Akses Masyarakat Adat terhadap Kawasan Konservasi

18 Era Otonomi Daerah ternyata mempunyai dampak terhadap meningkatnya laju konversi lahan pertanian dan lahan-lahan konservasi untuk kepentingan pembangunan berbagai infrastruktur pemerintah dan swasta bahkan berbagai izin prinsip dikeluarkan guna memenuhi aspek ekonomi. Hal ini terjadi sebagai akibat konsekuensi logis dari kebijakan pengembangan daerah yang mengundang investor untuk menanamkan modal didaerah. Pembangunan infrastruktur yang marak dilakukan pada berbagai kawasan konservasi akan mempengaruhi berbagai aspek seperti aspek ekonomi yang menjadi tujuan peningkatan pendapatan asli daerah PAD dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Sebagian pendapat mengatakan bahwa konversi lahan pertanian dan lahan konservasi ke nonpertanian terutama yang terjadi di perkotaan adalah proses alamiah sebagai konsekuensi pertumbuhan urbanisasi mengikuti hukum ekonomi dimana lahan akan digunakan sesuai dengan nilai ekonomi tertinggi sekretariat DKP, 2002. Pendapat lain mengatakan bahwa konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor.

2.3. Akses Masyarakat Adat terhadap Kawasan Konservasi

Salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya lahan termasuk kawasan konservasi adalah masyarakat adat. Disamping masyarakat adat juga dikenal masyarakat lokal. Istilah masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan tetapi peraturan yang memberikan pengertian mengenai masyarakat hukum adat adalah SK Menteri Kehutanan Nomor: 47Kpts-II1998 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas seluas ± 29.000 Ha di kelompok hutan pesisir, di kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung yang telah merupakan rempong damar dan diusahakan oleh masyarakat hukum adat. Malik et al. 2003. Istilah masyarakat hukum adat sendiri diambil dari keputusan ilmu hukum adat, khususnya setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulayat beschikkingsrecht yang dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat hukum adat kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Ter Haar 1995 dalam Malik et al. 2003 yaitu: Kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, 19 dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat. Klaim kepemilikan terhadap suatu kawasan yang terkategori communally owned resources terkait erat dengan sistem komunitas tenure system setempat. Seperangkat hak atas sumberdaya biasanya dikukuhkan dengan aturan hukum dan adat-istiadat yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat. Karena itu, klaim penguasaan terhadap suatu “tanah ulayat” biasanya dikukuhkan oleh suatu aturan hukum dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat itu Malik at al. 2003. Dalam sistem penguasaan itu sendiri terdapat dua konsep pokok yang masih perlu dibedakan, yakni tenure dan teritorialitas. Walaupun sebenarnya tidak dapat dipisahkan, kedua konsep ini sering memberikan implikasi berbeda terhadap kestabilan ekologis. Mengacu kepada pemikiran van Djik dalam Malik et al. 2003, kedua konsep tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu berkenaan dengan klaim hak penguasaan atas sumberdaya. Tenure dapat dipahami sebagai penegasan mengenai suatu hak khusus yang dimiliki oleh individu atau kelompok terhadap suatu obyek yang jelas batas-batasnya. Misalnya, investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap proses-proses alamiah melalui perubahan jenis tutupan vegetasi seperti paktik budidaya tanaman tertentu diatas sebidang tanah. Sementara itu, batas-batas klaim dalam sistem penguasaan teritorialitas mencakup klaim atau penguasaan terhadap suatu kawasan tanah territory tertentu; pengukuhan tersebut berdasarkan aspek-aspek idiologis, moral, legal atau alasan-alasan politik bukan mengacu pada aspek-aspek ekologis tetapi lebih didasarkan pada persepsi orang terhadap kondisi-kondisi ekologis dan sosio-politik mereka. Klaim penguasaan berupa teritorialitas tidak mempersyaratkan faktor investasi manusia seperti tenure. Dengan lain kata, suatu klaim penguasaan teritoriality bisa sama dan sebangun dengan tenure tetapi bisa juga melampaui batas-batas tenure. Malik et al. 2003. Status kawasan konservasi, seringkali bertentangan dengan kearifan masyarakat adat yang telah lama melakukan aktivitas pada kawasan-kawasan tersebut, sehingga jika dihubungkan dengan kepemilikan lahan-lahan masyarakat ternyata sudah berlangsung secara turun temurun dalam kawasan-kawasan yang dilindungi, hanya secara faktual terjadi adalah status-status kawasan seringkali menjadi sebuah klaim politik yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat, 20 sehingga banyak terjadi konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah pihak berkepentingan. Pada era otonomi daerah, lebih banyak pemerintah daerah harus bisa memberikan ruang kepada masyarakat untuk ikut dalam semua aktivitas perencanaan dan pengawasan berbagai program dan kebijakan publik. Menurut Malik et al. 2003 bahwa agar tidak terjadi konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat adat pemilik ulayat maka hal yang harus dilakukan adalah memberikan ruang kepada masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan penghidupan sebagaimana mereka lakukan, namun perlu diatur dengan aturan adat dan pemerintah yang telah disepakati bersama untuk diberlakukan pada kawasan-kawasan konservasi. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi, adalah pengertian sederhana dari peran serta masyarakat. Mengacu pada pendapat Canter 1977, dalam Malik et al. 2003 peran serta masyarakat adalah proses komunikasi dua arah yang terus-menerus dibangun untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi. Peran tersebut didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan feed-forward information dan komunikasi dari masyarakat kepada pemerintah atas kebijakan tersebut feedback information. Cormick 1979, sebagaimana dikutip oleh Arimbi dan Santoso, 1993 dalam Malik et al. 2003 membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang pertama, peran serta yang bersifat konsultatif, dimana anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, akan tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan. Kedua, adalah peran serta yang bersifat kemitraan, dimana masyarakat dan pejabat pembuat keputusan secara bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan dan secara bersama-sama membuat keputusan. Dengan demikian, menurut berbagai kalangan peran serta masyarakat akan dapat meningkatkan kualitas keputusan pemerintah Canter, 1977, dan disisi lain akan dapat mereduksi kemungkinan munculnya konflik, karena menghasilkan tingkat penerimaan keputusan yang lebih besar pada masyarakat Koesnadi, 1990. 21 Sejalan dengan Canter dan Koesnadi, Santoso menyebutkan bahwa intinya terdapat lima manfaat lain dari peran serta masyarakat antara lain: a. Sebagai proses pembuatan kebijakan, karena masyarakat sebagai kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi dari suatu kebijakan memiliki hak untuk dikonsultasikan rights to consult. b. Sebagai suatu strategi, dimana melalui peran serta masyarakat suatu kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas credible. c. Peran serta masyarakat juga ditunjukan sebagai alat komunikasi bagi pemerintah yang dirancang untuk melayani masyarakat untuk mendapatkan masukan dan informasi dalam pengambilan keputusan, sehingga melahirkan keputusan yang responsif. d. Peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa atau konflik, didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredahkan konflik.

2.4. Cagar Alam