II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Kemiskinan Perkotaan di Negara-negara Sedang Berkembang
Kemiskinan perkotaan menjadi suatu fenomena di negara- negara sedang berkembang. Di negara-negara tersebut, kemiskinan perkotaan sering diukur
dengan akses terhadap tempat tinggal atau jasa pelayanan perkotaan lainnya. Kekurangan akses terhadap tempat tinggal dan jasa pelayanan perkotaan tersebut
memberikan indikasi terhadap pendapatan dan daya beli yang rendah. Ada dua pendekatan untuk melihat alasan kemiskinan di perkotaan yaitu pendekatan
kultural dan struktural. Pendekatan kultural adalah mengaitkan alasan kemiskinan dengan karakteristik individu seperti kurang kemampuan, disiplin, tanggung
jawab dan usaha untuk keluar dari kemiskinan. Pendekatan ini melihat orang miskin bukan hanya korban tetapi juga penyebab dari kemiskinan. Pendekatan
kedua adalah pendekatan struktural yang melihat alasan di luar dari orang miskin dan mengaitkan kemiskinan dengan sistem sosial ekonomi yang berlaku di suatu
negara seperti kebijakan ekonomi, pendidikan yang kurang, kesempatan kerja, dan diskriminasi Senses 2001, diacu dalam Yilmaz 2003.
Berbagai penelitian kemiskinan perkotaan di negara-negara sedang berkembang lebih menekankan pada pendekatan struktural. Laju pertumbuhan
kesempatan kerja yang lebih rendah dari laju urbaninsasi berdampak kemiskinan di perkotaan. Penyebab dari laju urbanisasi yang tinggi ini adalah migrasi desa
kota yang bertujuan mendapatkan upah yang tinggi dari sektor formal perkotaan. Namun arus migrasi yang besar menyebabkan tidak semua migran dapat terserap
oleh sektor formal, sehingga sebagian dari migran harus bekerja di sektor informal Yilmaz 2003.
Sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakterisik teknis seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala
kecil, unit produksi dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan teknologi yang digunakan sangat sederhana Desiar 2004. Salah satu ciri yang dapat
mengidentifikasi seseorang bekerja di sektor informal adalah melalui status pekerjaan.
Mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain self employed dan bekerja dengan keluarga atau sebagai buruh dibayar dapat dikatagorikan sebagai
pekerja di sektor informal. Begitu pula dengan mereka yang mempunyai usaha namun dengan skala kecil.
Tabel 2.1 Penduduk Miskin Berdasarkan Status Pekerjaan di DKI Jakarta, 1999- 2002
Status Pekerjaan 1999
2000 2001
2002
Tidak Bekerja 25,18
21,71 14,21
18,02 Bekerja Sendiri
43,57 30,09
28,97 30,47
Bekerja dengan keluarga atau buruh dibayar
2,77 11,82
11,01 6,17
Pemilik usahaKaryawan 28,48
36,06 45,20
45,47 Pekerja Keluarga
0,00 0,32
0,60 0,00
Sumber : Tamb unan 2004
Tabel 2 memberikan gambaran bahwa sektor informal merupakan tumpuan hidup bagi penduduk miskin. Diduga mereka yang memiliki usaha adalah usaha
berskala kecil sehingga dapat dikatagorikan dalam sektor informal. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya.
Penelitian di Nigeria oleh Osinubi 2003, menyatakan bahwa sekitar 43 persen responden penduduk miskin bekerja sendiri self employed.
Sektor informal memberikan pendapatan yang rendah jika dibandingkan dengan sektor formal. Dengan pendapatan rendah ini, maka sulit bagi penduduk
miskin untuk mengakses berbagai jasa pelayanan seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Hanya sedikit penduduk miskin yang dapat mengenyam
pendidikan tinggi.
2.2. Konsep Kemiskinan