhkan
pembagian kerja untuk kelangsungan hidup. Mulailah pembagian kerja untuk kelangsungan hidup atas dasar biologis. Menurut sejarah sejak zaman
itu, terjadi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Kemudian muncul perbedaan jenis pekerjaan luar publik dan pekerjaan dalam domestik.
Terisolasi oleh lingkungan hidupnya, maka perempuan cenderung berkelompok, mengelola makanan dan obat-obatan. Ini berbeda dengan laki-
laki yang bekerja di luar secara bebas. Aturan mengenai hidup termasuk pembagian kerja dibuat perempuan yang hidupnya menetap. Budaya ini
dinamakan budaya matriakhat, dengan anak dikenal dari garis keturunan ibu. Perubahan budaya matriakhat menjadi patriakhat terjadi pada waktu laki-laki
mengenal peternakan. Sifat peternakan yang menciptakan harta, membutuhkan pelimpahan harta sebagai warisan. Karena kebutuhan
pelimpahan ini, laki-laki mulai mencari keturunnnya untuk diberi hak waris. Sejak itu, anak dikenal dari garis keturunan ayah Murniati, 2004: 79.
Perjalanan budaya patriarkhi semakin kuat dan mantap ketika terjadi perubahan sosial ke masyarakat Feodal. Kemudian masyarakat ini
berkembang menjadi masyarakat kapitalis dan akhirnya dikunci dengan sistem militerisme. Akibat perubahan sosial tersebut, masyarakat
berpandangan bahwa norma manusia dianggap benar apabila dipandang dari sudut laki-laki. Semua ini berlaku di berbagai aspek kehidupan, yaitu seperti
aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, bahkan agama. Keadaan inilah yang melahirkan segala macam diskriminasi terhadap perempuan, walaupun
akibatnya mengenai kaum laki-laki juga Murniati, 2004:80.
Perempuan Indonesia
mempunyai peran
dalam merebut
kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah. Bahkan lebih dari itu, posisi perempuan berada dalam kesetaraan dengan kaum laki-laki, jauh sebelum
masuknya Feodalisme dan Kolonialisme dengan berbagai pandangan ideologi gendernya yang bias Murniati, 2004:94. Budaya patriarkhi yang
dibentuk oleh sistem Kolonial dan Feodal merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Kekerasan adalah
tindakan atau perilaku atau aksi sosial yang berakar pada diskriminasi dan berdampak atau berakibat secara tidak seimbang kepada perempuan. Bentuk
kekerasan bisa sangat beragam tergantung pada lingkungan budaya MAKARA, 2003 Vol 7: 66.
Dalam konteks peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan nilai sosial yang hidup di masyarakat, misalnya dalam permasalahan
diskriminasi jenis kelamin, permasalahan utama yang dihadapi adalah kuatnya pandangan sebagian masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan. Pandangan demikian tidak hanya terdapat pada kaum laki-laki, tetapi banyak juga perempuan yang mempunyai pandangan
bahwa secara kodrati tidak setara atau lebih rendah dari laki-laki. Apabila seseorang yang berpandangan demikian berada di posisi
pembentuk peraturan perundang-undangan atau pembuat kebijakan publik, potensi terjadinya kebijakan yang diskriminatif menjadi lebih besar. Di
samping itu, kurangnya perhatian para pembentuk peraturan perundang- undangan dalam mematuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan juga berperan besar melahirkan peraturan perundang- undangan yang bersifat diskriminatif www.bappenas.com.
Kebijakan yang bersifat diskriminatif masih sering terjadi di beberapa daerah, antara lain dengan dibentuknya peraturan daerah perda
yang mengatur tentang tata cara berpakaian dan batas ruang gerak perempuan di ruang publik serta melarang perempuan keluar malam tanpa
muhrim. Disamping itu, sejak diberlakukannya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, laporan terhadap terjadinya tindakan kekerasan
terhadap perempuan semakin meningkat, sedangkan catatan terjadinya kekerasan terhadap laki-laki tidak tersedia. Sistem sosial belum
memungkinkan hal tersebut dilakukan. Diskriminasi merupakan aksi yang cenderung menimbulkan dampak
negatif terhadap perempuan. Dampak tersebut antara lain adalah harapan yang lebih rendah terhadap perempuan, kepercayaan diri dan persepsi diri
yang rendah terhadap perempuan, reaksi negatif dan glass ceiling atau disebut juga dengan pembedaan gender dalam mendaki tangga karir Robert
A. Baron dan Donn Byrne, 2005:249-253. Diskriminasi terhadap perempuan juga menyebabkan berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan baik
secara fisik maupun nonfisik atau psikologis. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan namun diskriminasi tersebut masih ada hingga di masa sekarang.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2005 terjadi 20.392 kasus
kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut meningkat menjadi 22.512
kasus pada tahun 2006. Selain itu, Indonesia sebagai negara yang juga meratifikasi berbagai konvensi, salah satunya adalah meratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, tetapi dalam tataran pelaksanaan ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut belum sepenuhnya
dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam penyelesaian kasus-kasus yang berhubungan dengan tindakan diskriminasi khususnya diskriminasi
terhadap perempuan.
BAB III METODE PENELITIAN