56
berseberangan dengan masyarakat, sebab ruang untuk kegiatan masyarakat sangat kecil bahkan perhatian terhadap masyarakat sering menjadi
permasalahan. Namun sebenarnya hal mendasar yang terjadi pada lembaga ini adalah ketersediaan biaya operasional dan jumlah personail yang memiliki
latar belakang pendidikan konservasi masih sangat kurang, sementara luas kawasan yang awasi sangat luas.
f. Dinas Pariwisata, salah satu sektor yang memanfaatkan sumberdaya alam
untuk pembangunan nasional dengan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata, termasuk wisata CAPC dan penelitian. Dinas ini sendiri dalam tugas
dan fungsinya tidak terlihat dengan jelas pengelolaan pariwisata di Jayapura. Hal ini juga sangat tergantung dengan tujuan wisata yang mau diangkat atau
dipromisikan. Khusus Kota Jayapura telah mengupaya beberapa lokasi seperti Teluk Youtefa sebagai tujuan wisata laut, Pantai Hamadi, Pantai Base
G, yang cukup baik dalam penanganannya, hanya belum diatur jenis wisata yang cocok dikembangkan dikawasan wisata ini. Kedepannya ekowisata
menjadi sasaran pengelolaan wisata di Jayapura.
4.4. Evaluasi Pengelolaan CAPC saat ini
Secara konsepsional, arah pengelolaan CAPC tahun 2003 – 2014 yang dibangun oleh Tim Pokja Multi Pihak sebagaimana disajikan pada Lampiran 1
Berdasarkan rumusan pengelolaan CAPC, tampak bahwa telah ada keinginan untuk menetapkan landasan yang kokoh bagi penyelenggaraan pengelolaan CAPC
menuju kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Ini diindikasikan dengan adanya strategi penataan institusi dan perumusan kebijakan dalam rangka
memastikan batas, status kepemilikan dan peruntukan tata ruang kawasan konservasi. Hal penting lain adalah adanya upaya untuk mendorong dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan CAPC serta penanggulangan illegal logging, perladangan berpindah, pertambangan galian c,
pemukiman liar dan berbagai bentuk pengrusakan lainnya. Menurut penulis, pernyataan kebijakan policy statement tersebut dapat dijadikan landasan
kebijakan pengelolaan CAPC secara lestari karena telah ditetapkan strategi untuk memecahkan permasalahan utama pengelolaan CAPC berupa lemahnya institusi
kebijakan dan implementasinya serta manajemen internal organisasi dan kepastian status kawasan, yang menimbulkan efek ganda multiplier effect berupa
57
konflik akibat ketidakadilan alokasi manfaat sumberdaya lahan dan adanya perilaku aji mumpung opportunistic behaviour dari berbagai pihak yang terlibat
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Namun demikian, implementasi dari pengelolaan yang diwujudkan dalam
bentuk kegiatan pembangunan sumberdaya lahan di CAPC sebagaimana Gambar 3, memperlihatkan bahwa fokus pembangunan sumberdaya lahan di Kabupaten
dan Kota Jayapura sejak tahun 1985-2004 belum diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan pokok pengelolaan sumberdaya lahan, yang merupakan prakondisi
bagi terlaksananya pengelolaan sumberdaya lahan yang memenuhi prinsip-prinsip kelestarian. Terlihat bahwa kondisi luas hutan dikawasan CAPC mengalami
penurunan yang sangat drastis. Indikator ini dapat dilihat dari sumber-sumber air bersih yang tadinya berjumlah 34 sungai yang berhulu di Cycloop telah mengalami
kekeringan hingga 14 sungai. 12 dari 14 sungai ini bermuara di Danau Sentani yang sebagai sumber air bersih bagi penduduk yang berada disekitar Danau
Sentani. Penyebab lain kekeringan sumber air sungai-sungai diwilayah hulu Cycloop adalah perladangan berpindah pada kelerengan 30 yang berdampak
pada bencana longsor yang mengakibatkan pencemaran pada sungai dan penumpukan sedimen akibat longsor dan kegiatan pertambangan galian C dan
pendulangan emas diwilayah jembatan II, mengakibatkan Danau Sentani mengalami pendangkalan.
Bertambahnya jumlah penduduk berakibatkan pada tuntutan lahan untuk pembangunan pemukiman dan infrastruktur serta perkebunan atau perladangan.
Dengan bahasa yang lebih operasional, implementasi kebijakan pembangunan konservasi Kabupaten dan Kota Jayapura memperlihatkan dua hal. Pertama,
lemahnya kemampuan daerah dalam mengenali permasalahan pokok pengelolaan kawasan konservasi sehingga tidak ada prioritas kebijakan untuk penyelesaiannya.
Kedua, adanya perbedaan kekuasaan antara pengambil kebijakan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diindikasikan dengan besarnya peran lembaga
perencanaan daerah dalam proses alokasi sumberdaya keuangan untuk kepentingan pembangunan, dibandingkan dengan lembaga sektoral seperti
lembaga BKSDA dan lembaga lain yang berkepentingan dengan CAPC. Sejalan dengan hal ini, Mayers dan Bass 1999 dalam Latief 2003, menyatakan bahwa
realitas implementasi kebijakan umumnya berbeda dengan dokumen formal kebijakan formulasi kebijakan, dan ini merupakan hasil resultante suatu himpunan
58
KONDISI FISIK CAPC
2 4
6 8
10 12
14 16
18
1985 1990
1995 2000
2005
Tahun P
resen tase
HP HS
HB PL
LK KONDISI FISIK CAPC
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
1985 1990
1995 2000
2005
Tahun P
res e
n ta
se
RW AA
PIS
rumitnya proses formal dan praktek pengambilan keputusan, yang sangat ditentukan oleh variasi kekuasaan diantara pengambil keputusan.
Gambar 3. Kondisi fisik CAPC
Keterangan : HP : Hutan Primer
LK : Lahan Kritis HS : Hutan Sekunder
RW : Rawa HB : Hutan Belukar
AA : Alang-alang PL : Perladangan
PIS : Pembangunan Infrastruktur
4.5. Faktor Pendorong dan Penghambat