Tabel 4.8 Indeks kedalaman Kemiskinan P
1
dan Indeks Keparahan Kemiskinan P
2
Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004 Lokasi Tempat Tinggal
Indeks kedalaman Kemiskinan P
1
Indeks Keparahan Kemiskinan P
2
RW Kumuh 0.53
0.10 RW tidak kumuh
0.41 0.10
DKI Jakarta 0.45
0.10
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu.
4.4. Ketimpangan Pendapatan
Kemiskinan tidak hanya dilihat secara absolut tetapi juga dapat dilihat secara relatif. Kemiskinan relatif berkaitan dengan distribusi pendapatan, seseorang
yang berada di bawah rata-rata pendapatankonsumsi masyarakat secara umum dapat dikatakan miskin. Garis kemiskinan relatif dapat ditetapkan secara berbeda
namun umumnya sering menggunakan pengukuran 50 persen di bawah rata-rata pendapatankonsumsiCoudouel, et al, 2001 . Angka kemiskinan relatif dapat
menunjukkan ketimpangan pendapatan di suatu wilayah dimana semakin tinggi kemiskinan relatif maka semakin tinggi pula ketimpangan yang terjadi.
Rata-rata konsumsi yang dikeluarkan oleh rumahtangga di DKI Jakarta adalah 568.326 rupiah per bulan. Mengacu pada angka tersebut maka kemiskinan
relatif yang terjadi di DKI Jakarta adalah 18,39 persen yang artinya terdapat 18,39 persen penduduk yang mempunyai pengeluaran konsumsi dibawah rata-rata
konsumsi penduduk secara umum. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kemiskinan absolut yang mencapai 3,14 persen. Sekitar 83 persen
dari penduduk yang masuk dalam katagori miskin relatif berada di atas garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain mereka tidak termasuk rumahtangga
miskin absolut. Keberadaan mereka tetap harus diwaspadai karena dengan tingkat pengeluaran per kapita sedikit di atas garis kemiskinan absolut memungkinkan
mereka masuk dalam perangkap kemiskinan apabila terjadi goncangan dalam kehidupan ekonomi rumahtangga mereka.
Berdasarkan pada rata-rata konsumsi di masing- masing lokasi, tingkat kemiskinan relatif di RW tidak kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW
kumuh. Rata-rata konsumsi di RW tidak kumuh adalah 626.205 rupiah per kapita per bulan, dengan angka tersebut maka kemiskinan relatif yang terjadi adalah 23
persen. Sedangkan angka kemiskinan relatif di RW kumuh hanya mencapai 8,48 persen, dengan rata-rata konsumsi per kapita per bulan adalah 445.932 rupiah.
Angka ini menunjukkan bahwa di RW tidak kumuh distribusi pendapatankonsumsinya lebih tidak merata dibandingkan dengan kondisi di RW
kumuh. Konsep ketimpangan lebih luas dibandingkan dengan kemiskinan, karena
yang dilihat adalah distribusi seluruh lapisan masyarakat bukan hanya terbatas pada distribusi rumahtangga atau penduduk di bawah garis kemiskinan.
Pendapatan golongan menengah ke atas sama pentingnya dengan golongan bawah dalam pengukuran ketimpangan. Menghitung ketimpangan dapat menggunakan
beberapa metode, dan metode yang paling banyak digunakan adalah dengan rasio gini.
Ketimpangan adalah penyebaran distribusi dari pendapatan, konsumsi atau beberapa indikator kesejahteraan lainnya dari penduduk yang tidak merata
Coudouel, et al, 2001. Sangat jelas bahwa kemiskinan dan ketimpangan mempunyai hubungan yang sangat erat untuk suatu rata-rata pendapatan.
Semakin timpang distribusi pendapatan maka akan semakin tinggi persentase penduduk yang hidup dalam kemiskinan pendapatan.
RW kumuh mempunyai angka gini 0,2686 yang masuk dalam katagori ketimpangan rendah kurang dari 0,3500 sedangkan angka gini di RW tidak
kumuh adalah 0,3896 atau masuk dalam katagori ketimpangan sedang Tabel 4.9. Distribusi pendapatan di RW tidak kumuh jauh lebih buruk dibandingkan dengan
yang terjadi di RW kumuh. Hal ini sesuai dengan angka kemiskinan relatif di masing- masing lokasi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Tabel 4.9 Angka Gini dan Distribusi Pendapatan Menurut Kriteira Bank Dunia berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal dan Status Kemiskinan, DKI
Jakarta 2004
Lokasi tempat tinggal
Gini Rasio 40
rumahtangga pendapatan
rendah 40
rumahtangga pendapatan
menengah 20
rumahtangga pendapatan
atas RW kumuh
0,2686 23,74
38,91 37,35
RW tidak kumuh 0,3896
19,01 32,87
48,13 DKI Jakarta
0,3636 16,27
37,92 45,81
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu.
Untuk melihat ketimpangan pendapatan dapat pula digunakan ukuran Bank Dunia yaitu dengan melihat distribusi pengeluaran pada 40 persen rumahtangga
berpendapatan rendah, 40 persen berpendapatan menengah dan 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi. Di RW tidak kumuh, 20 persen rumahtangga
berpendapatan tinggi memberikan sumbangan terhadap total pengeluaran sebesar 48,13 persen sedangakan 40 persen rumahtangga berpendapatan rendah hanya
menyumbang 19,01 persen. Hal ini memberikan Gambaran bahwa hampir 50 persen total pengeluaran di lokasi RW tidak kumuh dinikmati oleh 20 persen
rumahtangga berpendapatan tinggi. Kondisi ini menunjukkan ketimpangan distribusi pengeluaran di lokasi RW tidak kumuh dan informasi ini memperkuat
hasil gini rasio yang menunjukkan bahwa di RW tidak kumuh lebih timpang dibandigkan dengan di RW kumuh.
Empat puluh persern rumahtangga berpendapatan menengah di lokasi RW kumuh memberikan sumbangan terbesar terhadap total pengeluaran yaitu 38,91
persen kemudian diikuti oleh 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi 37,35 persen. Komposisi ini mencerminkan bahwa distribusi pendapatan di lokasi RW
kumuh lebih merata. Di bagian sebelumnya telah disinggung bahwa semakin tinggi tingkat ketimpangan maka semakin tinggi pula kejadian kemiskinan, namun
di RW kumuh dengan distribusi pendapatan yang lebih merata tetapi mempunyai kejadian kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh.
Kondisi ini terjadi karena di lokasi RW kumuh lebih “merata dalam kemiskinan”.
4.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kemiskinan