Analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya lahan pada cagar alam pegunungan cycloop

(1)

LAHAN PADA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN CYCLOOP

YACONIAS MAINTINDOM

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2005


(2)

HARIADI KARTODIHARDJO

Penelitian ini bertujuan (a) mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi, (b) mengidentifikasi faktor penghambat dan pendorong yang timbul dalam penerapan perundang-undangan pada cagar alam pegunungan cycloop, (c) menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal terhadap kawasan cagar alam pegunungan cycloop, (d) mengetahui sumber air bersih dan nilai ekonomi (e) menyusun strategi pengembangan CAPC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) kesesuaian peraturan perundang-undangan dan fungsi kewenangan institusi yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi CAPC tidak secara tegas dan jelas yang menyebabkan tumpang tindih kebijakan pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura dalam implementasi RUTW, (b) sikap dan komitmen kuat stakeholders merupakan faktor pendorong kelestarian CAPC, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum menjadi penghambat kelestarian (c) Pendekatan AHP menunjukkan skenario optimal pengelolaan sumberdaya lahan di CAPC adalah konservasi dan pariwisata dengan B/C = 1, permukiman dan infrastruktur 0,965, perkebunan dan pertambangan 0,901. (d) sumber air bersih berjumlah 12 sungai, kesediaan membayar air Rp. 6.570/orang/tahun dengan rata-rata penggunaan air 60 ltr/org/hari (d) tumpang tindih fungsi dan kewenangan, lemahnya koordinasi dan perbedaan pemahaman konservasi menjadi permasalahan mendasar.


(3)

Mountain. Under the advisor ANDRY INDRAWAN and HARIADI KARTODIHARDJO. This research (a) identify according to law and regulation related to management of conservation area, (b) identify the factor of resistor and impeller arising out in legislation applying preserve of cycloop mountain (c) analyses the optimal exploiting alternative to area preserve of cycloop mountain (d) know the clean water source and economic value (e) compile the strategy of development CAPC. Result of research indicate that (a) according to law and regulation and related/relevant the function and Authority of institution with the management of conservation area. CAPC not expressly and clear causing governmental policy overlap Regency/Town Jayapura in implementation RUTW, (b) strong and commitment attitude stakeholders have importance to represent the impeller factor for the continuity of CAPC, its weak coordination and straightening of law become the continuity resistor (c) Approach AHP show the optimal scenario of land resources management CAPC is conservation and tourism by B / C 1. settlement and infrastructure 0, 965, plantation and mining 0,901. (d) clean water source amount to 12 river, readiness pay for the water Rp. 6.570/org/thn with the use mean irrigate 60 ltr/org/hari (d) overlap of function and authority, its weak coordination and difference of understanding conservation become the elementary problems.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005 Penulis,

Yaconias Maintindom NRP. P052030101


(5)

YACONIAS MAINTINDOM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2005


(6)

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syarifida Manuwoto, M.Sc.

Ketua Program Studi PSL

Dr. Ir. Surjono H. Surtjahjo, M.S. N a m a : Yaconias Maintindom Nomor Pokok : P052030101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui


(7)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari hingga Mei 2005, ialah Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC), di Kabupaten dan Kota Jayapura Provinsi Papua. Kebijakan Pemerintah Provinsi Papua, Kabupaten dan Kota Jayapura seringkali tidak terkoordinasi dan terintegrasi dalam suatu tujuan pengelolaan kawasan cagar alam pegunungan cycloop, hal ini mengakibatkan berbagai benturan antara pemerintah dan masyarakat, bahkan benturan ini telah mengarah pada konflik kewenangan terhadap ruang-ruang dalam kawasan ini, sehingga perlu diidentifikasi faktor pendorong dan penghambat yang timbul akibat penerapan peraturan perundang-undangan pada kawasan CAPC dan menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal untuk diterapkan dalam pengelolaan CAPC

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut penelitian ini dilakukan sebagai masukan dan evaluatif bagi pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam pengelolaan sumber daya lahan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan , bimbingan, dan masukan pada penulis.

2. Bapak. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan masukan pada penulis.

3. Bapak. Gubernur Provinsi Papua yang telah mengijinkan/menugas belajarkan dan membiayai studi penulis.

4. Bapak. Kepala Bapedalda Provinsi Papua yang telah memberikan motivasi dan izin serta dukungan dana selama studi.

5. Bapak. Bupati dan Walikota Jayapura yang telah mengijinkankan penulis melakukan penelitian pada wilayah administratif kedua Pemda.

6. Bapak/Ibu Staf Pengajar dan administrasi Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang selama ini telah memperlancar selesainya tesis dan studi penulis.


(8)

8. Isteri tercinta Yohana Marlena Mandowen, SH, yang dengan sabar memberikan dukungan moril untuk penyelesaian studi.

9. Saudari Emmy Mandosir, sdr. Roberth Mandosir, Nelson Sasarari, Ferdinad SD yang telah banyak mendukung dalam penelitian.

10. Teman-teman PSL angkatan 2003 semester gajil yang telah bersama-sama dengan penulis selama melangsungkan kuliah hingga selesainya studi.

11. Teman-teman IMAPA Bogor dan Saudara-saudari se pemondokan Mantiro antara lain Sdr. Yan Masrikat, Niky Lewaherilla, Luther Kadang dan Evelin Parera.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan kebijakan konservasi di Papua pada khususnya dan Indonesia pada Umumnya.

Bogor, Oktober 2005


(9)

Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 20 Januari 1972 dari ayah Eli Maintindom dan Ibu Anthoneta Mauri. Penulis adalah anak keempat dari delapan bersaudara.

Tahun 1991 Penulis lulus dari SMA Katolik Taruna Dharma Kotaraja Jayapura dan pada tahun yang sama masuk di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) Minahasa Sulawesi Utara. Tahun 2003 penulis masuk Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, bidang minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan. Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada instansi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Papua.


(10)

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 6

1.3. Kerangka Pemikiran ... 7

1.4. Perumusan Masalah ... 1.5. Hipotesis ... 10 12 1.6. Manfaat Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Analisis Kebijakan ... 14

2.2. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan ... 17

2.3. Akses Masyarakat Lokal/Adat terhadap Kawasan Konservasi ... 18

2.4. Cagar Alam ... 21

2.5. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Lahan ... 22

2.6. Pendekatan Analitical Hierarky Proscess (AHP) ... 23

2.7. Pendekatan Analisis Hierarky Proses dalam Kerangka Manfaat Biaya 26 2.8. Alokasi Sumberdaya Alam dan Analisis Manfaat Biaya ... 27

III. BAHAN DAN METODE ... 30

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Metode Penelitian ... 31

3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden ... 32

3.4. Metode Analisis Data ... 32

3.5. Faktor Internal Eksternal (Analisis SWOT) ... 33

3.6. Definisi Operasional ……….. 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 35

4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ……… 35

4.1.1 Iklim ……… 35

4.1.2. Tofografi ……… 35

4.1.3. Geografi ……… 36

4.1.4. Hidrologi ……… 37

4.1.5. Vegetasi ……… 37

4.1.6. Flora dan Fauna ……… 37

4.1.7. Sistem Pemerintahan ……… 38

4.1.8. Penyebaran Penduduk ……… 39

4.1.9. Kondisi Sosial Ekonomi ……… 42

4.2. Identifikasi Perarturan Perundang-undangan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi ... 44


(11)

LAHAN PADA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN CYCLOOP

YACONIAS MAINTINDOM

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2005


(12)

HARIADI KARTODIHARDJO

Penelitian ini bertujuan (a) mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi, (b) mengidentifikasi faktor penghambat dan pendorong yang timbul dalam penerapan perundang-undangan pada cagar alam pegunungan cycloop, (c) menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal terhadap kawasan cagar alam pegunungan cycloop, (d) mengetahui sumber air bersih dan nilai ekonomi (e) menyusun strategi pengembangan CAPC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) kesesuaian peraturan perundang-undangan dan fungsi kewenangan institusi yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi CAPC tidak secara tegas dan jelas yang menyebabkan tumpang tindih kebijakan pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura dalam implementasi RUTW, (b) sikap dan komitmen kuat stakeholders merupakan faktor pendorong kelestarian CAPC, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum menjadi penghambat kelestarian (c) Pendekatan AHP menunjukkan skenario optimal pengelolaan sumberdaya lahan di CAPC adalah konservasi dan pariwisata dengan B/C = 1, permukiman dan infrastruktur 0,965, perkebunan dan pertambangan 0,901. (d) sumber air bersih berjumlah 12 sungai, kesediaan membayar air Rp. 6.570/orang/tahun dengan rata-rata penggunaan air 60 ltr/org/hari (d) tumpang tindih fungsi dan kewenangan, lemahnya koordinasi dan perbedaan pemahaman konservasi menjadi permasalahan mendasar.


(13)

Mountain. Under the advisor ANDRY INDRAWAN and HARIADI KARTODIHARDJO. This research (a) identify according to law and regulation related to management of conservation area, (b) identify the factor of resistor and impeller arising out in legislation applying preserve of cycloop mountain (c) analyses the optimal exploiting alternative to area preserve of cycloop mountain (d) know the clean water source and economic value (e) compile the strategy of development CAPC. Result of research indicate that (a) according to law and regulation and related/relevant the function and Authority of institution with the management of conservation area. CAPC not expressly and clear causing governmental policy overlap Regency/Town Jayapura in implementation RUTW, (b) strong and commitment attitude stakeholders have importance to represent the impeller factor for the continuity of CAPC, its weak coordination and straightening of law become the continuity resistor (c) Approach AHP show the optimal scenario of land resources management CAPC is conservation and tourism by B / C 1. settlement and infrastructure 0, 965, plantation and mining 0,901. (d) clean water source amount to 12 river, readiness pay for the water Rp. 6.570/org/thn with the use mean irrigate 60 ltr/org/hari (d) overlap of function and authority, its weak coordination and difference of understanding conservation become the elementary problems.


(14)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005 Penulis,

Yaconias Maintindom NRP. P052030101


(15)

YACONIAS MAINTINDOM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2005


(16)

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syarifida Manuwoto, M.Sc.

Ketua Program Studi PSL

Dr. Ir. Surjono H. Surtjahjo, M.S. N a m a : Yaconias Maintindom Nomor Pokok : P052030101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui


(17)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari hingga Mei 2005, ialah Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC), di Kabupaten dan Kota Jayapura Provinsi Papua. Kebijakan Pemerintah Provinsi Papua, Kabupaten dan Kota Jayapura seringkali tidak terkoordinasi dan terintegrasi dalam suatu tujuan pengelolaan kawasan cagar alam pegunungan cycloop, hal ini mengakibatkan berbagai benturan antara pemerintah dan masyarakat, bahkan benturan ini telah mengarah pada konflik kewenangan terhadap ruang-ruang dalam kawasan ini, sehingga perlu diidentifikasi faktor pendorong dan penghambat yang timbul akibat penerapan peraturan perundang-undangan pada kawasan CAPC dan menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal untuk diterapkan dalam pengelolaan CAPC

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut penelitian ini dilakukan sebagai masukan dan evaluatif bagi pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam pengelolaan sumber daya lahan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan , bimbingan, dan masukan pada penulis.

2. Bapak. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan masukan pada penulis.

3. Bapak. Gubernur Provinsi Papua yang telah mengijinkan/menugas belajarkan dan membiayai studi penulis.

4. Bapak. Kepala Bapedalda Provinsi Papua yang telah memberikan motivasi dan izin serta dukungan dana selama studi.

5. Bapak. Bupati dan Walikota Jayapura yang telah mengijinkankan penulis melakukan penelitian pada wilayah administratif kedua Pemda.

6. Bapak/Ibu Staf Pengajar dan administrasi Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang selama ini telah memperlancar selesainya tesis dan studi penulis.


(18)

8. Isteri tercinta Yohana Marlena Mandowen, SH, yang dengan sabar memberikan dukungan moril untuk penyelesaian studi.

9. Saudari Emmy Mandosir, sdr. Roberth Mandosir, Nelson Sasarari, Ferdinad SD yang telah banyak mendukung dalam penelitian.

10. Teman-teman PSL angkatan 2003 semester gajil yang telah bersama-sama dengan penulis selama melangsungkan kuliah hingga selesainya studi.

11. Teman-teman IMAPA Bogor dan Saudara-saudari se pemondokan Mantiro antara lain Sdr. Yan Masrikat, Niky Lewaherilla, Luther Kadang dan Evelin Parera.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan kebijakan konservasi di Papua pada khususnya dan Indonesia pada Umumnya.

Bogor, Oktober 2005


(19)

Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 20 Januari 1972 dari ayah Eli Maintindom dan Ibu Anthoneta Mauri. Penulis adalah anak keempat dari delapan bersaudara.

Tahun 1991 Penulis lulus dari SMA Katolik Taruna Dharma Kotaraja Jayapura dan pada tahun yang sama masuk di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) Minahasa Sulawesi Utara. Tahun 2003 penulis masuk Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, bidang minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan. Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada instansi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Papua.


(20)

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 6

1.3. Kerangka Pemikiran ... 7

1.4. Perumusan Masalah ... 1.5. Hipotesis ... 10 12 1.6. Manfaat Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Analisis Kebijakan ... 14

2.2. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan ... 17

2.3. Akses Masyarakat Lokal/Adat terhadap Kawasan Konservasi ... 18

2.4. Cagar Alam ... 21

2.5. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Lahan ... 22

2.6. Pendekatan Analitical Hierarky Proscess (AHP) ... 23

2.7. Pendekatan Analisis Hierarky Proses dalam Kerangka Manfaat Biaya 26 2.8. Alokasi Sumberdaya Alam dan Analisis Manfaat Biaya ... 27

III. BAHAN DAN METODE ... 30

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Metode Penelitian ... 31

3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden ... 32

3.4. Metode Analisis Data ... 32

3.5. Faktor Internal Eksternal (Analisis SWOT) ... 33

3.6. Definisi Operasional ……….. 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 35

4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ……… 35

4.1.1 Iklim ……… 35

4.1.2. Tofografi ……… 35

4.1.3. Geografi ……… 36

4.1.4. Hidrologi ……… 37

4.1.5. Vegetasi ……… 37

4.1.6. Flora dan Fauna ……… 37

4.1.7. Sistem Pemerintahan ……… 38

4.1.8. Penyebaran Penduduk ……… 39

4.1.9. Kondisi Sosial Ekonomi ……… 42

4.2. Identifikasi Perarturan Perundang-undangan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi ... 44


(21)

4.3.4. Sektor Pertambangan ... 53

4.3.4. Sektor Lingkungan ... 53

4.4. Evaluasi pengelolaan CAPC saat ini ... 56

4.5. Faktor Pendorong dan Penghambat ... 58

4.6. Potensi Sumber Air Bersih ... 59

4.7. Nilai Ekonomi Air di CAPC ... 61

4.8. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Lahan yang Optimal di Kawasan CAPC ... 63

4.9. Persepsi Masyarakat terhadap Kebijakan Pembangunan di sekitar Kawasan CAPC ... 64

4.9.1. Pandangan tentang keberadaan CAPC ... 65

4.9.2. Pandangan tentang CAPC sebagai sumber air ... 65

4.9.3. Pandangan tentang CAPC sebagai sumber hasil hutan kayu. 65 4.9.4. Pandangan terhadap perubahan CAPC ... 65

4.9.4.1. Peran dan program yang telah dilaksanakan ... 66

4.9.4.2. Peran dan program yang sedang dilaksanakan ... 66

4.9.4.3. Peran dan program yang diharapkan ... 67

4.10. Faktor Internal dan Eksternal (Analisis SWOT ... 68

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1. Simpulan ... 75

5.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 80


(22)

1. Tiga pendekatan dalam analisis kebijakan ... 16 2. Manfaat dan kerugian dalam pengelolaan sumberdaya lahan pada CAPC ... 16 3. Skala banding berpasangan Model Saaty ... 26 4. Matriks internal eksternal (Analisis SWOT) ... 33 5. Jumlah dan kepadatan penduduk Kota Jayapura menurut kecamatan ... 43 6. Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Jayapura menurut kecamatan .. 43 7. Indentifikasi peraturan perundang-undangan ... 47 8. Faktor pendorong dan faktor penghambat dalam pengelolaan CAPC... 59 9. Lokasi sumber dan jumlah inteke air di Kab/Kota Jayapura ... 62 10. Prioritas manfaat biaya metode AHP di kawasan CAPC ... 63 11. Matriks analisis SWOT ... 70 12. Pemberdayaan lembaga masyarakat ... 71 13. Penataan ruang ... 72 14. Peningkatan SDM Aparat pemerintah dan adat ... 73 15. Koordinasi terintegrasi antar sektor ... 74 16. Penegakan hukum ... 75


(23)

1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 2. Peta lokasi penelitian ... 3. Diagram data penduduk Kab/Kota Jayapura 1971-2000 ... 4. Diagram data penduduk Kelurahan/Desa Kec. Jayapura Selatan ... 5. Diagram data kepadatan penduduk Kec/Desa Kec. Abepura ... 6. Diagram data kepadatan Penduduk Kelurahan di Kec. Jayapura Utara ... 7. Diagram data Pendudk per Kec. Di Kabupaten Jayapura ... 8. Grafik kondisi fisik CAPC ...

13 31 40 40 41 41 42 58


(24)

1. Rencana Umum Pengelolaan CAPC tahun 2003 -20014 ... 80 2. Kelompok stakeholder mandat sosial utama ... 90 3. Hierarki untuk menangkap faktor Penghambat terhadap Pembaharuan

Kebijakan pengelolaan Sumber Daya Lahan Dalam Rangka Otonomi

Daerah di Kabupaten dan Kota Jayapura ... 91 4. Gambar Hierarki untuk menangkap faktor Pendorong terhadap

Pembaharuan Kebijakan pengelolaan Sumber Daya Lahan Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota Jayapura ... 92 5. Kuesioner AHP ... 93 6. Panduan wawancara ... 96 7. Hasil Pengolahan data AHP ... 97 8. Struktur Hierarki Proses Balik AHP ... 107 9. Struktur AHP Kerugian ... 109 10. Struktur AHP Manfaat ... 110 11. Luas kawasan konservasi di Provinsi Papua ... 111


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sangat kaya akan sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Sumberdaya alam yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan secara tidak berkelanjutan. Dalam rangka melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut dilakukan pengelolaan secara berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam ditujukkan pada dua hal yaitu

pertama, pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam dan kedua, perlindungan

dan konservasi (Santoso, 2003).

Sehubungan dengan itu ditetapkan berbagai kebijakan oleh Pemerintah antara lain menetapkan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan yang dieksploitasi, baik eksploitasi sumberdaya alam hutan, tambang, minyak dan gas ataupun sumberdaya laut yang dapat dieksploitasi dengan semena-mena dan melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan, maupun upaya-upaya rehabilitasi. Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai realitas pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun ke tahun semakin meningkat, dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis.

Kawasan konservasi di Indonesia sangat luas, khusus cagar alam mempunyai luas ± 4.635.456.29 ha atau 17 % dari kawasan konservasi lainnya, kawasan cagar alam di Provinsi Papua mencapai 2.386.061.25 ha atau 23% dari luas kawasan konservasi lainnya (Direktorat Jendral PAPH, 2004).

Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC) yang luasnya 22.500 ha, ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian Nomor 56/Kpts/um/I/1978 dan SK Menteri Kehutanan Nomor 365/Kpts-II/1987 dengan memperhatikan fungsi:

a. Pusat endemis dan evolusi penting biogeography pulau Papua. Tikusan hutan mayr (Ralina mayri) dan tikus air rusuk merah (Paraleptomys refilatus)

terrbatas hidup di daerah ini, banyak tanaman dan satwa endemik pulau Papua juga terwakili disini.


(26)

b. Pegunungan Cycloop/Dafonsoro relatif terisolir dari wilayah pegunungan lainnya dengan batuan ultrabasa khusus yang tidak dapat ditumbuhi atau toleran terhadap jenis tumbuhan tropis. Sifat batuan memberikan tempat bagi keragaman species yang lebih besar.

c. Keragaman ketinggian kawasan ini meliputi spektrum luas jenis-jenis habitat termasuk daerah pantai berbatu, hutan pantai, hutan daratan rendah, hutan gunung rendah, hutan lumut, hutan ultra basik dan padang rumput.

d. Letaknya berdekatan dengan Ibukota Propinsi memungkinkan kegiatan penelitian, pendidikan lingkungan hidup dengan pengenalan tipe-tipe hutan. e. Pensuplai air bagi penduduk Kabupaten/Kota Jayapura dan kegiatan

pertanian sekitar CAPC serta sumber air bagi danau sentani yang berada pada wilayah selatan.

Sehubungan dengan status dan fungsi konservasi/lindung, CAPC hampir tidak dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat sekitar yang secara turun temurun telah memanfaatkan sumberdaya alam yang berada diwilayah kawasan CAPC, sementara kelestarian fungsinya dihadapkan dengan tekanan dan ancaman oleh penduduk yang berada disekitar CAPC.

Pertambahan penduduk yang semakin cepat, mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian/perladangan, pertambangan golongan C dan pembangunan pemukiman serta infrasruktur semakin berkurang. Fenomena ini mengakibatkan konversi lahan pada wilayah CAPC menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari, sementara itu pilihan ini sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentang konservasi seperti UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyatakan kegiatan yang dapat dilakukan pada wilayah cagar alam adalah kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya, kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan cagar alam. Dengan jelas aturan diatas telah mengatur kegiatan yang dapat dilakukan dan yang tidak dilakukan, namun faktual yang terjadi adalah konversi dan peruntukan lahan terus dilakukan dikawasan lindung cycloop.

Untuk mengatur berbagai kegiatan disekitar kawasan Cycloop, Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura menetapkan kebijakanpemanfaatan ruang yang dibahas dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW).


(27)

RUTRW Kota Jayapura tahun 1995-2004 yang ditetapkan dengan Perda No. 16 tahun 1995 di bagi dalam struktur Tata Ruang menjadi tiga bagian antara lain:

bagian pertama, tata jenjang pusat-pusat pelayanan (pasal 10), bagian kedua,

sistem transportasi (pasal 11 dan 12) dan bagian tiga, Pengembangan prasarana dan sarana lain (pasal 13,14,15) (Watori, 2003).

Seiring dengan kebutuhan transportasi di Kota Jayapura, Pemerintah Kota Jayapura membangun jalan alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam dan Skyline - Uncen Waena, kedua jalan alternatif ini melintasi kawasan inti dan penyangga CAPC. Pembangunan Jalan alternatif memberikan akses masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan dan potensi lainnya yang berada dikawasan ini. Kebijakan Pemkot Jayapura telah memberikan nilai positif untuk kemajuan daerah ini, namun bukan berarti pembangunan ini tidak memberikan dampak negatif, sebab nilai sosial budaya dan lingkungan atau konservasi telah mengalami degradasi. Berbagai aktifitas pembangunan dan alih fungsi lahan mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan (hasil analisis Citra landsat tahun 2000). Sedangkan struktur RUTRW Kabupaten Jayapura tahun 2002 - 2010 yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu: jaringan prasarana dan transportasi, pusat pelayanan serta fungsi primer (Bappeda Kab. Jayapura, 2001). Mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka Kabupaten Jayapura dalam pemanfaatan ruang dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam implementasi pemanfaatan ruang, dengan jelas kawasan lindung ada akses penduduk disekitar buffer zone dan kawasan inti dengan berbagai kegiatan antara lain perladangan berpindah, pemukiman liar oleh masyarakat migran Papua dan non Papua, pertambangan golongan C (pasir, batu) oleh masyarakat lokal dan pengusaha/swasta, pembangunan pemukiman dan infrastruktur / jalan melintasi CAPC, penjarahan kayu dan anggrek disekitar wilayah penyangga dan kawasan inti yang berdampak pada degradasi lahan, tanah longsor, banjir, kebakaran hutan dan terjadi pengeringan pada sumber-sumber air (PKBI dan NRM II, 2003).

Semenjak pemekaran wilayah kabupaten Jayapura tahun 1993, wilayah Kabupaten Jayapura pindah ke Sentani yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura dan Kotamadaya Jayapura di Jayapura yang sekaligus sebagai pusat pemerintahan Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua).


(28)

Dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kesempatan kepada daerah untuk menentukan kebijakan yang akan diberlakukan pada wilayahnya, pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya alam nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini termasuk kawasan konservasi yang diberlakukan Kebijakan pemanfaatan ruang yang dibahas dalam RUTRW kedua pemerintahan.

Semenjak diberlakukan berbagai program di kawasan ini telah terjadi berbagai gangguan terhadap potensi sumberdaya alam di kawasan CAPC, baik dalam kawasan inti maupun penyangga antara lain:

a. Eksploitasi kayu, anggrek dan tanaman paku-pakuan yang dilakukan dengan pola destruktif.

b. Perburuan binatang liar seperti kus-kus, burung dan binatang mamalia. c. Eksploitasi kayu soang (Xentrosstemon sp) sebagai bahan baku pembuatan

arang dan pembangunan rumah/jembatan dipinggiran laut. d. Penggalian batu kapur dan pengambilan batu kali / kerikil. e. Perladangan berpindah.

f. Pemukiman masyarakat yang masuk dalam kawasan CAPC. g. Rawan terhadap kebakaran hutan.

Gangguan ini dilakukan oleh masyarakat migran Papua dan pendatang (Lamuasa et al. 1991). Penduduk migran ini cukup memahami konservasi tradisional, namun desakan ekonomi mengakibatkan tekanan serius terhadap fungsi kawasan CAPC. Bersamaan dengan tekanan yang dilakukan dikawasan CAPC mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan lahan untuk mengantisipasi tekanan yang terjadi. Kebijakan Pemerintah Kota Jayapura tentang Pemanfaatan Lahan diatur dalam UU Nomor 16 tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah tahun 1995-2004, sedangkan Kabupaten Jayapura Perda RUTRW Revisi tahun 2000-2013 masih dalam tahap proses. Kedua RUTRW ini dengan jelas telah dibagi peruntukan lahan/ruang untuk berbagai kegiatan termasuk kawasan konservasi/lindung. Namun realitas dilapangan menunjukkan inkonsisten kedua Pemerintah Daerah dalam hal pemanfaatan ruang, oleh sebab itu masyarakat menuding bahwa salah satu sumber kerusakan pada kawasan CAPC diakibatkan oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura dalam implementasi RUTRW.


(29)

Jika hal ini dibiarkan berlangsung, maka pertanyaan yang timbul adalah sejauhmanakah kewenangan Pemerintah Daerah untuk menanggulangi tekanan yang berakibat pada kerusakan di dalam kawasan CAPC dan bagaimana kinerja institusi yang diberi kewenangan untuk menangani permasalahan konservasi di wilayah CAPC.

Kerusakan kawasan akibat kebijakan banyak terjadi pada wilayah Kota Jayapura, padahal luas CAPC diwilayah Kota Jayapura ± 26 %. Kerusakan akibat kebijakan pemanfaatan lahan di Kota Jayapura antara lain: Pembangunan pemukiman dan perkantoran yang berbatasan dengan kawasan inti, pembangunan Markas Kodam XVII/Trikora dan Lapangan Golf Cenderawasih, pembangunan jalan alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam yang melintasi kawasan inti CAPC dan jalan Angkasa – Kampung Ormu yang telah dibatalkan akibat tidak dilengkapi dokumen AMDAL. Pengambilan material batu kapur di daerah Bucen dan Entrop, pengambilan kayu untuk pembangunan jembatan bagi penduduk yang berada di daerah pantai di Teluk Humbolt dan Dok IX. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Kota Jayapura tidak memperhitungkan nilai atau aspek ekologis/lingkungan kawasan CAPC, namun lebih mementingkan nilai atau aspek ekonomi.

Menurut PKBI dan NRM II (2003), kerusakan akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura antara lain: Perladangan berpindah disekitar kawasan penyangga, penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging), pengambilan material batu dan pasir pada daerah aliran sungai yang berada disekitar kawasan penyangga dan masuk dalam kawasan inti, pemukiman liar oleh penduduk yang melakukan perkebunan dan berbagai pemukiman yang diizinkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura. Permasalahan kerusakan ini menurut Petocz (1987) adalah ketidak tahuan masyarakat terhadap status kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan cagar alam dengan berbagai fungsi dan desakan ekonomi sehingga disarankan untuk melakukan pendekatan dalam bentuk penyuluhan atau sosialisasi tentang status kawasan dan fungsinya serta perlu dicari solusi tentang peningkatan ekonomi masyarakat dengan tidak menebang hutan atau pengambilan sumberdaya alam secara berlebihan.

Kondisi empiris menujukkan, bahwa masyarakat Jayapura menyadari adanya momentum pergeseran kewenangan sebagai peluang dan kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam keseluruhan proses pembangunan di


(30)

Kabupaten/Kota Jayapura. Kesadaran itu ditandai dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat bahwa, mereka tidak lagi sebagai obyek pembangunan tetapi menjadi subyek dan lebih dari itu sebagai pelaku pembangunan.

Pada kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop masih bertumpuk berbagai kepentingan baik kepemilikan adat, kebijakan pemerintah dan swasta (pemanfaat), yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pendeknya sejak terberbentuknya Kabupaten / Kota Jayapura, tuntutan terhadap upaya penyempurnaan segala bentuk kebijakan daerah khususnya dengan pengelolaan sumberdaya lahan cenderung meningkat.

Kebijakan Pembangunan Pemerintah Provinsi Papua saat ini lebih diarahkan pada pembangunan aspek ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sejalan dengan substansi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Aspek-aspek tersebut juga merupakan penjabaran dari visi Provinsi Papua yang pada tahapan jangka menengah pertama (Perform Project, 2001), dimana meletakan Tahun 2005 sebagai tonggak tapal batas (Milestone) tercapainya kerangka landasan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang kuat bagi terwujudnya masyarakat Papua menjadi tuan di negeri sendiri (Pemerintah Provinsi Papua, 2001).

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penghambat yang timbul dalam penerapan peraturan perundang-undangan pada kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC).

c. Menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal terhadap Kawasan Konservasi CAPC.

d. Mengetahui sumber mata air dan nilai ekonomi. e. Menyusun strategi pengembangan CAPC


(31)

1.3. Kerangka Pemikiran

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena SDL diperlukan disetiap kegiatan manusia (Sitorus, 2004).

Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segalah tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2004).

Perkembangan budaya, kegiatan dan kepadatan penduduk yang relatif cepat umumnya terjadi di perkotaan. Perkembangan ini dibaringi dengan kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menunjangan keberlanjutan hidup.

Lahan yang berada diperkotaan telah diperuntukan untuk pengembangan sentra ekonomi dan berbagai infrastruktur mengakibatkan nilai ekonomi lahan semakin mahal sehingga masyarakat lokal yang berada disekitar perkotaan terdesak ke pinggiran kota bahkan masuk dalam wilayah kawasan lindung/konservasi.

Pada tahun 1993 kebutuhan lahan untuk pengembangan Kota dan Kabupaten Jayapura mulai meningkat, dikarenakan kedua daerah ini telah dimekarkan. Kota Jayapura sebagai ibukota Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua) membutuhkan lahan yang sangat luas untuk pembangunan berbagai infrastruktur perkantoran, jalan, perumahan dan sentra-sentra ekonomi yang membuat tidak ada pilihan lain untuk terhindar dari konversi lahan kawasan lindung bagi pembangunan. Sementara itu kebutuhan lahan untuk masyarakat melakukan kegiatan seperti pertanian/perkebunan, pengambilan kayu, pertambangan galian C dan pariwisata memberikan pihan mereka pada penggunaan lahan yang berada pada kawasan lindung/konservasi.

Kawasan CAPC merupakan kawasan yang penting bagi perlindungan flora dan fauna endemis Papua yang terwakili disini, sebagai kawasan penyimpan dan pensuplai air bagi penduduk Jayapura dan sekitarnya serta sebagai penyangga kehidupan bagi suku Tepra, Ormu, Moy, Sentani, Humbolt selaku masyarakat pemilik ulayat dan masyarakat/penduduk disekitarnya.

Pengelolaan kawasan CAPC tergolong dalam terminalogi kawasan/hutan konservasi yang tercantum pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


(32)

Potensi kawasan CAPC, saat ini sebagian besar mengalami keadaan rusak berat akibat perambahan hutan, perladangan berpindah, pertambangan galian C, pembangunan pemukiman dan infrastruktur/jalan yang melintasi wilayah inti CAPC. Kegiatan-kegiatan diatas ada yang mendapat legitimasi hukum dalam bentuk ijin prinsip dan pinjam pakai yang di dasari dengan terjemahan peraturan perundang-undangan dan adapula yang dilakukan secara illegal, oleh sebab itu perlu diidentifikasi peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengelolaan kawasan konservasi dan faktor pengambat dan pendorong yang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan CAPC, mengetahui potensi sumber air bersih dan nilai ekonominya bagi penduduk Jayapura, menganalisis alternatif yang optimal untuk pengelolaan CAPC dan menyusun strategi pengembangan CAPC. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan, perlu dilakukan analisis terhadap institusi yang menyangkut dengan peraturan perundang-undangan serta fungsi dan kewenangan dari lembaga/institusi yang berkaitan dalam pengelolaan CAPC.

Institusi merupakan suatu sisten kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup idiologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tak terlepaskan dari lingkungan. (Pakpahan, 1990 dalam Kartodihardjo, 1998). Menurut North (1991)

dalam Kartodihardjo (1998), institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh

seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu intitusi adalah instrumen yang mengatur hubungan individu.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, yang

di break down dengan Perda Nomor 16 Tahun 1993 tentang RUTRW Kota

Jayapura (Watori, 2003) dan RUTRW Kabupaten Jayapura (Bappeda Kab. Jayapura, 2001) telah diatur dengan baik ruang-ruang yang akan dilakukan kegiatan, sedangkan untuk daerah - daerah yang dilindungi seperti CAPC diberikan ruang yang disebut buffer zone untuk kegiatan masyarakat setempat seperti perkebunan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman serta berbagai infrastuktur adat maupun pemerintah. Hal-hal diatas dengan jelas telah di Perdakan dan tersusun dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah kedua pemerintah daerah, namun dalam implemetasi terjadi inkonsisten terhadap RUTRW yang dikeluarkan oleh kedua pemerintah. Salah satu yang menjadi masalah urgen adalah pengelolaan terhadap sumberdaya lahan yang berada pada kawasan konservasi CAPC. Sebagai indikator adalah ancaman terhadap biodiversity, hutan


(33)

dan air yang semakin hari berkurang. Berbagai gejala alam seperti longsor, erosi dan banjir terjadi di kedua wilayah administratif.

Keberadaan kawasan CAPC memberikan manfaat yang besar bagi penduduk yang berada disekitarnya dan Jayapura pada umumnya. Pada kawasan ini telah berlangsung lama kearifan tradisional masyarakat adat untuk melakukan konservasi secara tradisional namun dengan kebijakan pemerintah dan tuntutan ekonomi maka nilai-nilai adat lambat laun mulai terkikis. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada wilayah selatan CAPC, dimana masyarakat tidak lagi mempertahankan cycloop sebagai ibu dalam apresiasi dan kepercayaan adat mereka, namun sebaliknya dibiarkan untuk dirusaki atau diperkosa demi mencapai kenikmatan sesaat dengan berbagai kegiatan seperti: pertambangan golongan C, pemukiman, perladangan berpindah, pembangunan jalan, pariwisata, pelayanan jasa dan penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging).

Kebijakan pemerintah dan adat berupa pemberian izin kegiatan pertambangan, pengambilan kayu, pemukiman, perladangan dan pertanian, pariwisata dan penebangan hutan pada kawasan ini telah memberikan implikasi jelek terhadap kawasan yang dilindungi dan dibanggakan oleh penduduk Jayapura. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang mengesampingkan fungsi dan manfaat ekologi/lingkungan dan sosial budaya yang mengakibatkan berbagai benturan dalam pemahaman kebijakan pada level masyarakat.

Berbagai fenomena sosial yang terjadi akibat kebijakan pemerintah membuat gaya hidup/budaya setempat menjadi kendor dan mengikuti tren konsumtif yang ingin mengkonsumsi seluruh sumberdaya alam yang ada dalam kawasan ini, tanpa memperhitungkan status kawasan, tetapi lebih banyak memperhitungkan status sosial yang berdampak pada pemenuhan ekonomi.

Berdasarkan fenomena diatas, maka penelitian ini akan mengkaji seberapa jauhkah faktor pendukung dan pendorong yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop dan seberapa jauh pandangan atau persepsi mereka terhadap kawasan ini sehubungan dengan penyelenggaraan Otonomi Khusus Provinsi Papua. secara lebih rinci dapat dilihat pada kerangka pemikiran pada Gambar 1.


(34)

1.4. Perumusan Masalah

Dalam rangka melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka pengelolaan sumberdaya alam ditujukan pada dua hal yaitu pertama, pemanfatan atau eksplorasi sumberdaya alam dan kedua, perlindungan atau konservasi. Pola pengelolaan sumberdaya yang baik adalah harus dapat menetapkan sumberdaya sebagai obyek dan subyek pembangunan sehingga dapat berperan dalam pembangunan regional maupun nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan di suatu daerah merupakan suatu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada daerah tersebut untuk mensejahterakan manusia secara lestari. Sumberdaya lahan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi tidak boleh mengorbankan fungsi sumberdaya lahan tersebut sebagai penopang kehidupan.

Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan yang dapat di eksplorasi, dan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Namun bukan berarti kawasa-kawasan tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasa-kawasan yang dapat dieksploitasi, baik eksploitasi sumberdaya hutan, tambang, minyak dan gas ataupun sumberdaya lahan, dapat dieksploitasi dengan semena-mena sehingga melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan, maupun upaya-upaya rehabilitasi.

Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan hutan, pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun ke tahun semakin meningkat/besar. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis, sementara suksesi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan telah dieksploitasi membutuhkan waktu lama untuk diperbaharui kembali.

Ancaman tidak hanya mencul terhadap kawasan-kawasan yang dianggap sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan eksploitasi saja, akan tetapi juga tertuju kepada kawasan-kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi. Ancaman tersebut disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, pengrusakan lingkungan, konversi lahan, penangkapan secara berlebihan spesies tertentu ataupun pengenalan spesies eksotik.


(35)

Sehubungan dengan pengembangan Kota dan Kabupaten Jayapura, kedua Pemda telah menyusun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) dari masing-masing daerah yang behubungan dengan penggunaan lahan pada kedua wilayah masing-masing. RUTRW dengan jelas mengatur tentang pengunaan ruang/lahan yang berada disekitar CAPC, namun dalam implementasi RUTRW ada berbagai kegiatan yang telah masuk kawasan cagar alam pegunungan cycloop. Kegiatan yang dimaksud adalah pembangunan infrastruktur/jalan alternatif Polimak IV – Keluarahan Hedam (status izin pinjam pakai), dan jalan melingkar Angkasa – Kampung Ormu sepanjang 25 km yang telah dibatalkan karena tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL, kegiatan ini sangat mengganggu sumber mata air bersih dan berbagi flora fauna dalam kawasan CAPC. Kegiatan lain yang memberikan kerusakan bagi sumberdaya lahan seperti perladangan berpindah, penebangan hutan secara liar, pertambagan galian C masih marak dilakukan disekitar wilayah ini, belum ditata oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Peruntukan lahan disekitar kawasan ini masih terbentur oleh kepemilikan adat, sehingga luas lahan/tanah tertentu harus melalui persetujuan/ pelepasan adat. Fenomena sosial budaya masyarakat disekitar CAPC masih kuat dengan adat istiadat, namun akhir-akhir ini terlihat bahwa adat-istiadat dari masyarakat khusus dibagian selatan kawasan ini telah mengalami degradasi nilai adat diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat.

Fenomana diatas sangat berhubungan dengan sistem dalam lembaga masyarakat dan pemerintah yang melaksanakan berbagai program pengelolaan kawasan konservasi CAPC. Mengingat kelembagaan ini harus dilatarbelakagi dengan kapabilitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan konservasi dan juga dapat memberikan alternatif terhadap tekanan dan ancaman yang terjadi dalam kawasan CAPC.

Untuk meminimisasi tekanan dan ancaman yang terjadi dikawasan ini maka dibutuhkan koordinasi terintegrasi antara para pihak yang berkepentingan dengan kawasan CAPC, sumberdaya manusia dan dana yang cukup, lembaga yang kredibel.

Dalam rangka pengelolaan sumberdaya lahan di CAPC, dibutuhkan kebijakan yang mengakomodir kebutuhan para pihak dengan mengedepankan aspek


(36)

lingkungan/ekologi, sosial budaya dan ekonomi dan tidak sebaliknya. Berdasarkan kondisi faktual di atas, telah memberikan indikasi, bahwa dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan harus didukung oleh berjalannya prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan berwawasan lingkungan (enviromental good governance) yaitu dilakukan secara terbuka, partisipatif, bertanggung jawab, bertanggung-gugat, demokratis dan berpihak pada kepentingan publik. Semangat untuk merespon kondisi empiris ini dan menangkap momentum seperti diuraikan diatas, perlu dijadikan pendekatan bagi semua bidang pembangunan dalam menetapkan rencana kegiatan dan program strategi. Dari uraian diatas timbul tiga pertanyaan penelitian yang ditimbulkan oleh stakeholders berkepentingan pada kawasan konservasi CAPC antara lain:

a. Bagaimanakah fungsi dan kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam pengelolaan Sumberdaya Lahan pada kawasan CAPC. b. Seberapa besar nilai ekonomi air sebagai dasar pengambilan keputusan c. Seberapa besar faktor pendorong dan penghambat dapat mempengaruhi

kelestarian CAPC.

1.5. Hipotesis

Pembaharuan kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya lahan dapat tercapai, apabila faktor-faktor pendorong lebih besar dari pada faktor penghambatnya, dan kebijakan dapat dilaksanakan, apabila ekspektasi rasional masing-masing pelaku (aktor) sesuai dengan tujuan pembangunan yang diharapkan.

1.6. Manfaat

a. Memberikan informasi evaluasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Jayapura sebagai arah pengambilan keputusan dan atau kebijakan sesuai kewenangan yang diberikan guna pengelolaan sumberdaya lahan kawasan konservasi CAPC.

b. Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholders yang berkepentingan dengan kawasan CAPC.


(37)

Kebijakan Pemerintah ttg

Peraturan Per-UU Konservasi dan Kewenangannya

(Pemerintah Pusat, Prov, Kab/Kota)

Faktor Pendorong

Faktor Penghambat

KINERJA YG DICAPAI

KONDISI AWAL

PROGRAM BERJALAN

KINERJA SAAT INI

Tim Pokja Cycloop yang terdiri dari

pihak-pihak yang berkepentingan

dengan Cycloop al. Pemerintah, Swasta, PT, Masyarakat/ LMS

Ekspetasi Rasional

PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN

Fak. Pendukung

Faktor Penghambat

KINERJA HARAPAN

Perilaku dan Adaptasi

AKTOR

ALTERNATIF SOLUSI


(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

.

2.1. Analisis Kebijakan

Kebijakan memiliki pengertian yang sangat bervariasi tergantung pada sudut pandangnya. Thomas R. Dye (1978) mengidentifikasi kebijakan publik sebagai “is

whatever goverment choice to do or not to do “ (apapun yang dipilih pemerintah

untuk dilakukan dan tidak dilakukan).

Loswell dan Kapalan dalam Watori, 2003, memberikan arti kebijakan sebagai “projected program of goal, values and practices” (program yang memiliki sasaran, nilai dan dapat dilaksanakan). Selanjutnya ditambahkan oleh Carl Friedrich yang mengatakan bahwa “ it is essensial for the policy the therebe a good, objective or

purpose “ (adalah penting dalam suatu kebijakan terdapat sasaran, tujuan dan

maksud tujuan).

Dengan mengatakan bahwa perumusan kebijakan adalah proses sosial dimana proses intelektual melekat didalamnya tidak berarti bahwa efektivitas relatif dari proses intelektual tidak dapat ditingkatkan, atau proses sosial dapat diperbaiki (Bauer dalam Dunn, 2003)

Analisis Kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan

dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang

proses pembuatan kebijakan analis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik.

Kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang dibuat atas nama suatu kelompok sosial, yang memeiliki implikasi yang kompleks dan yang bermaksud mempengaruhui anggota kelompok dengan penetapan sangsi-sangsi (Mayer, et al. 1982 dalam Shawan, 2002).

Oleh karena analisis kebijakan merupakan bentuk etika terapan yang pada akhirnya, analisis kebijakan berupaya menciptakan pengetahuan yang dapat meningkatkan efisiensi pilihan atas berbagai alternatif kebijakan. Dengan demikian untuk pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang sederhana mengenai aspek-aspek terpilih dari suatu situasi problematis yang disusun untuk tujuan - tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model prespektif.


(39)

Dari sekian model yang dikenal dalam kebijakan tidak ada satupun model yang dianggap baik, karena masing-masing model menfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Fosrester dalam Dunn, (2003) persoalan kebijakan terletak pada pemilihan alternatif.

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis penilaian, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap – tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.

Menurut Dunn (2003) analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya. Itulah sebabnya analisis kebijakan di definisikan sebagai pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian krtitis, pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Yang jelas, kualitas analisis kebijakan adalah penting sekali untuk memperbaiki kebijakan dan hasilnya.

Sebagai proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual

yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis, aktivitas politis tersebut sering disebut sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasi sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa, atau seluruh tahapan dari proses kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi dalam sebuah permasalahan.

Dalam kaitannya dengan analisis kebijakan pengelolaan kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, maka model kebijakan yang paling mendekati adalah model prosedural. Model prosedural ini menggunakan serangkaian prosedur sederhana untuk menunjukkan dinamika hubungan diantara variabel-variabel yang dipercayakan memberikan ciri pada masalah kebijakan. Prediksi dan pemecahan optimal dicapai melalui simulasi dan penelusuran kendala satuan-satuan yang mungkin terjadi.

Salah satu bentuk yang sederhana dari model prosedural adalah “pohon keputusan” pohon keputusan berguna untuk membandingkan estimasi subjektif mengenai akibat-akibat yang mungkin dari berbagai pilihan kebijakan dimana ada kondisi terdapatnya kesulitan untuk memperhitungkan resiko dan ketidakpastian dengan data yang ada.


(40)

Untuk penelitian ini digunakan tiga pendekatan dalam menganalisis kebijakan disajikan pada Tabel 1, dengan pendekatan tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP) untuk mengolah data yang kompleks dan ketidakpastian pada data yang akan dihimpun. Dan untuk AHP dapat dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya alam dapat diterapkan pada “Analisis Manfaat Biaya” yaitu suatu alat tradisional untuk pengalokasian sumberdaya (Saaty, 1993). Menerapkan Analisis Hirarki Proses pada analisis manfaat/biaya (B/C) (Tabel 2) dapat memperbaiki alat pengambilan keputusan tradisional tersebut yaitu dengan cara menstruktur persoalan manfaat dan biaya dalam suatu hirarki analisis, selanjutnya dapat menggunakan skala banding elemen berpasangan untuk mengkuantifikasi faktor tidak dapat diukur (intangible) dan elemen-elemen non ekonomi yang sejauh ini belum terintegrasi secara efektif dalam pengambilan keputusan.

Tabel 1. Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan

Pendekatan Pertanyaan utama Tipe Informasi

Empiris Valuatif Normatif

Adakah dan akankah (fakta) Apa manfaatnya (nilai)

Apa yang harus diperbuat (aksi)

Deskripsi dan prediktif Valuatif

Preskrtitif Sumber: Dunn, 2003

Tabel 2. Manfaat dan Kerugian (biaya) dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC)

Pengelolaan SDL

CAPC Manfaat Biaya (Kerugian)

1. Ekonomi

2. Lingkungan

3. Sosial

1. Pendapatan meningkat 2.Terbentuk usaha di sektor

informal 1. Hidrologi 2. Iklim Mikro 3. Nilai estetika

1.Rekreasi bagi masyarakat meningkat

2.Penyerapan tenaga kerja

1. Memerlukan modal 2. Biaya operasional dan pemeliharaan

1. Pencemaran 2. Kekeringan 3. Erosi

1. Timbul kecemburuan sosial

2. Perubahan budaya/gaya hidup


(41)

2. 2. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena Sumberdaya Lahan diperlukan pada setiap kegiatan manusia. Perencanaan pembangunan yang akan dilakukan tidak terlepas dari kebutuhan akan sumberdaya lahan (Land Resources), sebab sumberdaya lahan merupakan lingkungan yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat (Sitorus, 2004).

Komponen-komponen penyusun sumberdaya lahan (SDL) terdiri dari:

(1) Iklim, (2) Air, (3) Bentuk lahan dan tofografi, (4) Tanah, (5) Formasi geologi, (6) Vegetasi, (7) Organisme/hewan, 8) Manusia dan 9) Produk budaya manusia (Sitorus, 2004).

Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segalah tindakan atau perlakukan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengembangannya, sumberdaya lahan bersifat multi fungsi dan multi guna dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Nilai ekonomi dari Sumberdaya Lahan akan ditentukan oleh:

1. Kualitas fisik tanah, 2. Lokasi, dan

3. Sistem lingkungan disekitarnya.

Apabila permintaan terhadap lahan berubah atau meningkat sedemikian rupa sehingga Sumberdaya Lahan menjadi barang langkah, maka nilai ekonomi lahan tersebut akan meningkat secara cepat (Sitorus, 2004).

Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan telah diatur pada Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang, sehingga akan

menjadi jelas bagi setiap daerah yang akan merencanakan pembangunan harus mengacu pada aturan ini yang akan di break down oleh Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) dari setiap daerah yang akan melaksanakan berbagai pembangunan. Namun secara normatif dalam implementasi kadangkala terjadi inkonsisten terhadap RUTRW masing-masing daerah, yang mengakibatkan konversi dan alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan, sehingga fungsi awal terabaikan.


(42)

Era Otonomi Daerah ternyata mempunyai dampak terhadap meningkatnya laju konversi lahan pertanian dan lahan-lahan konservasi untuk kepentingan pembangunan berbagai infrastruktur pemerintah dan swasta bahkan berbagai izin prinsip dikeluarkan guna memenuhi aspek ekonomi. Hal ini terjadi sebagai akibat konsekuensi logis dari kebijakan pengembangan daerah yang mengundang investor untuk menanamkan modal didaerah. Pembangunan infrastruktur yang marak dilakukan pada berbagai kawasan konservasi akan mempengaruhi berbagai aspek seperti aspek ekonomi yang menjadi tujuan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dengan tujuan kesejahteraan masyarakat.

Sebagian pendapat mengatakan bahwa konversi lahan pertanian dan lahan konservasi ke nonpertanian terutama yang terjadi di perkotaan adalah proses alamiah sebagai konsekuensi pertumbuhan urbanisasi mengikuti hukum ekonomi dimana lahan akan digunakan sesuai dengan nilai ekonomi tertinggi (sekretariat DKP, 2002). Pendapat lain mengatakan bahwa konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor.

2.3. Akses Masyarakat Adat terhadap Kawasan Konservasi

Salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya lahan termasuk kawasan konservasi adalah masyarakat adat. Disamping masyarakat adat juga dikenal masyarakat lokal. Istilah masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan tetapi peraturan yang memberikan pengertian mengenai masyarakat hukum adat adalah SK Menteri Kehutanan Nomor: 47/Kpts-II/1998 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas seluas ± 29.000 Ha di kelompok hutan pesisir, di kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung yang telah merupakan rempong damar dan diusahakan oleh masyarakat hukum adat. Malik et al. (2003).

Istilah masyarakat hukum adat sendiri diambil dari keputusan ilmu hukum adat, khususnya setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulayat

(beschikkingsrecht) yang dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut

sebagai masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat hukum adat kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Ter Haar (1995) dalam Malik et al. (2003) yaitu: Kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri,


(43)

dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat.

Klaim kepemilikan terhadap suatu kawasan yang terkategori communally owned resources terkait erat dengan sistem komunitas (tenure system) setempat. Seperangkat hak atas sumberdaya biasanya dikukuhkan dengan aturan hukum dan adat-istiadat yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat. Karena itu, klaim penguasaan terhadap suatu “tanah ulayat” biasanya dikukuhkan oleh suatu aturan hukum dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat itu (Malik at al. 2003).

Dalam sistem penguasaan itu sendiri terdapat dua konsep pokok yang masih perlu dibedakan, yakni tenure dan teritorialitas. Walaupun sebenarnya tidak dapat dipisahkan, kedua konsep ini sering memberikan implikasi berbeda terhadap kestabilan ekologis. Mengacu kepada pemikiran van Djik dalam Malik et al. (2003), kedua konsep tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu berkenaan dengan klaim hak penguasaan atas sumberdaya. Tenure dapat dipahami sebagai penegasan mengenai suatu hak khusus yang dimiliki oleh individu atau kelompok terhadap suatu obyek yang jelas batas-batasnya. Misalnya, investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap proses-proses alamiah melalui perubahan jenis tutupan vegetasi seperti paktik budidaya tanaman tertentu diatas sebidang tanah.

Sementara itu, batas-batas klaim dalam sistem penguasaan teritorialitas mencakup klaim atau penguasaan terhadap suatu kawasan tanah (territory) tertentu; pengukuhan tersebut berdasarkan aspek-aspek idiologis, moral, legal atau alasan-alasan politik bukan mengacu pada aspek-aspek ekologis tetapi lebih didasarkan pada persepsi orang terhadap kondisi-kondisi ekologis dan sosio-politik mereka. Klaim penguasaan berupa teritorialitas tidak mempersyaratkan faktor investasi manusia seperti tenure. Dengan lain kata, suatu klaim penguasaan

teritoriality bisa sama dan sebangun dengan tenure tetapi bisa juga melampaui

batas-batas tenure. (Malik et al. 2003).

Status kawasan konservasi, seringkali bertentangan dengan kearifan masyarakat adat yang telah lama melakukan aktivitas pada kawasan-kawasan tersebut, sehingga jika dihubungkan dengan kepemilikan lahan-lahan masyarakat ternyata sudah berlangsung secara turun temurun dalam kawasan-kawasan yang dilindungi, hanya secara faktual terjadi adalah status-status kawasan seringkali menjadi sebuah klaim politik yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat,


(44)

sehingga banyak terjadi konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah (pihak berkepentingan).

Pada era otonomi daerah, lebih banyak pemerintah daerah harus bisa memberikan ruang kepada masyarakat untuk ikut dalam semua aktivitas perencanaan dan pengawasan berbagai program dan kebijakan publik.

Menurut Malik et al. (2003) bahwa agar tidak terjadi konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat adat (pemilik ulayat) maka hal yang harus dilakukan adalah memberikan ruang kepada masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan penghidupan sebagaimana mereka lakukan, namun perlu diatur dengan aturan adat dan pemerintah yang telah disepakati bersama untuk diberlakukan pada kawasan-kawasan konservasi.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi, adalah pengertian sederhana dari peran serta masyarakat. Mengacu pada pendapat Canter (1977), dalam Malik et al. (2003) peran serta masyarakat adalah proses komunikasi dua arah yang terus-menerus dibangun untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi. Peran tersebut didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan (feed-forward information) dan komunikasi dari masyarakat kepada pemerintah atas kebijakan tersebut (feedback information).

Cormick (1979), sebagaimana dikutip oleh Arimbi dan Santoso, 1993 dalam Malik et al. (2003) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang pertama, peran serta yang bersifat konsultatif, dimana anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, akan tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan. Kedua, adalah peran serta yang bersifat kemitraan, dimana masyarakat dan pejabat pembuat keputusan secara bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan dan secara bersama-sama membuat keputusan.

Dengan demikian, menurut berbagai kalangan peran serta masyarakat akan dapat meningkatkan kualitas keputusan pemerintah (Canter, 1977), dan disisi lain akan dapat mereduksi kemungkinan munculnya konflik, karena menghasilkan tingkat penerimaan keputusan yang lebih besar pada masyarakat (Koesnadi, 1990).


(45)

Sejalan dengan Canter dan Koesnadi, Santoso menyebutkan bahwa intinya terdapat lima manfaat lain dari peran serta masyarakat antara lain:

a. Sebagai proses pembuatan kebijakan, karena masyarakat sebagai kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi dari suatu kebijakan memiliki hak untuk dikonsultasikan (rights to consult).

b. Sebagai suatu strategi, dimana melalui peran serta masyarakat suatu kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas (credible).

c. Peran serta masyarakat juga ditunjukan sebagai alat komunikasi bagi pemerintah yang dirancang untuk melayani masyarakat untuk mendapatkan masukan dan informasi dalam pengambilan keputusan, sehingga melahirkan keputusan yang responsif.

d. Peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa atau konflik, didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredahkan konflik.

2.4. Cagar Alam

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Cagar Alam didefinisikan sebagai kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembagannya berlangsung secara alami.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem mengatur bentuk-bentuk pemanfaatan yang bisa dilakukan. Misalnya seperti tercantum dalam pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa:

(1) Didalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budidaya dan wisata alam

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.

Undang-undang ini hanya mengatur pemanfaatan untuk kegiatan-kegiatan wisata. Untuk kegiatan-kegiatan lainnya khususnya oleh masyarakat adat atau lokal tidak terdapat aturan yang jelas. Padahal kawasan konservasi itu sendiri selalu merupakan kawasan yang tidak berpenghuni.


(46)

Justru yang lebih menonjol adalah pengaturan tentang larangan terhadap kegiatan yang dikhawatirkan dapat merusak kawasan-kawasan tertentu. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam pasal 33 UU yang sama menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap zona inti taman nasional

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan satwa lain yang tidak asli.

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.

2.5. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Lahan

Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya (Suporaharjo, 2000). Konflik dapat ditimbulkan antara individu yang satu dengan yang lainnya (antar individu) antar kelompok individu.

Kebanyakan tanah/lahan akhir-akhir ini menjadi masalah, seperti alokasi lahan untuk transmigrasi disuatu daerah, secara de facto telah dikuasai oleh komunitas masyarakat setempat, walaupun tanah-tanah itu secara kasat mata masih berupa hutan rimba, padang rumput atau kawasan yang belum terjamah tangan manusia. Hal ini mengakibatkan sengketa hak atas tanah, terutama bagi komunitas masyarakat adat. Tanah/lahan dan sumber alam lainnya identik dengan jati diri masyarakat adat. Sumber-sumber alam itu merupakan sumber kehidupan dan hidup masyarakat adat.

Menurut Moore (1986) dalam Sahwan (2002), ada lima pemacu konflik yaitu: Pertama, konflik hubungan (relation conflict) adalah konflik terjadi karena adanya hubungan dishamonis yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: salah paham, tidak ada komunikasi, prilaku emosional dan steotypes; Kedua, konflik data

(data confitc) adalah suatu keadaan dimana pihak-pihak yang bersangkutan tidak

mempunyai data dan informasi tentang perihal yang dipertentangkan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa; Ketiga, Konflik nilai (value conflict) adalah suatu kondisi dimana pihak-pihak yang berurusan mempunyai nilai-nilai yang berbeda yang melandasi tingkah lakunya masing-masing dan tidak diakui kebenarnya oleh pihak lain; Keempat, Konflik kepentingan (interest conflict) adalah


(47)

pertentangan mengenai subtansi atau pokok permasalahan yang diperkarakan, kepentingan prosedural dan psikologis; dan Kelima, Konflik struktural (structural

conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau suatu keadaan diluar

kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak berimbang.

Menurut Malik et al. (2003) adapun acuan sebab-sebabnya konflik itu menyangkut tiga hal, yakni Pertama, Ketidakadilan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial terhadap tanah/lahan dan kekayaan alam; Kedua, Ketidakadilan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam, terutama perihal berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan diatas tanah/lahan, dan Ketiga, pemusatan pengambilan keputusan berkenan dengan akses dan kontrol serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam.

Penanganan konflik menurut Mastenbroek (1985) dalam Sahwan (2002), adalah perlunya pembagian tugas dan wewenang tugas dan wewenang jelas, penentuan prioritas serta pengenalan prosedur yang lebih baik dari yang sebelumnya.

2.6. Pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP)

Analisis Hiraraki Proses (AHP) dikenal dengan istilah Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analisis Jenjang Keputusan (AJK), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an.

AHP didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu, melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai sel alternatif. Analisis merupakan suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai suatu struktur, dan biasanya diterapkan untuk masalah yang terukur (kualitatif), maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau masalah yang tidak terstruktur, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman maupun intuisi. Selain AHP juga banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dan strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik (Saaty, 1993).


(48)

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan. Dalam penerapannya, Saaty (1993) menyarankan sedapat mungkin menghindari penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantitatif.

Dalam penyelesaian permasalahan dengan AHP ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain :

1. Dekomposisi, setelah didefinisikan maka dilakukan dekomposisi yaitu

memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika menginginkan hasil yang akurat maka, dilakukan pemecahan unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecahkan lagi sehingga didapat beberapa tingkatan dari persoalan tadi.

2. Comparative Judgment, prinsip ini berarti membuat penilain tentang

kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk perbandingan berpasangan (pairwise comparation).

3. Synthis of Priority, dari setiap matrik pairwise comperation kemudian dicari eigen vektornya untuk mendapat prioritas lokal. Karena matrik pairwise

compaparation terdapatsuatu tingkat maka untuk mendapat prioritas global

harus dilakukan sistesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif menurut prosedur sintesis dinamakan priority setting.

4. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, makna pertama

bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keragaman dan relevasinya. Kedua adalah tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

5. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty, (1993) mulai dari bobot 1 sampai 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting ( untuk atribut yang sama skalanya selalu diberi nilai bobotnya 1), sedangkan nilai 9


(49)

menggambarkan kasus atribut yang “ penting absolut” dibandingkan dengan lainnya.

Menurut Suryadi (2000) dalam Sahwan (2002), kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah:

1. Struktur yang berhirarki, sebagai kosekuensi dari kriteria yang dipilih, pada sub kriteria yang paling dalam.

2. Memperhitungkan validasi sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan 3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas

pengambilan keputusan.

4. Mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi objektif dan multi-kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dalam setiap elemen dalam hirarki.

Tahap paling penting dari AHP adalah penilaian pasangan (judgement) antara faktor pada suatu tingkat hirarki. Penilain ini dilanjutkan untuk memberikan bobot nomerik atau verbal berdasarkan perbandingan berpasangan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Selanjutnya melakukan analisis untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level atas dimana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh melalui partisipan yang akan mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan yang menyatakan kepentingan faktor tersebut pada tingkat yang lebih tinggi pada hirarki yang dibentuk.

Keberhasilan penggunaan AHP tergantung pada bagaimana penggunaan hirarki yang tepat dan problem yang tidak terukur sampai pada pengambilan keputusan, karena AHP mampu mengkonversi faktor-faktor yang tidak dapat diukur (intagible) dalam aturan yang biasa dibandingkan.

Untuk mengisi perbadingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain, maka dapat digunakan pembobotan berdasarkan skala AHP yang disampaikan oleh Saaty (1993) disajikan pada Tabel 3.


(50)

Tabel 3. Skala Banding secara Berpasangan Model Saaty Intensitas

Pentingnya Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen yang dibandingkan sama

pentingnya (equal)

Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar pada sifat itu

3 Elemen yang sedikit lebih penting dibanding

elemen yang lain (moderate)

Pengalaman dan pertimbangan sedikit mendukung satu elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu sangat penting dibanding

elemen lainnya (strong)

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas elemen yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen

lainnya (very strong)

Satu elemen dengan kuat mendukung, dominansi mendukung tingkat penegasan tinggi yang mungkin menguat

9 Satu elemen mutlak lebih penting dibandingkan

elemen lainnya (extreme)

Bukti yang mendukung elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu diantara kedua elemen yang diperbandingkan didekati dengan nilai yang berdekatan

Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan

1/(-9) Jika untuk aktivitas i mendapat suatu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j,

maka j mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i

Sumber: Saaty, (1993)

2.7. Pendekataan AHP dalam Kerangka Manfaat Biaya

Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop dalam fungsi awalnya ditetapkan untuk melindungi berbagai biodivesity yang sangat tinggi, dan sumber air bagi penduduk Jayapura serta menjadi laboratorium alam untuk pengembangan pendidikan, namun dalam implementasi terjadi tumpang tindih kebijakan antara pihak pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaannya, sehingga terlihat terjadi benturan aturan antara aturan positif dan aturan adat. Sehingga untuk mendudukkan permasalahan ini, harus dinilai kawasan ini dari sudut benefit dan

cost (B/C) dari aspek ekonomi, lingkungan dan sosial, dengan demikian kita akan mendapat alternatif pengelolaan yang baik yang akan dilakukan dalam kawasan tersebut.

Analisis Manfaat Biaya (AMB) merupakan metode praktis dalam menganalisis sumberdaya dengan beberapa tujuan, antara lain:

1. Pengambilan keputusan dalam suatu kegiatan.

2. Penilaian kegiatan paling produktif dengan ratio manfaat/biaya yang tinggi. 3. Maksimumkan total benefit dalam berbagai masalah.


(51)

4. Peninjauan kembali keadaan set proyek pada suatu saat untuk melakukan kemungkinan eliminasi atau realokasi sumberdaya.

Menurut Saaty (1993), ada beberapa konsep dari AHP dalam kerangka manfaat biaya, yaitu:

1. AHP berada dengan AMB yang konvensional, karena AHP mampu mengkonversi faktor-faktor yang terukur kedalam aturan yang bisa dimungkinkan untuk perbandingan dan evaluasi.

2. AHP juga dapat digunakan untuk memecahkan dalam pengambilan keputusan manfaat/biaya yang kompleks dan pengalokasian yang melibatkan sumberdaya dan aktivitas campuran

3. Tujuan AHP dalam pengalokasian sumberdaya adalah untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan evaluasi manfaat dari berbagai alternatif, dan untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan biaya.

2.8. Alokasi Sumberdaya Alam dan Analisis Manfaat Biaya

Perhatian utama Ekonomi Sumberdaya Alam adalah alokasi sumberdaya alam pada saat ini dan mendatang, dan akibat-akibat yang timbul dari pengambilan keputusan dalam alokasi sumberdaya tersebut (Prabowo dan Reksodiprodjo, 1985

dalam Widarti, 2002). Lingkungan alam, udara, air, tanah, biota (flora dan fauna) menyediakan barang – barang dan jasa-jasa secara langsung atau tidak langsung memberikan manfaat ekonomi.

Pendayagunaan sumberdaya yang dimiliki bersama terjadi karena tidak ada mekanisme yang mengatur keseimbangan yang secara otomatis mambatasi tingkat eksploitasi. Sumberdaya dianggap gratis sehingga kelangkaan tidak tercermin dalam biaya setiap orang yang memanfaatkannya ((Prabowo dan Reksodiprodjo, 1985 dalam Widarti, 2002). Dikatakan bahwa penerapan analisis manfaat biaya merupakan penerapan ilmu ekonomi demi perbaikan efisiensi alokasi sumberdaya yang didasarkan pada nilai yang diukur dengan harga yang diinginkan masyarakat dengan menggunakan biaya ganti pada waktu sumberdaya benar-benar dimanfaatkan.

Analisis biaya manfaat menitik-beratkan pada falsafah kekebabasan individu konsumen. Kesejahteraan ekonomi sosial dianggap sebagai penjumlahan kesejahteraan yang dinyatakan oleh para individu dalam masyarakat. Alokasi sumberdaya akan efisien secara ekonomis bila tidak mungkin lagi mengadakan


(52)

peningkatan kesejahteraan individu yang satu tanpa merugikan individu yang lain (van de Graff, 1975.; Baumal, 1997., Hufschmidt, et al, 1987 dalam Widarti, 2002).

Ditambahkan bahwa anggapan dasar analisis manfaat biaya ialah tingkat kepuasan atau kesejahteraaan ekonomi yang dialami oleh individu konsumen yang diukur berdasarkan biaya yang mereka siap bayar didalam mengkonsumsi barang dan jasa tanpa mengeluarkan sesenpun, namun pada hakekatnya harga yang mereka siapkan membayar dapat diperoleh dengan mengamati prilaku seseorang.

Azzaino (1984) dalam Widarti (2002) menegaskan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap jumlah yang diminta untuk suatu barang adalah perubahan selera, jumlah penduduk, pendapatan rata-rata, harga barang tersebut dan harga barang lain.

Davis (1987) dalam Widarti (2002) menyatakan bahwa kurva permintaan merupakan kurva kesediaan membayar dari konsumen terhadap jumlah barang atau jasa yang dikonsumsinya.

Teknik penilaian biaya-biaya dibagi dalam tiga kategori (Hufschmidt, et al, 1987) yaitu:

1. Penilaian yang langsung menggunakan nilai pasar atau produktivitas.

2. Penilaian yang langsung menggunakan nilai pasar barang subtitut atau komplementer.

3. Penilaian barang dengan menggunakan pendekatan teknik survei.

Teknik penilaian berdasarkan harga pasar pengganti merupakan pendekatan untuk mengukur kesediaan membayar individu dan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya milik bersama. Teknik penilain berdasarkan survei mempercayakan diri pada survei langsung terhadap kesediaan konsumen untuk memilih jumlah barang dan jasa milik bersama. Pendekatan ini bertumpuh pada teori kurva permintaan individu. Untuk mengukur manfaat, metode ini mendasarkan diri pada pendekatan metode kontigensi yaitu penaksiran ketersediaan konsumen menerima kompensasi atas kerugian yang mungkin timbul.

Sehubungan dengan alokasi sumberdaya, para pakar ekonomi sumberdaya telah mengemukaan konsep “Biaya Alternatif Marginal (BAM). Biaya alternatif marginal adalah biaya sebenarnya yang berasal dari masyarakat untuk suatu tindakan kebijakan yang menghabiskan sumberdaya hayati. Dalam suatu sistem yang membebani penyebab kerusakan sumberdaya, pajak yang dibayarkan


(53)

pemakai untuk kegiatan tersebut seharusnya sama besar nilainya dengan BAM (Warford 1987a: Peace 1987c Neely, 1992 dalam Widarti, 2002).

“Nilai Alternatif” mengacu pada nilai yang berkaitan dengan pendayagunaan alternatif terbaik yang dapat dikenakan pada sumberdaya hayati tertentu, jika tidak sedang digunakan untuk sesuatu tujuan yang sedang dibiayai.


(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada kawasan cagar alam pegunungan cycloop (CAPC) di wilayah administratif Kabupaten/Kota Jayapura Provinsi Papua, terhitung bulan Februari sampai dengan Agustus 2005. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

3.2. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yang mengambarkan secara sistematis fakta-fakta yang ada dilapangan. Penelitian ini dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan nyata/riil di lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara secara bebas terstruktur (Singarimbun, 1995).

3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer maupun sekunder. Pengumpulan data primer dan sekunder menggunakan metode observasi langsung, metode wawancara terstruktur, metode wawancara melalui diskusi mendalam (indepth interview) dan metode partisipatif (Farouk dan Djaali, 2003) sedangkan data sekunder diperoleh dengan menggunakan metode dokumentasi (Farauk dan Djaali, 2003) dan metode studi pustaka (Rianto, 2004)

Penentuan responden secara purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku (individu atau lembaga) yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan kawasan cagar alam pegunungan cycloop.

Responden terdiri dari para stakeholders yang berjumlah 16 yaitu pejabat atau staf yang menguasai permasalahan yang berasal dari beberapa instansi/lembaga, antara lain Bupati / Walikota, Ketua DPRD, Kepala Dinas / Badan yang terkait Kabupaten dan Kota Jayapura Pakar Perguruan Tinggi,


(55)

140.35 °BT 140.45 °BT 140.55 °BT 140.65 °BT 140.75 °BT -2. 6 5 ° LS -2 .55 ° L S -2. 45 ° LS

Skala 1 : 275.000

PETA KAWASAN HUTAN, PERAIRAN DAN LAHAN KRITIS KAWASAN CA CYCLOOP

DAN SEKITARNYA

135 140

-5

Peta Indeks

Sumber :

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua

Pemukiman Sekitar CA Cycloop

Lahan Kritis

Kawasan Suaka Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Konversi Area Pemanfaatan Lain Perairan/Danau

Fungsi Kawasan

Desa/Kampung

Tempat Pengambilan Kayu Tempat Pembakaran Arang

Keterangan :

Batas CA Cycloop Batas Kabupaten/Kota Jalan Raya Sungai Tablasufa Amai Yapase Wambena Doromena Bitia Depapre Yongsu Besar Yongsu Kecil Ormu Besar Ormu Kecil Maribu Yangkena

Waibron Dosai Sabron

Doyo Baru

S.D.A

Kemiri Pos Tujuh

Ifar Gunung SENTANI Netar Donday Borowai Yakonde Sosiri Danau Sentani Harapan Waena Padang Bulan Abepura Kotaraja Entrop Bucen II Argapura Hamadi Polimak JAYAPURA APO

APO Bukit Barisan

Bhayangkara Yapis

Lembah Bahari Dok VIII Atas

Angkasa Indah] Angkasa

Angkasa Lokasi baru

Danau Sentani


(1)

Pengelolaan CAPC yang berkelanjutan

Kerugian Ekonomi Kerugian Lingkungan

Kerugian Sosial

Modal Biaya Operasional

dan Pemeiliharaan Pencemaran

Perubahan gaya hidup Kecemburuan sosial Erosi Kekeringan Pemukinan &

Infrastruktur Konservasi dan Pariwisata Pertambangan dan perkebunan rakyat Tingkat 1 (Tujuan Utama) Tingkat 2 (Aspek) Tingkat 3 (Kriteria

)

Tingkat 4 (Alternatif kebijakan)


(2)

Lampiran 11. Manfaat

Pengelolaan CAPC yang berkelanjutan

Manfaat Ekonomi Manfaat Lingkungan Manfaat Sosial Pendapata n Meningkat Usaha sektor informal

Hidrologi Penyerapan

tenaga kerja Mengurangi Kecemburuan sosial Nilai Estetika Iklim Mikro Pemukiman & Infrastruktur Konservasi dan pariwisata

Perkebunan dan Pertambangan rakyat Tingkat 1 (Tujuan Utama) Tingkat 2 (Aspek) Tingkat 3 (Kriteria) Tingkat 4 (Alternatif kebijakan)


(3)

1 9 %

2 5 % 5 %

2 5 % 2 2 %

4 %

Kawasan Hutan Alam dan Pelestarian Alam (KSPA) Hutan Lindung

Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Produksi

Hutan Produksi Konversi Kawasan Perairan -500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000

GRAFIK LUAS KAWASAN KONSERVASI DI PROPINSI PAPUA

Darat Perairan

Darat 2.386.061,25 3.573.337,97 2.863.810,00 - 14.983,37 - Perairan 5.000,00 69.000,00 1.453.500,00 - 183.000,00 -

Cagar Alam Suaka Margasatw a Taman Nasional Taman Hutan Raya Taman

Wisata Alam Taman Buru

40% 23% 35% 2% 0% 0% Cagar Alam Suaka Margasatw a Taman Nasional Taman Hutan Raya Taman Wisata Alam Taman Buru

Keterangan

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2004


(4)

(5)

(6)