Ikhtisar KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

Gambar 4.12-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kepemilikan Rumah di RW Kumuh 2004 Dalam publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan 2003 menyebutan bahwa dimensi kerawananketidakamanan tempat tinggal dan pribadi mempunyai faktor- faktor penyebab yang berkaitan dengan kebijakan publik yaitu 1 kebijakan agraria tidak memadai bagi warga miskin untuk mengaksesnya, 2 kurangnnya akses terhadap kredit perumahan bagi warga miskin, 3 kurangnya lapangan kerja, jasa-jasa pelayanan publik dan modal sering menyulut kriminalitas di beberapa kantong kemiskinan perkotaan, dan 4 kurangnnya kebijakan dan program jaring pengaman. Dampaknya terhadap dimensi kemiskinan lainnya adalah 1 penggusuranpengusiran pemukiman yang menyebabkan hilangnnya modal fisik, merusak jaringan sosial dan menurunkan rasa aman, 2 hilangnya kemampuan untuk penyewaan rumah sebagai sumber penghasilan, 3 menurunnya kesehatan fisik dan mental dan pendapatan rendah, dan 4 menurunnya modal sosial, seperti hilangnya kohesi keluarga dan isolasi sosial.

4.6. Ikhtisar

Kemiskinan menjadi salah satu perhatian utama dari Pemprov DKI Jakarta. Setelah krisis ekonomi tahun 19971998 angka kemiskinan di DKI menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 4,96 persen pada tahun 2000. Berbagai program penanggulangan kemiskinan baik tingkat nasional maupun lokal telah dapat Banyak art 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Probabilitas menjadi miskin .5 .4 .3 .2 .1 0.0 Status rumah bukan milik sendiri milik sendiri menurunkan angka kemiskinan menjadi 2,95 persen pada tahun 2001. Setelah itu angka kemiskinan relatif stabil berkisar pada point 3 persen. Secara spasial yaitu kawasan kumuh dan tidak kumuh, angka kemiskinan menunjukkan perbedaan yang cukup nyata yaitu 4,52 persen di RW kumuh dan 2,48 persen di RW tidak kumuh. Rumahtangga miskin banyak ditemui dengan karakteristik seperti dikepalai oleh perempuan, jumlah anggota rumahtangganya banyak 6 orang atau lebih, tingkat pendidikan KRT paling tinggi SD, KRT bekerja di sektor informal, dan sebagai tenaga usaha jasa. Mereka tinggal di rumah yang berluas lantai 8 m 2 , berlantai tanah, dan tidak punya akses terhadap jamban. Kedalaman kemiskinan yang terjadi di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh. Jarak rata-rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan di RW kumuh tercatat sebesar 0,53 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan di RW tidak kumuh yaitu sebesar 0,41 persen. Sementara itu indeks keparahan kemiskinan di RW kumuh maupun tidak kumuh hampir sama yaitu sekitar 10 persen. Hal ini menunjukan bahwa penduduk miskin baik di RW kumuh maupun yang tidak kumuh mempunyai sensitivitas yang sama dalam merespon perubahan pengeluaran penduduk miskin. Distribusi pendapatan di RW kumuh lebih merata dibandingkan dengan di RW tidak kumuh. Kondisi ini terjadi karena di lokasi RW kumuh lebih “merata dalam kemiskinan”. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa di DKI Jakarta faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan secara nyata dan bersifat positif adalah KRT perempuan, besaran art, KRT setengah pengangguran, proporsi art usia 15 dan 64 ke atas, proporsi pengeluaran terhadap BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, luas lantai per kapita 8m2, jenis lantai tanah dan tidak punya akses terhadap jamban. Sedangkan yang berpengaruh nyata secara negatif adalah peubah KRT sebagai tenaga usaha penjualan, sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar, sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana, sebagai penerima pendapatan, KRT berpendidikan SMP, berpendidikan SMTA ke atas dan proprosi art yang bekerja. Sementara itu beberapa peubah tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kemiskinan yaitu status rumah sendiri, tidak punya akses terhadap air bersih, KRT bekerja sebagai tenaga lainnya, KRT berpendidikan SD, KRT berusia mapan, dan berusia tua. Peubah-peubah di atas memberikan pengaruh yang berbeda baik di RW tidak kumuh maupun RW kumuh. Di RW tidak kumuh KRT perempuan, besaran art, KRT setengah pengangguran, proporsi art usia 15 dan 64 ke atas, proporsi pengeluaran terhadap BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, luas lantai per kapita 8m2, jenis lantai tanah memberikan pengaruh yang nyata secara positif terhadap kemiskinan rumahtangga. Peubah-peubah yang memberikan pengaruh nyata secara negatif adalah KRT sebagai tenaga usaha penjualan, sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana, sebagai penerima pendapatan, KRT berpendidikan SMTA ke atas dan proprosi art yang bekerja. Beberapa peubah yang tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kemiskinan di RW tidak kumuh adalah KRT sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar, sebagai tenaga lainnya, KRT berpendidikan SD, berpendidikan SMP, KRT usia mapan, tidak punya akses terhadap jamban, status rumah sendiri, dan tidak punya akses terhadap air bersih. Pengaruh peubah-peubah tersebut terhadap kemiskinan di RW kumuh adalah sebagai berikut : peubah-peubah besar art, proporsi art usia 15 dan 64 ke atas, proporsi pengeluaran terhadap BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, luas lantai per kapita 8m2, jenis lantai tanah, tidak punya akses terhadap jamban mempunyai pengaruh nyata secara positif, peubah-peubah KRT sebagai penerima pendapatan, KRT berpendidikan SMP, berpendidikan SMTA ke atas, proporsi art yang bekerja, dan status rumah sendiri mempunya i pengaruh nyata secara negatif. Peubah-peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan semakin banyak yaitu KRT perempuan, KRT sebagai tenaga usaha penjualan, sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar, sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana, sebagai tenaga lainnya, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan SD, KRT usia mapan, usia tua, jenis lantai tanah, dan tidak punya akses terhadap air bersih.

V. PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DKI JAKARTA