Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan

Akses terhadap air bersih cukup mudah bagi rumahtangga miskin, sehingga distribusi rumahtangga miskin berdasarkan akses terhadap air bersih menunjukkan bahwa hampir 100 persen rumahtangga miskin mempunyai akses terhadap air bersih. Air bersih dapat diakses dengan mudah oleh rumahtangga miskin karena adanya penjualan air leding pikulan di permukiman-permukiman, di samping itu tersedia pula hidran- hidran umum yang dibangun oleh Pemda DKI Jakarta. Akses terhadap air kurang kuat untuk dijadikan penciri kemiskinan rumahtangga.

4.3. Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan

Pengurangan kemiskinan merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh berbagai negara khususnya negara-negara dunia ketiga. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran kemiskinan yang dapat memperlihatkan dampak dari program penanggulangan kemiskinan terhadap pengurangan kemiskinan. Head count index angka kemiskinan mengukur bagaimana luasan dari kemiskinan. Namun angka ini tidak sensitif terhadap perubahan dalam status dari penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan, sehingga indeks ini tidak cukup untuk menilai dampak dari program pengentasan kemiskinan. Sen diacu dalam Irawan dan Suhaimi 1999 menyatakan bahwa Head count index tidak mampu untuk menjelaskan kedalaman dan keparahan kemiskinan. Untuk itu diperlukan pengukuran lain yang dapat mencerminkan hal tersebut. Poverty gap index dapat digunakan untuk pengukuran kedalaman kemiskinan, sedangkan distributionally sensitive index dapat digunakan untuk mendekati keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan poverty gap adalah rata-rata jarak kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin dengan terhadap batas kemiskinan. Bank Dunia menyatakan bahwa poverty gap index mengukur kedalaman kemiskinan dalam suatu negara atau wilayah berdasarkan pada kekurangan kemiskinan dari penduduk miskin secara relatif terhadap batas kemiskinan. Poverty gap index adalah untuk mengukur bagaimana kemiskinan dari penduduk miskin. Indeks ini akan meningkat seiring dengan peningkatan jarak penduduk miskin dengan batas kemiskinan, sehingga dapat memberikan indikasi dari kedalaman kemiskinan. Penurunan angka poverty gap mencerminkan terjadinya perbaikan dari kondisi saat ini. Tabel 4.7 Indeks kedalaman Kemiskinan P 1 dan Indeks Keparahan Kemiskinan P 2 , DKI Jakarta 2002-2004 Tahun Indeks kedalaman Kemiskinan P 1 Indeks Keparahan Kemiskinan P 2 2002 0,39 0,07 2003 0,49 0,11 2004 0,42 0,09 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan BPS 2002-2004 Indeks kedalaman kemiskinan yang dialami oleh penduduk miskin di DKI Jakarta tercatat sebesar 0,42 persen Tabel 4.7, artinya adalah rata-rata jarak pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan adalah sebesar 0,42 persen. Kedalaman kemiskinan dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2003 yang mencapai 0,49 persen. Belum ada perbaikan yang nyata dari program-program pengentasan kemiskinan terhadap penduduk miskin. Indeks keparahan kemiskinan distributionally sensitive index sampai batas tertentu memberikan Gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan BPS, 1999. Indeks ini memcerminkan perubahan dalam keparahan kemiskinan, dan indeks ini dapat menangkap perubahan distribusi dalam penduduk miskin. Apabila terjadi transfer di antara orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan kepada orang yang paling miskin, maka indeks ini dapat mencerminkan perubahan tersebut. Indeks ini mengukur keparahan kemiskinan dengan memberikan bobot lebih pada orang paling miskin diantara penduduk miskin. Pengukuran ini memenuhi sebagian besar aksioma kesejahteraan , seperti monotonicity axiom penurunan dalam pendapatan dari rumahtangga miskin pasti meningkatan kemiskinan, cateris paribus dan transfer axiom transfer pendapatan dari penduduk miskin kepada yang lebih miskin pasti akan meningkatkan kemiskinan, cateris paribus Irawan dan Suhaimi, 1999. Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa keparahan kemiskinan pada tahun 2004 sedikit mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2003. Tabel 4.8 menyajikan informasi mengenai indeks kedalaman dan keparahan rumahtangga miskin baik di RW kumuh maupun di RW tidak kumuh pada tahun 2004. Secara total adanya perbedaan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan pada Tabel 4.7 dan 4.8, hal ini karena cakupan wilayah analisis yang berbeda antara kedua tabel tersebut. Pada Tabel 4.6 yang menjadi cakupan wilayah unit analisis adalah seluruh wilayah DKI Jakarta termasuk Kab Adm Kepulauan Seribu sementara itu pada Tabel 4.7 tidak mencakup Kepulauan Seribu karena di wilayah ini tidak dilakukan pendataan RW kumuh. Kedalaman kemiskinan yang terjadi di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh. Jarak rata-rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan di RW kumuh tercatat sebesar 0,53 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan di RW tidak kumuh yaitu sebesar 0,41 persen. Informasi mengenai poverty gap ini sangat berguna dalam mengalokasikan dana bantuan bagi penduduk miskin Irawan 5 Juli 2005, komunikasi pribadi. Alokasi tersebut memudahkan pemerintah daerah untuk mendistribusikan bantuan dana pengentasan kemiskinan pada masing- masing lokasi. Estimasi alokasi dana yang dibutuhkan untuk membantu rumahtangga miskin adalah : miskin _ pddk GK P P 1 ∗ ∗ rupiah per bulan. Dimana : P1 adalah poverty gap P0 adalah kejadian kemiskinan head count index GK adalah garis kemiskinan Indeks keparahan kemiskinan di RW kumuh maupun tidak kumuh hampir sama yaitu sekitar 10 persen. Hal ini menunjukan bahwa penduduk miskin baik di RW kumuh maupun yang tidak kumuh mempunyai sensitivitas yang sama dalam merespon perubahan pengeluaran penduduk miskin. Tabel 4.8 Indeks kedalaman Kemiskinan P 1 dan Indeks Keparahan Kemiskinan P 2 Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004 Lokasi Tempat Tinggal Indeks kedalaman Kemiskinan P 1 Indeks Keparahan Kemiskinan P 2 RW Kumuh 0.53 0.10 RW tidak kumuh 0.41 0.10 DKI Jakarta 0.45 0.10 Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu.

4.4. Ketimpangan Pendapatan