Untuk melihat ketimpangan pendapatan dapat pula digunakan ukuran Bank Dunia yaitu dengan melihat distribusi pengeluaran pada 40 persen rumahtangga
berpendapatan rendah, 40 persen berpendapatan menengah dan 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi. Di RW tidak kumuh, 20 persen rumahtangga
berpendapatan tinggi memberikan sumbangan terhadap total pengeluaran sebesar 48,13 persen sedangakan 40 persen rumahtangga berpendapatan rendah hanya
menyumbang 19,01 persen. Hal ini memberikan Gambaran bahwa hampir 50 persen total pengeluaran di lokasi RW tidak kumuh dinikmati oleh 20 persen
rumahtangga berpendapatan tinggi. Kondisi ini menunjukkan ketimpangan distribusi pengeluaran di lokasi RW tidak kumuh dan informasi ini memperkuat
hasil gini rasio yang menunjukkan bahwa di RW tidak kumuh lebih timpang dibandigkan dengan di RW kumuh.
Empat puluh persern rumahtangga berpendapatan menengah di lokasi RW kumuh memberikan sumbangan terbesar terhadap total pengeluaran yaitu 38,91
persen kemudian diikuti oleh 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi 37,35 persen. Komposisi ini mencerminkan bahwa distribusi pendapatan di lokasi RW
kumuh lebih merata. Di bagian sebelumnya telah disinggung bahwa semakin tinggi tingkat ketimpangan maka semakin tinggi pula kejadian kemiskinan, namun
di RW kumuh dengan distribusi pendapatan yang lebih merata tetapi mempunyai kejadian kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh.
Kondisi ini terjadi karena di lokasi RW kumuh lebih “merata dalam kemiskinan”.
4.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kemiskinan
Kemiskinan tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh satu faktor tetapi merupakan kontribusi dari beberapa faktor yang komplek. Penyebab kemiskinan
dapat berupa faktor makro yang berada di luar rumahtangga seperti kebijakan makro ekonomi yang tidak layak, keterbatasan lapangan kerja, pembangunan
sumberdaya manusia yang rendah dan lain sebagainya. Di samping faktor- faktor tersebut, ada juga faktor- faktor dalam rumahtangga yang dapat menyebabkan
kemiksinan seperti tingkat pendidikan KRT, besaran rumahtangga, kepemilikan asset, lokasi, sektor pekerjaan dan lain sebagainya. Penyebab kemiskinan ini
perlu untuk dipahami agar mampu untuk menyusun suatu kebijakan yang efisien untuk mengurangi kemiskinan.
Banyak peubah yang dipahami sebagai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Peubah-peubah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu karakateristik yang berkaitan dengan individu seperti jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya dan karakteristik yang berkaitan dengan wilayah
dimana rumahtangga tersebut tinggal seperti area perkotaan atau perdesaan. Ada kesulitan dalam menentukan arah sebab akibat, apakah karakteristik dapat
menyebabkan kemiskinan atau kemiskinan yang menyebabkan karakteristik tersebut. Sebagai contoh apakah jumlah anggota rumahtangga yang besar dapat
menyebabkan kemiskinan atau kemiskinanlah yang menyebabkan jumlah anggota rumahtangga menjadi besar. Dalam penelitian ini akan memperkirakan mengenai
faktor- faktor yang menyebabkan kemiskinan, atau lebih tepat jika dikatakan sebagai faktor- faktor yang terkait dengan kemiskinan.
Kajian mengenai faktor- faktor yang terkait dengan kemiskinan dilakukan dengan menggunakan model pilihan diskrit discrete choice models antara lain
model regresi logit dan probit Deaton, 1987 dan 1990; Ravallion, 1996 diacu dala m Irawan, 2005. Regresi logistik ditujukan untuk memprediksi probabilitas
suatu nilai antara 0 dan 1. Dalam memahami mengenai faktor-faktor yang terkait dengan kemiskinan digunakan model regresi logit dengan variable tidak bebas
berupa variable biner ya itu miskin 1 dan tidak miskin 0. Sedangkan peubah- peubah bebas yang diteliti adalah jender, pendidikan, ukuran rumahtangga,
pekerjaan, kondisi tempat tinggal dan lokasi tempat tinggal. Model regresi logistik menggunakan metode Enter melalui paket program SPSS versi 11,5
disajikan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Penduga Parameter, Level Signifikansi, dan Nilai Odds Ratio dari Model Regresi Logistik Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Menurut
Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004
DKI Jakarta RW Tidak Kumuh
RW Kumuh Peubah
Peubah β
Signifi kansi
Odds Ratio
Peubah β
Signifi kansi
Odds Ratio
Peubah β
Signifi kansi
Odds Ratio
Konstanta -6.597
0.000 0.001
-5.963 0.000
0.003 -7.411
0.000 0.001
d_jk 0.870
0.000 2.386
1.155 0.000
3.173 0.526
0.122 1.692
art 0.527
0.000 1.694
0.480 0.000
1.616 0.646
0.000 1.909
d_jual -0.594
0.002 0.552
-0.604 0.020
0.547 -0.596
0.038 0.551
d_kasar -0.372
0.030 0.689
-0.352 0.133
0.703 -0.321
0.224 0.725
d_prof -0.596
0.016 0.551
-0.645 0.052
0.524 -0.451
0.241 0.637
dlain -0.169
0.729 0.845
0.090 0.885
1.094 -0.274
0.742 0.760
d_pp -0.763
0.002 0.466
-0.777 0.017
0.460 -0.798
0.038 0.450
d_under 0.712
0.002 2.039
1.022 0.001
2.779 0.130
0.751 1.139
d_sd -0.339
0.061 0.712
-0.384 0.132
0.681 -0.372
0.162 0.689
d_smp -0.419
0.027 0.658
-0.311 0.238
0.733 -0.563
0.048 0.570
d_sma -1.217
0.000 0.296
-1.208 0.000
0.299 -1.233
0.000 0.292
age_mpn -0.126
0.749 0.882
-0.653 0.181
0.520 0.525
0.443 1.691
age_tua -0.263
0.555 0.768
-1.152 0.042
0.316 0.884
0.239 2.420
um_1564 0.011
0.001 1.011
0.012 0.009
1.012 0.011
0.034 1.011
proker -0.028
0.000 0.972
-0.029 0.000
0.972 -0.028
0.000 0.972
p_bbm 0.086
0.000 1.090
0.090 0.000
1.094 0.074
0.008 1.077
p_mkn 0.050
0.000 1.051
0.044 0.000
1.045 0.053
0.000 1.054
d_lt 1.043
0.000 2.838
1.117 0.000
3.056 0.871
0.000 2.390
j_lti 0.553
0.023 1.739
1.087 0.000
2.965 -0.360
0.455 0.698
d_jbn 1.188
0.010 3.280
1.422 0.083
4.144 1.243
0.036 3.467
rmh -0.242
0.067 0.785
-0.035 0.843
0.965 -0.546
0.008 0.579
d_air -0.182
0.776 0.834
-0.841 0.382
0.431 1.539
0.110 4.658
Sumber : diolah dari Susenas Kor 2004 Keterangan : sangat nyata pada
α = 5 persen
Untuk menilai kelayakan model regresi, maka harus diperhatikan nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow
Tabel 4.11. Hipotesis yang digunakan pada uji ini adalah
-
H = tidak ada perbedaan yang nyata antara antara klasifikasi yang diprediksi
dengan klasifikasi yang diamati.
-
H
a
= ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati.
Model dikatakan layak apabila nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow:
- jika probabilitas 0,05 maka H
diterima -
jika probabilitas 0,05 maka H ditolak
Secara umum nilai dari uji tersebut menunjukkan angka signifikan 0,855 yang artinya model menerima H
. Keputusan menerima H menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi denga n klasifikasi yang diamati. Model untuk RW tidak kumuh menunjukkan angka
signifikasi 0,151 dan untuk RW kumuh adalah 0,699, dengan demikian model logistik dikedua lokasi ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Tabel 4.11. Nilai Chi square pada Uji Hosmer and Lemeshow Menurut Lokasi
Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004 Lokasi Tempat Tinggal
Chi-square df
Sig. DKI Jakarta
4.023586 8
0.855 RW tidak kumuh
12.01137 8
0.151 RW kumuh
5.540615 8
0.699
Sumber : diolah dari Susenas Kor 2004
Kemampuan prediksi dari model dapat diperkirakan melalui tabel klasifikasi yang didasarkan pada prediksi peluang menjadi miskin. Jika nilai probabilitas
yang diperoleh adalah 0,5 maka diinterpretasikan sebagai prediksi dari suatu rumahtangga miskin, sedangkan jika nilai probabilitas 0,5 maka
dinterpretasikan sebagai prediksi dari rumahtangga tidak miskin. Tabel 4.12 memperlihatkan bahwa kemampuan model DKI Jakarta untuk memprediksi
rumahtangga tidak miskin sangat baik yaitu 99,1 persen. Sebaliknya kemampuan model untuk memprediksi rumahtangga miskin cukup buruk yaitu 20,6 persen.
Secara keseluruhan kemampuan memprediksi dari model adalah 97,3 persen. Untuk RW kumuh kemampuan model untuk memprediksi rumahtangga miskin
lebih baik yaitu 31,5 persen, sedangkan untuk RW tidak kumuh cukup buruk yaitu hanya 18,4 persen.
Penelitian Garza-Rodriguez 2002 dan Sugiyono 2003 menunjukkan bahwa kemampuan memprediksi rumahtangga miskin dari model dengan
menggunakan peubah-peubah bebas karakteristik rumahtangga cukup rendah. Penelitian Garza-Rodriguez tentang penyebab kemiskinan di Mexico
menghasilkan tingkat sensitivitas model kemampuan memprediksi rumahtangga miskin sebesar 26,53 persen. Sementara itu hasil penelitian Sugiyono di Jawa
Barat menghasilkan tingkat sensitivitas 17,43 persen. Model logistik untuk memprediksi peluang miskin dari rumahtangga dengan menggunakan peubah
bebas karakteristik rumahtangga secara keseluruhan cukup bagus namun untuk memprediksi rumahtangga miskin kurang baik. Ada faktor-faktor lain di luar
karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi peluang rumahtangga menjadi miskin.
Tabel 4.12 Klasifikasi dari Kebenaran Prediksi
Prediksi dari model Kondisi nyata
Tdk miskin Miskin
total Persentase Benar
DKI Jakarta
Tdk miskin
5,654 50
5,704 99.1
Miskin
108 28
136 20.6
Total
5,762 78
5,840 97.3
RW Kumuh
Tdk miskin
1,950 28
1,978 98.6
Miskin
45 21
66 31.5
Total
1,995 49
2,044 96.4
RW Tidak Kumuh
Tdk miskin
3,707 19
3,726 99.5
Miskin
57 13
70 18.4
Total
3,764 32
3,796 98.0
Sumber : Diolah dari Susenas Kor 2004
Regresi logistik merupakan model yang tidak linear sehingga sulit untuk menginterpretasikan penduga
β sebagai pengaruh dari peubah bebas terhadap
kemiskinan. Namun dimungkinkan untuk menghitung efek marjinal pada beberapa nilai dari peubah bebas, seperti nilai rata-rata dari peubah bebas yang
kontinu dan beberapa nilai yang tetap dari peubah-peubah biner Garza- Rodriguez, 2002. Cara lain untuk melihat pengaruh dari peubah bebas terhadap
peluang menjadi miskin adalah dengan melihat nilai odds ratio. Odds ratio
didefinisikan sebagai rasio dari peluang menjadi miskin dibanding dengan peluang tidak menjadi miskin untuk peubah tertentu.
4.5.1. Kemiskinan dan Jender
Rumahtangga dengan KRT perempuan sering berpeluang lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga dengan KRT laki- laki Williamson et all,
1975. Ketidaksetaraan jender masih menjadi isu utama, dimana perempuan masih ditempatkan sebagai sub ordinat dari laki- laki. Sehingga dalam berbagai
hal, perempuan masih diposisikan di bawah laki- laki, seperti halnya di bidang ketenagakarejaan. Penelitian ILO 2002 di beberapa negara menyatakan bahwa
terdapat keterbatasan lapangan pekerjaan untuk perempuan disamping itu perempuan mempunyai tingkat produktivitas yang rendah. Yang menjadi maslah
pokok adalah perbedaan penerapan sistem upah antara laki- laki dan perempuan, dimana perempuaan sering mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan
yang diterima oleh laki- laki. Hasil estimasi regresi logistik di atas menunjukkan bahwa di DKI Jakarta
KRT perempuan mempunyai pengaruh positif terhadap peluang menjadi miskin pada taraf nyata 99 persen. Odds ratio dari peubah jender menunjukkan angka
2,386 yang artinya adalah KRT perempuan mempunyai peluang miskin 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan KRT laki- laki. Di RW tidak kumuh pengaruh
KRT perempuan tetap nyata terhadap resiko menjadi miskin pada taraf nyata 99 persen. Odds ratio dari peubah jenis kelamin KRT di RW tidak kumuh adalah
3,173. Rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan di RW tidak kumuh mempunyai resiko 3,173 lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan yang
laki- laki. Kondisi ini berbeda dengan keadaan di RW kumuh dimana peubah jenis kelamin KRT tidak berpengaruh nyata terhadap peluang rumahtangga menjadi
miskin. Gambar 4.3-1, 4.3-2 dan 4.3-3 menunjukkan peluang menjadi miksin
berdasarkan jenis kelamin KRT di DKI Jakarta, RW tidak kumuh dan RW kumuh. Asumsi dari gambar adalah KRT berjenis kelamin perempuan, KRT
berpendidikan tidak tamat SD, KRT setengah penganggur, bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai
akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Gambar 4.3-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Kelamin dari KRT di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.3-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Kelamin Dari KRT Di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Jns Kelamin KRT
laki-laki perempuan
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Jns Kelamin KRT
laki-laki perempuan
Gambar 4.3-3 Probabilitas Menjadi Miskin dan Jenis Kelamin dari KRT di RW Kumuh 2004
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa KRT perempuan mempunyai peluang lebih tinggi menjadi miskin pada jumlah anggota rumahtangga yang
sama. Dapat dikatakan bahwa jenis kelamin KRT secara nyata dapat menjelaskan mengenai kemiskinan di DKI Jakarta dan di RW tidak kumuh, namun menjadi
tidak nyata di RW kumuh atau dengan kata lain tidak ada bias jender di RW kumuh.
Hal ini merupakan cerminan adanya bias jender. Rumahtangga dengan KRT perempuan lebih banyak berada di bawah garis kemiskinan. Bias jender
dalam insiden kemiskinan telah ditemukan di Bangladesh, Guatemala, Indonesia, Nepal dan 12 negara lainnyanya yang diteliti pada tahuan 1994 Anynomous,
1996. 4.5.2.
Kemiskinan dan Besaran Rumahtangga. Beberapa penelitian di negara-negara sedang berkembang menunjukkan
bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumahtangga dengan konsumsi pendapatan per orang. Sering disimpulkan bahwa penduduk yang
hidup dengan keluarga besar lebih miskin Lanjouw dan Ravallion, 1994. Di negara-negara dunia ketiga sering kali anak dijadikan sebagai investasi
karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumahtangga miskin
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Jenis Kelamin KRT
laki-laki perempuan
keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa
lalu sering kali masih diterapkan yaitu “banyak anak banyak rejeki”. Schultz, 1981 diacu dalam Rodriguez Garcia 2002 menyebutkan bahwa angka kematian
bayi di kalangan rumahtangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut,
hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumahtangga. Pengaruh besaran rumahtangga terhadap peluang menjadi miskin didekati
dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Dengan asumsi bahwa peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT
berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2,
mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri maka nilai efek marjinal dari
besaran rumahtangga adalah 9,24 persen. Artinya adalah untuk DKI Jakarta peningkatan satu orang anggota rumahtangga akan meningkatkan peluang
menjadi miskin sebesar 9,24 persen. Dengan menggunakan asumsi yang sama, efek marjinal besaran rumahtangga di RW tidak kumuh dan RW kumuh masing-
masing sebesar 11,19 persen dan 5,02 persen. Di RW tidak kumuh setiap penambahan satu orang anggota rumahtangga maka resiko rumahtangga menjadi
miskin meningkat sebesar 11,19 persen, sedangkan di RW kumuh peningkatannya lebih rendah yaitu 5,02 persen. Perbedaan yang cukup nyata di RW tidak kumuh
dan RW kumuh terjadi karena pengaruh KRT perempuan sangat kuat dalam meningkatkan resiko kemiskinan di RW tidak kumuh.
Semakin besar anggota rumahtangga maka akan memperkecil rata-rata konsumsi perkapita sehingga peluang miskin menjadi semakin besar. Namun
pengaruh besaran rumahtangga terhadap kemiskinan dapat pula bersifat negatif dimana semakin kecil ukuran rumahtangga maka akan semakin miskin. Hasil
penelitian Kamuzora dan Mkanta 2000 di Tanzania menunjukkan bahwa rumahtangga dengan dua orang anak hampir 4 kali lebih miskin dari pada yang
mempunyai tujuh orang anak. Hal ini karena rumahtangga dengan lebih banyak
tenaga kerja akan kurang miskin dibandingkan dengan yang sedikit tenaga keja, tenaga kerja adalah input yang sangat penting bagi produksi dan kesejahteraan.
4.5.3. Kemiskinan dan Pekerjaan
Salah satu sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh rumahtangga adalah jenis pekerjaan yang ditekuni oleh KRT. Jenis pekerjaan sangat terkait dengan
upah yang diterima. Pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut akan menyokong dalam penemuhan kebutuhan rumahtangga. Pemenuhan untuk hidup
secara memadai menurut kondisi masyarakat setempat tergantung dari pendapatan yang diperolehnya. Hal tersebut menjadikan adanya keterkaitan yang sangat erat
antara pekerjaan dengan kemiskinan. Pendapatan yang tinggi dari pekerjaan yang dijalaninya akan melepaskan rumahtangga tersebut dari perangkap kemiskinan,
namun pendapatan yang rendah dapat mendorong rumahtangga masuk ke dalam jurang kemiskinan. Milar dan Gardiner 2004 menyatakan bahwa upah yang
rendah merupakan penyebab kemiskinan. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa 14 persen pekerja yang mendapat upah rendah di Inggris hidup dalam
kemiskinan. Penelitian Dillon dan Hermanto dalam Faturochman dan Molo 1994 diacu dalam Sugiyono 2003 menyatakan bahwa rumahtangga miskin di
perkotaan lebih banyak mengandalkan penghasilan dari sektor jasa dan informal. Hubungan peubah boneka jenis pekerjaan KRT tenaga usaha jasa sebagai
referensi dengan kemiskinan adalah negatif. KRT yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa mempunyai peluang menjadi miskin lebih tinggi dibandingkan dengan
rumahtangga dengan KRT yang bekerja dengan jenis pekerjaan lainnya, hal ini dapat dilihat dari nilai odds ratio jenis-jenis pekerjaan lainnya yang bernilai di
bawah satu. Jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha jasa diduga cukup besar menyumbang terhadap kemiskinan adalah tenaga usaha jasa ya ng bergerak di
sektor informal seperti buruh cuci, pemangkas rambut keliling, tukang sol sepatu dan lain sebagainya.
Peluang menjadi miskin menurut jenis pekerjaan KRT di DKI Jakarta dilihat dari nilai odds ratio, dapat dirinci sebagai berikut :
a Rumahtangga dengan KRT- nya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,552 kali dibandingkan dengan
KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,552= 1,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan. b Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga
produksi, operator dan pekerja kasar dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,689 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT
sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,689 = 1,5 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar.
c Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana dibandingkan dengan KRT
sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,551 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,551= 1,8 kali dibandingkan
dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana.
d Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,466
kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,466 = 2,1 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima
pendapatan. Pengaruh jenis pekerjaan menjadi tidak nyata kecuali untuk jenis pekerjaan
sebagai tenaga penjualan dan penerima pendapatan baik di RW kumuh mapun tidak kumuh. Di RW tidak kumuh jenis pekerjaan sebagai tenaga profesional,
kepemimpinan dan pejabat pelaksana menjadi nyata pada tingkat kepercayaan 94 persen. Peluang menjadi miskin menurut jenis pekerjaan KRT di RW tidak
kumuh adalah sebagai berikut : a Rumahtangga dengan KRTnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan
mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,547 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT
sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,547= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan.
b Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana dibandingkan dengan KRT
sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,524 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,524 = 1,9 kali dibandingkan
dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana.
c Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,460
kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,460 = 2,2 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima
pendapatan. Sedangkan di RW kumuh, pengaruh dari jenis pekerjaan terhadap peluang
menjadi miskin adalah sebagai berikut : a Rumahtangga dengan KRTnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan
mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,551 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT
sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,547= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan.
b Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,450
kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 10,460 = 2,2 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima
pendapatan. Dapat dilihat bahwa secara spasial peluang rumahtangga yang dikepalai oleh
KRT yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa untuk menjadi miskin jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya relatif sama.
Probabilitas rumahtangga menjadi miskin yang disebabkan karena jenis pekerjaan KRT dapat di lihat pada Gambar 4.4-1, 4.4-2, dan 4.4-3 dengan asumsi
bahwa KRT perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai
akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, bukan rumah sendiri, berlantai bukan tanah, dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Gambar 4.4-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT Di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.4-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT Di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Pekerjaan KRT
penerima pendapatan profesional
tenaga penjualan tenaga jasa
tenaga kasarproduks i
lainnya
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Pekerjaan KRT
penerima pendapatan profesional
tenaga penjualan tenaga jasa
tenaga kasarproduks i
lainnya
Gambar 4.4-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT di RW Kumuh 2004
Pada Gambar 4.4-1 – 4.4-3 dapat dilihat bahwa rumahtangga dengan KRT penerima pendapatan mempunyai peluang menjadi miskin yang lebih rendah
dibandingkan dengan rumahtangga yang bekerja. Diduga kepala keluarga yang tidak bekerja ini dibantu oleh anggota rumahtangga lainnya yang bekerja ataupun
mereka mempunyai penghasilan dari dana hari tua tunjangan pensiun ataupun penerima deviden keuntungan perusahaan.
KRT yang bekeja tidak semua bekerja sesuai dengan jam kerja normal. Ukuran jam kerja normal akan berbeda di setiap negara, dan di Indonesia
mengacu pada 35 jam per minggu. Pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal 35 jam per minggu dan sedang mencari pekerjaan atau bersedia
menerima pekerjaan tambahan dinamakan sebagai setengah pengangguran atau sering dikenal dengan nama pengangguran terselubung Hussmanns, Mehran, dan
Verman, 1990. Salah satu indikasi fenomena setengah penganggur ini adalah rendahnya tingkat pendapatan yang diterima oleh mereka, sehingga mereka harus
mencari pekerjaan tambahan untuk menunjang kehidupan mereka. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa peubah setengah penganggur
d_under di DKI Jakarta cukup kuat dalam memprediksi peluang rumahtangga menjadi miskin. Yang menjadi pembanding dalam peubah ini adalah KRT bukan
setengah penganggur. Nilai odds ratio dari peubah ini adalah 2,039 yang artinya
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Jenis Pekerjaan KRT
penerima pendapatan profesional
tenaga penjualan tenaga jasa
pekerja kasarproduk si
lainnya
adalah rumahtangga yang mempunyai KRT setengah penganggur mempunyai peluang menjadi miskin 2 kali lebih besar dari yang bukan setengah penganggur.
Pengaruh peubah d_under di RW kumuh sangat nyata dengan nilai odds ration sebesar 2,779 artinya KRT setengah penganggur mempunyai resiko menjadi
miskin 2,8 lebih besar dibandingkan dengan yang bukan penganggur. Sedangkan di RW kumuh, peubah d_under tidak berpengauh nyata terhadap resiko
kemiskinan. Artinya baik yang setengah penganggur maupun yang bukan setetngah penganggur mempunyai peluang yang hampir sama menjadi miskin,
kondisi ini terlihat dengan jelas pada Gambar 4.5-3. Hasil analisis tentang faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan di
Lampung oleh Irawan 2004 menunjukkan bahwa KRT setengah penganggur dapat memprediksi status kemiskinan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan
KRT penganggur. Peluang rumahtangga menjadi miskin yang dikaitkan dengan status kerja KRT disajikan pada Gambar 4.5-1, 4.5-2, dan 4.5-3 dengan asumsi
bahwa KRT perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8
m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, dan untuk peubah kontinu digunakan
nilai rata-rata.
Gambar 4.5-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT Di DKI Jakarta 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Status Pekerjaan KRT
penerima pendapatan setengah penganggura
n bukan setengah penga
ngguran
Gambar 4.5-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT di RW Tidak Kumuh 2004
Gambar 4.5-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT di RW Kumuh 2004
Dalam publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan 2003 menyebutkan bahwa faktor penyebab kemiskinan perkotaan berdimensi
tingkat pendapatan rendah yang berkaitan dengan kebijakan publik adalah 1 krisis ekonomi makro cenderung menurunkan pendapatan riil, 2 kegagalan
fasilitas dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan transportasi
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Status Pekerjaan KRT
penerima pendapatan setengah penganggura
n bukan setengah penga
ngguran
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Status Pekejaan KRT
penerima pendapatan setengah penganggura
n bukan setengah penga
ngguran
dalam melayani penduduk miskin perkotaan, 3 hambatan peraturan pemerintah terhadap usaha-usaha kecil melanggengkan terbatasnya kesempatan kerja bagi
penduduk miskin perkotaan, menghambat akumulasi modal dan akses terhadap kredit, dan meningkatkan kerentanan bagi pekerja. Dampak terhadap dimensi
kemiskinan lainnya adalah 1 ketidakmampuan membeli rumah dan tanah, sehingga modal kapital fisik tidak berkembang diantara penduduk miskin
perkotaan, 2 ketidakmampuan untuk mengakses fasilitas publik dasar seprti air bersih, sehingga kondisi hidup tidak higienis dan kondisi kesehatan menurun, 3
sumberdaya manusia yang rendah, yaitu pendidikan rendah dan kesehatan buruk, dan 4 menurunnya modal sosial yang mengarah pada kekerasan domestic dan
kriminalitas. 4.5.4.
Kemiskinan dan Pendidikan Hasil survei atau sensus rumahtangga telah memperlihatkan bukti bahwa
pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan Shultz, 1981; Psacharopoulous, 1985; Blaug, 1976 diacu dalam Rodriguez Garcia, 2002.
Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar pendapatan yang akan diperoleh. Pendidikan yang lebih tinggi mempunyai kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Pada pasar tenaga kerja formal, startifikasi jenjang pendidikan sangat menentukan jenjang pekerjaan yang
diperoleh. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi pula peluang untuk memperoleh jenjang perkerjaan yang tinggi. Walaupun tingkat pendidikan
yang tinggi tidak menjamin untuk mendapat pekerjaan dengan upah yang tinggi, namun tingkat pendidikan yang diperoleh merupakan salah satu faktor yang nyata
untuk menghindarkan diri dari kemiskinan. Arah kausalitas dari pendidikan dan kemiskinan adalah seperti lingkaran
setan. Pendidikan yang rendah dapat menyebabkan kemiskinan dan sebaliknya kemiskinan dapat menyebabkan pendidikan menjadi rendah. Kemiskinan akan
berhubungan dengan perolehan tingkat pendidikan yang rendah. Selanjutnya tingkat pendidikan formal yang rendah berkaitan dengan pekerjaan berupah
rendah. Pendapatan yang rendah pada akhirnya akan menyebabkan kehidupan yang tidak memadai. Mereka akan kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-
anaknya. Dengan pendidikan yang rendah anak akan meneruskan rantai kemiskinan yang telah ada. Dapat dilihat bahwa terjadi lingkaran kemiskinan.
Pendidikan mempunyai hubungan negatif yang kuat dengan kemiskinan karena terkait dengan upah yang diterima. Hasil penelitian Appleton 2001 di
Uganda menyimpulkan bahwa rata-rata upah yang diterima oleh pekerja yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan,
pekerja dengan pendidikan perguruan tinggi mendapatkan upah 5 kali lipat dari pekerja dengan tamatan Sekolah Dasar.
Hasil regresi menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan sangat nyata terhadap kemiskinan kecuali pada tingkat pendidikan tamat SD dengan KRT
berpendidikan tidak tamat SD sebagai referensi. Peluang menjadi miskin di DKI Jakarta untuk masing- masing tingkatan pendidikan adalah sebagai berikut :
a Peluang menjadi miskin rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMP adalah 0,658 kali dibandingkan dengan KRT yang tidak tamat SD. Sebaliknya
rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD mempunyai resiko menjadi miskin 10,658= 1,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT
berpend idikan SMP. b Peluang menjadi miskin rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMA ke
atas adalah 0,296 kali dibandingkan dengan KRT yang tidak tamat SD. Sebaliknya rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD mempunyai resiko
menjadi miskin 10,296 = 3,4 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMA ke atas.
Peluang menjadi miskin untuk rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang berpendidikan tidak tamat SD relatif sama jika dibandingkan dengan yang
berpendidikan tamat SD. Hasil regresi di RW tidak kumuh menunjukkan bahwa peluang menjadi
miskin dari rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang berpendidikan tamat SD dan tamat SMP menjadi tidak nyata jika dibandingkan dengan peluang dari KRT
yang berpendidikan tidak tamat SD. Sedangkan peluang menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMTA ke atas adalah 0,299 kali jika
dibandingkan dengan dengan KRT yang tidak tamat SD. Sebaliknya rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD mempunyai resiko menjadi
miskin 10,299= 3,3 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMTA ke atas.
Kondisi di RW kumuh menunjukkan bahwa peluang menjadi miskin dari rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang berpendidikan tamat SD tidak nyata
jika dibandingkan dengan peluang dari KRT yang berpendidikan tidak tamat SD. Sedangkan peluang menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT berpendidikan
SMP ke atas adalah 0,570 kali jika dibandingkan dengan dengan KRT yang tidak tamat SD. Sebaliknya rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD
mempunyai resiko menjadi miskin 10,570= 1,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMP. Resiko peluang menjadi miskin dari KRT
yang tidak tamat SD jika dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMTA ke atas adalah 10,292 = 3,4 kali lebih besar.
Dapat dikatakan bahwa berpendidikan SMP tidak berbeda dengan yang berpendidikan SD, sehingga dapat dipahami apabila pemerintah menetapkan
wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang mencakup pendidikan tingkat SD dan SMP. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Appleton, maka pendidikan
di DKI Jakarta mempunyai pengaruh negatif yang sangat nyata terhadap kemiskinan.
Pengaruh pendidikan terhadap peluang menjadi miskin disajikan pada Gambar 4.6-1, 4.6-2, dan 4.6-3. Asumsi yang digunakan dalam gambar ini adala h
KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2,
mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, dan untuk peubah kontinu digunakan
nilai rata-rata.
Gambar 4.6-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Tingkat Pendidikan KRT Di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.6-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Tingkat Pendidikan KRT di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Pendidikan KRT
tdk tamat sd sd
smp sma+
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Pendidikan KRT
tdk tamat sd sd
smp sma+
Gambar 4.6-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Tingkat Pendidikan KRT Di RW Kumuh 2004
Faktor-faktor penyebab kemiskinan berdimensi pendidikan rendah yang berkaitan dengan kebijakan publik adalah 1 ketidakmampuan pejabat publik
untuk memberikan daya tampung sekolah yang memadai, 2 tidak adanya jaring pengaman untuk murid tetap mampu bersekolah walaupun kesulitan ekonomi
keluarga, dan 3 transportasi publik yang tidak aman dan terbelit. Dampaknya terhadap dimensi kemiskinan lainnya adalah 1 ketidakmampuan untuk
mendapatkan pekerjaan, 2 kurangnnya kegiatan konstruktif untuk anak-anak usia sekolah, yang dapat meningkatkan kreativitas anak, dan 3 ketimpangan
jender yang berkelanjutan publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan, 2003
4.5.5. Kemiskinan dan Umur
Hubungan antara peubah boneka umur KRT umur muda sebagai referensi dengan kemiskinan adalah negatif. Usia KRT mempunyai pengaruh negatif
terhadap kemiskinan namun pengaruhnya tersebut tidak nyata.Di DKI Jakarta semakin tua umur KRT semakin memperkecil peluang rumahtangga tersebut
menjadi miskin. Kondisi di RW tidak kumuh menunjukkan bahwa umur tua age_tua berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. KRT yang berumur muda
mempunyai resiko menjadi miskin 10,316 = 3,2 kali lebih besar dibanding
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Tkt Pendidikan KRT
tdk tamat sd sd
smp sma+
dengan KRT yang berumur tua. Penelitian Fajariyanto 2002 diacu dalam Sugiyono menyebutkan bahwa semakin tua kepala rumahtangga maka persentase
rumahtangga miskin akan semakin bekurang. Kondisi di RW kumuh sedikit berbeda, hubungan peubah boneka umur KRT umur muda sebagai referensi
dengan kemiskinan adalah positif. Artinya KRT yang berumur mapan dan tua berpeluang menjadi miskin lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berumur
muda. Diduga KRT yang berumur muda lebih mampu untuk berusaha dibandingkan dengan yang yang berumur mapan dan tua sehingga resiko menjadi
miskin lebih rendah, namun hal ini perlu untuk diteliti lebih lanjut. Pengaruh tidak nyata dari umur KRT secara lebih jelas ditunjukkan pada
Gambar 4.7-1, 4.7-2 dan 4.7-3. Asumsi dari gambar tersebut adalah KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran,
KRT berpendidikan tidak tamat SD, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih,
berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Gambar 4.7-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Umur KRT di DKI Jakarta 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Kel Umur KRT
muda mapan
t u a
Gambar 4.7-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Umur KRT di RW Tidak Kumuh 2004
Gambar 4.7-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Umur KRT di RW Kumuh 2004
4.5.6. Kemiskinan dan proporsi jumlah art di bawah 15 tahun dan di atas 64
tahun Anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun dikatakan
sebagai anggota rumahtangga yang menjadi beban tanggungan. Rasio beban
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Kel Umur KRT
muda mapan
tua
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.0 .8
.6 .4
.2 0.0
Kel Umur KRT
muda mapan
tua
tanggungan dependency ratio adalah rasio dari jumlah anggota rumahtangga di bawah usia 15 tahun dan di atas 64 tahun terhadap anggota rumahtangga usia 15-
64 tahun. Usia tersebut dianggap sebagai beban tanggungan karena mereka belum aktif secara ekonomi atau sudah tidak aktif lagi secara ekonomi. Semakin besar
proporsi anggota rumahtangga yang masuk dalam katagori beban tanggungan, maka diduga semakin besar pula peluang rumahtangga menjadi miskin.
Estimasi logistik menunjukkan bahwa proporsi jumlah anggota rumahtangga di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun um_1564 mempunyai pengaruh sangat
nyata pada taraf 99 persen terhadap kemiskinan dengan estimasi parameter sebesar 0,010. Pengaruh peubah um_1564 terhadap peluang menjadi miskin
didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Dengan asumsi bahwa peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT
berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2,
mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri maka nilai efek marjinal dari
peubah um_1564 adalah 0,19 persen. Arti dari nilai ini adalah peningkatan proporsi jumlah anggota rumahtangga di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun
sebesar satu persen makan akan menaikkan resiko menjadi miskin sebesar 0,19 persen. Pengaruh peubah ini relatif rendah terhadap kemiskinan rumahtangga.
Kondisi yang hampir sama terjadi pula di RW tidak kumuh dan RW kumuh dimana kenaikan satu persen proporsi jumlah anggota rumahtangga di bawah 15
tahun dan di atas 64 tahun akan meningkatkan resiko menjadi miskin 0,28 persen di RW tidak kumuh dan 0,08 persen di RW kumuh.
4.5.7. Kemiskinan dan proporsi anggota rumahtangga yang bekerja
Telah diutarakan pada bagian terdahulu bahwa pekerjaan berpengaruh pada kemiskinan. Pendapatan yang diterima dari pekerjaan akan menjadikan suatu
rumahtangga masuk ke dalam perangkap kemiskinan atau terlepas dari perangkap tersebut. Semakin besar pendapatan yang diterima dari pekerjaan maka semakin
kecil peluang rumahtangga menjadi miskin. Besarnya pendapatan tersebut dipengaruhi pula oleh banyaknya anggota rumahtangga yang bekerja. Sehingga
proporsi anggota rumahtangga yang bekerja pun akan berkorelasi dengan kemiskinan.
Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa proporsi anggota rumahtangga yang bekerja proker berpengaruh negatif secara nyata hingga tingkat
kepercayaan 99 persen terhadap kemiskinan. Semakin tinggi proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka semakin kecil peluang rumahtangga menjadi
miskin. Sebagai peubah kontinu, maka pengaruh peubah proker terhadap peluang menjadi miskin didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Asumsi
yang digunakan adalah peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai
tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses
terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri. Nilai efek marjinal yang dihasilkan adalah -0,49 persen yang artinya adalah setiap kenaikan
satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan adalah menurun sebesar 0,49 persen. Di RW tidak kumuh penurunan resiko
kemiskinan akibat penambahan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja adalah sebesar 0,67 persen sedangkan di RW kumuh sebesar 0,22 persen.
4.5.8. Kemiskinan dan proporsi pengeluaran bahan bakar minyak bbm
Salah satu kebijakan pemerintah yang selalu dihubungkan dengan kemiskinan adalah kebijakan penetapan harga bahan bakar minyak BBM. Harga
minyak dunia yang semakin tinggi menambah beban keuangan negara sehingga terjadi defisit anggaran. Salah satu upaya untuk mengurangi defisit anggaran
adalah dengan mengurangi subsidi BBM. Dampak dari pencabutan subsidi ini akan terasakan sangat berat oleh rumahtangga berpendapatan rendah.
Peningkatan harga BBM akan meningkatkan laju inflasi sehingga akan mengurangi daya beli mereka.
Hasil penelitian Oktaviani et al 2004 menyatakan bahwa dari sisi konsumsi pentingnya subsidi BBM dapat dilihat dari andil komoditi ini terhadap
konsumsi rumahtangga. Sebagai input antara BBM mempunyai andil besar pada konsumsi rumahtangga sehingga memberikan indikasi bahwa subsidi BBM sangat
penting. Pentingnya konsumsi BBM dapat pula didekati dari komoditi yang konsumsi BBM cukup besar sebagai input antara yaitu perikanan dan transportasi.
Dalam kasus ini perikanan dan transportasi mempunyai andil yang besar terhadap pengeluaran rumahtangga.
Hasil penghitungan Social Accounting Matrix SAM Indonesia tahun 1999 yang dilakukan oleh Oktaviani el al 2004 menunjukkan bahwa rumahtangga
yang mengkonsumsi BBM terbesar adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan. Hal ini yang dilihat oleh pemerintah dimana subsidi lebih
banyak dinikmati oleh penduduk berpendapatan tinggi. Pemerintah berupaya agar dampak pengurangan subsidi BBM yang dirasakan oleh rumahtangga kurang
mampu sedikit berkurang dengan adanya dana kompensasi BBM bagi masyarakat tidak mampu. Dana kompensasi ini diantaranya disalurkan untuk dana pendidikan
dan kesehatan, dan pada tahun 2005 dana kompensasi akan disalurkan berupa dana tunai kepada masyarakat miskin secara langsung.
Klaim LPEM UI soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia akan meningkat dari 16,2 persen menjadi
16,5 persen. Namun apabila terjadi transfer terhadap rumahtangga miskin akibat adanya kompensasi BBM pada rumahtangga miskin, maka tingkat kemiskinan
akan menurun karena banyak rumahtangga miskin yang dapat keluar dari kemiskinan. Walaupun ada sebagian masyarakat yang berada sedikit diatas
ambang kemiskinan yang jatuh menjadi miskin. Hasil simulasi tersebut menyatakan bahwa secara logis mengingat distribusi subsidi BBM lebih banyak
dinikmati kelompok keluarga mampu, sehingga pencabutan subsidi akan memperbaiki distribusi pendapatan, tetapi meningkatkan kemiskinan. Pencabutan
subsidi dengan kompensasi akan memperbaiki distribusi pendapatan, sekaligus penurunan kemiskinan
1
. Pelaksanaan dari kompensasi BBM ini masih belum menunjukkan hasil
yang nyata terhadap penurunan kemiskinan. Namun pengaruh pengeluaran BBM terhadap kemiskinan sudah dapat dilihat berdasarkan hasil regresi logisitik dimana
proporsi pengeluaran BBM terhadap total pengeluaran p_bbmberpengaruh positif secara nyata terhadap kemiskinan pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Seperti halnya dengan peubah kontinu lainnya maka pengaruh peubah p_bbm
1
Ikhsan Kajian LPEM soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan. http:www.kompas.comkompas-
cetak050316ekonomi1619707.htm [16 Mar 2005]
terhadap kemiskinan didekati dengan nilai efek marjinal dari peubah ini. Asumsi yang digunakan adalah peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT
adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai
perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri. Nilai efek
marjinal yang dihasilkan adalah 1,51 persen yang artinya adalah setiap kenaikan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan
adalah meningkat sebesar 1,51 persen. Efek marjinal peubah p_bbm di RW tidak kumuh adalah sebesar 2,10 persen
artinya setiap kenaikan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan adalah meningkat sebesar 2,10 persen. Pengaruh
kenaikan peubah p_bbm sebesar satu persen terhadap kemiskinan di RW kumuh relatif lebih yaitu hanya 0,58 persen. Seperti yang telah disebutkan oleh
Oktaviani el al 2004 bahwa rumahtangga yang mengkonsumsi BBM terbesar adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan. Di duga mereka
akan lebih banyak tinggal di RW tidak kumuh, ketergantungan mereka terhadap BBM diduga menyebabkan mereka mempunyai resiko yang lebih besar terhadap
kemiskinan. 4.4.9 Kemiskinan dan proporsi pengeluaran untuk makanan.
Proporsi pengeluraran terhadap makanan sering digunakan sebagai satu indikator dari kesejahteraan sebab hubungan yang menurun antara pendapatan dan
proporsi pengeluaran terhadap makanan kurva Engle Pritchett, 2003. Semakin besar tingkat pendapatan maka semakin kecil pengeluaran untuk makanan.
Sehingga rumahtangga tangga yang mempunyai proporsi pengeluaran terhadap makanan yang cukup besar adalah rumahtangga miskin. Besley dan Burgess
2003 yang diacu dalam Pritchett 2003 menyatakan bahwa pada tahun 1993- 1994 proporsi pengeluaran untuk makanan pada penduduk miskin di India adalah
73 persen. Hasil regresi logistik mendukung keterkaitan antara proporsi pengeluaran
untuk makanan p_mkn dengan kemiskinan. Pada taraf nyata 99 persen, proporsi
pengeluaran terhadap makanan berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran terhadap makanan maka semakin besar
peluang rumahtangga menjadi miskin. Pengaruh peubah p_mkn terhadap peluang menjadi miskin didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Asumsi
yang digunakan adalah peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai
tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses
terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri. Nilai efek marjinal yang dihasilkan adalah 0,88 persen yang artinya adalah setiap kenaikan
satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan adalah meningkatkan sebesar 0,88 persen. Di RW tidak kumuh peningkatan
resiko kemiskinan akibat penambahan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja adalah sebesar 1,02 persen sedangkan di RW kumuh sebesar 0,41
persen. 4.4.10.. Kemiskinan dan kondisi tempat tinggal
Masalah kemiskinan selain berkaitan dengan peubah-peubah di atas juga berkaitan dengan kondisi tempat tinggal. Dari 7 kriteria yang digunakan untuk
penentuan rumahtangga miskin di DKI Jakarta, 4 kriteria diantaranya adalah kriteria yang berkaitan dengan tempat tinggal. Kondisi tempat tinggal dapat
mencirikan rumahtangga miskin adalah a luas lantai per kapita d_lt, b jenis lantai j_lt, c fasilitas jamban d_jbn, d fasilitas air bersih d_air dan e
status kepemilikan rumah rmh. Tempat tinggal yang layak sangat penting untuk meningkatkan peranan rumah sebagai asset produktif. Rumah dapat digunakan
untuk mencari penghasilan melalui penyewaan kamar ataupun untuk melaksanakan industri rumahtangga.
Di DKI Jakarta rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk terjadi pada rumah dengan luas lantai per kapita 8m
2
, dengan peluang 2,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berlantai per kapita lebih luas. Peluang yang hampir
sama terjadi pula di RW tidak kumuh, namun di RW kumuh peluangnya relatif lebih rendah yaitu 2,34 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berlantai per
kapita lebih luas. Peranan peubah d_lt dalam memprediksi status kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 4.8-1 – 4.8-3. Asumsi dari gambar tersebut adalah
KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, mempunyai akses terhadap
jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Gambar 4.8-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Luas Lantai Per Kapaita di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.8-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Luas Lantai Per Kapaita di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Luas lantaikapita
= 8 m2 8 m2
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Luas lantaikapita
= 8 m2 8 m2
Gambar 4.8-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Luas Lantai Per Kapaita di RW Kumuh2004
Peubah j_lt dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga pada taraf nyata 95 persen. Rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk
terjadi pada rumah berlantai tanah, dengan peluang 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berlantai bukan tanah. Peluang yang yang terjadi di
RW tidak kumuh jauh lebih besar yaitu 2,9 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bukan tanah. Namun di RW kumuh tidak mempunyai pengaruh nyata dalam
memprediksi status kemiskinan, kondisi ini terlihat lebih jelas dalam Gambar 4.9- 3. Peranan peubah j_lt dalam memprediksi status kemiskinan dapat dilihat pada
Gambar 4.9-1 – 4.9-3. Asumsi dari gambar tersebut adalah KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT
berpendidikan tidak tamat SD, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, luas lantai per kapita 8m
2
, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
.7 .6
.5 .4
.3 .2
.1 0.0
luas lantai kap
= 8 m2 8 m2
Gambar 4.9-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Lantai Tempat Tinggal di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.9-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Lantai Tempat Tinggal di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Jenis Lantai
bukan tanah tanah
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Jns lantai
bukan tanah tanah
Gambar 4.9-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Lantai Tempat Tinggal di RW Kumuh 2004
Peubah prediktor d_jbn mempunyai kaitan kuat dalam memprediksi status kemiskinan di DKI Jakarta. Rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk
terjadi pada rumahtangga yang tidak mempunyai akses terhadap jamban adalah 3,3 kali lebih besar dari pada yang punya akses. Peubah d_jbn dapat memprediksi
secara nyata status kemiskinan rumahtangga pada taraf nyata 95 persen di RW kumuh dimana rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk terjadi pada
rumahtangga yang tidak mempunyai akses terhadap jamban adalah 3,5 kali lebih besar dari pada yang punya akses. Sedangkan di RW tidak kumuh, peubah d_jbn
dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga pada taraf nyata 91 persen.
Peranan peubah d_jbn dalam memprediksi status kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 4.10-1 – 4.10-3. Asumsi dari gambar tersebut adalah KRT
perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, , mempunyai akses terhadap air bersih, luas
lantai per kapita lebih 8m
2
, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
.5 .4
.3 .2
.1 0.0
Jenis lantai
bukan tanah tanah
Gambar 4.10-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Jamban di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.10-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Jamban di RW Tidak Kumuh 2004
Gambar 4.10-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Jamban di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Akses thd jamban
punya tidak punya
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Akses thd jamban
punya tidak punya
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
.5 .4
.3 .2
.1 0.0
Akses thd jamban
punya tidak punya
Peubah d_air tidak dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga. Akses terhadap air bersih tidak relevan untuk dijadikan sebagai
prediktor dari rumahtangga miskin untuk DKI Jakarta. Rumahtangga dengan akses terhadap air bersih mempunyai resiko yang tidak berbeda untuk menjadi
miskin. Hal ini disebabkan akses terhadap air bersih relatif mudah karena tersedianya hidran- hidran umum dan penjaja air pikulan bagi yang tidak punya
fasilitas air bersih sendiri. Kond isi ini dapat dilihat pada Gambar 4.11-1 – 4.11-3 dengan asumsi KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT
setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, berlantai bukan tanah, bukan
rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Gambar 4.11-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Air Bersih di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.11-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Air Bersih di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Akses thd air bersih
punya tidak punya
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Akses thd air bersih
punya tidak punya
Gambar 4.11-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Air Bersih di RW Kumuh 2004
Peubah rmh tidak dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga di DKI Jakarta secara keseluruhan dan di RW tidak kumuh. Di RW
tidak kumuh banyak perumahan dinas yang tidak dimiliki oleh rumahtangga yang menghuninya sehingga dapat dipahami apabila status kepemilikan rumah tidak
dapat memprediksi resiko untuk menjadi miskin. Kondisi berbeda terjadi di RW kumuh dimana peubah ini dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan
rumahtangga, rumahtangga yang tidak mempunyai rumah sendiri disebabkan keterbatasan ekonomi. Peranan peubah rmh dalam memprediksi stastus
kemiskinan rumahtangga dapat dilihat pada Gambar 4.12-1 – 4.12-3 dengan asumsi dari gambar adalah KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha
jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, berlantai bukan
tanah, mempunyai akses terhadap air bersih, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Banyak art
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
.5 .4
.3 .2
.1 0.0
Akses thd air bersih
punya tidak punya
Gambar 4.12-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kepemilikan Rumah di DKI Jakarta 2004
Gambar 4.12-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kepemilikan Rumah di RW Tidak Kumuh 2004
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Status Rumah
bukan milik sendiri milik sendiri
Banyak art
13 12
11 10
9 8
7 6
5 4
3 2
1
Probabilitas menjadi miskin
1.2 1.0
.8 .6
.4 .2
0.0
Status rumah
bukan milik sendiri milik sendiri
Gambar 4.12-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kepemilikan Rumah di RW Kumuh 2004
Dalam publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan 2003 menyebutan bahwa dimensi kerawananketidakamanan tempat tinggal dan
pribadi mempunyai faktor- faktor penyebab yang berkaitan dengan kebijakan publik yaitu 1 kebijakan agraria tidak memadai bagi warga miskin untuk
mengaksesnya, 2 kurangnnya akses terhadap kredit perumahan bagi warga miskin, 3 kurangnya lapangan kerja, jasa-jasa pelayanan publik dan modal
sering menyulut kriminalitas di beberapa kantong kemiskinan perkotaan, dan 4 kurangnnya kebijakan dan program jaring pengaman. Dampaknya terhadap
dimensi kemiskinan lainnya adalah 1 penggusuranpengusiran pemukiman yang menyebabkan hilangnnya modal fisik, merusak jaringan sosial dan menurunkan
rasa aman, 2 hilangnya kemampuan untuk penyewaan rumah sebagai sumber penghasilan, 3 menurunnya kesehatan fisik dan mental dan pendapatan rendah,
dan 4 menurunnya modal sosial, seperti hilangnya kohesi keluarga dan isolasi sosial.
4.6. Ikhtisar