IV. KEMISKINAN DI DKI JAKARTA
4.1. Kejadian Kemiskinan di DKI Jakarta
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi titik perhatian masyarakat dunia khususnya negara-negara dunia ketiga. Di Indonesia,
permasalahan kemiskinan lebih banyak ditemui di daerah perdesaan, namun di daerah perkotaan pun permasalahan ini menjadi salah satu isu pokok khususnya di
DKI Jakarta. Secara umum kemiskinan diGambarkan sebagai kondisi ketidakmampuan
untuk hidup yang memadai. Hidup yang memadai ini sangat tergantung pada ruang dan waktu. Lokasi dan waktu sangat mempengaruhi pada penetapan batas
garis kemiskinan, oleh karena itu garis kemiskinan akan selalu berubah tiap waktu dan berbeda untuk tiap lokasi. Ada dua cara utama untuk membuat garis
kemiskinan yaitu cara absolut dan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan menggunakan
berapa besar uang yang harus dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan makanan dan non makanan agar tetap hidup. Bank Dunia menyatakan bahwa di negara-
negara sedang berkembang lebih relevan untuk menggunakan garis kemiskinan absolut dari pada garis kemiskinan relatif Couduel et al, 2001.
Gambar 4.1 Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta Tahun 2000-2004
4.96
2.95 3.42
3.42 3.18
2 3
4 5
6
2000 2001
2002 2003
2004
Tahun
penduduk miskin
Selama lima tahun terakhir angka kemiskinan di DKI Jakarta cukup berfluktuasi, dua tahun setelah krisis ekonomi angka kemiskinan masih tinggi
yaitu hampir mencapai lima persen. Dampak krisis ekonomi yang sangat terasakan bagi masyarakat miskin perkotaan menyebabkan peningkatan angka
kemiskinan di perkotaan. Berbagai program dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan akibat krisis ekonomi ini diantaranya adalah
dengan menggunakan dana bantuan Bank Dunia yaitu program Jaring Pengaman Sosial JPS dan Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis
Ekonomi PDMDKE. Khusus PDMDKE, program ini terbagi menjadi tiga kegiatan; pembangunan fisik, bantuan sosial, dan pemberian kredit usaha mikro
kepada masyarakat miskin. Sesuai instruksi pemerintah, kegiatan fisik dan sosial menghabiskan 40 persen dari total dana yang diterima setiap kelurahan.
Sedangkan 60 persen lagi digunakan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat dengan memberikan modal usaha kepada korban pemutusan hubungan kerja
PHK, keluarga prasejahtera yang ingin berusaha
1
. Di samping itu dilaksanakan pula Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaab P2KP. Program ini
mempunyai cara pelaksanaan yang sama dengan PDMDKE yaitu pemberian dana bagi kelurahan dengan alokasi dana 60 persen untuk dana bergulir, 20 persen
untuk fisik lingkungan dan 20 persen untuk bina sosial. Nampaknya program tersebut telah dapat menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2001 menjadi 2,95
persen. Namun pada tahun 2002 angka kemiskinan meningkat kembali menjadi 3,42 persen, peningkatan ini direspon ole h Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan. Program kerja dari komite ini nampaknya belum dapat menurunkan
angka kemiskinan namun dapat menahan peningkatan angka kemiskinan di DKI Jakarta sehingga angka kemiskinan pada 2003 tetap 3,42 persen. Pada tahun 2004
kerja Komite Penanggulangan Kemiskinan diperkuat dengan dikeluarkannya SK Gubernur tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Diduga strategi yang
dicanangkan ini memberikan dampak terhadap penurunan angka di DKI Jakarta pada tahun 2004 menjadi 3,18 persen.
Angka kemiskinan ini terkait penetapan batas garis kemiskinan absolut, selama 3 tahun terakhir di DKI Jakarta batas ini mengalami peningkatan yang
cukup nyata yaitu dari 160.748 per kapita per bulan pada tahun 2002 menjadi 197.306 per kapita per bulan pada tahun 2004. Peningkatan ini tidak terlepas dari
tingkat inflasi yang terjadi di DKI Jakarta yaitu 5,78 persen pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,87 persen pada tahun 2004. Harga-harga yang meningkat
menyebabkan rumahtangga harus menambah pengeluarannya agar kehidupan yang memadai tetap dapat dinikmati. Batas garis kemiskinan yang meningkat
pada periode 2002 – 2003 mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta yaitu dari 288,9 ribu jiwa menjadi 294,1 ribu jiwa. Namun
peningkatan garis kemiskinan pada tahun 2004 tidak diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk miskin bahkan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin
menjadi 277,1 ribu jiwa. Kondisi ini didukung oleh berbagai kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Perhatian
Pemprop DKI Jakarta terhadap penanggulangan kemiskinan adalah dengan dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan. Selain itu juga dibuat suatu
strategi penanggungalang kemiskinan di Propinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 179120004.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di DKI Jakarta, 2002- 2004
2002 2003
2004 Kabupaten
Kota penduduk
miskin 000
GK Rpkapbln
penduduk miskin
000 GK
Rpkapbln penduduk
miskin 000
GK Rpkapbln
Kep. Seribu -
- 3,1
169.601 3,0
184.172 Jakarta Selatan
45,1 149.105
47,2 190.783
42,.5 234.886
Jakarta Timur 67,5
156.202 67,4
183.369 62,1
197.300 Jakarta Pusat
29,2 137.274
37,4 185.075
34,9 215.290
Jakarta Barat 77,2
162.748 64,3
188.110 62,6
193.289 Jakarta Utara
67,5 167.075
74,7 186.110
72,0 225.443
DKI Jakarta 288,9
160.748 294,1
186.525 277,1
197.306
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS. 2002-2004
Keberadaan rumahtangga miskin di perkotaan bersifat struktural dan sering diperburuk dengan dampak arus migrasi dan keterbatasan kapasitas ekonomi
perkotaan Irawan, 2003. Angka migrasi di DKI Jakarta selama 25 tahun terakhir disajikan pada Tabel 4.2. Arus migrasi migrasi pada periode 1975-1980 cukup
tinggi, angka migrasi masuk dua kali lipat dari angka migrasi keluar. Periode lima tahun kemudian 1980-1985 angka migrasi masuk masih menunjukkan angka
yang tinggi. Akhir 80-an angka migrasi masuk, walaupun tetap tinggi, lebih rendah dibandingkan dengan angka migrasi keluar sehingga migrasi neto di DKI
Jakarta menunjukkan negatif. Kondisi demikian terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun migrasi neto telah menunjukkan angka negatif, namun demikian
migrasi tetap menjadi salah permasalahan pokok terutama pendatang yang tidak dilengkapi dengan keterampilan yang memadai. Kesulitan mereka untuk
mendapat pekerjaan yang layak menyebabkan mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lingkungan memadai sehingga mereka memilih tinggal di
lokasi kumuh. Keadaan ini melanggengkan dan memperparah lokasi kumuh di DKI Jakarta. Lokasi kumuh yang menjadi kantong-kantong kemiskinan dikenal
dengan nama kumis yaitu kumuh dan miskin. Tabel 4.2 Angka Migrasi Risen Per 1.000 Penduduk Berdasarkan Tempat
Tinggal 5 Tahun Sebelum SensusSurvei di DKI Jakarta, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000
Migrasi Risen 1980
1
1985
1
1990
1
1995
1
2000
2
Masuk 115
99 99
65 91
Keluar 59
58 120
90 111
Neto 56
41 - 21
- 25 - 21
Sumber: Desiar 2003
Kejadian kemiskinan di kawasan kumuh lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan tidak kumuh. Pada tahun 2004, angka kemiskinan
di RW Kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan RW tidak Kumuh yaitu 4,52 persen berbanding 2,48 persen Tabel 4.3. Angka ini memberikan arti bahwa ada
sekitar 4 - 5 penduduk di setiap 100 penduduk di RW kumuh mengalami kemiskinan, sedangkan di RW tidak kumuh hanya sekitar 2-3 penduduk di antara
100 penduduk. Pengukuran kemiskina n di kedua lokasi tersebut menggunakan garis kemiskinan yang sama.
Tabel 4.3 Angka Kemiskinan Kemiskinan di DKI Jakarta Menurut Lokasi Tempat Tinggal, 2004
Lokasi tempat tinggal Katagori
kemiskinan RW tidak Kumuh
RW Kumuh Total
Tidak miskin 97.52
95.48 96.86
Miskin 2.48
4.52 3.14
100.00 100.00
100.00
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu
Permukiman kumuh sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. UN habitat menyebutkan bahwa salah satu penyebab keberadaan kawasan kumuh di
perkotaan adalah tingginya tingkat kemiskinan. Hasil penelitian Komunitas Permukiman Miskin di DKI Jakarta tahun 2002 menunjukkan bahwa di 3
kelurahan yang diteliti dengan jumlah sampel 60 orang sekitar 45 persen di antaranya mempunyai pendapatan hanya 7,5 juta per tahun. Dengan sumberdaya
ekonomi yang terbatas mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lokasi yang layak. Harga rumah ataupun harga sewa rumah yang tinggi merupakan salah
satu penyebabnya. Apabila dilihat distribusi dari penduduk miskin berdasarkan lokasi tempat tinggal maka 54 persen penduduk miskin tinggal di RW tidak
kumuh dan sisanya tinggal di RW kumuh, hal ini wajar karena kawasan kumuh di DKI Jakarta tidak terlalu luas.
Tabel 4.4 Distribusi Persetase Rumahtangga Menurut Jenis Pekerjaan Kepala Rumahtangga KRT Dan Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004
Lokasi Tempat Tinggal Jenis Pekerjaan
RW tidak Kumuh
RW Kumuh
Total
Tng Profesional dan Tenaga lain ybdi 4.62
2.42 3.85
Tng Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan 4.33
1.41 3.31
Pjbt Pelaksana, Tenaga TU dan tenaga ybdi 11.53
9.03 10.66
Tng Ush Penjualan 21.43
23.22 22.05
Tng Ush Jasa 11.32
11.94 11.54
Tng Produksi, operator pkrj ksr 27.16
35.90 30.22
Lainnya 19.61
16.08 18.37
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh KRT di permukiman kumuh dapat dilihat pada Tabel 4.4 dimana persentase KRT yang bekerja sebagai tenaga
produk si , operator dan pekerja kasar mempunyai persentase yang tinggi di lokasi RW kumuh yaitu 36 persen. Jenis pekerjaan yang termasuk dalam katagori
tenaga produksi, operator dan pekerja kasar antara lain adalah buruh pabrik, supir, dan tukang bangunan. Sedangkan persentase rumahtangga dengan KRT
bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana cukup rendah yaitu 12 persen.
Gambar 4.2 Rata-rata Upah dan Jenis Pekerjaan Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004
Dari rata-rata upah yang diterima oleh KRT yang berstatus sebagai buruh di RW kumuh lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima oleh KRT di RW tidak
kumuh hampir di semua jenis pekerjaan.
4.2. Karakteristik rumahtangga miskin